Oregairu Bab 6 Bagian 3

On Sabtu, 28 Juni 2014 0 komentar

==========================================================
Yaaaah... Muncul juga Saika... *Loh...???
Asyiknya membaca novel seperti ini, kita bisa membuat visualisasi adegannya dengan daya khayal dalam pikiran kita sendiri... Dan terlepas dari komedi seputar Saika di bagian ini, ane merasa adegan Yui di sini begitu sentimentil (#teamyuigahama)...
Pokoknya, bagian ini terasa berbeda sama yang di anime, beginilah adegan sesungguhnya yang diringkas habis di anime-nya...
Akhirnya ketebus juga satu dosa... Baiklah, selagi bulan puasa, ane mau nebus dosa yang lainnya dulu...
Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 6 - Akan Tetapi, Saika Totsuka Mau Saja Menurut

Bagian 3


Saat itu jam istirahat makan siang.

Aku memakan bekalku di tempat biasanya. Markasku ini bertempat di lantai satu paviliun, bersebelahan dengan ruang UKS dan terletak di pojok belakang kantin. Untuk lebih jelasnya, itu adalah posisi di mana aku bisa melihat langsung lapangan tenis.

Dengan santai kumakan wiener roll, onigiri isi tuna, dan Neapolitan roll yang kubeli dari kantin ini.

Dan rasanya begitu damai.

Di saat yang sama, suara permainan drum yang berirama hendak mengajakku masuk ke alam mimpi.

Para anggota Klub Tenis Putri memulai latihan pribadinya di siang hari, itu sebabnya mereka berada di sisi luar dekat tembok; mereka memukul bolanya lalu dengan heroik mengejar untuk mengembalikannya, kemudian mereka memukulnya kembali.

Sambil memakan bekalku, mataku mengikuti pergerakan mereka. Di penghujung istirahat makan siang, kuhisap teh lemon dalam kemasan ini lewat sedotan, dan bisa kurasakan hembusan angin sedang membuai diriku.

Arah angin pun berubah.

Berubah-ubah seiring cuaca di hari-harinya, namun karena sekolah ini dekat dengan laut, arah angin biasanya berganti sekitar siang hari. Rasanya hampir seolah angin laut pagi hari sedang berhembus kembali ke arah asalnya.

Menghabiskan waktu sendirian begini, merasakan angin tersebut membelai diriku, rasanya tidak buruk-buruk amat.

"Eh? Hikki, ya?"

Angin yang sama ikut membawa suara yang tak asing ke telingaku. Saat aku menoleh, kulihat Yuigahama sudah berdiri sambil menggenggam roknya supaya tak tertiup angin.

"sedang apa di sini?"

"Aku biasa makan di sini."

"Eh, yang benar? Kenapa di sini? Bukannya lebih nyaman kalau makan di kelas?"

"..."

Yuigahama tampak benar-benar bingung, tapi aku hanya menanggapinya dengan diam. Kalau memang lebih nyaman di kelas, tak mungkin aku sampai makan di luar begini... dasar, kenapa ia tak peka begitu?

Kita ganti saja topiknya.

"Lebih penting lagi, kenapa kau ada di sini?"

"Oh, iya! Sebenarnya aku kalah main suten sama Yukinon, jadi... bisa dibilang ini hukumannya."

"jadi hukumannya bicara denganku...?"

Memilukan sekali... rasanya ingin mati saja.

"Bu-bukan, bukan! Yang kalah harus membeli jus! Cuma itu!"

Yuigahama buru-buru mengibaskan tangannya, berusaha menyangkal anggapanku. Baguslah; padahal aku sempat ingin bunuh diri tadi...

Yuigahama mengelus dadanya karena lega, kemudian mendudukkan dirinya di sebelahku.

"Awalnya Yukinon enggak mau. Aku bisa beli makan sendiri. Lagi pula, apa untungnya bagiku memenangkan permainan tak penting ini? Begitu katanya."

Untuk alasan tertentu, Yuigahama tampak berusaha meniru Yukinoshita. Sayangnya ia gagal.

"Yah, ia memang seperti itu."

"Betul, terus aku bilang, Jadi kau merasa kalau enggak bisa menang, ya? Habis itu ia setuju mau ikut."

"...yah, ia memang seperti itu."

Perempuan itu biasanya terlihat begitu kalem, namun beda cerita jika ada yang menantangnya, soalnya ia benci sekali kalah. Ia langsung setuju mengikutinya sama seperti waktu Bu Hiratsuka menantangnya dulu.

"Terus, waktu Yukinon menang, ia sedikit mengepalkan tangannya, lo... lucu banget, deh..."

Yuigahama lalu menghela napas senang.

"Kurasa ini pertama kalinya aku merasa begitu senang saat mengikuti permainan hukuman."

"Jadi kau sudah sering memainkannya?"

Saat aku menanyakan itu, Yuigahama mengangguk.

"Ya, sering beberapa kali..."

Mendengarkannya tiba-tiba membuatku teringat sesuatu. Di penghujung istirahat makan siang, selalu saja ada pojok ruangan konyol yang meributkan permainan suten...

"Cih, rupanya itu sudah jadi klub yang agak eksklusif bagimu."

"Kok reaksimu jelek begitu? Kau enggak suka, ya?"

"Ya jelas, lah. Aku benci orang-orang yang membuat kumpulannya sendiri lalu bercanda dengan sesamanya... ah, tapi aku suka perselisihan internal. Karena aku tak terlibat di dalamnya!"

"Alasanmu enggak hanya suram, tapi terdengar sangat rendahan!"

"Berisik. Pergi saja sana..."

Yuigahama lalu tersenyum sambil memegangi rambutnya, menjaganya agar tak tertiup angin. Ekspresi tadi tampak berbeda dengan yang biasanya ia perlihatkan sewaktu bersama Miura dan kawan-kawannya di kelas...

Ahh, begitu. Kalau tidak salah, ia tak mengenakan riasan yang berlebihan. Wajahnya jadi terlihat lebih alami. Mungkin perubahan tersebut baru saja ia lakukan, meski begitu, bukan berarti aku jadi punya kebiasaan memandangi wajah perempuan... ah, terserahlah.

Tapi itu adalah bukti kalau ia telah berubah, walaupun itu hanya sedikit.

Mungkin itu dikarenakan riasan yang tak berlebihan di wajahnya, tetapi... saat Yuigahama tersenyum, mata sayu dan wajah belianya itu jadi tampak semakin muda.

"Tapi masa, sih? Kupikir Hikki juga sudah terbiasa membuat kumpulan sendiri. Soalnya waktu di ruang klub, kau selalu tampak senang jika mengobrol dengan Yukinon. A-aku pun selalu merasa kalau aku enggak bakal bisa bergabung di perbincangan kalian..."

Sewaktu mengatakannya, Yuigahama merangkul kedua lututnya dan membenamkan wajahnya di sana. Ia lalu melirik ke arahku.

"Yah, mungkin karena aku ingin ikut bergabung juga... ta-tapi bukan dalam artian yang aneh-aneh lo, ya! Mak-maksudku, perbincangan yang juga melibatkan Yukinon! Mengerti, 'kan?!"

"Jangan khawatir... aku bukan orang yang gampang salah paham kalau berurusan dengan orang sepertimu."

"Maksudmu itu apa?!"

Yuigahama lalu mengangkat kepalanya, tampak kalau ia kesal. "Ah, sabar, sabar, tenang dulu!" Kutahan dirinya dengan tanganku, kemudian berbicara.

"Yah, Yukinoshita itu lain cerita. Soalnya ia tak terelakkan."

"Maksudnya?"

"Hmm? Begini, tak terelakkan itu mengacu pada suatu wujud atau keadaan yang mustahil ditentang oleh kemampuan manusia. Maaf kalau aku memakai kata-kata sulit."

"Bukan! Aku sudah tahu artinya! Kau itu yang terlalu meremehkanku! Asal tahu saja, ya, aku mengikuti ujian penerimaan dan berhasil masuk ke SMA Soubu, sama sepertimu!"

Yuigahama lalu melayangkan chop-nya tepat ke tenggorokanku. Sempurna mengenai jakunku, hingga membuatku terbatuk. Kemudian Yuigahama menatapku sambil menjauh dan bertanya dengan nada serius.

"...hei, bicara soal ujian penerimaan... kau masih ingat hari pertamamu masuk SMA, enggak?"

"Uhuk uhuk uhuk! Eh...? Ah, aku tak begitu ingat, soalnya hari itu aku kecelakaan."

"Kecelakaan..."

"Iya. Saat hari pertamaku masuk SMA, aku berangkat sambil bersepeda, tahu-tahu ada anjing milik orang bodoh yang lepas berkeliaran. Anjing itu hampir mau dilindas mobil, jadi aku mengorbankan diri melindunginya... tentu saja, aksiku saat itu sangat keren dan heroik."

Mungkin ada yang sudah kulebih-lebihkan pada cerita itu, tapi tak mungkin juga ada orang lain yang tahu... sekalipun ada yang tahu, paling-paling juga tak ada yang mau membahasnya. Karena itu, di situasi begini ada baiknya bagiku untuk terlihat sedikit lebih keren.

Sewaktu ia mendengarnya, wajah Yuigahama menegang.

"Mi-milik orang bodoh, ya... jadi Hikki sama sekali enggak ingat wajahnya?"

"Karena saat itu aku kesakitan, makanya aku tak begitu ingat. Yah, yang jelas tak ada kesan yang begitu membekas di ingatanku, jadi kurasa ia orang yang biasa-biasa saja."

"[Biasa-biasa saja... ya-yah, waktu itu aku memang tak memakai riasan, sih... rambutku juga belum diwarnai, dan saat itu aku lagi memakai piyama sekenanya... oh, di piyama itu juga ada gambar beruang kecil, jadi aku mungkin agak kelihatan seperti orang bodoh waktu itu...]"

Suara Yuigahama begitu pelan sampai-sampai tak bisa kudengar — yang kulihat hanya gerak bibirnya yang menggumamkan sesuatu sambil menatap ke lantai. Apa perutnya itu sedang mual?

"Ada apa?"

"Enggak... enggak apa-apa, kok... benaran! Jadi Hikki memang enggak ingat sama perempuan itu, ya?!"

"Begitulah, seperti yang tadi kubilang, aku memang tidak ingat... eh, tunggu. Memangnya tadi aku ada bilang kalau itu perempuan?"

"Eh?! I-iya, tadi kau bilang begitu, kok! Benaran! Soalnya, dari tadi yang kaubahas, ...perempuan ini, perempuan itu, perempuan ini, perempuan itu!!"

"Memangnya aku semenjijikkan itu, ya...?"

Saat mengatakannya, Yuigahama hanya tertawa keras dan terdengar hampa, lalu dengan senyum yang masih tertinggal di wajahnya itu, ia memalingkan muka ke arah lapangan tenis. Spontan, aku pun ikut memalingkan muka.

Kurasa saat itu waktunya para anggota klub Tenis Putri untuk menghentikan latihan mereka; mereka menyeka keringatnya lalu kembali ke kelas.

"Hei! Sai~~!"

Yuigahama memanggil sambil melambaikan tangan. Tampaknya ia sedang menegur seseorang yang dikenalnya.

Perempuan itu melihat Yuigahama lalu berlari kecil menghampiri kami.




"Wah, lagi latihan, ya?"

"Iya. Saat ini tim kami benar-benar lemah, karena itu kami harus berlatih saat istirahat makan siang... kami sudah berulang kali meminta izin dari pihak sekolah supaya bisa menggunakan lapangan ketika istirahat, untunglah mereka akhirnya memperbolehkannya. Oh, iya. Yuigahama dan Hikigaya sedang apa di sini?"

"Ahh, bukan apa-apa..."

Ujar Yuigahama sambil menoleh ke arahku seolah meminta pembenaran. Yah, aku juga sudah selesai makan, dan urusannya sendiri juga sudah mau selesai, 'kan? Apa kemampuan fokusnya itu memang seperti burung...

"Oh, begitu." Perempuan itu, Sai atau siapalah namanya, tersenyum pada kami.

"Sai, kau enggak hanya bermain tenis saat pelajaran Olahraga, tapi saat istirahat makan siang juga... rasanya pasti berat."

"Iya, tapi aku juga memang mau, kok, jadi tidak masalah... oh, iya, Hikigaya, ternyata kau cukup hebat bermain tenis, ya."

Mengejutkan, ia mengubah arah pembicaraannya kepadaku, makanya aku langsung terdiam. Pertama kalinya aku mendengar yang seperti ini. Lagi pula, siapa sebenarnya anak ini? Kenapa ia bisa tahu namaku?

"Ohh...?" Ada beberapa hal yang ingin kutanyakan padanya, namun sebelum aku sempat, Yuigahama sudah memotong duluan, seolah terkesan.

"Masa, sih?"

"Iya, waktu ia bermain, form-nya benar-benar bagus."

"Ahh, kau membuatku malu, ha ha ha... [anak ini siapa, ya?]"

Kalimat terakhir tadi kuucapkan dengan sedikit berbisik agar hanya Yuigahama saja yang bisa mendengarnya, namun ia justru membuat usahaku jadi tak ada artinya.

"Haaahh?! Kau itu satu kelas dengannya, lo! Bahkan kau sama-sama dengannya di pelajaran Olahraga! Kok bisa enggak tahu, sih?! Keterlaluan banget!"

"Dasar bodoh, tentu saja aku tahu! Tadi aku hanya lupa! ...soalnya laki-laki dan perempuan dipisah saat pelajaran Olahraga!"

Aku sudah berusaha untuk lebih peka, dan ia benar-benar menghancurkan usahaku... kini semua orang di dunia bakal tahu kalau aku tak tahu nama perempuan ini. Dan mungkin kini ia sedang dalam suasana hati yang buruk...

Sewaktu memikirkan itu, aku memandang ke arah Sai dan melihat matanya sudah berkaca-kaca... sial, ini gawat. Kalau diibaratkan anjing, ia mirip seperti chihuahua, dan ibarat kucing, ia mirip seperti munchkin... tampangnya sendu sekali dan itu menggemaskan.

"A-ahaha. Kurasa kau memang tak ingat namaku... aku Saika Totsuka. Kita berdua sekelas."

"A-ah, maaf kalau begitu. Soalnya kita baru saja naik kelas dua, jadi aku agak sulit mengenali murid lain... haha."

"Kita juga sekelas waktu kelas satu, kok... ehehe, mungkin keberadaanku tak begitu mencolok..."

"Bukan, bukan begitu... oh, aku mengerti! Itu karena aku jarang sekali bergaul dengan perempuan di kelas kita! Asal tahu saja, aku pun masih tak tahu nama lengkap perempuan yang ada di sebelahku ini!"

"Sudah, ingat-ingat saja sana!"

Yuigahama lalu memukul kepalaku, tapi itu malah membuat Totsuka bergumam sambil menyeringai.

"Kau pasti sudah berteman baik dengan Yuigahama..."

"E-ehh?! Sa-sama sekali enggak, kok! Yang ada, aku malah ingin membunuh anak ini! Kubunuh Hikki terlebih dahulu lalu gantian aku yang menyusul... ya, semacam itulah!"

"Ya, begitulah! ...omong-omong, yang tadi itu mengerikan! Kau benar-benar mengerikan! Memangnya kita pasangan bunuh diri, apa?! Amit-amit, deh!"

"Hah?! Ka-kau ini benaran bodoh, ya?! Bukan seperti itu maksudku!"

"Kalian berdua benar-benar akrab, ya..."

Kata Totsuka dengan nada memelas, yang kali ini memandang ke arahku.

"Omong-omong, aku ini laki-laki... apa menurutmu aku kelihatan selemah itu?"

"Eh?"

Pikiran dan tubuhku seketika itu juga terhenti. Aku segera menoleh ke arah Yuigahama. Itu bohong, 'kan? Tatap mataku menanyakan itu. Namun Yuigahama, yang masih kesal dan tampak merah pipinya itu, hanya memberi anggukan tegas kepadaku.

Tunggu... serius, nih? Mustahil. Itu pasti cuma lelucon.

Totsuka melihat tatapan penuh keraguanku dan wajahnya mulai memerah. Ia menundukkan kepalanya, lalu menatapku sambil menengadah.

Tangan Totsuka perlahan bergerak turun ke celana pendeknya. Pergerakan kecil itu sudah cukup untuk memikatku.

"...kalau kau mau, aku bisa menunjukkan buktinya."

Aku merasa sesuatu di dalam hatiku ini tersentak.

Iblis kecil Hachiman lalu muncul di bahu kananku. "Wuoh, mantap, lanjutkan saja, terus lihat baik-baik — siapa tahu kau beruntung, ya 'kan?" Yah, ada benarnya juga, sih... lagi pula, ini kesempatan yang sangat langka. "Tunggu sebentar!" Ahh, kali ini malaikat Hachiman yang muncul. "Selagi sempat, kenapa tak kauminta ia melepas bajunya dulu?" Apa-apaan itu... malaikat hina macam apa yang bisa bicara seperti itu?

Akhirnya, aku memilih untuk mendengarkan akal sehatku sendiri.

Benar, dengan karakter androgini semacam ini, seluruh daya tarik yang bersemayam dalam jenis kelamin mereka terasa begitu ambigu! Dan pada kesimpulan logis ini, aku pun mampu menenangkan diri dan melanjutkan dengan kepala dingin.

"Pokoknya... aku minta maaf. Aku sama sekali tidak tahu, biarpun begitu, aku sungguh minta maaf jika sudah membuatmu tak nyaman."

Saat Totsuka mendengarnya, ia lalu mengusap air mata yang sudah bermuara di matanya itu dan tersenyum padaku.

"Ah, tidak apa-apa."

"Tapi, Totsuka... aku terkejut kau bisa tahu namaku."

"Eh, ahh... yah, soalnya Hikigaya tampak mencolok kalau di kelas."

Setelah Totsuka mengatakannya, Yuigahama lalu memandang ke araku.

"Maaasa? Tapi tampangnya biasa-biasa saja... bahkan butuh usaha lebih supaya bisa menyadari keberadaan anak ini."

"Dasar bodoh, tentu saja aku mencolok! Sama mencoloknya seperti bintang-bintang yang bersinar di malam hari!"

"Kok bisa?"

Wah, ia kini menanggapiku tanpa melepas pandangannya padaku.

"...ya-yah, ketika seseorang duduk di pojok ruang kelas lalu berbicara sendiri, bukankah itu akan membuatnya sedikit mencolok...?"

"Ah, jadi itu maksudnya menco—... ahh, eng... maaf sudah bertanya..."

Yuigahama lalu mengalihkan pandangannya dariku. Sikap yang seperti itu yang bisa membuatku jadi murung...

Suasana pun kembali menengang, karena itu Totsuka memilih untuk mengalihkannya.

"Tapi Hikigaya memang hebat bermain tenis, kok. Kau sudah sering memainkannya, ya?"

"Yah, aku pernah beberapa kali memainkan game Mario Tennis waktu SD dulu, tapi untuk tenis yang asli, aku belum pernah."

"Oh, yang dimainkan bareng-bareng itu, 'kan? Aku juga pernah main, lo. Bermain ganda menyenangkan banget, deh~~"

"...aku hanya bermain seorang diri."

"Eh? ...ah. Eng... maaf."

"Apa-apaan itu, memangnya kau itu penyapu ranjau pikiran, apa? Apa kerjamu itu cuma menggali kepingan-kepingan trauma yang kupunya saja, hah?"

"Hikki sendiri yang terlalu banyak menyimpan ranjau!"

Totsuka yang berdiri di samping kami, tampak begitu senang menyaksikan perdebatanku dengan Yuigahama.

Dan begitulah, bel yang menandakan berakhirnya istirahat makan siang pun berbunyi.

"Ayo balik."

Ucap Totsuka, dan Yuigahama pun mengikuti di belakangnya.

Kupandangi mereka dari belakang dan tiba-tiba aku merasa sedikit aneh.

Oh, iya... mereka itu satu kelas, wajar saja kalau pergi bareng... tanpa sadar aku jadi terikut mereka.

"Lo, Hikki? Kau sedang apa?"

Yuigahama menoleh ke arahku sambil kebingungan. Totsuka pun menghentikan langkahnya lalu menghadap ke arahku.

Bukan hal aneh kalau aku pergi bareng mereka, 'kan? Hampir saja kutanyakan hal itu, namun kuhentikan.

Yang ada, aku malah bertanya.

"Terus, bagaimana dengan jus yang mau kaubeli tadi?"

"Eh? ...ahhh!!"



Read more ...»

Saekano Jilid 1 Bab 1 [Manga]

On Senin, 23 Juni 2014 0 komentar

Sambil menunggu lanjutan Oregairu yang masih ane kerjakan (yang jumlah halamannya berlembar-lembar) kita nikmati dulu manga yang mungkin adaptasi anime-nya bakal jadi "hit" di tahun depan...



Dengan judul "Saenai Kanojo no Sodate-kata (冴えない彼女の育てかた)" yang bisa diartikan "Cara Mengembangkan Karakter Gadis Yang Tak Punya Daya Tarik"...
Penerjemah: Cucundoweh
Pembersih Gambar, Tata Letak Teks, Pengolah Berkas, Pengedar: Rizerza

Yak benar... Ini cuma proyek iseng kok...
Kalau soal LN-nya, mungkin bakal dijadikan proyek (mungkin)...


Read more ...»

Oregairu Bab 6 Bagian 2

On Rabu, 18 Juni 2014 0 komentar

==========================================================
Nah, kalau yang ini baru pembuka Episode 3...
Fantasista adalah sebutan bagi pemain sepak bola yang bisa melakukan hal-hal yang sulit dibayangkan manusia ketika bermain sepak bola... Kalau yang pernah baca komiknya (dengan judul yang sama) pasti mengerti... Begitu pula dengan QED (Quod Erat Demonstrandum) yang artinya "sudah terbukti", dan kalau yang pernah baca komiknya pasti juga sudah mengerti...
Yang terakhir, sampai di bagian ini, Saika Totsuka belum aja muncul... Trap-lover bersabar dulu, ya...
Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 6 - Akan Tetapi, Saika Totsuka Mau Saja Menurut

Bagian 2


Berganti bulan berarti ikut berganti pula kegiatan dalam pelajaran Olahraga.

Di sekolahku, pelajaran Olahraga dilaksanakan serempak oleh tiga kelas berbeda, dan enam puluh anak lelaki yang ada di kelompok tersebut dipisah ke dalam dua kegiatan.

Hingga bulan kemarin, kami harus memilih antara bola voli ataupun lari. Dan untuk sekarang, pilihannya adalah tenis atau sepak bola.

Baik aku maupun Zaimokuza adalah seorang fantasista di lapangan hijau, tetapi kami berdua lebih memfokuskan diri pada skill individu masing-masing. Maka dari itu, kami beranggapan bahwa akan merugikan bagi tim andai kami bergabung di dalamnya, sehingga kami pun memilih tenis. Tentunya... aku adalah orang yang sudah gantung sepatu dalam dunia sepak bola karena cedera lama yang menghinggapi kaki kiriku ini. Dan itu bukan cedera yang kualami saat bermain sepak bola...

Akan tetapi, tampaknya tahun ini banyak sekali anak yang ingin bermain tenis. Lalu setelah melewati pertarungan suten yang heroik, akhirnya aku pun bertahan dalam grup tenis sedangkan Zaimokuza terpaksa masuk ke grup sepak bola.

"Hemh, Hachiman... sungguh disayangkan karena aku tak bisa memperlihatkan bola melengkung ajaibku di sini. Tanpa dirimu... siapa gerangan orang yang bisa kuajak berpasangan dalam latihan mengumpan...?"

Ucapan tersebut meninggalkan kesan mendalam bagiku. Zaimokuza yang biasanya tampil percaya diri kini terlihat begitu putus asa.

Siapa gerangan orang yang bisa kuajak berpasangan...? Pertanyaan itu sebenarnya juga berlaku untukku.

Lalu kegiatan tenis pun dimulai.

Kulakukan peregangan secara serampangan kemudian mendengarkan arahan mengenai tenis dari Pak Atsugi selaku guru Olahraga.

"Baik, sekarang ayo kita praktikkan. Buat pasangan, lalu tiap anak tempati masing-masing sisi lapangan."

Setelah Pak Atsugi berkata demikian, semua anak menyebar ke dalam kelompok kecil lalu pergi ke masing-masing sisi lapangan.

Bagaimana bisa mereka secepat itu berpasangan? Mereka bahkan tak melihat sekitarnya dulu! Apa mungkin mereka juga ahli dalam umpan tanpa melihat?

Radar penyendiriku yang sensitif mulai aktif, mendeteksi tingginya tingkat peluang ditelantarkan.

Aku tidak takut. Aku sudah mengembangkan trik khusus untuk saat-saat seperti ini.

"Eng... saya sedang tak enak badan, Pak. Jadi boleh saya berlatih sendiri dengan tembok? Soalnya saya tak mau merepotkan yang lain."

Ujarku demikian, dan tanpa menunggu tanggapan Pak Atsugi, aku segera menuju ke arah tembok dan mulai mengayunkan raket. Mungkin Pak Atsugi sadar kalau beliau sudah melewatkan kesempatan untuk menanggapiku, karena itu beliau sama sekali tak mempersoalkannya.

Trik tersebut benar-benar ampuh...

Pernyataan, Tak enak badan serta Tak mau merepotkan yang lain, punya efek sinergi yang besar. Dan dengan memakai kalimat itu aku juga bisa bersikap santai seolah aku memang punya motivati untuk berusaha keras.

Begitulah. Ini tindakan pencegahan yang kukembangkan setelah melalui begitu banyak pelajaran Olahraga sewaktu disuruh berpasangan dengan siapa saja sesukanya. Mungkin kapan-kapan aku akan mengajari ini ke Zaimokuza... aku yakin anak itu akan senang dan menangis bahagia.

Kukejar bolanya dan kupukul kembali ke arah tembok, gerakan tersebut kulakukan berulang-ulang. Waktu berlalu seiring kulanjutkan kegiatan monoton itu.

Lalu kudengar sorakan riuh dari sekitarku sewaktu para anak lelaki lain sedang memainkan tenis yang tampak heboh itu.

"Uryoaah! Wuoh?! Itu pukulan yang hebat, 'kan?! Luar biasa, 'kan?!"

"Iya, hebat! Enggak ada yang bisa memukul kayak begitu! Keren!"

Sorakan tersebut jelas menandakan bahwa mereka sedang bersenang-senang selama sesi latihan bebas.

Berisik, mati saja sana... Pikirku sewaktu aku menoleh dan melihat Hayama.

Pasangan main Hayama
atau tepatnya, mereka yang sering terlihat berempat terdiri dari dirinya sendiri, si rambut pirang yang begitu akrab dengannya di kelas, beserta dua anak lainnya yang tak begitu kukenal. Mungkin mereka dari kelas 3-C atau kelas 3-I atau kelas lainnya... pokoknya, bisa dibilang mereka memancarkan aura heboh selama bermain tenis.

"Wuaah!" Si rambut pirang itu tak bisa mengembalikan pukulan Hayama dan berteriak. Perhatian seluruh anak pun tertuju ke arahnya, penasaran tentang yang sedang terjadi.

"Hayama, yang tadi itu benar-benar hebat! Bolanya tadi melengkung, 'kan? Benaran melengkung, 'kan?!"

"Ah, kurasa tadi aku tak sengaja memilin bolanya... maaf, itu salahku."

Hayama mengangkat tangannya untuk meminta maaf, namun kata-katanya justru tenggelam oleh sikap berlebihan si rambut pirang setelahnya.

"Gila?! Kau bisa memukul bola dengan teknik melengkung begitu?! Hayama memang hebat! Benar-benar hebat!"

"Hahaha... masa, sih?"

Hayama segera masuk ke dalam pembicaraan kemudian tertawa riang. Di saat yang sama, pasangan di sebelahnya juga ikut berkomentar.

"Hayama juga hebat bermain tenis, ya? Bola yang melengkung tadi... bisa ajari aku caranya, enggak?"

Anak yang bicara lalu mulai berjalan mendekati Hayama tadi punya rambut yang dicat cokelat, dan anehnya ia terlihat cukup kalem. Kami mungkin satu kelas. Aku juga tak tahu namanya, jadi itu tak begitu penting.

Dalam sekejap, kuartet Hayama tadi berubah menjadi sekstet. Saat ini mereka adalah geng penguasa terbesar di pelajaran Olahraga... omong-omong, sekstet kok malah terdengar seperti sexaroid, ya? Ya, ya, ya... memang terdengar mesum, sih...

Pokoknya, itulah alasan kenapa pelajaran tenis berubah menjadi Kerajaan Hayama. Rasanya seolah kita tak boleh mengikuti pelajaran jika bukan bagian dari kelompok mereka. Tentu saja, semua anak di luar kelompok Hayama jadi diam tak bersuara. Selamat tinggal, kebebasan berbicara...

Kegaduhan yang dibuat oleh kelompok Hayama memberi kesan begitu kuat, padahal Hayama sendiri tak begitu gaduh
orang-orang di sekitarnya yang justru bikin gaduh. Lebih tepatnya, si rambut pirang, yang secara sukarela menjadi kepala pelayan dari Kerajaan Hayama itulah yang paling gaduh.

"Melengkung!"

Ya, 'kan? Anak itu benar-benar gaduh.

Padahal bola yang dipukul si rambut pirang itu tak melengkung sama sekali, justru melayang jauh dari Hayama dan mengarah ke pojok lapangan yang gelap dan lembab. Dengan kata lain, bola itu melayang ke arahku.

"Ah, maaf, maaf! E-eng... hei, Hikitani, ya? Hikitani, bolanya lempar ke sini, dong."

Siapa itu Hikitani?

Tapi aku tak ingin membenarkan ucapannya, jadi kuambil saja bola yang menggelinding ke arahku itu kemudian kulemparkan padanya.

"Terima kasih, ya!"

Hayama tersenyum dan melambaikan tangannya padaku.

Aku menanggapinya dengan sedikit mengangguk.

...buat apa aku mengangguk?

Sepertinya naluriku menganggap bahwa Hayama berada lebih tinggi di atasku... bahkan dengan standarku ini, aku jadi benar-benar tunduk. Begitu tunduknya sampai-sampai membuatku berpikir bahwa aku sudah dipercundangi oleh seseorang...

Kukumpulkan semua perasaan suram ini dan kulampiaskan semuanya pada tembok.

Tembok adalah rekan terpenting dalam masa muda.

...bicara soal itu, aku masih penasaran kenapa istilah tembok berlapis sering ditujukan untuk payudara kecil?

Terdapat satu teori, yakni tembok berlapis tersebut adalah siluman tanuki, dan tembok itu sendiri adalah tanuki yang sedang membentangkan alat kelaminnya. Memangnya tembok macam apa itu? Hal yang barusan itu sebenarnya justru terdengar seperti benda empuk... jadi dengan kata lain, dan cukup paradoks, ketika kita mengejek seorang perempuan yang berpayudara kecil dengan sebutan tembok berlapis, maka secara tak langsung kita berkata kalau payudaranya itu cukup empuk. QED, jelas terlihat. Bodoh.

Biarpun begitu, aku yakin Hayama tak pernah berpikir demikian. Teori di luar nalar tadi hanya bisa diciptakan oleh rasa sakit hatiku yang tak biasa ini.

Baiklah, anggap saja kami seri hari ini... yak, rasanya juga memang begitu.



Read more ...»

Oregairu Bab 6 Bagian 1

On Kamis, 12 Juni 2014 0 komentar

==========================================================
Wuoh... Lama juga ane istirahatnya... Gak bisa dibilang istirahat juga sih, alasan juga masih tetap sama...
Pembuka kasusnya Saika yang harusnya di anime jadi Episode 3, tapi di bagian ini malah menceritakan pembuka Episode 4...
Salah satu bagian ecchi yang membuat ane hampir tergoda buka pu*ur*n... Hkhkhk... Untung ane masih normal (imannya)...
Sulit melokalkan guyonan-guyonan yang ada di bagian ini... Tapi tenang aja, ane sudah berusaha supaya bisa dicerna, kok...
Lalu, Kita no Kuni kara adalah seri drama televisi di Jepang... Issei Fubi Sepia adalah nama grup musik asal Jepang yang terkenal di era Tahun 80-an...
Betewe, fanpage dah ane buat lagi loh...
Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 6 - Akan Tetapi, Saika Totsuka Mau Saja Menurut

Bagian 1


Komachi, adik perempuanku, memegang sepotong roti di tangannya dan sudah tenggelam dalam majalah mode yang sedang dibacanya. Aku mengamatinya dari samping selagi meminum secangkir kopi hitam di pagi hari.

Frasa menjengkelkan semacam Cara Menggaet Cowok maupun Paling Gaul berulang kali terlihat. Dan pada umumnya, artikel tersebut tampak hanya diisi oleh luapan kebodohan. Mendadak aku menganga dan bekas kopi yang kuminum membentuk sebuah garis di sudut bibirku.

Apa Jepang akan baik-baik saja jika terus seperti ini? Artikel tadi sungguh tak berkelas, tapi tetap saja adikku mengangguk-anggukan kepala sewaktu membacanya. Bagian mana yang sebenarnya ia setujui itu?

Majalah Heaventeen ini sepertinya telah menjadi majalah mode terpopuler di kalangan anak SMP. Bahkan sampai di titik jika ada yang tak membacanya... terlebih jika kita sampai tak membacanya, bisa-bisa kita bakal ditindas di sekolah.

"Oooh..." Komachi seperti terkesan akan sesuatu, dan remah-remah roti berjatuhan di lembar majalahnya. Apa ia sedang meniru dongeng Hansel dan Gretel?

Kini sudah pukul 7:45 pagi.

"Hei, sudah waktunya, nih."

Adik perempuanku masih terpana akan majalahnya, karena itu aku menyenggol bahunya dan mencoba memberi tahu bahwa sudah waktunya untuk pergi ke sekolah. Ketika aku melakukannya, Komachi langsung menengadah dan melihat ke arah jam dinding.

"Uwaah... gawat!"

Setelah berteriak begitu, Komachi segera menutup majalahnya lalu berdiri.

"Tunggu, tunggu, tunggu, lihat dulu mulutmu. Masih penuh begitu."

"Eh, masa, sih? Lagi macet di tengah-tengah mungkin, ya?"

"Memangnya mulutmu itu senapan otomatis, apa? Pakai istilah macet di tengah-tengah segala."

"Gawat, gawat." Adikku lanjut bergegas dan mengelap mulutnya dengan lengan piyama yang dipakainya. Asal tahu saja, terkadang adikku bisa jadi anak yang cukup maskulin...

"Omong-omong, Kak, terkadang Kakak sendiri enggak sadar apa yang Kakak bicarakan, ya 'kan?"

"Sok tahu, deh! Dasar!"

Namun adikku sendiri tampak tak memerhatikan ucapanku, dan sambil panik mulai mengganti piyamanya dengan seragam sekolah. Ia lalu melepas piyamanya, memperlihatkan kulit putihnya yang halus, beserta kutang dan celana dalam olahraganya.

Sial, jangan melepas baju di sini.

Adik perempuan adalah makhluk yang aneh. Tak peduli semanis apa mereka, kita takkan pernah merasakan apa-apa. Bagiku, pakaian dalamnya tak lebih dari sekadar potongan kain. Ia memang manis, tapi pada akhirnya yang muncul di pikiranku adalah fakta kalau ia mirip denganku... adik perempuan yang sebenarnya memang seperti itu.

Dengan seragam sekolahnya yang tak berkelas, Komachi memperlihatkan celana dalamnya yang tersingkap karena rok pendeknya yang di atas lutut itu sewaktu ia memakai kaos kaki panjang dan melipatnya sampai ke betis. Kupandangi dirinya dari samping selagi aku mengambil gula dan susu.

Hampir seakan ia berusaha ingin memperbesar payudaranya, belakangan ini Komachi banyak sekali meminum susu. Terserahlah, aku sama sekali tak peduli.

Meski begitu, saat aku menekankan bagian susu yang diminum adikku seperti tadi, kedengarannya justru agak erotis dan tak bermoral. Terserahlah, aku sama sekali tak peduli.

Bukan berarti aku mengambil gula dan susu ini karena terpengaruh susu yang diminum adikku tadi. Aku cuma ingin menambahkan bahan-bahan tersebut pada kopiku saja.

Bagi seseorang yang lahir dan dibesarkan di Chiba, yang lebih memilih mandi dengan Max Coffee, dan tumbuh besar dengan Max Coffee ketimbang ASI, maka aku wajib menambahkan gula pada kopiku. Lebih bagus lagi kalau dikentalkan dengan susu.

Biarpun begitu, andai disuruh, aku masih bisa meminum kopi hitam, kok.

"Hidup sudah terlalu pahit, paling tidak kopi harus terasa manis..."

Kugumamkan kalimat yang harusnya lebih cocok dipakai untuk iklan Max Coffee itu sewaktu meminum kopi yang telah dimaniskan ini.

Kalimat tadi... terdengar bagus. Harusnya mereka menggunakan kalimat itu untuk iklannya.

"Kakak! Aku sudah siap, nih!"

"Tapi kakakmu ini kan masih minum kopi..."

Aku menanggapinya dengan kesan memelas seperti adegan yang pernah kutonton di penayangan ulang Kita no Kuni kara, namun Komachi tak tampak memerhatikanku dan mulai bernyanyi dengan riang. "Nanti telat, lo~~ nanti telat, lo~~" Ia itu punya niat tak mau telat atau sebenarnya memang mau telat, sih...? Aku jadi bingung.

Hal ini berlangsung sejak beberapa bulan lalu, tapi adikku yang bodoh ini memang sering telat bangun, dan kalau sudah ada tanda-tanda ia bakal telat, kududukkan ia di sadel belakang lalu kuantar ia ke sekolah.

Sejak saat itu, sedikit demi sedikit, frekuensi aku mengantar dirinya ke sekolah semakin meningkat.

Tak ada yang lebih membuat kita tak tega selain air mata seorang perempuan. Terutama bagi Komachi, yang rupanya diberkati berbagai keahlian yang biasanya dimiliki oleh seorang adik perempuan, yang juga lihai memanipulasi kakak laki-lakinya. Karena dirinya itu, di benakku pun telah tertanam sebuah pemikiran kalau semua perempuan di dunia ini sama seperti Komachi, yang suka memanfaatkan lelaki demi kepentingannya sendiri.

"Kalau aku sampai tak percaya lagi sama perempuan, itu salahmu, lo, ya. Bagaimana jadinya kalau sampai tua nanti aku masih tetap melajang?"

"Kalau nanti jadinya begitu, biar Komachi yang urus."

Komachi tersenyum ke arahku. Kupikir adik perempuanku ini selamanya akan tetap jadi anak-anak, tapi melihat mimik dewasa yang aneh pada wajahnya, justru membuat jantungku sedikit berdebar.

"Aku akan bekerja keras dan menabung lalu memasukkan Kakak ke panti jompo."

Mungkin saja ia memang sudah dewasa... atau mungkin, ia hanya bersikap sok dewasa saja.

"...kau ini memang benar adikku, 'kan...?"

Aku tak bisa berhenti berdesah.

Kuteguk sisa kopiku yang ada di gelas lalu berdiri. Sewaktu aku melakukannya, Komachi mulai mendorongku dari belakang.

"Lambat banget, Kak. Sudah jamnya, nih! Komachi bakal telat, lo~~!"

"Anak ini..."

Kalau saja ia bukan adikku, mungkin sudah kutendang jauh-jauh. Biasanya sih, yang seperti itu malah jadi hal kebalikan, namun hal tersebut benar-benar terjadi di dalam keluarga Hikigaya. Kadang ayahku bisa jadi sosok penyayang kalau sedang berurusan dengan adikku. Beliau pun sering berkata akan membunuh lelaki mana saja yang mendekati adikku, sekalipun lelaki itu kakaknya sendiri. Mendengar beliau berkata begitu membuatku merasa mual. Dan ujung-ujungnya, kalau aku sampai berbuat macam-macam pada adikku, bisa-bisa akulah yang ditendang jauh-jauh oleh keluargaku sendiri.

Dengan kata lain, tak hanya di sekolah saja aku berada di lapisan terbawah dalam pergaulan, tapi di keluargaku sendiri pun aku tetap ada di posisi terbawah.

Kukayuh sepedaku lalu beranjak dari rumah. Komachi duduk di belakangku. Ia melingkarkan tangannya di pinggangku dan memelukku erat.

"Let's go!"

"Setidaknya bilang, Terima kasih, kek."

Bersepeda sambil berboncengan seperti ini jelas melanggar aturan lalu lintas, tapi karena pikiran Komachi masih kekanak-kanakan, jadi ya, dimaklumi saja.

Aku sedikit tersentak ketika Komachi berbicara padaku.

"Hari ini jangan sampai tabrakan, ya. Soalnya Komachi ini lagi boncengan bareng Kakak, lo."

"Jadi kalau aku sendirian, tak masalah kalau tabrakan, begitu...?"

"Bukan, bukan begitu. Duh, Kakak ini... kadang mata Kakak itu seperti ikan mati, makanya aku khawatir. Ini yang dinamakan kasih sayang seorang adik, paham?"

Sambil mengatakannya, Komachi membenamkan wajahnya di punggungku. Kalau saja ia tak mengucapkan kalimat kejam di awal tadi, mungkin aku bakal tergoda menyebut dirinya manis, tapi yang ada, kini aku merasa kalau ia cuma anak yang licik.

Meski begitu, sejujurnya... aku juga tak ingin membuat keluargaku merisaukan hal tak berguna.

"...ya, aku akan hati-hati."

"Yang pasti Kakak harus hati-hati, apalagi kalau sedang memboncengku."

"Kau meminta kakakmu ini supaya memilih jalan bergelombang ke sekolah, 'kan?"

Jelas aku tak mau mengulangi hal yang seperti itu lagi. Soalnya yang selalu kudengar hanyalah keluhan, Aduh, sakit! Kena bokongku, nih! Kalau begini, aku takkan bisa menikah! Makanya aku mengambil jalan yang cukup datar. Akibat semua rengekannya itu, aku jadi sempat mendapat reputasi buruk di lingkunganku...

Biar bagaimanapun, keselamatan itu di atas segalanya.

Aku mengalami kecelakaan lalu lintas di hari pertamaku masuk SMA. Rasanya memang gugup saat akan memulai kehidupan baru di sekolah baruku, namun aku justru menyegel takdirku sendiri dengan berangkat lebih pagi demi menghadiri upacara penerimaan murid baru.

Kira-kira saat itu masih sekitar jam tujuh pagi. Seorang perempuan yang sedang jalan-jalan bersama anjingnya di seputaran sekolah tahu-tahu kehilangan pegangan atas tali kekang anjingnya. Nahasnya, di saat yang sama, sebuah mobil limusin mewah juga tengah melintas di jalan raya. Tanpa kusadari, sepedaku sudah meluncur kencang ke arahnya.

Alhasil, mereka lalu memanggil ambulans untuk membawaku ke rumah sakit. Itu adalah momen yang membuatku ditakdirkan menjadi penyendiri di SMA.

Karena kecelakaan tersebut, sepeda baruku yang masih mulus menjadi rusak parah. Dan aku mengalami patah tulang pada kaki kiri emasku.

Andai aku seorang pemain sepak bola, mungkin suasana kelam akan menyelimuti dunia persepakbolaan Jepang kala itu. Untunglah aku bukan pemain sepak bola.

Aku juga merasa beruntung karena cedera yang kualami tak begitu parah.

Yang membuatku merasa kurang beruntung adalah fakta bahwa yang menjengukku di rumah sakit hanyalah keluargaku sendiri.

Mereka menjengukku setiap tiga hari sekali. Sial, harusnya mereka itu menjengukku setiap hari...

Semenjak kecelakaan itu, adik dan kedua orang tuaku mulai sering makan di luar. Setiap kali adikku datang menjenguk dan membahas soal mereka yang pergi makan sushi ataupun barbeque ala Korea, rasanya aku jadi ingin mendekati lalu mematahkan kelingkingnya itu.

"Tapi syukurlah Kakak cepat sembuh. Aku yakin, gips itu pasti sangat membantu. Gips memang mujarab untuk menyembuhkan luka memar!"

"Dasar bodoh, jangan disamakan gips dengan salep. Lagi pula, aku itu kena patah tulang, bukan luka memar."

"Lagi-lagi Kakak marah sambil bicara enggak jelas."

"Huh! Kau itu yang sok tahu!"

Namun Komachi tak tampak memerhatikanku, dan langsung mengganti topik seakan itu hal paling lumrah di dunia ini.

" 'Gini, Kak..."

"Eh? 'Gini? Kau sudah ketularan Issei Fuubi Sepia, ya? Jadul banget, deh."

"Begini, Kak... kayaknya ada yang enggak beres sama kuping Kakak."

"Cara bicaramu itu yang enggak beres..."

"Tahu, enggak? Setelah kecelakaan itu, si pemilik anjing datang untuk berterima kasih, lo."

"Kok aku tidak tahu...?"

"Soalnya Kakak waktu itu lagi tidur. Ia juga bawa kue, lo. Rasanya enak banget."

"Hei, aku benar-benar tak ingat kalau ada kue. Teganya kau memakan semuanya tanpa bilang-bilang?"

Ujarku sembari menoleh ke belakang, dan kulihat Komachi tersenyum malu sambil berkata, "Tehehe..." Bocah ini benar-benar bikin kesal...

"Padahal perempuan itu satu sekolah kok sama Kakak, masa belum pernah ketemu? Ia bilang mau berterima kasih langsung pada Kakak saat sudah di sekolah nanti."

Tanpa sadar, aku langsung mengerem mendadak. "Aaaw!" Kudengar suara mengaduh di belakangku, dan wajah Komachi sudah menempel di punggungku.

"Kok tahu-tahu mengerem mendadak, sih?"

"...kau ini, kenapa tak memberi tahu aku sebelumnya? Kau ada pernah menanyakan nama atau hal lain padanya?"

"Eh? ...yah, ia tipikal gadis gulali, begitu..."

"Memangnya kita lagi bahas Festival Bon, apa? Jangan bicara seakan kau itu penjual dendeng. Jadi siapa namanya?"

"Hmm... aku lupa. Ah, sudah dekat sekolahku, nih. Komachi duluan, ya!"

Segera setelah berkata begitu, Komachi melompat dari sepedaku lalu berlari menuju gerbang sekolahnya.

"Anak ini..."

Kupandangi punggung adikku yang sedang berlari, dan tepat sebelum ia masuk ke dalam sekolah, Komachi berbalik lalu membungkuk sebentar kepadaku.

"Aku duluan ya, Kak! Terima kasih tumpangannya!"

Mendengar ucapan serta lambaian tangan yang diikuti senyumnya kepadaku itu, membuatku sempat merasa bahwa adikku ini lumayan manis. Aku balas melambai, lalu kudengar adikku berkata. "Hati-hati kalau ada mobil, ya!"

Kuhela napas dengan pasrah lalu kukayuh sepeda ini menuju sekolahku.

Jika memang di sekolahku, kira-kira di mana si pemilik anjing itu berada?

Bukan berarti aku sudah menyiapkan rencana mengenai yang akan kulakukan setelah bertemu dirinya. Aku hanya sedikit penasaran saja.

Akan tetapi, fakta bahwa kami tak pernah bertemu setelah kejadian itu selama setahunan ini membuatku berpikir kalau ia memang tak begitu ingin bertemu denganku... yah, memang hal yang wajar, sih. Yang kulakukan cuma menyelamatkan anjingnya dengan mengorbankan tulang kakiku. Jadi sudah cukup baginya untuk mengirimkan tanda terima kasih ke rumahku.

Pandanganku mendadak tertuju ke keranjang yang terpasang di depan sepedaku ini, dan kulihat ada tas sekolah berwarna hitam yang bukan kepunyaanku di sana.

"...dasar bodoh."

Dan sewaktu aku memutar sepedaku lalu bergegas melaju ke arah berlawanan, kulihat Komachi sudah berlari ke arahku sambil berlinang air mata.



Read more ...»

Oregairu Jilid 1 Bab 6

On 0 komentar

-Bab 6 - Akan Tetapi, Saika Totsuka Mau Saja Menurut.-


Daftar Isi

Read more ...»