On Kamis, 04 Januari 2018 0 komentar

Read more ...»

SPS Jilid 1 Bab 15

On Kamis, 19 Oktober 2017 0 komentar

=========================================================
Layla adalah judul album dari Derek and the Dominos...
Dan yang dimaksud Mafuyu dengan menemukan mayat di rel kereta itu merujuk pada salah pahamnya dia pada Bab 8, yang dia kira Stand by Me adalah sebuah judul film...
Kembali, sebuah bab yang bikin nge-FEEL...
Seperti biasa, seri yang dikerjakan bareng ini, bisa agan sekalian nikmati lebih awal satu hari di Hanami Translation...
Selamat menikmati....
=========================================================


Bab 15 - Layla, Rel Kereta, Semua yang Telah Hilang


Ketika itu, aku sedang berada di kamarku, mendengarkan musik melalui headphone. Yang kudengarkan adalah album dari Derek and the Dominos. Saat itu hari Kamis malam — hari ketiga Mafuyu tidak masuk sekolah. Angin di luar bertiup sangat kencang, dan bisa kudengar gemerisik dahan pepohanan di sisi trotoar.

Tetsurou sedang menghadap penerbit, jadi tidak ada orang lain di rumah. Di saat begini, biasanya aku bebas menggunakan pengeras suara di ruang tamu, tapi aku terlalu malas untuk meninggalkan kamar. Makanya aku terus berbaring di tempat tidur, mendengarkan pengeras suara mini yang suaranya tidak terlalu jernih. 

Suara drum Jim Gordon terdengar dari pengeras suara, menenggelamkan suara-suara lainnya, itu sebabnya aku sempat tidak menyadari suara itu. Tidak sampai bagian pertengahan lagu, ketika melodi piano mulai mengalun, akhirnya kusadari — seseorang telah mengetuk jendela kamarku. 

Tentu saja, kupikir itu Chiaki, karena tidak ada orang lain yang melakukan hal seperti itu. Sekarang sudah larut malam, ia mau apa? Akan tetapi, setelah membuka tirai dan jendela, sepasang mata biru menyambutku. Aku tercengang.

Orang yang muncul di depan jendela — yang berdiri di perpanjangan atap — ternyata Mafuyu. Itu memang dirinya. Rambutnya yang berwarna merah tua itu terkibar tertiup angin dan terbelit pada kotak gitar yang dipanggulnya.

"Kamu ...." 

Ingin kukatakan sesuatu, tapi tidak ada lagi kata-kata yang bisa terucap.

"Boleh aku masuk?"

Tanya Mafuyu tanpa ekspresi saat melepaskan gitar dari bahunya lalu menyodorkannya padaku.

"Eh .... Ah, hmm, boleh."

Pikiranku berkecamuk, tapi aku tetap menerima kotak gitar itu dan menyandarkannya ke dinding. Terlepas dari keterkejutanku, aku tidak lupa mengulurkan tangan pada Mafuyu dan menariknya masuk setelah ia berpijak pada jendela dan melepaskan sepatunya. Saat itu Mafuyu mengenakan gaun panjang berwarna biru persis seperti yang dikenakannya saat pertama kami bertemu ..., walau kelihatanya itu membuat sulit bergerak. 

Aku masih belum bisa memercayainya. Apakah ini kelanjutan dari sebuah mimpi?

"... yang benar?"

Sewaktu melihat Mafuyu berdiri di kamarku, tidak ada yang bisa kulakukan selain bertanya.

"Apa?"

"Eh, tidak, hanya saja ... agak aneh, seharusnya kamu tidak bisa memanjat, 'kan?" Dan seharusnya tangan kanannya itu juga tidak bisa digerakkan.

"Pergelanganku masih bisa digerakkan."

Jawab Mafuyu cuek sambil menggerakkan pergelangan tangannya agar bisa kulihat. Terlepas dari pergelangannya — sikutnya sendiri sudah penuh goresan. Jadi maksudnya itu hanya jari-jarinya saja yang tidak bisa ia gerakkan dengan bebas, dan karena itu ia bisa memanjat kemari? Meski begitu ....

Mafuyu sadar jika aku menatapnya, lalu memalingkan kepalanya, berkata pelan, 

"Aku pernah mendengarnya dari Aihara-san sewaktu di sekolah, soal ia memanjat pohon dan keluar masuk kamarmu dengan bebas melalui jendela. Entah kenapa rasanya aku ... sedikit iri, karena itu kupikir aku harus mencobanya."

Tetap saja .... 

"Kenapa—" kamu muncul di tempat seperti ini? Itu pertanyaan yang sederhana, yang ditujukan langsung ke pokok permasalahan, tapi entah kenapa aku tidak mampu mengatakannya. Apa mungkin karena kupikir ia akan pergi seketika aku menanyakannya?

Pada akhirnya, aku justru mengatakan ini, 

"Bagaimana kamu tahu alamat rumahku?"

Mafuyu menatapku lama sebelum berjalan ke arah kotak gitarnya. Ia lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam kotak itu dan menyerahkannya padaku.

"... John Lennon?" Itu sebuah album CD — yang bertajuk <Rock 'n' Roll> — yang kudengarkan sewaktu di atap hari itu. Mafuyu membuka kotak CD tersebut dengan cekatan memakai tangan kirinya. Ada selembar kertas terlipat di atas cakram perak berkilau itu. Saat membukanya, aku melihat sebuah peta. Itu digambar dengan sangat baik. Aku nyaris tidak mengira kalau peta itu digambar dengan tangan. Peta tersebut secara akurat menyertakan bangunan-bangunan penting di dekat rumahku dan menjelaskannya secara rinci. Apa-apaan ini ....

"Orang itu menyuruhku untuk tetap tinggal di rumah dan jangan ke mana-mana," ujar Mafuyu. Orang itu? Yang dimaksud itu pasti ayahnya, "Karena itu, sebelum aku pergi ke rumah sakit, aku tidak bisa meninggalkan rumah. Saat hendak kembali pemeriksaan, entah bagaimana, CD itu tanpa sadar sudah ada di tasku."

Aku menatap wajah Mafuyu dalam keadaan setengah bingung. ia lalu memiringkan kepalanya sebagai jawaban.

"Bukankah itu kamu? Mengikutiku ke rumah sakit lalu meletakkan ini ...." 

"Siapa pula yang mau berbuat sebodoh—" 

Aku mendadak terhenti di tengah kalimat. Ada seseorang yang bisa melakukan hal bodoh semacam itu — orang yang bisa melakukan sesuatu dengan seenaknya tanpa ragu-ragu, meski ia tidak tahu itu akan berhasil atau tidak, dan tidak peduli jika itu akan menyia-nyiakan separuh harinya serta sejumlah besar upaya ....

"Itu Kagurazaka-senpai ...." 

Jadi itu yang ia lakukan saat bolos sekolah .... Omong-omong, apa sebenarnya yang ia rencanakan? Tidak disangka ia memberitahu Mafuyu lokasi rumahku .... Apa ada sesuatu yang ia ingin Mafuyu lakukan?

"Maksudmu senpai yang punya rambut sangat panjang, mata seperti macan kumbang, dan yang selalu mengatakan hal-hal aneh?" ujar Mafuyu. Begitu. Ternyata Mafuyu juga tahu siapa Kagurazaka-senpai itu, toh?

"Hmm ..., seharusnya begitu."

"Tentang senpai itu, aku selalu—" saat Mafuyu mulai berbicara, ia menyadari tatapanku dan tersentak kaget. Ia segera memalingkan wajah dan menggelengkan kepala, "Tidak, tidak ada apa-apa."

Mafuyu berjalan ke tempat tidur lalu duduk di atasnya, menempatkanku dalam situasi di mana aku tidak bisa mendekati tempat tidur ataupun keluar dari kamar — yang bisa kulakukan hanyalah bersandar di samping jendela. Mafuyu ada di kamarku sekarang — jujur saja, aku masih belum terlalu yakin dengan yang terjadi, tapi — Mafuyu benar-benar ada di sini. 

"Begini ..., eng ...," Aku memilih kata dengan hati-hati, "Aku tidak tahu ... kalau saat itu .... Jadi ..., aku minta maaf."

"Kamu tidak tahu apa?" 

"Tidak, itu ... soal ... tangan kananmu."

"Tidak perlu minta maaf. Aku justru merasa tidak enak kalau kamu meminta maaf."

Aku juga merasa tidak enak!

"Lagi pula ..., kamu tidak salah."

Setelah mengatakannya, ia pun memalingkan wajah.

"Itu bukan salahmu. Hal seperti itu kadang terjadi, bagian kanan tubuhku mendadak tidak bisa bergerak secara perlahan, bahkan, kadang aku tidak bisa menggerakkan kakiku. Aku juga tidak mengerti kenapa bisa begitu."

Untuk sesaat, aku tidak dapat berbicara. Bagian kanan tubuhnya mendadak tidak bisa bergerak secara perlahan?

"Kenapa ... kamu mengatakannya seolah itu bukan hal besar?"

"Karena ... kurasa itu memang bukan hal besar."

Mafuyu menunduk dan menampakkan sedikit senyum. Itulah pertama kali kulihat ia tersenyum, walau itu terasa seperti ekspresi kesepian. Hatiku sedikit sakit.

"Dan aku tidak begitu peduli jika memang tidak bisa digerakkan. Tapi orang itu dan perusahaan rekamannya mungkin akan kesulitan karena hal itu."

"Ah! Eng ..., yah ..., bukankah kamu akan pergi ke Amerika? Kudengar kamu akan melakukan pemeriksaan atau operasi di sana, ya?"

"Hmm, orang itu akan melakukan tur keliling Amerika, dan beliau akan terbang besok." 

"La-lalu alasanmu kemari di saat begini ...." 

"Hmm, aku melarikan diri."

Aku mendesah keras. Ia melarikan diri? Lagi-lagi, gadis ini sepertinya suka sekali kabur dari rumah, ya?

"Itu memang sudah rencanaku. Aku akan kabur di malam sebelum akan dibawa ke Amerika. Lagi pula hanya tangan kananku — aku juga tidak begitu peduli jika tanganku tidak bisa sembuh. Aku hanya ingin membawa gitarku dan pergi ke tempat yang jauh, jauh sekali, sampai kakiku tidak sanggup lagi bergerak .... " 

Mafuyu memejamkan erat matanya, seakan ia berusaha sekuat tenaga untuk tidak menitikkan air matanya.

"Lagi pula, aku akan menghilang di bulan Juni."

Jadi, itu maksud perkataannya selama ini — bukan karena ia akan pergi ke Amerika untuk mencari perawatan, tapi karena ia sudah memutuskan untuk melarikan diri.

Lalu?

Sekuat tenaga kuurungkan pertanyaan itu sebelum terlontar dari mulutku.

Ia akan lari ke tempat yang jauh, jauh sekali. Lalu? Apa yang akan ia lakukan setelah itu?

Aku tahu Mafuyu pasti tidak bisa menjawab pertanyaan itu — andaipun pertanyaan itu diarahkan padaku, aku juga tidak tahu harus menjawab apa. Manusia tidak berpikir jauh ke depan setelah mereka memutuskan untuk melarikan diri dari sesuatu. Mereka sangat putus asa, mencari tempat untuk bersembunyi—

".... kenapa kamu justru mencariku?"

"Karena ...," Mafuyu menatap jariku, lalu tiba-tiba mengangkat kepalanya, "Karena waktu itu kamu bilang kalau aku harus mengatakan dengan jujur apa pun yang menggangguku. Kamu masih ingat?"

Aku memang mengatakan hal seperti itu sebelumnya. Saat itu, Mafuyu bahkan meminta untuk memotong tangan kananku agar diberikan padanya, atau mengembalikan waktu sampai di masa sebelum ia mulai bermain piano — Ah! Jadi itu maksudnya? Astaga, kini aku jadi merasa ingin menangis lagi.

Ternyata Mafuyu sudah memberitahuku soal itu sebelumnya! Hanya saja aku yang tidak menyadarinya lebih awal.

"Jadi ...." 

Sepertinya Mafuyu enggan melanjutkan kalimatnya. Ia kembali menundukkan kepalanya.

"Saat ini, tanganku ... tidak bisa membawa ransel, karena itu .... Bersama ...." setelah mengatakan itu, Mafuyu kembali memejamkan matanya, lalu menggelengkan kepala kuat-kuat.

"Maaf, anggap saja aku tidak pernah mengatakannya."

Mafuyu tiba-tiba berdiri dan berjalan ke arahku. Ia mengambil gitarnya, dan saat hendak mengambil sepatu lalu memanjat keluar jendela, aku langsung memanggilnya.

"Tunggu!"

Mafuyu menoleh. Aku kehabisan kata-kata. Ia menatap lurus ke arahku, dan yang semula ingin kuucapkan telah hancur di dalam mulutku. Sebaliknya, yang aku tanyakan justru sesuatu yang tidak berhubungan dan konyol— "Apa kamu bisa keluar lewat pintu utama saja?" 

"Memangnya tidak ada orang lain di rumah ini?" 

"Tetsurou sedang keluar. Mungkin beliau akan kembali agak lama."

"Begitu ya. Tapi ini pertama kalinya aku memanjat pohon, dan kurasa itu cukup menyenangkan."

Masalahnya, ekspresi wajah Mafuyu menyiratkan yang sebaliknya. Tidak, tunggu, bukan itu maksudku! 

"... baiklah, apa ada lagi barang bawaanmu? Atau ada lagi yang kamu tinggal di luar?"

Mafuyu terus memandangi wajahku, dan matanya berkedip kebingungan.

"... hah?"

"Aku ikut."



Ransel Mafuyu yang tidak terlalu besar tergeletak di bawah pohon pekarangan. Di bagian atasnya tergantung recorder yang dulu sempat kuperbaiki, meski aku hampir lupa kapan melakukannya. 

"Apa kamu benar-benar ikut denganku?"

"Kamulah yang menginginkanku ikut!"

"Yah, itu benar, tapi ... kenapa?"

Aku juga tidak tahu. Aku bahkan tidak tahu harus ke mana setelah ini.

Yang kutahu bahwa aku tidak bisa membiarkan Mafuyu pergi seorang diri.

Kuambil ransel itu dan memanggulnya di pundakku. Ternyata ringan.

"Di mana basmu? Aku hanya melihat sarung gitar kosong di kamarmu."

Tiba-tiba Mafuyu menanyakan itu sewaktu kami masih di pekarangan yang gelap.

"Sudah kubuang."

"Eh .... Kenapa?!" 

Mafuyu tiba-tiba menjerit.

"A-apakah gara-gara waktu itu? Aku tidak begitu mengingatnya, tapi apa basmu rusak gara-gara aku membantingnya ...?" 

"Bukan, bukan karena itu. Meski tidak rusak sekalipun, aku mungkin akan membuangnya juga," jawabku, dan itu pun tidak bohong. Kalau aku mau, aku pasti bisa memperbaikinya. Apalagi aku tidak ingin Mafuyu menganggap kalau itu salahnya.

"... kenapa?" Mafuyu menjadi semakin tertekan.

Kenapa, ya? Sesaat, aku tenggelam dalam renungan.

"Karena ... aku tidak suka lagi."

"Bukankah kamu suka musik rock?"

Pertanyaan blakblakan, yang tidak memiliki belas kasihan itu, membuat kepalaku sakit.

"Awalnya itu cukup menarik, dan rasanya luar biasa sewaktu berlatih. Tapi ...." 

Aku menutup mulutku. Kenapa ujung-ujungnya aku malah membuangnya? Aku juga tidak bisa menjelaskannya.

"... ah, kalau itu karena ..., karena aku waktu itu ...." 

Aku menggelengkan kepala dan memotong perkataan Mafuyu.

"Ayo lekas. Tetsurou mungkin akan kembali sebentar lagi."

Wajah Mafuyu terselimuti oleh gelapnya malam, dan karena itu aku tidak bisa melihat jelas ekspresi wajahnya. Tapi entah kenapa, rasanya yang ia tunjukkan saat ini adalah ekspresi kesepian.

Aku mendorong Mafuyu keluar dari pintu sambil memanggul gitarnya di bahuku.

"Kita mau ke mana?"

"Menurutmu kita harus ke mana?"

Mafuyu dan aku dengan bodohnya saling melempar pertanyaan.

Kami berdua mulai berjalan bersama, melewati jalan sepi di daerah pemukiman yang diterangi oleh beberapa lampu jalan, lalu berjalan menuju stasiun kereta.



Kulihat ada dua pria berjas berjalan ke arah kami dari tempat parkir. Aku memang pernah melihat Ebisawa Chisato hanya dari sampul CD saja, namun terlepas dari itu —walaupun aku berada dalam  jarak yang cukup jauh — aku langsung tahu kalau orang yang berjalan paling depan itu adalah ayah Mafuyu.

"Ada apa ini?"

Pertanyaan bodoh yang sama — yang pernah pula ditanyakan seseorang sebelumnya — juga datang dari mulut Ebisawa Chisato. Rambutnya disisir rapi dan dibuat kelimis, meski ada sedikit uban yang berbaur. Rautnya yang tegas dan jelas itu menampakkan amarahnya. Maki-sensei tiba di lapangan setelah mendapat telepon dari Kumiko-sensei. Setelah melihat kedatangannya, ayah Mafuyu mulai berteriak.

"Aku tidak mengira ini bisa terjadi padahal kamu ada di dekatnya! Bagaimana kalau ada apa-apa terhadap Mafuyu?!" 

"Anda tidak bisa mengharapkan saya selalu berada di sisinya, bukan?" jawab Maki-sensei dingin. Dokter paruh baya (orang itu pasti dokter, 'kan?), yang juga ikut berdiri di samping Ebichiri yang sedang marah, seolah berkata, Bawa nona muda itu ke dalam mobil, pada Kumiko-sensei lewat matanya. 

"Kenapa kamu tidak ke rumah sakit? Dengan siapa saja kamu bergaul?"

Aku memalingkan muka dan berpikir apa sebaiknya aku lari saja dari sana.

"Gitar? Kamu bilang gitar?! Kamu bercanda, siapa yang membolehkanmu memainkan benda semacam itu? Mafuyu, apa yang mau kamu lakukan dengan mempelajari gitar tanpa sepengetahuanku? Apa kamu tidak tahu pentingnya jari-jarimu itu? Kamu mungkin tidak akan pernah bisa bermain piano—" 

"Ebisawa-sensei! Tolong. Jangan sudutkan Mafuyu seperti itu!"

Maki-sensei memohon dengan suara sedih.

"Aku tidak memindahkannya ke SMA biasa supaya ia bisa memainkan benda semacam itu!"

Aku menggigit bibir sewaktu mendengarkan teriakan Ebichiri yang menusuk. Ayahnya dan sang dokter lalu memasukkan Mafuyu ke kursi belakang, seakan gadis tersebut adalah jenazah yang dibungkus kantung mayat. Tidak ada yang bisa kulakukan selain terdiam melihat semuanya. 

Tepat sebelum pintu mobil ditutup, Mafuyu dan aku saling melirik. Ekspresi di kedua matanya sama seperti dulu — tidak mampu menyuarakan apa pun, dan hanya bisa mencari sesuatu untuk diandalkan. Kedua mata itu tampak bagaikan langit sebelum turun hujan, dipenuhi awan mendung. Tidak, aku tidak bisa membiarkannya pergi seperti itu. Aku hampir bisa mendengar sebuah bisikan tepat di sampingku, namun aku tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun, atau bergerak satu langkah pun.



Rencana pelarian kami mendapat halangan besar — kereta terakhir telah berangkat. Stasiun kecil itu berdiri sendiri di tengah kawasan perumahan, ditemani sebuah toko kelontongan yang buka sampai larut malam di dekatnya. Tidak ada seorang pun di stasiun. Sewaktu berdiri di jalan setapak yang sangat luas, satu-satunya teman perjalanan adalah bayangan kami sendiri, yang membentang karena lampu-lampu jalanan di sekitar.

"Kita harus apa?" tanyaku putus asa 

"Kita tidak akan mencari mayat di sepanjang rel, 'kan?"

Itu adalah hal acak yang pernah kusebutkan dulu, tapi kini Mafuyu membalikkannya padaku.

"Apa kita memang harus berjalan kaki? Itu akan terasa melelahkan!"

Lalu apa yang harus kulakukan jika kaki kanannya jadi tidak bisa digerakkan seperti dulu?

"Kudengar kalau membeku adalah cara terindah untuk mati. Benarkah?"

"Kamu tidak bisa mati membeku di Jepang saat bulan Juni begini, paham? Terlebih, aku baru sadar, ada yang mengganjal ...." 

"Apa?"

"kenapa aku yang membawa gitar dan ranselmu?"

Aku sempat lupa kalau ada gitar di punggungku, dan itu benar-benar berat.

"Karena kamu yang bertanggung jawab membawa barang bawaan!"

"Bukan itu ...," tunggu, kalau dipikir-pikir, apa tidak apa-apa?

Kupandangi Mafuyu yang menyusuri rel, lalu menyusulnya. Sosoknya dalam gaun berwarna pucat itu tampak seperti meleleh dalam kegelapan dan menghilang jika aku tidak waspada.

Setelah melewati pagar ram, kami muncul tepat di samping rel yang gelap. Saat kami berjalan menyusuri lereng yang landai, tiba-tiba Mafuyu bertanya tentang ibuku.

"Soalnya ayahmu selalu membahas soal perceraian dalam kritiknya."

Tetsurou berengsek, beliau seharusnya memikirkan posisinya sebagai kritikus musik.

"Apa kamu masih ingat ibumu?" Mafuyu menoleh dan bertanya.

"Tentu saja. Aku sudah SD sewaktu mereka bercerai, dan kami masih bertemu sebulan sekali."

"Seperti apa ibumu?"

"Beliau orang yang serius, dan itu membuatku gagal memahami alasan beliau melakukan hal bodoh seperti menikahi Tetsurou. Beliau juga sangat juga tegas jika menyangkut tata krama saat makan."

"Begitu, ya ...." Mafuyu kembali mengalihkan pandangannya pada kereta di depannya. 

Omong-omong, Mafuyu juga tinggal bersama ayahnya setelah orang tuanya berpisah. Jadi itulah alasan ia bertanya kepadaku?

"Mamaku ...," lanjut Mafuyu sembari melihat ke depan. Langkah kakinya tampak melambat sewaktu ia berjalan tanpa sadar, "Beliau pergi sebelum aku SD, namun kudengar kalau beliau menikah lagi dengan orang Jerman, dan mereka tinggal di Bonn. Bahkan tahun lalu aku sempat mencari tahu alamatnya ketika melintasi Bonn selama tur Eropa-ku."

Apa mungkin nantinya ia tersesat? Aku memikirkan itu dalam hati.

"Meski begitu, mama menolak menemuiku. Suami beliau lalu menghampiri pintu, dan dengan bahasa Inggris yang sangat sopan, beliau memintaku untuk pulang."

Mafuyu berhenti berjalan. Ia tempelkan jari kanannya yang tidak bergerak itu pada pagar ram sambil menyandarkan dahinya. Tidak bisa kulihat wajahnya, karena itu aku tidak tahu apa bahunya gemetar karena ia menangis.

"Suami beliau bilang kalau aku mirip seperti mama, jadi mama mungkin menolak bertemu karena takut akan terpengaruh oleh itu. Apalagi mama juga seorang pianis ...." 

Mafuyu akhirnya menoleh, meski tidak menampakkan ekspresi apa pun di wajahnya.

"Sehari setelahnya, kami berangkat ke London, tepat sebelum pertunjukan, jari-jariku mendadak tidak bisa digerakkan. Tapi aku ... tidak seharusnya memedulikan itu—" 

Sambil terus melanjutkan perkataannya, ia genggam erat lengan kanannya dengan jari kirinya.

"Bahkan jika bagian kanan tubuhku tidak dapat digerakkan, lalu bagian kiri, dan akhirnya, jantung berhenti berdetak dan aku mati, selama aku dimumikan dan bersama orang itu, beliau pasti akan menempatkanku di depan piano dan merasa terhibur." 

"... jangan mengatakan hal kejam seperti itu."

Mafuyu mengabaikan kata-kataku dan melanjutkan langkahnya.

Beberapa pertanyaan yang tidak berani kutanyakan tiba-tiba terlintas. Karena Mafuyu mungkin akan menghilang, jadi kuputuskan untuk mencari jawaban atas semua pertanyaanku itu. 

"Apa kamu membenci ayahmu?"

Mafuyu tidak segera menjawab. Ia dua langkah di depanku, namun ia melambat sambil menyeret kakinya.

"Aku tidak pernah merasa begitu."

Suara Mafuyu itu perlahan mendarat pada aspal, dan berguling tepat di sebelah kakiku.

"Ini bukan soal aku benci atau tidak .... Rasanya seperti aku terjebak di rawa tanpa dasar, tidak berdaya dan sendirian."

"Apa-apaan?! Bilang saja terus terang jika kamu memang benci!"

Mafuyu terhenyak, lalu menoleh ke belakang setelah menghentikan langkahnya. Aku juga tersentak karena suaraku sendiri, tapi aku tidak bisa begitu saja menutup mulut dan berpura-pura tidak terjadi apa-apa.

"... kenapa kamu berbicara seolah mengerti segalanya?"

"Karena itu sudah jelas! Kamu tidak suka ayahmu! Kenapa kamu menjadikannya serumit itu? Sejak orang tuaku bercerai, sudah berulang kali kukatakan pada Tetsurou, Dasar makhluk bodoh tidak berperasaan, aku sangat membencimu! Aku tidak hanya kehilangan ibuku, tapi sosok seorang ayah! Syukurlah tidak seluruh anggota keluargaku yang ikut mati."

Mafuyu menatapku dengan wajah memerah. Rambutnya juga ikut gemetaran. Ia lalu buru-buru berpaling dan lanjut berjalan ke depan. 

Apa aku benar-benar pantas mengatakan hal semacam tadi? Aku hanya bisa memikirkan itu setelah Mafuyu mengalihkan tatapannya dari wajahku. Setelah menyesuaikan kembali tali kotak gitar yang hampir terlepas dari bahuku ini, aku segera kembali menyusul Mafuyu.



Setelah menempuh jarak sekitar empat stasiun kereta, Mafuyu mulai mengeluhkan kakinya yang sakit. Karena itu kami berjalan ke sebuah taman kecil di pinggir rel dan beristirahat di atas bangku taman. Taman itu hanya terdiri dari sebuah kotak pasir kecil, dua pasang jungkat-jungkit dan sebuah bangku. Betapa sepinya tempat ini.

"Apa kaki kananmu sakit?"

"Bukan itu saja, tapi dua-duanya. Ini tidak ada hubungannya dengan yang itu."

Sepertinya rasa sakit tersebut hanya karena kami berjalan terlalu lama. Dan aku cukup bersyukur karena ada kesempatan beristirahat, soalnya tali dari kotak gitar ini membuat bahuku sakit.

Kutengadahkan kepala melihat langit suram tanpa bintang, dan tiba-tiba, sebuah pertanyaan serius menghantamku — sedang apa aku tengah malam di tempat seperti ini? Harus apa aku setelah ini? Kugelengkan kepala, menatap ke kaki, lalu memutuskan untuk sementara melupakan pertanyaan tersebut.

"Kakiku selalu mudah lelah, dan sering sekali kram."

Kalau begitu kenapa tadi mau mencari mayat di sepanjang rel?! 

"... ah, jadi itu alasanmu tidak menginjak pedal saat bermain piano?" 

"Itu tidak ada hubungannya dengan ini. Lagi pula, tidak perlu menginjak pedal saat memainkan karya Bach." 

"Bukan itu maksudku. Kurasa kamu bisa memainkan nada panjang dengan baik walau tanpa menggunakan pedal."

"Apa sebegitu seringnya kamu mendengarkan CD-ku?"

"Karena selalu ada yang mengirim CD-CD itu pada Tetsurou, mungkin aku sudah mendengarkan setiap album yang telah kamu rilis."

"Menjijikkan."

Yang memainkannya juga dirinya, kenapa malah menjijikkan?! 

"Akan sangat bagus jika semua komposisi yang kumainkan itu dibakar."

Kalau tidak mau, ya jangan direkam.

"Jadi kamu tidak suka piano, tapi dipaksa memainkannya?"

Mafuyu mengangguk.

"Aku tidak pernah menganggap bermain piano sebagai sesuatu yang menyenangkan."

"Tapi kamu terdengar seperti bersenang-senang saat memainkan <Butterfly> gubahan Chopin?"

"Kritikus memang selalu suka menerka perasaan musisi — kadang aku bertanya-tanya apa mereka bodoh atau apa. Aku masih bisa memainkan lagu ceria meski tidak dalam keadaan senang!"

Yah ..., itu tidaklah salah.

Musik hanyalah rangkaian dari nada-nada. Hak bagi pendengarnya untuk menafsirkan perasaan yang ada di dalamnya.

"Jadi kamu membenci piano dan tidak ingin memainkannya lagi?"

"Aku juga tidak bisa lagi bermain piano. Aku hanya bisa menggerakkan ibu jari dan telunjukku saja."

Mafuyu mengangkat tangan kanannya dan mencoba menggerakkan jari-jarinya. Jari tengah, jari manis dan jari kelingkingnya menekuk dengan lemah. 

"Jika kamu menjalani pemeriksaan dan melanjutkan operasi ...," apa mungkin akan ada kesempatan untuk pulih?

"Karena itu aku kabur."

Mafuyu menempelkan tangan kanan di dada lalu menutupinya dengan tangan kiri, seolah mencoba melindunginya.

"Orang itu bilang bahwa impiannya adalah memainkan <Konserto Piano No. 2> gubahan Beethoven. Aku selalu bertanya-tanya, kenapa No 2? Padahal itu bukan komposisi terkenal."

Beethoven telah menulis lima konserto piano. Menurut hasil penelitian, <Konserto Piano No. 2 pada B? mayor> sebenarnya dirilis lebih awal dari No. 1, dan itu adalah komposisi yang paling jarang dimainkan di antara konserto piano lainnya.

"Akhirnya kusadari, setelah mencari-cari rekaman di masa lalu, beliau telah memainkan konserto piano lainnya bersama mama, sekaligus juga merekamnya."

Kamu—

Aku langsung membungkam mulutku.

Ingin kukatakan, Kamu berpikir terlalu jauh, tapi aku sungguh tidak mampu mengatakannya.

"Lagi pula ..., kurasa tanganku tidak bisa disembuhkan. Begitulah."

Dengan tangan kirinya, ia cengkeram erat pergelangan tangan kanannya.

"Oleh orang itu, aku dididik hanya untuk bermain piano. Begitu aku tidak lagi bermain piano, jelas aku tidak akan sanggup bangkit kembali. Itu wajar."

"Lalu kenapa kamu bermain gitar?"

Bahu Mafuyu tersentak sembari memandang ke bawah.

"Dan kamu hanya memainkan komposisi yang pernah kamu mainkan pada piano sebelumnya. Apa kamu sungguh membenci piano?"

Mafuyu menggigit bawah bibirnya selagi mencari jawaban. Ia kemudian memejamkan mata dan mendesah.

"Awalnya ..., dulu ketika aku pertama kali bermain <Tarian Hongaria> bersama mama, dengan empat tangan, aku merasa benar-benar bahagia. Saat itu aku masih berumur empat tahun, tapi kami akan selalu meletakkan ini di atas piano dan merekam komposisi yang kami mainkan."

Jari Mafuyu meraba permukaan recorder yang tergantung pada ranselnya itu.

Ternyata itu benar-benar peninggalan dari ibunya. Dan sebelumnya ia juga berkata kalau itu adalah hal yang penting baginya.

"Tapi itu baru permulaan, kemudian aku belajar bagaimana memainkan semuanya, namun mama sudah tidak ada lagi, dan aku ditinggalkan seorang diri. Yang tersisa di dekatku hanyalah piano. Setelah menyelesaikan satu komposisi, partitur lainnya akan muncul di hadapanku. Aku sempat berharap jika memainkan gitar, aku bisa mendapatkan kembali perasaan yang serupa, dan pada awalnya aku cukup terbawa suasana, tapi ...." 



Ia angkat kedua kakinya ke atas bangku, lalu merangkul lututnya dan menempelkan keningnya itu di atasnya. Terdengar jelas perasaan tertekan dalam suaranya.

"... aku menjadi lebih terengah-engah saat memainkannya, namun terasa menyakitkan jika tidak kulakukan. Aku sungguh tidak tahu harus berbuat apa. Kepalaku dipenuhi kenangan tentang orang itu yang menginginkanku memainkan ini dan itu, jadi apa yang kurasakan sewaktu bermain piano sebelum itu semua terjadi? Aku tidak bisa mengingatnya, dan mungkin, entah di mana aku sudah melupakannya. Kenangan-kenangan itu tidak akan pernah kembali lagi padaku, karena aku sudah lama tidak memilikinya, sudah sangat lama. Aku tidak bisa ... mendapatkannya lagi."

Tanpa sadar mataku terpejam. Yang bisa kudengar hanyalah suara Mafuyu yang menderita.

Apa ia ... sungguh tidak bisa mendapatkannya lagi? Jika demikian, maka tidak ada yang bisa kulakukan untuk Mafuyu?

"... itu karena kamu terlalu lama memendamnya sendiri. Kamu tidak akan bisa melangkah di jalan musik jika terus seperti itu."

Tepat pada saat itu, aku teringat sebuah jawaban dari sebuah novel misteri terkenal. Jika seseorang pingsan di hutan yang sepi, apakah akan terdengar suara? Jawabannya adalah tidak. Jika tidak sampai ke telinga seseorang, sebuah bunyi tidak akan dianggap sebagai suara, melainkan getaran udara.

"Aku juga telah belajar dari Chiaki dan senpai. Jadi ...." 

Mendadak aku lupa yang harus kukatakan. Apa yang sebenarnya mau kubicarakan? Akulah yang sebenarnya menyerah! Aku tahu itu hanya akan menyakiti Mafuyu, tapi aku justru membuangnya dan berencana mengabaikan semuanya. Iya, 'kan? 

"Apa kamu ... benar-benar memutuskan untuk bergabung dengan band senpai itu?"

"Eh? Ah ..., hmm." 

Benar. Omong kosong tentang merebut kembali kepemilikan ruang latihan dan menjaga martabat music rock itu sudah tidak penting lagi. Yang kuinginkan adalah membentuk sebuah band bersama Mafuyu. Kalau saja aku bisa seperti senpai dan dengan jujur memberitahunya sedari awal .... 

"Aku ingin memintamu bergabung dengan Klub Riset Musik Rakyat jika aku menang. Kita berempat bisa berlatih bersama sebagai band di ruang kelas itu."

"Membentuk sebuah band .... Aku tidak pernah memikirkan hal semacam itu." 

Ekspresi mata Mafuyu seakan sedang mencoba melepaskan burung-burung yang hendak bermigrasi pada penghujung musim gugur. Aku terpaksa mengalihkan pandanganku.

"Maaf, aku terlalu terbawa emosi saat memaksamu ikut dalam pertandingan itu. Rasanya seperti ... aku sudah memberimu kenangan yang tidak mengenakkan."

"Tidak!" Mafuyu tiba-tiba berteriak, "Tidak begitu. Saat itu ..., aku sebenarnya bisa sedikit mengingat hari-hari ketika memainkian piano dengan ceria. Terlebih, <Variasi Heroik> adalah salah satu komposisi favoritku. Suara basmu terdengar hebat — seolah menyatu dengan suara gitarku hingga menjadi suara dari satu alat musik. Itu pertama kalinya aku merasakaan perasaan semacam itu. Itu seperti sihir."

Aku hanya bisa menundukkan kepala. Jika aku membeli bas yang sama dan memodifikasinya dengan cara yang sama, apa bas itu bisa menghasilkan suara yang sama seperti saat itu? Mustahil. Satu milimeter perbedaan dan sedikit perubahan voltase akan menghasilkan perbedaan suara yang signifikan. Paduan semacam itu bisa dianggap berada dalam ranah keajaiban.

"Itu benar-benar seperti sihir. Mungkin ... seperti itu rasanya bermain dalam sebuah band?"

"Mmm, aku sempat memikirkannya sewaktu kita memainkan <Variasi Heroik>. Rasanya tangan kananku menjadi normal kembali, dan itu seolah aku kembali ke masa ketika bermain Piano bersama mama. Jika itu keajaiban sebuah band ..., maka aku juga ingin menjadi bagian dari itu." 

"Begitukah ...?" Kuangkat kepalaku dan menatapnya.

Air mata di sudut matanya itu memantulkan sinar lampu jalanan.

"Tapi aku tidak bisa melakukannya. Hal semacam membentuk band dengan orang lain itu ...."

"Tidak bisa? Kenapa?!"

Mafuyu menggeleng-gelengkan kepalanya, hampir seakan ia menggunakan keningnya itu untuk mengampelas lututnya.

"Aku tidak bisa. Soalnya aku pasti akan merusak segalanya."

"Kamu bicara apa—"

"Bukankah kamu sudah membuangnya? Gara-gara aku yang merusaknya ...." 

Gumam Mafuyu. Aku hanya bisa menelan kembali kata-kata yang akan keluar dari mulutku. Kucengkeram lenganku keras-keras.

"Aku sendiri tidak begitu mengerti ... alasan aku melakukannya saat itu."

Ketika itu, Mafuyu mengambil basku dan membantingnya ke lantai dengan kuat.

"Itu karena basmu hingga membuatku mengenang banyak hal. Padahal aku sudah menghapus semua kenangan itu! Karena ... kenangan itu ... sangat menyakitkan ...."

Mafuyu sekuat tenaga menahan diri untuk tidak mengucapkan kata-kata itu. Ia cengkeram erat pergelangan kanannya itu dengan tangan kirinya. Apa aku harus menutup telingaku?

Pada akhirnya, dia berdesah pelan.

"... maaf."

Mafuyu tidak perlu meminta maaf. Aku lalu menggelengkan kepala.

"Akulah yang merusak segalanya. Benar ..., aku memang tidak bisa berjalan dengan kekuatanku sendiri."

Ia rangkul lututnya dan membenamkan wajahnya di atasnya.

"Dan tidak ada gunanya aku mengatakan semua ini. Basmu tidak akan kembali, dan aku sudah ...."

Suara Mafuyu tertahan.

Aku sungguh tidak ingin mendengarnya berkata seperti itu. Terlebih, aku mengikutinya bukan untuk mendengar kata-kata itu keluar dari dirinya.

Aku harus apa—

Hanya satu kalimat yang keluar dari mulutku—

"Itu tidak akan begitu saja menghilang. Ayo kita sama-sama mendapatkannya lagi."

Mafuyu perlahan mengangkat kepalanya agar bisa melihatku. Matanya tampak sedikit bengkak.

"... hah?"

"Mendapatkan lagi basku. Bas yang sudah kubuang. Aku bisa memainkannya lagi setelah itu kuperbaiki."

"Ta-tapi ...." 

Mafuyu terisak.

"Kapan kamu membuangnya? Seharusnya itu sudah diangkut, 'kan?"

"Kemarin lusa. Kemungkinan diangkut oleh truk sampah."

"Apa kamu tahu diangkut ke mana basmu itu?"

"Bagaimana aku bisa tahu? Itu sebabnya kita harus mencarinya!"

Aku lalu berdiri, tapi Mafuyu masih merangkul lututnya, menatapku dengan tatapan tidak berdaya.

Kami pasti akan menemukannya.


Lanjut
Read more ...»

Oreshura Jilid 1 Bab 9

On Selasa, 03 Oktober 2017 0 komentar

=========================================================
Sangaaarr... Walau rada aneh sih... Soalnya pakai nuansa chuunibyou segala... Tapi tetap saja gak mengurangi serunya adegan heroik yang dipaksakan ini...
Catatan Terjemahan...: Yukichi-san merujuk pada uang kertas 10.000 yen... Men adalah gerakan ayunan pedang yang ditujukan ke arah kepala di dalam kendo...
Hasil terjemahan seri ini di-posting di masing-masing fantranslation... Rilisan seri ini bisa terlebih dahulu dinikmati sehari lebih awal di Zhi-End Translation...
Selamat menikmati....
=========================================================

Kupikir saat itu aku sudah bergantung pada Chiwa.

Sebelumnya, masa depan itu begitu suram, tanpa harapan, dan membuat kecil hati.

Itu sebabnya, paling tidak, aku menginginkan sebuah tujuan, sebuah harapan.

Meski berpura-pura ingin membantu Chiwa, sebenarnya orang yang diselamatkan itu adalah aku sendiri.

Akan tetapi, Chiwa memercayaiku.

Itu sebabnya aku pun harus percaya.

Percaya pada diriku yang dipercayai oleh Chiwa.
__________________________________________________________


Bab 9 - Perkelahian Antarlelaki Adalah Sebuah Kekacauan


Ketika bangun tidur, setelah melihat jam, ternyata sekarang sudah jam setengah sepuluh.

"Sial, aku kesiangan ...."

Pada hari Minggu, jika aku tidak datang ke perpustakaan lebih awal, kursi di ruang belajar pasti sudah penuh.

Aku buru-buru berpakaian, memeriksa kompor, mengunci pintu lalu berangkat tanpa sempat sarapan. Pergi ke perpustakaan dengan berjalan kaki butuh waktu sekitar dua belas sampai tiga belas menit. Jika aku bergegas dan sampai dalam waktu sepuluh menit, seharusnya masih ada kursi yang tersisa.

Akan tetapi, kakiku dengan sendirinya membawaku ke arah yang berbeda.

Sekarang pukul sepuluh kurang sepuluh menit.

Kurang sepuluh menit lagi dari waktu janji kencan Chiwa.

Jarak menuju tempat janjian yang berada di depan sebuah stasiun, juga berjarak sepuluh menit jauhnya.

"Hei, hei ...."

Menyedihkan sekali aku ini.

Apa aku akan memata-matainya?

Meski dia temanku sedari kecil, aku tetap tidak boleh melakukannya, 'kan? Aku memang lelaki yang menjijikkan.

Tapi, aku penasaran.

Biar bagaimanapun aku tetap ingin tahu!

"Selamat pagi."

"Wuaaahh?!"

Aku melompat ketika mendengar suara yang tiba-tiba memanggilku dari belakang.

Saat aku bertanya-tanya siapa itu ...,

"Ma-Masuzu, toh?"

"Fufu, apa kamu tidak merasa kalau itu berlebihan, Eita-kun?"

Meski ini hari Minggu, tapi Masuzu memakai seragam sekolahnya (begitu pun aku) sambil tersenyum.

"Berjalan-jalan di sekitar sini, berarti kemungkinan tujuan kita sama, 'kan?"

"Itu artinya, kamu di sini juga untuk memata-matai kencan Chiwa?"

"Kata mata-mata itu punya konotasi negatif. Sebagai ketua Klub Jien-Otsu, aku harus mengawasi sosok berani dari anggota lain."

"Bukankah sama saja?!"

"Oh, jadi Eita-kun di sini bukan untuk itu?"

"...."

Sial.

Sedikit, sedikit lagi.

"Begitu kita yakin kalau mereka sudah bertemu, maka kita pergi."

"Baiklah, aku mengerti."

Sambil terkekeh, dia menggaet lengannya ke lenganku.

"Jangan dekat-dekat begitu! Jauh sana!"

"Oh, kenapa?"

"Mumpung hari ini kita tidak bersama Chiwa dan ini bukan waktu sepulang sekolah, kita tidak perlu terus berpura-pura, 'kan?"

"Tidak. Di kota pinggiran seperti ini, kita tidak pernah tahu kapan akan berpapasan dengan murid SMA Hane. Kita tidak boleh sesantai itu."

Sambil tersenyum, Masuzu mengatakannya dengan sedikit sarkasme, bersamaan dengan itu, bisa kurasakan betapa lembut tangannya yang semakin mendesakku ini.

Aku penasaran, kenapa tubuhnya bisa selembut ini

Tapi sekarang bukan waktunya untuk memikirkan itu.

Kami berpapasan dengan beberapa orang yang menatap ke arah kami, hingga akhirnya sampai stasiun.

Plaza di depan tempat penjualan tiket, terdapat sebuah tempat untuk menunggu.

"Oooh ...."

Chiwa ada di sana.

Sakagami-senpai belum datang.

Dengan ponsel yang terbuka, dia berdiri di sana, tanpa bisa tenang. Bahunya menegang, yang bahkan dari kejauhan pun, bisa kurasakan kegugupannya.

Tapi yang lebih mengejutkan lagi adalah,

"Chiwa ..., Chiwa berpakaian modis?!"

Blus putih berlengan panjang dan celana balon pendek berpola bunga.

Terdapat renda di kerah blusnya yang memberi kesan kalau dia memakai pakaian berlapis, membuatnya terlihat begitu kecewekan. Ukuran dari celana pendeknya juga memberi kesan menantang, memamerkan dan menegaskan kerampingan kakinya.

Lumayan. Cocok dengannya ....

"Bagaimana? Akulah yang membantu memilihkannya."

"Kamu? Ternyata kamu juga bisa melakukan hal baik!"

"Yah, itu dulu pakaianku sewaktu masih kelas enam SD. Pas sekali, 'kan?"

"...."

Saat percakapan itu terus berlanjut, waktu menunjukan pukul sepuluh.

Sakagami-senpai masih belum datang.

"Apa yang ada di pikirannya sampai terlambat di kencan pertama?"

"... benar."

"Di saat seperti ini, bukankah seharusnya lelaki yang datang duluan? Boleh jadi dia punya wajah tampan, tapi paling tidak dia harus tahu dasarnya. Apa itu karena Chiwa, makanya dia menyepelekannya?"

Waktu terus berlalu dan kini sudah pukul sepuluh lewat dua puluh menit.

Belum datang juga.

"Hei, hei, ada apa dengan anak itu?"

Chiwa terlihat cemas dan sesekali sibuk mengutak-utik ponselnya. Dia mungkin sedang memeriksa pesan atau mengirim sesuatu pada senpai.

"Jangan-jangan lelaki itu membatalkan kencannya? Atau mungkin ada kecelakaan?"

Masuzu tidak menjawab dan tetap tidak berekspresi.

Situasi tidak berubah seiring waktu berlalu, hingga akhirnya kini sudah pukul sebelas.

Jumlah orang yang berbelanja perlahan terus meningkat, dan plaza di depan stasiun pun sudah dipenuhi banyak orang. Baik itu keluarga maupun pasangan. Orang-orang yang juga menunggu di tempat itu satu-persatu telah pergi dijemput pasangannya.

Hanya Chiwa seorang yang tersisa.

Berdiri di sana tanpa ada yang menemani.

"Cukup, Chiwa! Pulanglah! Abaikan saja anak itu!"

Lalu— tepat di saat itu ....

Sebuah tawa bodoh yang keras terdengar di plaza.

Rupanya itu sekumpulan murid SMA yang terdiri dari empat lelaki dan dua gadis, berpakaian ala antisosial.

"Yak, aku menang! Satu lembar Yukichi-san di tangan!"

Seorang lelaki besar berwajah kasar dan berkulit gelap tampak sedang bersemangat.

Dan di sebelahnya, dengan wajah yang tampak masam — teman kencan Chiwa — yakni Sakagami-senpai.

"Cih, masih menunggu, ya? Gadis tidak tahu diri."

"Bukankah itu bagus? Wajahnya juga manis, 'kan? Kurasa dia cocok pacaran denganmu."

"Lihat pakaiannya! Apa dia berusaha agar tampak lebih tinggi? Meski terlihat sedikit seperti vas bunga, sih."

Ucap dua gadis yang rambutnya diwarnai dengan cukup norak.

Apa-apaan mereka itu?

Seharusnya hari ini adalah kencan mereka berdua, tapi kenapa teman-temannya juga ikut?

Senpai ini sedang apa?

Ayo cepat minta maaf pada Chiwa!

"Tetap saja membosankan. Pulang sana, Chihuahua-chan!"

Sambil menghadap Chiwa yang bengong, senpai mengibaskan tangan, mengusir Chiwa.

"Gara-gara kamu aku jadi syok. Memangnya kamu pikir bisa berpacaran denganku?"

"Itu mustahil, 'kan? Seharusnya kamu tahu diri, Chihuahua yang Malang."

Keenam orang itu pun tertawa.

"Tapi tubuhmu benar-benar mungil, ya? Apa kamu yakin tidak memalsukan umur? Mungkin sebenarnya kamu ini masih SD, ya?"

"Aku punya kenalan dari SMP yang seorang lolicon. Apa perlu kukenalkan padamu? Kurasa dia akan menganggap dirimu manis. Yah, dalam pandangan seorang maniak."

"Kalian ini, hentikan, kasihan jadinya, tahu? Chihuahua-san sampai gemetaran. Membuatnya menangis itu kejam, tahu? Gyahaha!"

Padahal Chiwa tidak gemetaran.

Tidak pula menangis.

Dia hanya tersenyum kebingungan.

Melihat ekspresi itu, aku merasakan sebuah deja vu—

Aku tidak akan bisa berlatih kendo lagi.

"... hentikan."

Masuzu menahan lenganku saat aku hendak pergi.

"Lepaskan aku, Masuzu!"

"Hentikan! Kamu — bukan — orang — yang — seperti — itu, — 'kan?"

"Terserah, pokoknya lepaskan!"

"Semuanya akan baik-baik saja, 'kan?"

"Hah?"

"Kita tidak peduli dengan berbagai macam lika-liku cinta, 'kan?"

Ucap Masuzu tanpa mengubah ekspresinya.

Hanya saja, mata birunya berkilau menyeramkan.

"Anak bernama Sakagami itu mungkin berpenampilan layaknya seorang olahragawan keren di sekolah ..., tapi inilah sifat aslinya. Dia berpacaran dengan dua atau bahkan tiga gadis sekaligus, dan ketika sudah bosan dengan mereka, dia akan mencampakkannya dan kembali mengulangi hal tersebut, lagi dan lagi. Tabiatnya itu cukup terkenal di antara mantan-mantannya sewaktu SMP. Biarpun begitu, aku pun tidak menyangka kalau ternyata dia sampah yang sebusuk ini!"

"Berarti, dari awal kamu sudah tahu soal ini ...."

Kalau dipikir-pikir, sewaktu Chiwa menyebut nama Sakagami dulu, Masuzu tampak tidak begitu antusias.

Jadi itu alasannya.

"Kita bisa menggunakan kesempatan ini untuk membuat Harusaki-san belajar tentang kenyataan. Cinta adalah sebuah kesia-siaan. Kita bisa menggunakan hal ini untuk membersihkan otaknya. Penganut cinta suci seperti dirinya harus menyadari betapa tidak berguna dan konyolnya cinta itu. Jika itu berhasil, dia mungkin akan menganut doktrin antiromansa seperti kita."

"Jangan main-main!"

Kucengkeram kerah Masuzu.

Walaupun begitu, ekspresi Masuzu tetap tidak berubah.

Dia ..., bagaimana bisa dia berekspresi sedingin itu?

"Jadi, segala kegiatan klub itu hanya pura-pura, hanya main-main?"

"Bukankah sudah kubilang sebelumnya? Seperti itulah Jien-Otsu. Semuanya hanya <<fake>>. Tak ada satu pun yang sungguhan."

"Tidak mungkin ...."

Bohong.

Itu pasti bohong!

"Tapi bukankah kamu bahagia bersama kami? Entah itu sewaktu kita bertiga memakan camilan bareng di ruang klub, atau sewaktu kita berakting dengan gugupnya — bukankah kamu benar-benar tersinggung saat sandiwara kehidupan terdahulu itu hanya dianggap sketsa komedi? Atau sewaktu kamu mendengar diterimanya pernyataan cinta Chiwa itu, bukankah kamu juga ikut senang?"

Tatap mata Masuzu sama sekali tidak berubah, dan aku tidak tahu seperti apa yang dia rasakan.

"Hei! Bicara!"

"... tidak usah tanya kenapa atau bagaimana, bukankah sebelumnya kamu sudah mengatakannya sendiri?"

"Maksudmu?"

"Aku adalah iblis."

Ucapnya, lalu disertai tawa.

Tampak sebuah seringai — sebuah senyum getir.

Senyum yang sama persis dengan senyum Chiwa tadi.

Ketika dihadapkan dengan romansa, muncul pahitnya perasaan pupus harapan.

Ketika dihadapkan dengan cinta, muncul dalamnya perasaan putus asa.

Apa yang sebenarnya telah terjadi pada gadis ini di masa lalu?

Jujur saja, itu mungkin sesuatu yang tidak bisa dibandingkan dengan diriku.

Terasa begitu gelap, layaknya sebuah gua yang menganga, jauh dan begitu dalam ....



"Hei, Masuzu."

"Ya?"

"Meski itu <<fake>>, meski itu hanya sekadar nama, secara teknis aku ini masih pacarmu."

"Kenapa tiba-tiba membahas soal ini?"

"Apa aku bukan pacarmu?"

"Kamu ini bicara apa?"

"Kalau iya, ada satu hal yang harus kuminta padamu. Meski untuk saat ini saja, tolong dengarkan bagian dirimu yang memercayai cinta yang sudah kamu kubur itu."

Kuletakkan kedua tanganku di atas bahu Masuzu, menatap dalam matanya lalu menarik napas,

"Jangan buat dirimu menyimpang, Natsukawa Masuzu!"

Kali ini, sebuah retakan muncul di senyum sempurna Masuzu.

Aku selalu merasa kalau sejak awal dia sudah menutupi dirinya dengan topeng.

"Ka-kamu bicara apa? Kamu dan aku itu satu jenis. Iya, 'kan?"

"Ya. Itu tidak perlu dipertanyakan. Kita sebuah persekongkolan, dengan sistem penilaian yang menyimpang, dengan rasa putus asa yang tidak bisa dipahami siapa pun."

"Jangan berlagak merangkai kata! Kenapa kamu mengatakan itu—"

"Karena Chiwa sosok yang luar biasa!"

Teriakku marah.

"Dia begitu blak-blakan, jujur, dan gegabah .... Bahkan ketika impiannya tentang kendo harus pupus, nada bicaranya yang ceria itu sama sekali tidak berubah. Lebih tepatnya, dia terus melanjutkan hidup dengan kekuatan bodohnya. Itu jelas amat sangat berlawanan dengan kita!"

"... benar."

Dengan suara lemah, Masuzu menundukan kepalanya.

"Anak itu ... begitu bersinar."

Bagaikan sebuah tirai, rambut keperakan Masuzu terjuntai turun ke bahunya dan menyembunyikan ekspresi wajahnya.

Kugoyang-goyangkan lengan Masuzu.

"Aku akan mendatangi Chiwa!"

Aku berjalan menjauh.

... namun.

Jari-jari Masuzu mengenggam ujung bajuku, tubuhnya gemetar.

Keadaannya kini sungguh berbeda dari sebelumnya, kekuatannya kini begitu rapuh.

"... eh?"

"Jangan pergi."

Kepala Masuzu tertunduk, dan dia terlihat seperti anak kecil yang merengek, Tidak, tidak, tidak, tidak, sambil menggelengkan kepalanya.

Persis seperti seorang anak kecil.

Aku juga pernah seperti itu, jadi aku bisa memakluminya.

Dia mirip seperti seseorang yang ditelantarkan tanpa pesan, tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Seorang anak yang hanya bisa berdiri terdiam, dan sendirian.

"Masuzu ...."

Tepat di saat itu, aku yakin akan satu hal.

Seseorang yang butuh bantuan ... juga ada di sini.

"Bodoh ...."

Kusentil dahi Masuzu.

Dia mengangkat kepalanya dengan ekspresi kaget, dan dibarengi senyuman, aku lanjut berkata,

"Jangan menunduk. Perhatikan baik-baik!"

"... perhatikan apa?"

"Memangnya itu harus kujelaskan?"

*Puk~* aku menepuk pundak Masuzu,

"Aksi heroik pacarmu."

Aku lalu berlari menuju plaza.

"Hiiiyyaaaaaahhhhhhhh!"

Ah!

Ah ..., ini terasa melegakan!

"Hiyaaaaahhhhh — Chiwa — aaaaaaahhhhh — aku datang!"

Rasanya lepas sekali meneriakkan kalimat seperti seorang tokoh dalam manga.

Meski beberapa orang menyebut ini chuunibyo, tapi aku tidak bisa berhenti melakukannya!

"Hei, lelaki keren yang di sana, jangan ganggu Chiwa! Hiyaaahhhhhhhhh!"

Kubiarkan diriku berlari bebas dan berniat untuk menyerang punggung Sakagami-senpai dengan sebuah tendangan terbang— sayangnya aku gagal.

Ketika aku hampir mengenainya, dia tiba-tiba menghindar.

Ah, jika aku terus menyerang seberisik ini, semua orang pasti akan memperhatikan kami.

"Siapa kamu?"

"Aku teman sedari kecil Chihuahua!"

Chiwa tercengang dan bengong, sepenuhnya membeku.

"Hmm ..., baiklah, Teman Sedari Kecil, ada urusan apa?"

"Eh? Apa anak ini temannya yang ikut salah paham atau memang tidak punya otak?"

Keempat orang yang mengelilingiku menyeringai dan menunjukan niat untuk memulai perkelahian. Orang yang berkulit gelap itu terlihat cukup kuat, dia juga memakai bermacam cincin di kedua tangannya. Jika dia memukulku, aku yakin rasanya pasti sakit sekali.

"Wah, wah ... pukul dia, pukul dia!"

"Hajar dia! Hajar dia sampai dia menangis!"

Ketika kedua gadis yang bersama mereka itu bersorak, tatap mata keempat lelaki tersebut langsung berubah.

Huh! Kelompok ini memang sekumpulan pemuja Agama Cinta yang tidak berotak.

Tidak ada yang perlu kutakutkan pada mereka.

Mereka ini bukanlah apa-apa.

Karena aku ...,

"Kembali!"

"Hah?"

"Aku mendapatkan kembali ingatan kehidupan terdahuluku!"

Area plaza seketika hening.

"Nama asliku adalah <<Burning Fighting Fighter>>. Meski aku lebih kuat dari iblis kelas S dengan level ZZZ <<Triple Zeta>>, aku tidak punya minat untuk menunjukan kekuatanku! Alhasil, aku berada di kelas D. Tapi jika aku mengerahkan seluruh kekuatanku, aku bisa melenyapkan seluruh galaksi seorang diri!"

"Hah?"

Keenam anggota kawanan Sakagami serempak memiringkan kepalanya, kebingungan.

"Selagi para <<Wyverns>> menggunakan kamuflase optimal <<Illumination>> untuk menyembunyikan jejak aksi mereka, mereka tidak bisa membodohi simbol di tanganku! Karena jika mereka melakukannya, rasa sakit khayalan itu pasti akan jadi kenyataan ...!"

"Oi, kamu bicara apa—"

"Hiyaahhh!!"

Kali ini, kugunakan Jurus Rahasia Klan Naga Suci <<Dragon>>, Kuda-Kuda Elang Liar!

Jangan tanya kenapa naga bisa menggunakan kuda-kuda elang!

"Pa! Papapah!"

Lalu aku menggunakan Api Kelam Sang Takdir <<Fate's Dark Black Flame>> pada Sakagami.

Tentu aku tidak melupakan efek suaranya.

"A-anak ini menjijikkan!"

"Sial?! Matanya terlihat tidak normal!"

Teman-teman Sakagami terlihat takut.

Segerombolan penonton mengelilingi kami dan tampak was-was.

"Hei, kita pergi saja, ya?"

"Abaikan saja anak ini. Tidak usah dipedulikan!"

Tampak jika kelompok Sakagami buru-buru menjauh.

... tidak akan kubiarkan mereka pergi!

"Bodoh! Kelemahanmu terlihat! Kamu benar-benar lengah!"

Kutangkap punggung Sakagami dan kugunakan berat tubuhku untuk mendorongnya jatuh.

Sambil mengangkangi perutnya, kupukuli Sakagami! Kuhantam! Kuhajar dirinya!

"Sedang apa kamu?"

Si lelaki berkulit gelap menggunakan seluruh kekuatannya untuk menendang perutku. Untunglah aku tidak sarapan .... Cairan yang naik ke tenggorokanku terasa begitu masam.

Tapi aku tidak melepaskan Sakagami.

Aku tidak akan melepaskannya.

"Minta maaf!"

"Hah?"

"Minta maaflah pada Chiwa!"

"Menjengkelkan!"

"Kamu sudah menipunya, dan berkata macam-macam padanya! Ayo minta maaf!"



"Kamu memang menjengkelkan!"

Sebuah pukulan mendarat tepat di wajahku.

Hidungku menyemburkan darah dan membuat bercak merah pada bajuku.

"Ti-tidak akan kulepaskan ...!"

Ketika Sakagami mencoba bangkit, tanpa bersuara kurangkul kakinya.

Ayo! Ini waktunya menunjukan kekuatan ZZZ milikku!

Akan kutinggalkan kemampuan kelas D ini dan menunjukan kekuatanku yang sesungguhnya!

"Hahaha! Ternyata dia lemah, dasar otaku menjijikkan!"

Wajahku ditendang berkali-kali hingga hampir hilang kesadaran.

Kenapa ....

Bangkitlah! Dengan kekuatan Klan Naga Suci! ZZZ! Lenyapkan seluruh galaksi!

Hanya di saat ini, aku bisa begitu percaya diri.

Aku ingin percaya.

Meski aku sendiri tidak memercayai kalimat-kalimat delusional yang tertulis di buku catatan itu ....

Namun aku ingin memercayai kekerenan yang terus Chiwa percayai sepenuhnya itu.

"Hei, kamu ini kenapa? Bukankah kamu si Burning apalah itu, hah? Mana semangatmu yang tadi?"

Sakagami menginjak jariku dengan sepatunya, lalu menekannya dengan kejam.

"Aaaaaaarrgghhhh...."

Sakit.

Benar-benar sakit.

Kuku jariku mungkin sudah terkoyak, dan rasanya ada benda keras masuk ke dalam dagingku .... Sakit! Sakit, sakit, sakit, sakit! Rasanya ingin menangis — sebenarnya aku sudah menangis — darah dan ingus bercucuran di wajahku, meninggalkan noda besar di tanah! Rasa sakit yang nyata ini merasuki diriku .... Sepertinya aku akan kalah.

Benar.

Terlepas dari apakah aku ini Kesatria Klan Naga Suci, atau karakter apa pun itu, rasa sakit tetaplah sakit!

Kenyataannya ..., aku tidak bisa menang.

Sakit.

Kenyataan itu benar-benar menyakitkan.

Tapi ....

"Uuuaaahhhhhhhh, sakit! Aaarrgghhhh!"

Teriak Sakagami seperti seorang gadis.

Sambil merangkul kakinya, lelaki itu pun berguling-guling di tanah.

"Berengsek! Di-dia benar-benar menggigitku ...."

Kutatap mata Sakagami yang sedang merintih itu kemudian berdiri.

"Dia melihatku ...."

"Hah?"

"Pacarku sedang melihatku! Wuuoooohhhh!"

Ketiga teman Sakagami lalu mengelilingiku dengan aura membunuh di wajah mereka.

Seringai mereka sebelumnya itu pun telah menghilang.

"Ini bukan lelucon, 'kan?"

"Kamu harus menghabisinya sebelum polisi datang."

"Ada kantor polisi di dekat sini. Memangnya tidak apa-apa?"

Aku berdiri sambil mengusap darah di hidungku dengan lutut gemetar. Aku tidak bisa mendengar yang mereka katakan.

"Hahaha! Kemenangan yang mudah, kalian lihat? Kantor polisi, kantor polisi .... aneh? Memangnya ada kantor polisi di dekat sini?"

Dengan kesadaran yang berangsur memudar, aku nyaris jatuh tersungkur ....

"Hentikan, sudah cukup!"

Yang berteriak barusan adalah Chiwa.

"Cukup! Jika Ei-kun terus begini, kamu bisa mati! Jangan hiraukan tiga bajingan itu! Lagi pula, aku sudah tidak peduli! Ka-kalau sesuatu terjadi pada Ei-kun, aku bisa ...."

Mata Chiwa yang berkaca-kaca tampak memerah.

Sambil terhuyung-huyung dan tertatih-tatih, dia bermaksud mendekat.

"Siapa yang kamu maksud bajingan? Dasar melon musim dingin pendek!"

Si pria berkulit gelap tampak sedang naik pitam dan terlihat siap menyerang Chiwa.

"Tung-tunggu! Kalau kamu ingin memukul, pukul aku saja! Chiwa—"

Tepat di saat itu ....

Di bawah langit cerah tidak berawan ini, sebuah tongkat tiba-tiba melayang entah dari mana.

Itu adalah tongkat aluminium panjang yang biasanya digunakan untuk menyangga pohon-pohon kecil.

Seolah membelah angin dengan liar, tongkat itu melayang menuju targetnya — menuju tangan Chiwa.

"—ini!"

Pupil mata Chiwa dipenuhi sinar membara.

Rasanya sudah sangat lama ....

Ekspresi tegang itu adalah tampang yang dia perlihatkan sebelum bertanding Kendo.

Dengan kedua tangan menggenggam tongkat, dia langsung memasang kuda-kuda tinggi.

"—meeeeeeeeenn!"

Dengan gerakan indah dan eksplosif itu, Chiwa menghantam dahi si pria berkulit gelap.

Tanpa sempat berteriak, lelaki tersebut ambruk ke belakang, tidak bergerak.

"Gadis jalang!"

Dua orang lainnya serempak berteriak sembari melayangkan tinjunya ke arah Chiwa, namun meleset. Chiwa menyelipkan diri di antara kedua lelaki itu, dengan gesit dan anggun menghindari gerakan mereka. Kerumunan di sekitar bersorak, "Wah!"

"Dora! Dorara!"

Berseru seperti saat berlatih Pertunjukan Langsung Dorarara ~ Chihuahua, Chiwa menghindar ke samping dan menghantam bagian tengah tubuh kedua pria itu dengan kecepatan cahaya! Kukira mereka akan berteriak, "Aaarghh," tapi ternyata mereka justru memegangi perut lalu jatuh berlutut.

Kemenangan seketika.

"... haha."

Mendadak kehabisan tenaga, aku pun tersungkur di lantai bebatuan.

—Chiwa benar-benar kuat!

Chiwa meletakkan shinai-nya lalu mendekati Sakagami.

"Yieieehhh!"

Sakagami menyeret tubuhnya di tanah, layaknya kecoa yang merayap ingin melarikan diri .... Citra lelaki kerennya hancur seketika.

Chiwa menghadap ke arah Sakagami ....

"Senpai, maafkan aku!"

Chiwa dengan tegas membungkuk, posisi hormatnya begitu formal dan anggun bagaikan membungkuk dalam kendo.

"Jujur saja, aku juga berbohong padamu."

"Hah?"

"aku sebenarnya sama sekali tidak menyukaimu. Lebih tepatnya, karena bertengkar dengan teman sedari kecil yang begitu bodoh, aku pun memutuskan mencari pacar. Lalu, aku memilih target secara acak. Aku minta maaf."

Usai mengatakan hal tersebut, Chiwa kembali membungkuk.

"Bisakah kamu lupakan saja semua yang terjadi hari ini?"

"Ah! Cukup! Aku tidak ingin lagi berhubungan denganmu dan tidak ingin punya hubungan apa pun denganmu!"

Sakagami berdiri, dipapah oleh kedua gadis yang bersamanya sambil mengangguk dengan cepat.

Kerumuman orang juga memanfaatkan kesempatan ini untuk membubarkan diri, dan tidak ada lagi yang menonton kami. Mereka pasti masih cukup terkejut.

Gerombolan Sakagami juga menyelinap di tengah-tengah kerumunan, merasa kesal.

"Wajahmu terlihat menyedihkan."

Chiwa mengamati wajahku yang masih tersungkur di tanah.

"Hidungmu masih mimisan. Ei-kun, apa kamu membawa tisu?"

"... aku lupa."

"Yah, mau bagaimana lagi ...."

Chiwa duduk bersimpuh di tanah lalu mengangkat kepalaku. Dia menempatkan kepalaku di atas pangkuannya. Mungkin ini yang pernah Saeko-san bilang, Pangkuan seorang teman sedari kecil memang yang terbaik, atau semacamnya.

"A-aku mau bilang sesuatu ...."

"Eh?"

"Tadi, sewaktu bagian pertarungan dengan musuh dari kehidupan terdahulu, aku hanya melakukannya karena memang sudah terbiasa. Bukan demi kamu."

"... Ei-kun memang Tsundere. Teman sedari kecil yang tsundere itu harusnya perempuan, tahu?"

"Siapa peduli? Cerewet!"

"Iya, iya. Apa terasa sakit?"

Dia menggunakan tisu untuk membersihkan darah dari hidungku.

"Di dalam hidung ini rasanya masih perih."

"Hmm, apa aku perlu menunjukkan celana dalamku? Siapa tahu kamu bisa merasa lebih baik."

Mimisanku kembali keluar. Bukankah itu malah membuatku semakin parah?

"Si-si-siapa juga yang mau melihat ce-ce-celana dalammu?"

"Hmm, jangan sungkan begitu. Tidak masalah, kok."

Dasar pendendam, teganya mengerjaiku?

Aku memeriksa sekitar dan melihat sebuah tongkat alumunium yang menggelinding di tanah.

Orang yang melempar tongkat tersebut, apa itu memang dia ...?

Aku tidak bisa melihat sosok orang itu lagi.

"Oh, Ei-kun?"

"Apa?"

"Sewaktu kamu berteriak marah tadi, kamu bilang, Pacarku sedang melihatku, ya?"

*Uhuk*

"A-a-a-apa aku bilang begitu? Aku tidak ingat."

"Ya, kamu memang bilang begitu. Telingaku mendengarnya dengan jelas~"

Nada bicaranya membuatku jengkel hingga tingkat maksimal.

Chiwa melihat ke kanan dan ke kiri, kemudian ke sekelilingnya, lalu berkata,

"Natsukawa, tidak ikut ke sini?"

"Ah? Hmm, kurasa ... tidak."

Sehabis aku mengatakannya, mata Chiwa tiba-tiba berbinar bahagia.

"Kalau begitu ..., saat kamu bilang, Pacarku, itu maksudnya aku?"

Kali ini, mimisanku benar-benar menyembur.

"Ma-ma-ma-mana mungkin, 'kan ...?!"

Darahku terus mengalir, dan kesadaranku perlahan memudar ....

"Hei! Ei-kun! Ei-kun! Sadarlah! Jangan pingsan!"

Suara Chiwa terasa kian menjauh. Ini sungguh ... akhir yang melegakan.



Mundur
Lanjut
Read more ...»