Oregairu Bab 5 Bagian 1

On Kamis, 24 April 2014 0 komentar

==========================================================
Sampailah pada bagian-bagian komedi dari Jilid ini...
Nah, kalau di bagian ini, jujur ane gak berani pakai pelokalan istilah, karena pertimbangan menghargai pengarang aslinya (walau mungkin sisi komedinya bisa lebih heboh kalau dilokalkan)...
Jadinya ane buat penjelasan aja di sini...
Ultra Quiz Lintas Prefektur Chiba merupakan plesetan dari kuis terkenal yang bertajuk 'America Oudan Ultra Quiz (アメリカ横断ウルトラクイズ)'... Tautan referensi ada di sini...
Dan mengenai soal pemetaan wilayah Chiba, silakan agan lihat sedikit referensinya di tautan ini...
Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 5 - Intinya, Yoshiteru Zaimokuza itu Agak Gila

Bagian 1


Mungkin agak telat mengatakan hal ini, tapi yang kutahu, Klub Layanan Sosial punya peran untuk mendengarkan masalah para murid dan berusaha membantu mereka.

Kalau aku tak sesekali mengingatkan diriku sendiri mengenai hal tersebut, aku bisa benar-benar lupa klub apa sebenarnya ini. Yang biasanya aku dan Yukinoshita lakukan hanyalah membaca buku saja. Sedangkan Yuigahama, masih saja bermain dengan ponsel-nya.

"Hmm... hei, buat apa kau ke sini lagi?"

Perempuan itu begitu cepat membaur hingga kami tak pernah mempertanyakan keberadaannya, tapi itu tak serta-merta menjadikan Yuigahama sebagai anggota Klub Layanan Sosial. Sebenarnya, aku sendiri tak cukup yakin kalau aku juga anggota klub ini. Apa aku memang bagian dari klub ini, ya? Padahal aku ingin sekali keluar dari sini...

"Eh? Ah, soalnya aku lagi punya banyak waktu senggang 'gitu, lo."

"'gitu, lo? Aku tak paham yang kaukatakan. Lagi pula, apa-apaan itu? Memangnya kau ini orang Hiroshima, apa?"

"Eh? Hiroshima? Aku ini orang Chiba, kok."

Yah, pada kenyataannya, orang-orang yang memakai dialek Hiroshima selalu menambahkan 'gitu, lo di setiap akhir ucapannya, namun ketika hal ini kubahas ke orang lain, mereka justru tampak terkejut. Aku punya gambaran buruk di otakku mengenai cara bicara orang-orang Hiroshima, tapi lain cerita kalau perempuan yang berbicara dengan logat seperti itu, mereka malah terdengar menggemaskan. Faktanya, logat Hiroshima ada di jajaran sepuluh besar logat yang kuanggap paling menggemaskan.

"Huh. Hanya karena kau lahir di Chiba, bukan berarti bisa seenaknya saja mengaku kalau kau orang Chiba."

"Hei, Hikigaya. Aku sungguh tak mengerti apa maksudmu tadi..."

Yukinoshita menatapku dengan begitu sinis. Tapi aku tak menghiraukannya.

"Baiklah, Yuigahama. Pertanyaan pertama. Apa istilah lain dari luka dalam yang diakibatkan oleh hantaman keras pada tubuh?"

"Lebam!"

"Hmm... kau benar. Ternyata kau juga mengerti dialek Chiba... baiklah, lanjut ke pertanyaan kedua. Jika kau boleh memilih makanan lain sebagai pendamping makan siangmu, kau akan memilih apa?"

"Miso kedelai!"

"Hmm... mungkin kau memang benar-benar orang Chiba..."

"Aku sudah bilang dari tadi 'gitu, lo."

Yuigahama meletakkan tangannya di atas paha dan menatapku sambil memiringkan kepalanya, seakan ingin berkata, Anak ini kenapa, ya? Yukinoshita duduk di sebelahnya sambil menyandarkan sikunya sekaligus meletakkan tangannya ke dahi. Ia lalu mengela napas panjang.

"...eng, kenapa tiba-tiba menanyakan itu? Memangnya kalau aku jawab, aku dapat poin, ya?"

Jelas itu tak ada poinnya.

"Anggap saja ini Ultra Quiz Lintas Prefektur Chiba. Yang kumaksud Lintas itu, mulai dari Matsudo hingga ke Choushi."

"Kalau hanya dari situ sampai ke situ saja, bukan Chiba namanya!"

"Kalau begitu, anggap saja dari Sawara ke Tateyama."

"Jadi kini diukurnya dari wilayah utara hingga ke selatan..."

...dua anak ini... padahal awalnya dari nama kota saja, tapi kenapa malah dipersoalkan begini? Apa sebegitu sukanya mereka dengan Kota Chiba?

"Baiklah, pertanyaan ketiga. Jika kau berpergian lewat Jalur Sotoubou menuju Toke, maka, apa nama dari hewan langka yang bisa tiba-tiba menampakkan dirinya di sekitar daerah itu?"

"Ah, Yukinon, bicara soal Matsudou, kudengar banyak kedai ramen di daerah sana, lo. Kapan-kapan ke sana, yuk?"

"Ramen... aku tak begitu sering memakan ramen, jadi aku kurang begitu tahu..."

"Enggak masalah, kok! Aku juga jarang makan ramen!"

"...eh? Lalu kenapa tadi kau menyarankannya? Tolong jelaskan dulu maksudmu itu?"

"Hmm, lagi pula, apa hubungannya dengan Matsudou...? Memang benar, di sana ada kedai bernama Nantoka. Kata orang, ramen yang dijual di sana rasanya enak..."

"Kalian ini dengar yang tadi kutanyakan, tidak, sih?"

"Hmm? Dengar, kok. Ah, tapi di sekitar sini juga ada beberapa kedai yang mantap, lo. Soalnya di sini itu dekat sama rumahku, makanya aku mengerti betul daerah ini. Rumahku jaraknya kira-kira lima menit dari sini. Aku juga sering melihat ada beberapa kedai sewaktu jalan-jalan sama anjingku."

...jawaban yang benar adalah burung unta. Kalau kita berpergian menggunakan kereta dan tiba-tiba melihat ada burung unta di luar jendela, kurasa kita akan lebih merasa terkesan ketimbang terkejut.

Cih.

Kubiarkan saja dua perempuan tersebut larut dalam obrolan ramen yang sudah salah kaprah tadi, dan kembali kubaca bukuku.

Padahal ada tiga orang di ruangan ini, tapi masih saja aku merasa sendiri. Apa-apaan itu?

Biarpun begitu, bagiku menghabiskan waktu seperti ini membuatku merasa seperti anak SMA pada umumnya. Dibandingkan anak-anak SMP, anak-anak SMA lebih punya kebebasan dalam melakukan sesuatu, hingga mereka cenderung tertarik dalam hal gaya maupun kuliner. Jadi obrolan soal ramen ini serasa seperti obrolan anak SMA banget.

...meski kuakui, pada umumnya anak-anak SMA tak melakukan hal semacam Ultra Quiz Lintas Prefektur Chiba.



Read more ...»

Oregairu Jilid 1 Bab 5

On 0 komentar

-Bab 5 - Intinya, Yoshiteru Zaimokuza itu Agak Gila.-


Daftar Isi

Read more ...»

Oregairu Bab 4 Bagian 2

On Kamis, 17 April 2014 0 komentar

==========================================================
Semua penggemar Yui, segera merapat...! (ane ikutan)
Penutup bab memang berkesan kok... Di bagian ini ya dialognya, komedinya, monolognya, terasa pas banget...
Ane pakai tanda baca "[ ]" supaya membedakan suara percakapan yang teredam, sama perlakuannya dengan pembicaraan yang terdengar di telepon...
Dan Ojamajo merujuk pada serial anime mahou-shojo lawas... Ini referensinya...
Efye-i, akun fb ane keblokir, jadi ane gak bisa update lewat fanpage, kalau ada yang bertanya di fanpage soal update, ane minta tolong bantu wakilkan ane jawab ya... Terima kasih sebelumnya...
Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 4 - Meski Begitu, Kelas Berjalan Seperti Biasanya

Bagian 2


Ketika kutinggalkan ruang kelas, kulihat ada Yukinoshita di luar. Ia telah bersadar di tembok dekat pintu, melipat tangannya, dan memejamkan matanya. Mungkin dikarenakan aura teramat dingin yang dipancarkannya, hingga tak ada seorang pun berada di sekitarnya. Rasanya sunyi sekali.

Karenanya, aku dapat mendengar pembicaraan yang tengah berlangsung di ruang kelas.

[... eng, maaf. Kau tahu, aku jadi gelisah sewaktu enggak bisa akrab dengan orang lain .... Yah, anggap saja kalau aku selalu merasa was-was .... Mungkin kau jadi jengkel karena hal itu.]

[...]

[Eng ..., bagaimana bilangnya, ya? Aku memang selalu begitu. Bahkan dulu sewaktu aku dan teman-temanku bermain pura-pura jadi Ojamajo, aku ingin dapat peran Doremi atau Onpu, tapi anak lain juga menginginkannya, ujung-ujungnya aku malah dapat peran Hazuki .... Mungkin karena aku dibesarkan di komplek apartemen yang dipenuhi banyak penghuni, jadinya kupikir itulah sikap yang paling tepat ....]

[Aku enggak paham kau bicara apa.]

[Ya-yah, begitulah, haha. Aku juga enggak begitu paham sedang bicara apa .... Hanya saja, ketika melihat Hikki dan Yukinon, aku jadi menyadari sesuatu. Enggak ada seorang pun yang dekat dengan mereka, tapi mereka masih bisa bersenang-senang .... Mereka mengutarakan pemikiran masing-masing, dan anehnya, meski sering berselisih paham, mereka tampak cocok.]

Sesekali bisa kudengar suara mirip isakan dari dalam kelas. Setiap kali itu terdengar, bisa kulihat bahu Yukinoshita tersentak. Ia buka sedikit kelopak matanya dan berusaha mengetahui keadaan kelas hanya dengan melihat saja. Sungguh konyol, apanya yang bisa dilihat kalau dari sana? Jika ia memang cemas, ya masuk saja ke dalam. Perempuan ini sungguh tak jujur akan perasaannya sendiri, dasar ....

[Setelah melihat itu, aku mulai berpikir kalau usahaku untuk selalu berusaha akrab dengan semua orang itu ternyata salah .... Maksudku, Hikki tetaplah seorang Hikki. Sewaktu istirahat ia habiskan waktunya untuk membaca sambil terkikih-kikih .... Memang menjijikkan sih, tapi ia terlihat menikmatinya.]

Menjijikkan, katanya .... Dan sewaktu Yukinoshita mendengarnya, ia langsung cekikikan.

"Kupikir hanya di ruang klub saja kau berkelakuan aneh begitu, tapi rupanya di ruang kelasmu pun kau tetap sama. Sungguh perilaku yang menjijikkan, sebaiknya kauhentikan itu."

"Kalau memang merasa, ya bilang-bilang, dong ...."

"Mana mungkin aku mau. Siapa pula yang sudi menegurmu saat bersikap semenjijikkan itu?"

Kucoba untuk lebih berhati-hati mulai dari sekarang. Aku takkan membaca light novel bersama sang dewi iblis lagi di sekolah.

[Jadi kupikir, mungkin aku enggak mesti berusaha terlalu keras dan harusnya lebih santai menyikapi hal itu .... Yah, atau semacamnya, lah. Bukan berarti aku membencimu, Yumiko. Setelah ini ... kita masih bisa ... akrab lagi, 'kan?]

[... hmm. Ya, sudah. Terserah saja. Aku juga enggak masalah.]

Kudengar suara Miura menutup ponsel-nya.

[... sekali lagi maaf. Terima kasih.]

Dengan berakhirnya hal itu, pembicaraan di dalam ruang kelas lalu terhenti, dan kudengar suara ketukan sepatu Yuigahama yang berjalan mendekati kami. Seakan itu sebuah sinyal, Yukinoshita pun berhenti bersandar dan menegakkan badannya.

"... apa kubilang. Kau mampu melakukannya, 'kan?"

Untuk sesaat, aku sempat terkejut oleh sekilas senyuman yang tersungging di wajah Yukinoshita.

Itu memang sebuah senyuman, tulus dan sederhana, tanpa menyiratkan ejekan, sarkasme ataupun penyesalan.

Meski begitu, senyuman itu segera sirna, dan ekspresi Yukinoshita kembali seperti sedia kala, ekspresi yang dingin. Sewaktu kupandangi senyumannya, Yukinoshita pun segera berjalan dan beranjak ke sisi lain ujung lorong, tanpa memerhatikanku sama sekali. Mungkin ia hendak menuju ke tempat yang ia janjikan bersama Yuigahama.

... baiklah, apa yang harus kulakukan di sini? Aku mulai berjalan menjauh, tapi di saat bersamaan, pintu ruang kelas pun terbuka.

"Eh? Ko-kok Hikki bisa ada di sini?"

Tubuhku jadi benar-benar membeku, tapi aku masih bisa mengangkat tangan kananku sambil memberinya salam dengan harapan supaya bisa kabur dari situasi ini. Saat menatap Yuigahama, kulihat semakin lama wajahnya semakin memerah.

"Kau mendengarnya, ya?"

"De-dengar apa, ya ...?"

"Kau tadi mendengarnya, 'kan? Kau tadi menguping, 'kan?! Menjijikkan! Penguntit! Maniak! Eng, eng ..., sangat menjijikkan! Enggak kusangka! Benar-benar menjijikkan. Kau memang ... sangat menjijikkan."

"Tunggu sebentar! Biar kujelaskan!"

Soalnya, aku yang begini pun bisa merasa sedih kalau dihujani cacian sebanyak itu. Dan tak perlu ia tegaskan bagian terakhirnya itu dengan wajah serius. Sial... rasanya kini aku benar-benar terluka.

"Huh ..., sudah telat penjelasannya. Memangnya kaupikir ini salah siapa? Dasar bodoh."

Yuigahama lalu menjulurkan lidahnya yang berwarna sakura itu di depanku, dan ia segera berlari setelah memprovokasiku dengan sikap menggemaskannya itu. Memangnya ia anak SD, apa? Jangan lari-lari di lorong.

"Salah siapa .... Itu salah Yukinoshita, 'kan?"

Aku jadi berbicara sendiri. Aku memang sendirian, jadi itu hal yang wajar.

Saat kuperhatikan jam yang menempel di dinding, kulihat hanya sedikit saja waktu istirahat yang masih tersisa. Jam makan siang yang begitu mendahagakan itu baru saja berakhir. Mungkin aku harus membeli Sportop untuk menghilangkan dahaga ini, baik yang ada di kerongkonganku maupun yang ada di hatiku.

Sewaktu aku menuju ke mesin penjual minuman, tiba-tiba saja sesuatu terlintas di benakku.

Otaku punya komunitasnya sendiri, jadi mereka bukanlah penyendiri.

Dan untuk menjadi seorang riajuu, kita harus selalu peka terhadap jenjang sosial dan pemilahan kekuasaan, karenanya, hal tersebut sangatlah sulit.

Jadi pada akhirnya, akulah satu-satunya yang tetap sendiri. Tak perlulah Bu Hiratsuka mengisolasi diriku, karena sebenarnya, aku pun sudah terisolasi di kelasku sendiri. Maka dari itu, tak ada gunanya pula sampai capek-capek mengisolasiku di Klub Layanan Sosial.

... kesimpulan yang begitu mengecewakan. Kenyataan memang terlalu kejam.

Satu-satunya yang terasa manis dalam hidupku hanyalah rasa dari Sportop ini.


— II —


Read more ...»

Chuunibyou Bab 1 Bagian 2

On Selasa, 15 April 2014 0 komentar

==========================================================
Kronologis cerita dengan anime-nya memang beda sekali, soalnya, yah, namanya juga adaptasi...
Nah, karena itulah, kalau ingin tahu sensasi yang berbeda, baca saja LN-nya...
Biarpun begitu, inti cerita tetap sama kok...
Di samping itu, ini adalah bagian penutup dari sebuah bab, yang seperti biasanya, pasti meninggalkan kesan setelah dibaca... (biasanya lagi, ada kutipan yang bagus di akhir bab...)
Betewe, kalau ada yang suka banget baca novel, khususnya yang bertema seputar keseharian dan kehidupan sekolah, serta ingin bantu menerjemahkan, sampaikan saja di fanspage atau di kolom komentar... (yah, tapi ada tesnya dulu...)
Sebelum tl;dr...
Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 1 - Rikka Takanashi

Bagian 2


Keesokan harinya sekitar sepuluh menit sebelum jam pelajaran pertama, bel telah berbunyi dan tinggal sebentar lagi saja sebelum guru kami datang. Seperti yang bisa ditebak, situasi ruang kelas sudah cukup ramai. Di dalam keramaian itu, ada diriku yang sedang cemas mengenai perbincangan yang kulakukan tempo hari.

Rikka Takanashi. Gadis mirip boneka yang duduk di depanku. Rambutnya hitam kelam dan dipotong pendek. Dilihat dari belakang, rambutnya hampir tampak seperti kaca.

Gadis itu masih mengenakan blazer meskipun cuaca mulai menghangat. Ia lalu melepasnya dan menaruh blazer itu di kursinya, dan memperlihatkan blus yang menonjolkan lengannya. Meski aku bukan ahli soal busana, sabuk berwarna hitamnya tampak semakin menonjolkan rok merah menyala bermotif kotak-kotak yang dikenakannya. Penampilan seperti itu tampak seperti gaya khas gotik, tapi kuingatkan sekali lagi, kalau aku bukanlah ahli soal busana. Siapa pula yang menjual barang semacam itu? Itu terlihat begitu berlebihan! Hanya dengan melihat bermacam aksesoris salib yang dipakainya, kita pasti akan langsung berpikir ke arah gotik. Dan dari kursi di depanku, aku bisa melihat kaos kaki panjang berwarna hitam yang membungkus kaki rampingnya. Yak, itu memang gotik. Aku tak tahu kalau ia sedang terluka, tapi tangannya dibalut perban mulai dari pergelangan kiri hingga sikunya. Di antara balutan perban itu, kita bisa melihat kulit putihnya. Terlihat menggoda.

Namun pandanganku lebih terfokus pada orang-orang genit yang melihatnya. Jika dilihat baik-baik, kita bisa sepintas melihat bra berwarna hitam di balik blusnya. Aku takut kalau hal itu bisa membuat orang-orang tersebut terangsang.

Musim panas memang paling top...

Tapi cukup sampai di situ dulu, kurasa kita semua bisa melihat bahwa penghuni kursi di depanku ini masih belum berubah, ya 'kan?

Dua bulan belakangan ini, aku telah mengamati dirinya dari belakang. Selama kami belajar bersama-sama (hanya sewaktu di kelas!) , tak pernah kulihat ada perubahan di dirinya. Tak ada suara-suara aneh ataupun cara berjalan yang aneh, sama sekali tak ada. Namun aku memang tak pernah sekalipun mencoba bicara dengannya. Mungkin saja ia sebenarnya suka mengobrol, yah, walau aku sendiri meragukannya.

Dan aku pun lanjut meragukan diriku sendiri. Tak akan... terjadi apa-apa andai aku membicarakan hal ini padanya... 'kan? Ya Tuhan, memikirkannya saja mulai membuat kepalaku sakit.

"Aduh!" Seolah Tuhan sediri yang menghukumku akibat semua pikiran mesum tadi, sebuah tas menghantam langsung wajahku.

"Oh, maaf! Kena, ya?"

Kutengadahkan kepalaku pada orang yang berjalan lewat. Rupanya itu ketua kelas kami, Nibutani. Shinka Nibutani. Aku baru mengetahui nama depannya sewaktu perbincangan mengenai kontes popularitas kemarin. Sebuah nama lain yang meninggalkan kesan begitu mendalam.

Secara spontan, kuarahkan pandanganku dari ujung kaki hingga ujung kepalanya. Tinggi sekali! Pasti itu yang jadi ciri khasnya. Bisa dibilang bahwa dirinyalah gadis paling tinggi di kelas, walau hal itu sulit dipastikan bila semua anak di kelas sedang duduk. Tingginya pun sejajar atau mungkin sedikit lebih tinggi dariku. Aku merasa seolah kehilangan sedikit kepercayaan diri.

Tak seperti Takanashi, gadis yang sedang di hadapanku ini mengenakan seragam rapi tanpa satu pun aksesoris. Tak ada yang mencolok, meski roknya terlihat sedikit pendek untuk kakinya yang panjang. Dengan kaos kaki berwarna biru tua, ia adalah gambaran sempurna seorang ketua kelas yang elegan. Meski kaos kakinya tampak tak serasi.

Jika aku boleh berkomentar, ada sedikit yang kurang dari dirinya sebagai gambaran utuh seorang ketua kelas, yaitu kacamata. Kacamata merupakan simbol kecerdasan dari diri seorang ketua kelas, namun yang satu ini tidak memakainya. Untuk tingkat kepandaian... aku tak bisa menilai hanya dari penampilannya saja. Namun tak diragukan lagi; ketua kelas kami sudah memberi gambaran seorang ketua kelas di dirinya.

"Ah, aku tak apa-apa, kok."

"Aku sungguh minta maaf. Aku yang ceroboh sewaktu melepaskan tasku."

"Tidak apa-apa. Aku juga sempat melamun tadi, jadi tidak menyadarinya."

"Begitu, ya?" Lalu senyum pun mengembang di wajahnya. Sebuah senyum sadis. Ia mendadak berubah jadi kejam di hadapanku. Ah, paling-paling itu cuma khayalanku saja. Yah, begitulah.

"Kenapa kau sampai melamun?"

Eh? Kami masih berbicara? Mengejutkan sekali. Kupikir ia akan pergi ke tempat duduknya setelah bilang, Begitu, ya?

"Eh... ah... yah... bukankah jam pelajaran pertama hari ini Matematika? Karena ada pembagian hasil ujian, makanya aku jadi cemas kalau nanti dapat nilai buruk."

"Oh... tapi kau tampak seperti orang yang tak terlalu mencemaskan hal itu, deh. Benar-benar tak kusangka."

"Bukan begitu juga, sih. Yang kucemaskan adalah kalau ini nanti tak ada bedanya dengan yang kualami waktu SMP."

"Jadi kau khawatir kalau tak bisa melakukan yang lebih baik, begitu? Yah, ujiannya memang sedikit lebih sulit dibanding waktu kita SMP. Apa kau sudah sungguh-sungguh belajar hingga kemampuan terbaikmu?"

"Eh? Kemampuan? Meskipun aku ingin memiliki semacam kemampuan mencontek, aku tidak menggunakannya."

Nibutani terdiam sejenak, namun segera tersenyum kembali. "Eh... hahaha. Pasti menyenangkan kalau punya kemampuan semacam itu, ya 'kan? Tak kusangka kalau kau akan berkata begitu. Wah, pelajarannya sudah mau dimulai, nih. Dadah!"

Nibutani pun segera beranjak ke kursinya. Yah... bagaimana menjelaskannya, ya? Meski ini pertama kalinya kami saling berbicara, aku akhirnya paham yang dimaksud Isshiki tentang sosok gadis itu. Komentarnya tentang suasana menenangkan dan senyum sadisnya itu ternyata benar. Ditambah komentarnya tentang diriku yang terlalu cemas itu juga luar biasa. Aku sedniri tidak yakin aku bisa mengangkat topik seperti itu dalam sebuah percakapan.

Hampir tepat setelah selesainya pembicaraan tadi, bel tanda dimulainya pelajaran berbunyi. Di saat bersamaan, guru kami pun masuk dan mulai bicara di depan podium dengan suara keras.

"Oke, oke! Anak-anak, kita mulai hari ini dengan pembagian hasil UTS kalian. Wah, wah! Apa ujian pertama kalian di SMA terlalu sulit? Apa tingkat kesulitan ujian matematika ini melebihi kemampuan kalian?"

Semua anak di kelas mulai gemetar. Padahal ruang kelas ini sebelumnya begitu bersemangat, namun kini, semua anak sudah jatuh dalam keheningan. Sekuat itulah guru kami. Beliau mengucapkan segala hal dengan wajah yang tersenyum senang. Saat aku mengira kalau sekolahku punya keunikan tersendiri sewaktu upacara pembukaan, ternyata sesi perkenalan beliau juga tak kalah uniknya. Beliau berkata dengan lantang, "Moto Ibu adalah membuat seluruh waktu menjadi waktu yang penuh tekanan!" Dan itu memang dilakukannya.

Beliau biasanya mengenakan setelan jas dan postur beliau lebih kecil dibanding murid lelaki. Aku tak bisa menebak siapa yang lebih dewasa andai mereka dipersandingkan bersama. Bu Nanase Tsukumo tak hanya menjabat sebagai wali kelas kami, beliau pun begitu antusias layaknya guru Matematika kami hari ini. Karena terlihat sangat muda dan masih baru, beliau pun menjadi begitu populer. Terkadang, para murid lebih sering memanggil beliau dengan panggilan, "Nana-chan". Mungkin pernah sekali atau dua kali aku juga memanggil beliau dengan sebutan itu.

"Eh! Jangan dong, Nana-chan! Saya tak sanggup melihat hasil buruk ujiannya!"

"Jangan buat kami mengikuti pelajaran tambahan!"

Anak-anak di belakangku sudah mengeluh.

"Iya, iya, tidak perlu berisik seperti ini! Ingat, jika kalian rajin belajar, pasti takkan jadi masalah! Hasil ujian kali ini mungkin memang tak begitu bagus, tapi kalau kalian mengikuti apa yang sudah Ibu ajarkan, semuanya akan baik-baik saja! Tak jadi masalah kalau kalian harus ikut pelajaran tambahan, yang penting berusahalah semampu kalian!"

Langsung membahas intinya tanpa tanggung-tanggung rupanya. Yah, pelajaran Matematika beliau memang lebih sulit dibanding sewaktu SMP dulu, tapi gaya mengajar beliau sangatlah bagus, sebenarnya aku merasa kalau itu cukup mudah dicerna.

Aku memang sempat berkata lain pada Nibutani, namun sebenarnya aku merasa kalau aku akan mendapat nilai bagus di ujian kali ini. Yah, aku cukup tak memberitahukan padanya andaikata nilaiku memang sebagus itu.

"Ibu mulai, ya! Majulah ke depan waktu Ibu panggil nama kalian! Ootsu !"

Dan kami pun bergiliran maju ke podium saat beliau memanggil nama kami. Bermacam reaksi mulai dari sedih hingga senang tampak pada wajah seluruh murid sewaktu mereka kembali ke tempat duduk.

Tentunya giliranku setelah nama Takanashi disebut. Aku berpapasan dengannya saat menuju ke arah Nana-chan, dan rasa tertekan yang kualami kian meningkat. Kehidupan SMA-ku takkan pernah lagi sama setelah aku menerima hasil ujian ini.

"!"

Coba kulihat baik-baik. Serius, nih? Apa aku pernah melihat nilai seperti ini sebelumnya? Sama sekali belum pernah. Biar kuingat dulu, seumur-umur, nilai terbaik yang pernah kudapat adalah 88, itu pun sewaktu aku masih SD. Namun angka yang tertera di sebelah namaku pada lembar ujian ini adalah 95. Nilai yang fantastis! Aku jadi merasa kalau rajin belajar bisa membuatku keren!

Karena lembar ujian ini adalah sebuah barang yang sangat berharga,
jadi sewaktu berjalan kembali ke tempat dudukku, aku merasa ingin menjaganya seolah itu merupakan warisan dari leluhur. Kemudian aku pun berbalik dan...

Berdirilah sebuah penghalang besar di depan tempat dudukku. Apa... apa ini? Ada semacam aura aneh ini yang mencegahku untuk melangkah maju. Ini... ini...

Kucoba untuk melewati penghalang ini dengan memalingkan tubuhku lalu melangkah maju, tapi justru berakhir dengan sebuah kesalahan. Mungkin akibat dari aura ini, hingga aku pun terjatuh dengan wajah terlebih dahulu. Aku bisa mendengar gema yang keras dari seisi ruang kelas.

Aku jadi membuat suara yang sangat gaduh. Sial! Itu bukan kemauanku!

Kudengar suara Nana-chan yang bertanya dengan lembut di belakangku, "Hei! Kau tak apa-apa?" Karena malu yang kurasakan, aku jadi tak bisa menjawab beliau. Tubuhku tak begitu saja bisa langsung berdiri setelah jatuh tadi. Perlu sekuat tenaga hanya untuk menengadahkan kepalaku.

Dan aku pun tak sengaja menjadi orang mesum yang beruntung.

Di hadapanku, tembok besar yang kusebut sebelumnya itu ternyata Takanashi beserta rok pendeknya. Saat kumenengadah, aku sudah berada di lokasi pemandangan perdana dari potongan kain berbentuk segitiga yang menjadi impian seluruh lelaki.


"Ah..."

Sewaktu pandanganku teralihkan tadi, diriku menabrak Takanashi dan jatuh ke lantai. Jadi sudah pasti, celana dalam yang kulihat itu kepunyaan Takanashi. Tunggu, ini gawat!

Dan selagi aku meminta maaf padanya di dalam hati, Takanashi masih tak menunjukkan emosi sembari duduk di kursinya. Hanya sebentar aku menatap ke arah Takanashi tadi. Hmm... kurasa ia benar-benar suka warna hitam, ya 'kan?

Tunggu! Ada yang tak beres di sini. Apa tak ada seorang pun yang merasakan sebuah kejanggalan? Biasanya kalau kejadian ini menimpa seorang gadis, yang ada, mereka akan bilang, Kau... kau melihatnya, ya?! Mati sana! Atau, Jangan harap aku mau memperlihatkan celana dalamku! Atau, Aku tak malu, kok, kalau kau melihat celana dalamku! Ini sebuah penyimpangan besar dari naskah.

Dan Takanashi pun masih belum menunjukkan reaksi apapun. Ia tak menunjukkan emosinya.

Itu sungguh respon yang dewasa dari dirinya. Jika hal ini terjadi saat aku masih SMP, kuyakin aku bakal terheran-heran dan tak bisa berkata apa-apa.

Namun penghalang besar itu; apa mungkin ia mengasingkan dirinya sendiri? Tampaknya ia bisa tiba-tiba menangis sewaktu-waktu. Mungkin ia tak mendapat nilai bagus saat UTS. Meski aku tak bisa menggunakan persahabatan sebagai alasan, tapi ada baiknya jika aku berhenti merayakan nilaiku ini.

Mau tak mau aku jadi begitu mencemaskan hal demikian. Di samping itu, aku juga terasingkan beberapa saat lalu. Siapa tahu, kalau aku mendekatinya dan bertanya, Kau dapat nilai berapa? Kita mungkin bisa berteman. Aku juga harus meminta maaf karena sempat melihat celana dalamnya tadi. Kata orang, adalah hal yang cukup memalukan bagi para gadis ketika ada anak lelaki yang melihat celana dalam mereka. Yah, setidaknya itulah yang ada di dalam game.

Dengan segala hal yang ingin diperbincangkan, aku bisa memilih waktu yang tepat untuk berbicara dengannya. Aku hanya berharap rumor buruk itu tidak semakin tersebar karena kesialanku hari ini.

"Ah... ooh... oh... mataku..."

Dengan tiba-tiba, Takanashi mulai menekan mata kanannya seolah kesakitan. Ia lalu terkapar di mejanya.

"Ah... ooo... ooo... itu... itu..."

Tiba-tiba pikiranku kembali jernih dan tubuhku mulai bergerak dengan sendirinya. Aku bergegas ke arah mejanya dan bertanya, "Kau... baik-baik saja?" Tak ada tanggapan.

Kita pasti mengira seisi kelas akan memperbincangkan tentang yang kini sedang terjadi, nyatanya, kali ini semua orang sudah dalam keadaan terkejut dan tertegun karena kejadian ini. Tak satu pun suara yang bisa terdengar. Khawatirkah mereka akan jatuhnya diriku juga erangan Takanashi tadi? Pedulikah mereka terhadap keadaan gadis itu? Apa keterkejutan itu membuat mereka sampai terdiam? Ataukah mereka itu orang-orang yang kejam? Apa Takanashi memang tak memiliki teman dekat? Aku sama sekali tak tahu.

Namun karena beberapa alasan, tak seorang pun mengucapkan sesuatu pada gadis itu. Bisa kurasakan rasa tak suka yang menyebar di sekelilingku. Bukankah ini aneh? Bukankah seharusnya kita cemas kalau ada teman sekelas yang sedang kesakitan?

Sialan.

"Bu Tsukumo, saya izin mau mengantarkan ia ke ruang UKS!"

Sambil berucap, "Maaf, ya." Aku memapah Takanashi dan merangkulkan tangannya melingkari bahuku.

"Ayo pergi."

"Oooh."

Kembali ia menekan mata kanannya itu dengan tangan kanannya, lalu kami pun beranjak pergi.

"Ah... maaf, ya. Apa kau baik-baik saja? Kau sudah membuat kami semua ketakutan tadi. Baiklah, kami serahkan semuanya padamu, ya, Togashi!" Nana-chan sendiri terdengar sangat terkejut. Beliau mengamati sosok kami berdua yang berjalan keluar. Sedangkan bagi para penghuni kelas lainnya, aku tak tak tahu dan tak mengerti apa yang mereka pikirkan.

Sepuluh menit setelah dimulainya jam pelajaran, Takanashi beserta diriku pergi meninggalkan ruang kelas.

Dalam perjalanan menuju ruang UKS, sewaktu menuruni tangga di antara lantai tiga dan empat, Takanashi tiba-tiba menjerit, "Ahhh... mataku... mataku saling beresonansi...!" Yang kemudian ambruk di bahuku.

Setelah ia jatuh, kuputar tubuhnya dengan tangan kiriku agar bisa menyangganya. Atau lebih tepatnya, tangan kiriku justru menyangga area empuk milik Takanashi. Satu kali saja sudah membuat syok, tapi ini sudah kedua kalinya dalam satu hari. Sebut saja aku beruntung atau egois, namun ia tak bereaksi apa-apa terhadap tangan kiriku ketika kugeser posisi badannya.

Sebenarnya, tidaklah normal jika aku memapah dirinya dalam situasi begini. Apa aku sedang menjalani sebuah situasi layaknya tokoh dalam serial yang ada unsur kacamatanya itu? Tidak, tidak, tidak, itu cuma sekadar khayalan.

"Apa, apa kau tak apa-apa? Bagaimana keadaan penutup matamu?"

"Ooh... kau, apa kau... sesuatu yang sama denganku...?"

Kalau ia berbicara seperti itu, maka aku pasti menyangkalnya. Sepertinya ia termasuk gadis yang dulunya tak sempat diimunisasi dan kini berbicara dalam frasa yang tak beraturan.

"Ah, eh, mungkin saja begitu."

Wah, aku pun kaget dengan tanggapanku sendiri. Aku menjawab setuju, atau bisa dikatakan, kalau aku memang sama dengannya. Entah bagaimana, rasanya Takanashi paham akan jawabanku dan dengan santainya ia memindahkan posisi tanganku.

"Ya... pastinya begitu. Kau... aku sudah dengan sabar menantimu... sudah kuhabiskan bertahun-tahun melakukan pencarian, namun kini aku menemukanmu di sini."

Yang dimaksudnya itu aku?

Eh, apa?

Menanti... menanti. Aku tahu kata itu. Aku tahu benar arti kata itu. Biasanya aku berusaha menggabungkan kalimat ini ke dalam berbagai pembicaraan atau berusaha bertindak layaknya pemimpin dengan bicara seperti ini... tunggu... jangan-jangan...

"Oh, terima kasih sudah menantiku. Omong-omong, matamu baik-baik saja?"

Kucoba mengembalikan arah pembicaraan. Kalau-kalau ia menganggapku orang yang semacam itu...

Sudahlah, jangan berpikir yang bukan-bukan.

"Kau sudah pernah melihatnya?"

Ya ampun. Yang kutanyakan itu keadaan matanya. Bukan itu jawaban yang kuharapkan! Yah, aku memang tak pernah punya kesempatan untuk melihatnya, sih. Memangnya ada yang istimewa mengenai matanya atau ada arti lainnya, ya?

Kecuali jika... memang itu.

Hal itu mulai merasuki pikiranku. Gadis di hadapanku ini hampir pasti seorang pengidap chuunibyou.

Aku memang tak ambil pusing sewaktu mendengar rumornya, tapi kalau melihat orangnya secara langsung... rasanya agak aneh. Sebaiknya apa yang harus dilakukan di situasi begini, ya?

Aku memang tak punya masalah dengan siapa pun yang mengidap penyakit itu, namun harus seperti apa aku bersikap? Rasanya tak masuk akal. Tunggu dulu; seperti inilah yang dirasakan orang-orang di sekitarku sewaktu SMP dulu... ternyata seperti ini rasanya. Yah, bagaimanapun juga, mari kita lihat yang sebaiknya dilakukan pada situasi begini.

"Ah, itu. Memangnya ada apa?"

"Oh."

Dan Takanashi pun membuka penutup matanya, menyingkapkan kulit putih pucat di sekitar matanya. Seberkas cahaya emas, sesuatu yang berbeda dari yang pernah kulihat sebelumnya, mulai bersinar membuatku seakan sedang berada di gerbang sebuah kota emas.

Rupanya itu lensa kontak berwarna. Tunggu sebentar, selagi aku terkejut, itu tampak berbeda sekali dengan pupil hitam yang terlihat di sisi lain wajahnya.

"Luar... biasa."

Apa itu benar-benar lensa kontak? Selagi pikiran tak sopan itu muncul di kepalaku, aku jadi merasa tak pantas jika tiba-tiba bertanya hal demikian. Kurasa seperti inilah pengidap chuunibyou itu, ya 'kan?

"Dengan ini, kontrak kita telah terjalin."

"Apa?!"

"Kini matamu telah bertatapan langsung dengan Mata Kezaliman milikku, syaratnya telah terpenuhi. Kau dan aku kini telah terikat. Maka mulai dari sekarang..."

Ah! Ini mirip seperti saat aku mengidap chuunibyou dulu! Tunggu, Mata Kezaliman?

Aku terkejut soal betapa singkatnya waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan proses kontrak barusan. Dengan kronologis pembicaraan yang kami lakukan tadi, kalimat tersebut cukup membuatku tercengang. Namun bukan itu saja yang hendak ia katakan. Luar biasa. Sepertinya ia bisa menyiapkan latar belakang cerita dalam sekejap. Oh, Takanashi yang hebat, lebih baik kita biarkan saja keadaannya seperti ini dulu.

"Tunggu sebentar..."

Fiuh, kalau saja aku tak segera menarik napas, mungkin aku bakal kambuh lagi. Di kerongkonganku sudah tertahan kalimat, A-apa maksudmu kalau aku sudah terikat kontrak denganmu, berengsek?! Hehe, selama ini makhluk sepertimu sudah sedekat ini denganku. Lalu, apa yang mau kaulakukan? Apa kita perlu menghancurkan dunia? Pastinya itu jadi pilihan yang berbahaya.

Tapi bukan hal baik pula bagiku kalau terus-terusan memikirkan hal itu. Terlepas dari kambuh atau tidaknya diriku, yang pasti kini aku sudah sembuh. Memikirkan kejadian-kejadian itu sudah membuatku merasa ingin mati saja. Aku tak berniat untuk menjalin kontrak itu lagi. Mungkin agak mengecewakan, tapi kupikir ia bisa memperoleh hikmahnya.

"Maaf, tapi aku sudah sembuh dari hal itu."

"Sembuh?"

Aku mulai bisa menguasai diriku kembali. Gas menjijikkan yang ada dalam diriku mulai mengendap.

"Ah, keadaanku dua tahun yang lalu sama persis sepertimu, karena itu aku bisa memahami keadaanmu saat ini. Bisa memiliki orang lain untuk diajak berkumpul bersama dalam situasi rekaanmu memang terdengar menyenangkan. Kakak kelas kita mungkin akan berkata, Hentikan, tapi kurasa itu ada baiknya untukmu."

Kuharap Takanashi mengerti apa yang kubicarakan. Membuat hal rekaan memang menyenangkan. Aku tahu persis bagaimana bahagianya saat menghabiskan waktu untuk merancang dunia baru dan semacamnya, biarpun begitu, aku tak mau lagi jika ada yang jatuh ke jalan yang pernah kulalui dulu.

Hal-hal rekaan itu kian lama menjadi sebuah hal yang mengganggu orang-orang sekitarku. Itulah masalah terbesar dari chuunibyou. Hanya sewaktu aku mampu mengingat kembali berbagai perbuatanku, aku jadi bisa merenungi saat-saat ketika aku akan melakukan hal-hal yang merugikan seperti mengganggu jalannya pelajaran. Sewaktu jam pelajaran berlangsung, aku menjerit, "Jangan masuk! Jangan masuk! Wuaa!" Supaya kami tak jadi mengikuti pelajaran tersebut. Kini aku sudah sadar apa yang telah kulakukan dulu.

Dulu, aku takkan peduli mau orang lain berbuat apa; aku hanya bertindak sesuka hatiku. Dulu aku anak yang cukup bermasalah, 'kan? Aku bisa bilang kalau kita bakal cuek terhadap perasaan semua orang jika dihadapkan pada situasi demikian. Terlepas dari apa yang sudah kuperbuat, aku dulu begitu egois sampai-sampai tak pernah meminta maaf atas segala tindakan yang kulakukan.

Tapi ia punya ciri yang sama denganku. Mata iblis yang sama dengan ciri khas chuunibyou. Ia begitu mirip dengan diriku yang dulu. Tak heran kalau ia bakal memerhatikanku dan berpikir kalau aku sama seperti dirinya. Aku pun sempat berpikir kalau perbannya itu tak terasa asing bagiku.

Entah kenapa aku tak merasa kalau ia adalah tipe yang mengganggu semua orang ketika pelajaran berlangsung. Mungkin suatu hari nanti hal itu bakal terjadi, walau aku sendiri meragukannya. Itu memang hanya sekadar prasangka, tapi aku punya firasat kalau suatu hari nanti Takanashi akan kembali mengingatnya sambil menyesali segala hal yang telah ia lakukan dulu, sama sepertiku. Waktu itu terasa cepat sekali berlalu. Tak perlu ia sia-siakan masa SMA-nya yang berharga dan menjadikannya ingatan yang tak ingin ia kenang.

Sebagai mantan pengidap chuunibyou, aku tak tahu sudah berapa banyak orang yang sudah kubuat terganggu, namun aku menduga kalau ia pun tak tahu banyaknya korban (kecuali aku) yang sudah ia buat kesusahan. Itu sebabnya, aku harus mengatakan ini dalam cara chuunibyou.

"Bagaimana kalau begini, daripada menjalin kontrak denganku, bukankah lebih baik kalau kau mengandalkanku saja?"

Betul, aku tak bisa meninggalkan gadis ini seorang diri. Yah, bukan berarti aku menganggap remeh dirinya atau menjadikan ia layaknya seorang adik kelas. Bagiku, ia lebih mirip saudari se-chuunibyou.

"Tapi proses kontraknya sudah sempurna."

"Jadi, kau benar-benar memaksakannya?"

...ini jadi sedikit menyusahkan. Sampai sejauh mana ia mau memaksakan hal itu?

"Untuk saat ini, ayo ke ruang UKS."

"Aku memang mau membawamu ke sana, tahu!"

Setelah itu, Takanashi pun menegakkan badannya dan mulai menuruni tangga, meninggalkanku di belakang. Yah, bukankah ia begitu sehat?

"Kenapa tak menyusulku? Apa kau sudah kehabisan energi?"

"Yah, begitulah. Kurasa aku akan tidur siang dulu di ruang UKS."

Aku jadi sedikit pusing memikirkannya. Rasanya bagus juga kalau aku tidur siang dulu di sana. Lalu kuikuti bayangan Takanashi dari belakang dan kami pun segera menuju ruang UKS.


— II —


Mundur
Lanjut
Read more ...»

Oregairu Bab 4 Bagian 1

On Sabtu, 12 April 2014 0 komentar

==========================================================
Iya, iya... Memang sudah lama gak update...
Salahkan ane, yang hampir gak ketemu tombol logout...
Tapi seperti janji, seri ini akan ane prioritaskan...
Dan seri yang lain... Yah, kalau ada yang senang baca novel dan mau bantu menerjemahkan... Dengan senang hati ane terima, walau ada tesnya dulu... Sampaikan saja lewat kolom komentar...
Tambahan... Mengenai 'Melakukan sesuatu di akhir festival,' berbeda dengan, 'Melakukan sesuatu saat festival telah berakhir.'... Dalam LN aslinya Hachiman membandingkan antara kalimat 後の祭り, ato no matsuri dengan 祭りの後, matsuri no ato, yang merupakan sebuah ungkapan, yang jika dalam Bahasa Indonesia mirip seperti ungkapan 'nasi sudah menjadi bubur', yang menandakan sesuatu yang sudah terlambat...
Gak rugi, lah... Sudah delay sampai berbulan-bulan... Bab 4 ini memang seru, kok...
Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 4 - Meski Begitu, Kelas Berjalan Seperti Biasanya

Bagian 1


Bel berakhirnya jam pelajaran keempat pun berbunyi. Mendadak, suasana kelas menjadi lebih santai. Sebagian murid sudah berhamburan keluar membeli jajanan di kantin, sementara, sebagiannya mencari-cari kotak bekal mereka di dalam laci meja. Lalu sisanya, ada yang pergi ke kelas lain. Selama istirahat makan siang, ruang kelas kami memang selalu dipenuhi kehebohan. Dan tak ada tempat yang bisa kutuju jika hujan begini. Biasanya, aku punya tempat bagus untuk menikmati makan siangku, tapi mana aku mau kalau makan sambil basah-basahan.

Karena terpaksa, akhirnya kumakan saja roti yang kubeli dari toko kelontongan ini sendirian. Kalau cuaca sedang hujan begini, biasanya jam istirahat kuisi dengan membaca novel atau manga, tapi ternyata, buku-buku itu tertinggal sewaktu aku membacanya di ruang klub kemarin. Ya sudahlah, nanti saja kuambil kalau sudah cukup istirahatnya.

Aku jadi ingat kalau kalimat, Melakukan sesuatu di akhir festival, berbeda dengan, Melakukan sesuatu saat festival telah berakhir.

Lelucon yang bahkan aku sendiri tak menganggapnya lucu. Yah, memang sebanyak itulah waktu senggang yang kupunya saat istirahat. Walau selalu kepikiran macam-macam, sebenarnya cukup wajar bila aku menghabiskan waktuku ini untuk diriku sendiri, makanya, terkadang aku selalu membuat kesimpulan untuk berbagai hal.

Saat aku sudah di rumah, banyak hal yang bisa kulakukan bila sendirian. Contohnya, aku sering beryanyi keras-keras dengan penuh semangat. Dan ketika adikku datang, biasanya akan kualihkan seperti, Motto! Mott— ... selamat datang. Tentu saja, aku tak pernah bernyanyi di dalam kelas.

Sebenarnya aku pun sering memikirkan banyak hal. Bisa dibilang, para penyendiri itu ahli dalam pemikiran. Seperti yang kita tahu, manusia itu makhluk berakal, dan setiap manusia pasti akan berpikir. Namun di antara mereka, ada para penyendiri yang tak mau membuang waktunya untuk memikirkan manusia lain, sehingga pemikiran yang mereka miliki secara alami menjadi kian mendalam dan lebih ilmiah.

Alhasil, para penyendiri punya pola pikir yang sangat berbeda dibanding manusia lain. Karenanya, di saat tertentu, para penyendiri kerap melontarkan konsep maupun gagasan yang berada di luar nalar manusia biasa.

Sulit untuk menyampaikan banyaknya informasi dengan keterbatasan komunikasi verbal yang dimiliki oleh para penyendiri. Fenomena tersebut mirip dengan sistem operasi sebuah komputer.

Butuh cukup waktu dalam mengunggah sejumlah besar informasi pada server untuk mengirim sebuah surel, hal yang sama juga dialami oleh para penyendiri yang kurang pandai berkomunikasi. Seperti itulah keadaannya. Menurutku, hanya karena lemahnya salah satu penunjang, bukan berarti itu jadi hal buruk. Mengirim surel bukan satu-satunya keutamaan dari sebuah komputer. Padahal masih ada Photoshop dan internet, ya 'kan?

Pembahasan ini kini malah berubah menjadi penilaian yang didasarkan hanya pada salah satu faktor saja. Yah, walau aku menggunakan perumpamaan sebuah komputer, tapi aku bukan orang yang ahli dalam hal tersebut.

Biarpun begitu, aku ini ahli dalam memainkan game yang dianggap sulit oleh para anak lelaki di kursi depan kelasku ini. Para anak lelaki yang kumaksud yaitu mereka yang dengan sengaja membawa PSP ke sekolah. Kalau tidak salah, mereka itu Oda dan Tahara.

"Makanya, pakai hammer saja!"

"Enggak, ah, gunlance sudah lebih dari cukup, kok."

Mereka tampak sedang bersenang-senang. Padahal aku juga memainkan game itu, dan kalau boleh jujur, aku juga mau bergabung bareng mereka.

Di masa lalu, para penyendiri adalah orang yang bisa memonopoli manga, anime maupun game untuk diri mereka sendiri. Namun keadaannya sekarang, beberapa media telah berubah menjadi wadah yang mengharuskan para penyendiri untuk berkomunikasi dengan sesamanya.

Sayangnya, akibat tampangku yang pas-pasan ini, maka ketika kucoba bergabung dengan mereka, aku malah dianggap resek juga culun. Ya sudah, mau bagaimana lagi?

Sewaktu SMP dulu, pernah kulihat ada beberapa orang yang sedang membahas soal anime, jadi kucoba untuk ikut bergabung dalam pembicaraan mereka, namun terlihat jelas kalau mereka langsung bungkam ketika melihatku. Itu hal yang sungguh kejam buatku .... Di saat itulah aku berhenti mencoba bergabung dalam keramaian itu.

Dan aku tak pernah menjadi lelaki yang berusaha ingin membuat orang-orang agar mengikutsertakan diriku, karena itu justru lebih buruk. Sewaktu kami bermain sepak bola ataupun bisbol saat pelajaran Olahraga, dua anak lelaki yang cukup populer akan melakukan suten untuk menentukan siapa yang hendak dipilih. Dan aku selalu kebagian pilihan terakhir. Saat kuingat kembali diriku yang masih berumur sepuluh tahun, saat kukenang betapa gugupnya aku sewaktu mereka mau memilih anggota tim .... Hal itu hampir bisa membuatku menangis, serius.

Aku bukanlah orang yang sering sakit-sakitan, tapi itu sebabnya aku mulai payah dalam hal olahraga. Aku menyukai bisbol, namun aku tak bisa menemukan orang yang mau bermain denganku .... Jadi sewaktu kecil dulu, aku selalu bermain dengan tembok atau berlatih penguasaan lapangan seorang diri. Aku benar-benar telah terbiasa bermain bisbol sendirian; bahkan aku sempat berpura-pura ada para pemain khayalan di lapangan ataupun di area pemukul.

Namun ada pula orang-orang di kelas ini yang pandai dalam komunikasi semacam itu.

Contohnya, orang-orang yang kini sedang berada di deretan kursi belakang kelas.

Ada dua anak dari Klub Sepak Bola, tiga anak dari Klub Basket, dan tiga anak perempuan. Hanya dengan sekali lihat pada suasana hidup di sekitar grup tersebut, cukup untuk memberi tahu kalau posisi mereka berada di puncak pergaulan kelas. (Omong-omong, Yuigahama juga bagian dari grup itu.)

Bahkan di dalam grup tersebut, terdapat dua orang yang bersinar lebih terang dibanding yang lainnya:

Hayato Hayama.

Itulah nama anak yang berada di pusat grup tersebut. Ia adalah pemain andalan dari Klub Sepak Bola, sekaligus kandidat kapten tim selanjutnya pada semester depan. Ia bukanlah seseorang yang betah kulihat berlama-lama.

Dengan kata lain, ia lelaki tampan yang penampilannya dibuat-buat. Mati saja sana!

"Enggak, deh, hari ini aku enggak bisa. Aku ada latihan."

"Masa enggak bisa izin sehari, sih? Hari ini double scoop di Baskin-Robbins sedang diskon, lo~~ aku mau beli yang rasa chocolate-cocoa."

"Bukannya dua-duanya itu cokelat? [Hehe]"

"Eh? Ya jelas beda, lah! Lagi pula, sekarang aku benar-benar lapar, nih."

Dan anak yang meninggikan suaranya tadi adalah rekan Hayama, Yumiko Miura.

Rambut pirangnya ditata ikal melingkar, dan bila dilihat dari caranya berseragam yang tak beraturan hingga ke pundaknya itu, kita pasti berpikir kalau ia bangga akan hal tersebut. Haruskah ia berdandan seperti PSK begitu? Roknya sendiri pun begitu pendek sampai-sampai sulit menebak maksud dari caranya berbusana.

Ia punya tubuh yang bagus juga wajah yang cantik, tapi kelakuan konyol dan penampilan hebohnya kian menegaskan ketidaksukaanku padanya. Atau bisa saja, aku cuma takut pada dirinya. Kita tak pernah bisa tahu apa yang bakal ia katakan pada kita.

Namun (setidaknya dari yang kuamati) Hayama tak merasa takut terhadap Miura, malah ia seperti seseorang yang senang diajaknya bicara. Itu sebabnya aku tak paham akan jalan pikiran para raja dan ratu dari lapisan pergaulan ini. Tak peduli bagaimana kita melihatnya, perempuan itu jelas menjadi orang menyenangkan hanya sewaktu berbicara dengan Hayama saja. Andai aku yang bicara dengannya, bisa-bisa aku dibunuhnya dengan sekali tatap.

Yah, konon, kita tak perlu punya alasan untuk berbicara dengan orang lain, jadi itu bukanlah masalah.

Sementara itu, Hayama dan Miura masih saja saling bersenda gurau.

"Maaf, tapi untuk hari ini aku enggak ikut dulu."

Ujar Hayama; ia tampak kembali berkumpul dengan teman-temannya. Miura menatapnya dengan pandangan kosong. Lalu Hayama pun melantangkan sebuah pengumuman dengan senyum yang begitu mengembang di wajahnya.

"Soalnya, target kami tahun ini adalah Kokuritsu!"

Eh? Kokuritsu ..., bukannya Kunitachi? Jadi ia tak sedang membahas Kunitachi, bagian dari Tokyo yang bisa ditempuh lewat Jalur Chuuou, tapi malah Kokuritsu? Jadi maksudnya turnamen nasional?

Buwaha ....

Di dalam hati aku tertawa. Melihat ia bersikap sebangga itu, berpura-pura seolah mengatakan hal keren, itu benar-benar ..., benar-benar .... Aku tak sanggup menahannya lagi. Itu buruk sekali.

"Tapi tetap saja, Yumiko. Kalau terlalu banyak makan nanti kau bakal menyesal, lo."

"Asal tahu saja, sebanyak apa pun aku makan, aku enggak akan jadi gemuk. Ahh, kurasa aku harus ke sana, terus makan yang banyak. Ya 'kan, Yui?"

"Ahh, iya, Yumiko memang punya penampilan menarik ..., tapi sekarang aku sedang ada janji, jadi aku harus—"

"Dengar sendiri, 'kan? Hari ini aku mau makan yang banyaaak sekali!"

Saat Miura mengatakannya, tawa pun meledak di sekelilingnya. Tawa itu terdengar kosong, seperti tawa yang biasanya ditambahkan pada acara komedi. Hanya sekadar tawa yang keras, tak lebih; aku pun hampir bisa melihat caption bar yang terpampang hingga ke bawah layar.

Bukannya aku mau mendengarkan pembicaraan mereka atau semacam itu, tapi suara mereka terlalu nyaring sampai dengan mudah bisa kudengar. Kini aku jadi ingat, baik otaku maupun riajuu, bila bergerombol, mereka selalu bicara dengan suara keras. Aku masih mendiami kursiku yang terletak di tengah ruangan tanpa ada seorang pun di sekelilingku, biarpun begitu, suara dari semua penghuni kelas ini begitu ramai ..., seolah-olah aku sedang berada di pusat badai.

Hayama lalu mengembangkan senyum yang menandakan kalau ialah pusat perhatian, yang juga disukai semua orang.

"Pokoknya sudah kuperingatkan, ya. Jangan terlalu banyak makan sampai perutmu meledak."

"Ku-bi-lang. Tak jadi masalah, walau sebanyak apa pun makanku! Aku enggak akan jadi gemuk. Ya 'kan, Yui?"

"Ahh, penampilan Yumiko memang mengagumkan. Kakinya pun sungguh indah. Tapi, aku harus ...."

"Ehh, masa, sih? Tapi bukankah anak yang bernama Yukinoshita itu juga punya kaki yang memesona?"

"Ah, benar juga. Yukinon juga punya kaki yang cukup memesona ...."

"..."

"... ah, eh, maksudku, jelas Yumiko yang lebih keren!"

Yuigahama segera berusaha menyelamatkan dirinya sewaktu Miura mengerutkan alis matanya. Apa-apaan itu?! Rasanya seperti melihat seorang ratu yang ditemani dayangnya. Namun sepertinya, persetujuan Yuigahama tadi tak terlihat cukup untuk menenangkan suasana hati sang ratu. Miura memicingkan matanya, dan ia terlihat tak senang.

"Yah, lagi pula, menurutku itu enggak akan jadi masalah. Kalau mau menunggu hingga usai latihan, kita bisa pergi bareng."

Mungkin Hayama sempat merasakan suasana tegang tadi, tapi dengan mudahnya ia memotong pembicaraan itu dengan kalimat barusan. Sang ratu lalu sumringah sambil tersenyum.

"Oke, SMS aku kalau sudah selesai, ya!"

Yuigahama diam-diam mengelus dadanya karena lega.

Huh, itu terlihat begitu menyakitkan. Apa kita sedang kembali ke abad pertengahan atau semacamnya? Jika kita memang harus berusaha sekeras itu agar punya kehidupan pergaulan yang baik, maka aku lebih memilih hidup menyendiri, jadi terima kasih.

Kemudian, Yuigahama dan aku saling bertatap mata. Saat ia melihatku, Yuigahama tampak seolah sudah membulatkan tekad, ia pun lalu menarik napas dalam-dalam.

"Eng ..., aku .... Aku harus pergi makan siang, jadi ...."

"Oh, ya? Kalau begitu sekalian titip belikan aku teh lemon saat kau kembali nanti, ya. Aku benar-benar lupa bawa minum hari ini. Kau tahu sendiri, 'kan? Bekal yang kubawa itu roti, jadi sulit kalau enggak dibarengi sama minum teh."

"A-ah, ta-tapi aku mungkin enggak bisa kembali sampai jam kelima, jadi bisa-bisa jam makan siangnya sudah selesai, dan juga, eng ..., kau tahu, lah ...."

Saat Yuigahama mengatakannya, wajah Miura pun langsung menegang.

Miura tampak seperti habis digigit oleh salah satu peliharaannya sendiri. Mungkin selama ini Yuigahama tak pernah sekalipun membantah ucapan Miura, namun baru hari ini ia tak memerhatikan apa yang Miura ucapkan.

"Eh? Tunggu, tunggu, ada apa ini? Kau sadar, enggak, Yui? Belakangan ini kau sering sekali telat pulang. Entah hanya perasaanku atau kau sepertinya enggak mau lagi kumpul-kumpul bareng kita?"

"Ah, yah, soalnya, eng ..., aku masih ada urusan dan yah, urusan pribadi juga, sih, jadinya, aku benar-benar minta maaf, tapi, eng ...."

Yuigahama jadi benar-benar kebingungan saat berusaha menanggapinya. Ya ampun, memangnya ia karyawan yang habis dicecar pertanyaan oleh bosnya, apa?

Meski begitu, tanggapan Yuigahama tadi sepertinya punya efek yang sebaliknya. Dan Miura pun mengetuk-ngetuk kukunya ke meja dengan gaya yang menjengkelkan.

Dalam emosi tiba-tiba sang ratu, seisi kelas langsung jatuh dalam keheningan. Bahkan Oda dan Tahara (atau siapalah namanya) mengecilkan suara PSP-nya hingga di volume terendah. Hayama beserta komplotan lainnya dengan canggung menundukkan pandangan matanya ke lantai.

Yang terdengar hanyalah suara menggema dari kuku-kuku Miura yang mengetuk-ngetuk di atas mejanya.

"Yah, mana mungkin aku tahu soal urusanmu itu, ya 'kan? Kalau ada yang ingin kausampaikan, katakan saja. Kita ini teman, 'kan? Kau juga tahu sendiri, menyembunyikan sesuatu dari teman itu enggak baik. Aku benar, 'kan?"

Yuigahama segera menundukkan kepalanya.

Kata-kata Miura terlontar begitu saja dan apa adanya. Pada kenyataannya, ucapannya tadi tampak hanya ingin mempertegas arti persahabatan di antara dirinya dan Yuigahama. Mereka memang berteman, mereka memang bersahabat, jadi mereka boleh saling berbagi apa pun sesuka mereka. Tepatnya, itulah yang Miura maksudkan. Namun di balik kata-katanya barusan juga tersirat makna, Jika kau enggak mau berbagi denganku, berarti kita bukan teman. Melainkan, musuh. Ini merupakan Inkuisisi Spanyol yang terulang kembali.

"Maaf ...."

Yuigahama masih menundukkan kepalanya sambil takut-takut memohon maaf.

"Bukan, bukan, bukan itu yang mau kudengar. Ada sesuatu yang tadi mau kausampaikan padaku, 'kan?"

Tak ada seorang pun di dunia ini yang bisa berkata apa-apa saat dihadapkan pada pernyataan tersebut. Miura tak punya niat untuk mengobrol, bahkan ia tak mengajukan satu pun pertanyaan. Ia hanya ingin Yuigahama meminta maaf kemudian menyerang perempuan itu.

Tindakan yang sangat konyol. Jika ia mau saling bunuh seperti itu, setidaknya lakukan sewaktu tak ada orang.

Aku kembali menghadap ke depan, dan mulai memakan rotiku sembari mengutak-utik ponsel-ku. Kukunyah sedikit rotiku, kemudian kuteguk minumanku. Tapi entah kenapa ..., serasa ada yang mengganjal di kerongkonganku, dan itu bukanlah roti.

... memangnya ada apa, sih?

Jam makan siang harusnya jadi waktu yang menyenangkan. Memikirkannya malah seperti tokoh yang ada di manga Kodoku no Gourmet.

Jangan salah sangka. Tak sedikit pun aku berniat menolong perempuan itu. Tapi ketika perempuan yang kita kenal hampir mau menangis di hadapan kita, itu bisa membuat perut teraduk-aduk dan selera makan langsung hilang. Aku hanya ingin menikmati makan siangku ....

Dan juga, diserang seperti itu adalah hakku. Aku tak bisa begitu saja menyerahkan hakku pada orang lain.

Ah, dan satu hal lagi.

... aku benar-benar tak suka perempuan bispak itu.

Kursiku berderak, lalu dengan gagahnya aku bangkit dari kursiku.

"Hei, kau—"

"Berisik!"

—hentikan. Itulah yang mau kuucapkan. Tapi sebelum aku sempat mengatakannya, Miura sudah memancarkan tatapan iblis ke arahku.

"... tahu, tidak, kapan hujannya berhenti? Ka-kalau saja tadi aku bawa payung, ya, hahaha."

Ya Tuhan! Memangnya ia ular anaconda, apa?! Aku terpaksa menoleh ke belakang hanya untuk meminta maaf saja!

Aku pun kembali duduk karena depresi. Miura tampak sudah melupakan keberadaanku dan berlanjut memandang rendah kepada sosok Yuigahama yang telah berkecil hati.

"Asal kautahu, aku berkata begini itu demi kau, Yui. Tapi sikap plin-planmu itu benar-benar membuatku kesal."

Ia bilang itu semua demi Yuigahama, tapi ujung-ujungnya itu justru soal perasaan Miura semata. Kalimat yang diucapkannya tadi malah bertentangan dengan dirinya sendiri. Tapi Miura tak merasa kalau ini adalah hal yang bertentangan. Karena ia adalah ratu dari grup tersebut. Dan di dalam sistem feodal seperti tadi, sang penguasa punya kekuasaan mutlak.

"... maaf."

"Begitu lagi?"

Dalam emosi yang bercampur antara marah dan pasrah, Miura menghela panjang napasnya. Hal yang begitu saja sudah cukup untuk membuat Yuigahama semakin berkecil hati.

Duh, sudahlah, hentikan saja. Apa ia tak begitu peduli dengan orang-orang yang menonton kejadian ini? Aku tak tahan lagi dengan suasana penindasan ini. Bisakah ia berhenti membuat orang-orang terpaksa menonton drama remaja yang dimainkannya ini?

Sekali lagi kuhimpun sedikit keberanian yang kupunya. Maksudku, bukan berarti mereka bakal semakin membenciku. Aku bisa menghadapi pertarungan ini tanpa risiko apa pun, jadi ini bukanlah situasi yang buruk bagiku.

Sewaktu aku berdiri dan menghadap ke belakang kelas, Yuigahama melihatku dengan mata berkaca-kaca. Dan seolah menunggu waktu yang tepat, Miura lalu bicara dengan dinginnya.

"Hei, Yui, kau sedang lihat ke mana? Kau tahu, dari tadi yang kaulakukan itu cuma meminta maaf saja."



"Ia bukan orang yang pantas kaumintakan maaf, Yuigahama."



Suara yang menggema di seisi ruangan itu bahkan lebih dingin dan kejam dibanding suara Miura sebelumnya. Semua yang mendengarnya pun gemetar ketakutan. Suara itu bagai badai yang berhembus dari Kutub Utara, sekaligus begitu indah layaknya aurora.

Perempuan itu berdiri di sudut kelas, di depan pintu masuk, meski begitu, tatapan semua orang langsung tetuju ke dirinya seakan ia adalah pusat dari seluruh dunia.

Tak ada seorang pun di planet ini yang mampu bersuara seperti itu selain Yukino Yukinoshita.

Mendadak jadi lumpuh, kusadari diriku sudah dalam posisi setengah berdiri. Dibandingkan dengan hal tadi, upaya intimidasi Miura sebelumnya tampak seperti permainan anak kecil saja. Lagi pula, kalau Yukinoshita yang jadi lawannya, kesempatan untuk merasa takut saja kita takkan punya. Itu sudah di luar dari rasa takut, pada intinya, yang tertinggal hanyalah perasaan kalau kita baru saja melihat sesuatu yang begitu indah.

Kemudian, semua anak di kelas pun langsung terkesima pada perempuan itu. Di satu sisi, suara ketukan kuku Miura pada meja bahkan menghilang, dan ruang kelas pun jadi sunyi senyap. Tapi sesegeranya, suara Yukinoshita mulai memecah keheningan yang ada.

"Yuigahama. Kau sungguh terlalu, menyuruhku untuk menunggumu di suatu tempat dan hingga sekarang belum kunjung datang di waktu yang dijanjikan. Bukankah kau setidaknya mengirim pesan padaku terlebih dahulu bahwa kau akan telat?"

Mendegar itu, Yuigahama jadi tampak lega dan tersenyum. Ia mulai menuju ke arah Yukinoshita.

"... ma-maaf. Tapi, eng, sebenarnya aku enggak punya nomor ponsel-mu ...."

"... begitukah? Kurasa kau benar. Baiklah, aku tak sepenuhnya menyalahkanmu di sini. Kali ini kumaklumi saja."

Yukinoshita sepertinya tak peduli dengan yang sedang terjadi di sini, dan terus saja berbicara sesuka hatinya. Rasanya sedikit melegakan melihat ia dengan santainya beranjak pergi.

"Tung-tunggu dulu! Kami ini sedang bicara!"

Miura tampak telah lepas dari kelumpuhannya, dan mengarahkan kegeramannya pada Yukinoshita dan Yuigahama.

Sang Ratu Api naik pitam, dan kobaran apinya semakin memanas.

"Ada apa? Aku tak punya banyak waktu untuk meladenimu. Aku masih belum menikmati makan siangku."

"Ha-hah? Kau sendiri yang tiba-tiba muncul, tapi malah enggak sadar dengan ucapanmu? Aku ini sedang bicara dengan Yui!"

"Bicara? Bukankah yang kaulakukan tadi hanya membentak? Itukah yang kaumaksud dengan bicara? Yang tampak bagiku, kau hanyalah berusaha membuat dirinya ketakutan dan memaksakan pendapatmu secara sepihak padanya."

"Ap—?!"

"Maaf, aku tak menyadari sebelumnya. Kuakui kalau aku tak begitu paham mengenai cara hidupmu, jadi jangan salahkan aku jika yang kaulakukan tadi kuanggap sama seperti primata yang berusaha mengintimidasi sesamanya."

Bahkan Sang Ratu Api pun membeku di hadapan Sang Ratu Es.

"Ooo ...."

Miura menatap ke arah Yukinoshita, kemarahannya sudah tampak jelas terlihat. Yukinoshita sendiri justru mengalihkan pandangannya seolah tak peduli.

"Kau boleh mengeluh sesukamu dan bertingkah layaknya sang penguasa istana, tapi tolong lakukan itu di ranah pribadimu sendiri. Karena jika tidak, maka drama murahanmu itu akan hancur seiring memudarnya riasan di wajahmu."

"... eh, kau ini bicara apa? Aku sama sekali enggak paham."


Berbicara layaknya orang yang tak mau dianggap kalah, akhirnya Miura pun kembali rebah ke kursinya. Rambut ikal melingkarnya berayun-ayun sewaktu ia mulai menggebu-gebu mengetik di ponsel-nya.

Tak seorang pun mencoba bicara pada gadis itu dalam suasana seperti ini. Bahkan Hayama sekalipun yang biasanya pandai dalam menjaga suasana, hanya bisa menguap seolah berusaha membuyarkan kecanggungan yang ada.

Dan setelah kejadian itu berakhir, Yuigahama masih berdiri terpaku. Ia cengkeram erat keliman roknya dan tampak seakan ingin mengucapkan sesuatu. Yukinoshita mungkin sudah mengira maksud dari Yuigahama itu, karenanya, ia pun mulai beranjak pergi dari ruang kelas.

"Aku pergi dulu."

"Nan-nanti aku menyusul ...."

"... lakukan yang mau kaulakukan."

"Baik."

Mendengarnya, Yuigahama lalu tersenyum. Namun cuma ia seorang saja yang tersenyum.

Hei, hei. Suasana macam apa ini .... Situasi begini benar-benar terasa tak nyaman, dan rasanya sesak kalau berlama-lama di sini. Dan tanpa kusadari, lebih dari separuh teman sekelasku sudah mulai pergi dari ruangan ini dengan alasan kalau mereka haus atau sedang ingin ke kamar kecil. Yang masih tersisa hanyalah Hayama, Miura dan grupnya, serta beberapa anak yang masih diliputi rasa penasaran.

Kurasa aku harus mengambil kesempatan ini untuk mengikuti arus besar yang menuju pintu keluar! Serius, andai suasana di sini menjadi tambah kelam, bisa-bisa aku bakal kehabisan napas kemudian mati.

Setenang mungkin aku mulai berjalan ke arah pintu dan berpapasan dengan Yuigahama. Dan di saat itu juga kudengar sebuah bisikan kecil.

"Terima kasih, sudah berdiri demi aku."



Read more ...»

Oregairu Jilid 1 Bab 4

On 0 komentar

-Bab 4 - Meski Begitu, Kelas Berjalan Seperti Biasanya.-


Daftar Isi

Read more ...»