Sakurasou Bab 2 Bagian 1

On Selasa, 24 Januari 2017 0 komentar

=========================================================
Bab 2 pun dimulai... Sekadar mengingatkan kembali alasan ane mengambil seri ini adalah karena detail yang gak diceritakan pada anime-nya memang menarik untuk diikuti...
Terima kasih pada pembaca setia dari blog ini yang masih setia juga mengikuti seri ini...
Selamat menikmati...
=========================================================


Bab 2 - Apa yang Harus Kulakukan?

Bagian 1


Pagi seorang Sorata Kanda dimulai lebih dini.

Bahkan sebelum jam setengah tujuh pagi.

Dan sebelum ponsel yang digunakannya menggantikan jam alarm akan berbunyi, dia akan dipaksa bangun kembali ke dunia nyata oleh salah satu kucingnya, entah itu si kucing putih Hikari yang menempelkan bokong pada wajahnya, atau mungkin si kucing hitam Nozomi yang meninju wajahnya dengan kaki, atau malah si kucing belang Kodama yang melompat ke atas perutnya.

Alarm ponsel yang akan berbunyi beberapa saat kemudian adalah lagu tema pertempuran pada game RPG yang digemari Sorata sewaktu masih SMP. Dia menyetelnya sebagai alarm sejak April lalu supaya bisa bersemangat di pagi hari. Hanya sekali mendengar refreinnya saja, membuatnya merasa mampu menghadapi apa pun di hari itu.

Hal pertama yang dilakukannya setelah bangun adalah mencuci muka. Setelah itu, dia berpindah ke ruang makan bersama dengan tujuh kucing di kakinya yang menempel merengek meminta makan.

Setelah menyiapkan makanan untuk kucing-kucingnya, mereka akan menyerbu Sorata dengan kecepatan penuh, dan Sorata akan memakai waktu tersebut untuk menyantap roti panggang sambil meminum susu.

Itu adalah rutinitas pagi yang biasa dan normal.

Satu-satunya hal yang tidak begitu normal adalah setiap kali Sorata membuka kulkas, dia pasti akan merasa sedikit murung.

Pembagian tugas Sakurasou ditempelkan pada pintu kulkas. Dan di antara tugas-tugas tersebut tertempel sebuah memo merah, yang dilekatkan dengan sejumlah magnet berwarna-warni, yang mustahil terabaikan.

Tugas Mashiro – Sorata Kanda

Merah itu melambangkan merah abadi. Yang berarti bahwa tugas ini berlaku selamanya.

Selagi menahan luka psikologis yang disebabkan semua ini, Sorata berdiri di dapur dengan laptop mini yang dipinjamnya dari Misaki. Dia memakai laptop itu untuk mencari resep bentou yang mudah dibuat, dan mulai memasak.

Dia sudah merencanakan menu hari ini semalam. Ikan tuna goreng, daging ham dingin dan salad bayam, serta tumis wortel yang dipotong halus. Menunya sudah disetujui oleh Mashiro. Dia tidak tahu kenapa, tapi kelihatannya dia tidak masalah dengan beberapa gorengan, tapi bermasalah dengan yang lainnya.

Sambil menyantap sepotong roti panggang berikutnya, Sorata dengan rajin memasak bekal makan siang.

Dia kadang melirik ke arah layar komputer untuk memeriksa resepnya. Kalau ada sedikit waktu senggang, dia akan melihat-lihat beberapa blog pengembang game untuk menghabiskan waktu.

Dan tentu saja, dia tidak lupa untuk menanggapi Ryuunosuke ketika jendela obrolannya mendadak muncul.

「Apa pendapat Kanda tentang death flag?」

「Oh, maksudmu yang itu? Itu seperti ketika seseorang berkata di tengah peperangan, "Saat perang ini berakhir aku akan melamarnya ...."」

「Ya, itu. Sebenarnya ada cukup banyak contoh, tapi itu adalah sebuah konsep yang menyimpan kekuatan yang cukup menakjubkan dalam dunia penceritaan. Tokoh yang mengucapkan hal gegabah akan segera ditandai oleh kematian, dan entah itu secara mengenaskan ataupun dengan gagah berani, mereka akhirnya akan meninggal. Dan itulah ketika aku berpikir, "Apa orang-orang ini sadar bahwa death flag itu ada?」

「Tidak, aku rasa mereka tidak sadar ....」

Ryuunosuke memang sedikit aneh, tapi dia bukanlah orang yang tidak nyaman diajak bicara. Itulah kesan yang Sorata dapatkan dari dirinya sebagai lawan bicara daring-nya.

「Kalau kita menciptakan tokoh realistis yang mencerminkan semangat kekinian, tidak terelakkan lagi kita akan memahami eksistensi manusia dan hal-hal yang mengendalikan eksistensi tersebut. Namun tetap saja, pengarang dan penulis skenario terus memakai death flag. Apa kamu tidak merasa bahwa di sini mereka sedang membuat pernyataan tentang kesedihan yang ada di dalam sifat manusia?」

「Hei hei, rasanya ini jadi terlalu cepat menjengkelkan ....」

「Kalau begitu, diskusi yang ingin kubuat sekarang ini adalah apakah death flag benar-benar ada di dunia nyata.」

「Jadi, apa ini akan memakan waktu yang lama? Ikan tunaku kelihatannya sudah mau gosong.」

「Yah, tidak ada gunanya kalau begitu. Kita bicarakan itu nanti di lain kesempatan, partner.」

「Ah, oke, oke. Tahun ini kita satu kelas, 'kan?」

「Aku tidak tertarik dengan kesenjangan sewenang-wenang seperti kelas yang sudah ditetapkan oleh orang lain.」

Ryuunosuke meninggalkan obrolan.

Dan pada saat yang sama, semuanya sudah matang.

Sorata segera menyusun lauk pauknya ke dalam kotak bekal yang sudah terisi nasi. Baik untuk dirinya maupun untuk Mashiro.

"Ohh, ini ternyata tampak cukup bagus."

Sorata mencicipi sedikit masakannya. Semuanya terasa cukup enak.

"Kurasa aku bisa melakukannya dengan cukup baik kalau mencobanya. Waduh, aku jadi mulai terbawa suasana."

Sorata mulai merasa senang dengan dirinya, namun dia mendadak ingat apa persisnya yang sedang dia lakukan dan merasa kosong di dalam dirinya.

"Tunggu, aku ini sedang apa? Apa aku ini seorang perempuan lugu yang begitu bersemangat memasak bekal untuk pacarnya, hah?!"

Padahal dulu Sorata membeli sendiri bekal untuk makan siangnya atau makan di kantin. Setiap paginya dia juga bisa tidur tiga puluh menit lebih lama. Dan penyebab dirinya mengubah jadwal tidur serta harus mempersiapkan bekal setiap pagi ialah Mashiro.

Ini terjadi dua minggu yang lalu.

Hari kedua setelah dimulainya semester baru, dan Sorata telah mengikuti pelajaran sampai tengah hari. Selama jam istirahat makan siang, untuk beberapa alasan Sorata pergi melihat keadaan Mashiro, dan dia melihat bahwa perempuan itu duduk sendirian di dalam kelas yang kosong.

Melihat tidak ada pilihan lain, dia mengajaknya ke kantin, tapi mereka jadi tampak mencolok di sana, Mashiro benar-benar pemilih dalam hal makanan, semua makanan yang tidak disukainya ditumpukkan ke atas piring Sorata, dan alhasil, kabar angin aneh mengenai mereka mulai menyebar, dan Sorata tidak bisa makan dengan tenang.

Kemudian, dimulailah diskriminasi itu.

"Oh, mereka itu dari Asrama Sakura, 'kan?”

"Bodoh, jangan pandangi mereka!"

"Ini pertama kalinya kulihat mereka. Wah, menakjubkan. Dia bisa bergerak! Bahkan dia sedang makan siang!"

"Uwaah, hati-hati! Kalau kita tidak keluar dari sini, kita akan terserang kuman Asrama Sakura!"

Dan seperti itulah, mereka diperlakukan seperti hewan aneh dalam kebun binatang, semangat Sorata pun hancur lebur.

Dia juga mempertimbangkan untuk membelikannya makan siang ..., tapi pengalamannya terakhir kali melihat perempuan itu berseliweran dan langsung memakan makanan yang diambil dari rak, dia mencoret ide tersebut bahkan sebelum mencobanya.

Lalu, mengenai masalah makan siang, Akhirnya Sorata yang berada dalam kondisi sulit, harus menyusun menu yang disetujui Mashiro, kemudian bangun setiap pagi untuk memasakkan bekal makan siang.

Sorata tidak begitu suka memasak, dan dia juga tidak begitu pandai memasak. Di Asrama Sakura, Jin yang paling suka memasak, diikuti oleh Misaki, yang bisa membuat apa pun. Bahkan Chihiro memiliki daftar menu masakan yang lebih banyak dibanding Sorata. Tentunya, kalau penghuni Asrama Sakura diberi peringkat dalam hal kemampuan memasak, Sorata lebih mendekati peringkat bawah.

Dia telah meminta saran dari Misaki, itu sebabnya dia menyiapkan dua kotak bentou setiap pagi untuk Misaki dan Jin, tapi ....

"Baiklah kalau begitu, termasuk punya Junior, ayo kita buat bekal ala Russian Roulette! Salah satunya akan berisi nasi dengan wasabi yang bisa mengirim salah satu dari kita langsung ke neraka! Ayo kita isi jam makan siang kita dengan sedikit tekanan dan ketegangan!”

Sorata sungguh tidak merasa kalau Misaki sedang bercanda saat dengan riangnya dia menyarankan ide mengerikan itu, oleh karenanya Sorata memutuskan untuk berhenti mendiskusikannya.

Hidup benar-benar bukan hanya diisi sinar mentari dan cahaya pelangi.

"Kamu tahu? Rasanya memuakkan berdiri di sini dan melihatmu memasak, kemudian melihat dirimu yang semula senang lalu menjadi sedih."

Entah kapan, Chihiro muncul di ruang makan, dan meraih beberapa lauk sisa dari meja dapur.

"Bagaimana bisa Ibu bertemu dengan muridnya lalu berkata kalau dia memuakkan?! Memangnya semua ini gara-gara siapa?! Ibu itu yang melalaikan kewajibannya sebagai seorang pengasuh lalu mendesakannya semua padaku!!"

"Yah, kamu tahu kata orang, Kerja keras membentuk karakter seseorang ketika dia masih muda."

Chihiro mencomot sepotong ikan tuna goreng dengan jarinya lalu memasukkannya ke dalam mulut.

"Hei, tunggu sebentar!"

"Wah, wah, ternyata ini lumayan enak. Kanda, bekal makan siangku kuserahkan padamujuga , ya?"

"Benar-benar tidak tahu malu ...."

Pada saat itu, satu orang lagi menyusulnya.

"Ada apa~? Ada apa~? Ikutan juga, dong ~!”

Melantunkan sebuah lagu misterius, Misaki terlihat hampir terguling dari lantai dua.

"Tuna! Aku mencium bau ikan tuna!"

Dengan semangat yang super tinggi mulai dari detik keluarnya dia dari tempat tidur, Misaki melompat ke arah meja dapur layaknya seekor kucing. Sambil mencondongkan tubuh ke depan, dia dengan cekatan merebut tiga potong makanan dari meja dan memasukkannya ke dalam mulut.

"Kenapa pagi-pagi begini semua orang jadi gila?!"

"Enak! Baiklah, sudah diputuskan! Jin dan aku juga akan menjadikan ini sebagai bekal kami hari ini!"

"Tidak ada yang bilang kalau kamu juga akan diberi!"

"Jangan pelit, dooong!"

Chihiro menyodorkan beberapa kotak bekal yang diambilnya dari lemari kepada Sorata. Dikarenakan refleks, Sorata pun mengambilnya.

Di sebelahnya, Misaki memasukkan makanan ke dalam kotak bekalnya dengan semangat yang sudah sering dilihat Sorata.

Sorata memasak lebih hanya untuk berjaga-jaga kalau dia gagal di kali pertamanya, tapi terasa jadi menjengkelkan bahwa ternyata dia telah memasak makanan yang cukup untuk lima orang. Dia benar-benar membuat terlalu banyak.

"Kalian sedang apa pagi-pagi begini?"

Secara mengejutkan, meski biasanya dia tidak ada di tempat pagi begini, Jin sudah bangun dan masuk ke ruang makan. Dia melihat sekeliling dan mengamati keadaan dalam hening.

"Yah, sekali-sekali, kurasa ini hal yang bagus."

Katanya dengan riang.

"Junior bisa jadi istri yang baik, bukan?"

"Ya, benar ...."

Sorata membuat jawaban setengah hati selagi dia mengisi bekal Chihiro.

Dia melihat jam dan menyadari kalau masih belum jam tujuh.

April sudah mendekati penghujungnya. Mereka sudah memasuki minggu keempat bulan ini, dan mungkin dia baru saja telah terbiasa memasak, meski begitu, Sorata telah selesai menyiapkan makanannya lebih cepat dari yang dia kira. Hingga kemarin, saat dia selesai memasak, jam sudah menunjukkan angka tujuh lewat sedikit dan Sorata harus pergi membangunkan Mashiro segera setelahnya.

Hari ini, masih ada sedikit waktu yang tersisa.

Sorata mendadak memikirkan sesuatu, dan meraih keyboard laptop-mininya.

Dia mencari data terkait "Mashiro Shiina" di internet.

"Kenapa kenapa? Mencari gambar erotis atau semacamnya, ya?"

Misaki mendekat dan melihat ke arah layar.

"Aku tidak punya tenaga untuk bergairah pagi begini ...."

Hasil pencariannya segera tampil di layar.

Ada beberapa ratus ribu hasil pencarian.

Sebagian besar dalam bahasa Inggris.

"Oh, mencari tahu soal Mashiron~? Setelah kuingat-ingat, aku juga belum pernah coba mencarinya."

Sorata memilih hasil pencarian pertama.

Itu adalah beranda situs museum seni luar negeri.

Rasa ingin tahunya terpicu, Jin juga mendekat. Hanya Chihiro yang tersisa pada meja bundar ruang makan, dan duduk di sana sendiri sambil meminum kopi.

"Semuanya dalam bahasa Inggris, jadi aku benar-benar tidak tahu apa maksudnya .... Oh, apa ini?"

Sorata memilih nama Mashiro, dan layarnya mendadak begitu terang.

Desain halaman tersebut teramat sederhana.

Di balik latar berwarna biru laut, sepotong karya seni ditampilkan.

Karya itu tampak tergantung di dinding, terpajang dalam museum seni tersebut.

Pada saat dia melihatnya, semua pori-pori di dalam tubuh Sorata terbuka. Dia hampir merasa seakan seluruh syarafnya terbang dari tubuhnya.

Misaki kehilangan kata-kata karena kekagumannya, dan Jin meneguk liurnya hingga terdengar keras.

Sorata dapat merasa alam sadarnya dihisap ke dalam layar kecil tersebut.

"Ada apa ... dengan lukisan ini ...?"

Kata-kata tanpa sadar terselip dari mulut kering Sorata.

Sorata tidak tahu persisnya apakah reaksinya terhadap lukisan ini baik atau buruk. Namun demikian, ada sesuatu mengenai lukisan abstrak ini, lukisan simbolis yang menarik dengan kuat dirinya ke dalam.

Dia tidak dapat menemukan kata-kata yang tepat untuk menjelaskannya.

Dia dapat melihat cahaya. Dia dapat melihat suara. Dia dapat melihat angin. Semacam itulah lukisannya.

Ketika dia gulir ke bawah halamannya, Sorata menemukan komentar yang dikirim oleh juri perlombaan tersebut. Untungnya, ada juga terjemahan ke dalam bahasa Jepang.


Terang dan gelap. Udara. Saya benar-benar kagum dengan lukisan ini, menampilkan kemampuan dan sensitivitas yang begitu tinggi untuk melukiskan dan mengungkapkan hal-hal yang tidak bisa kita lihat dengan mata kita. Lukisan ini menghadirkan sebuah pandangan unik terhadap dunia. Pandangan tanpa logika dan alasan. Dengan satu lukisan ini, Mashiro Shiina menapakkan langkah pertamanya ke dalam wilayah genius. Bahkan kita tidak mampu untuk mulai memahami dunia seperti apa yang harus dijalani perempuan ini hingga membuatnya dapat melukis seperti itu.

Pujian yang teramat tinggi.

Ini adalah pertama kalinya Sorata melihat seseorang memberi pujian setinggi langit terhadap orang lain.

Entah kenapa, Sorata merasa gelisah, dan menutup laptopnya dengan agak kasar.

"Kanda, bukankah ini sudah hampir waktunya?"

Suara Chihiro membawa Sorata kembali pada kenyataan.

"Ah, sial!"

Sorata menghangatkan handuk yang lembab, dan setelah mendorong Misaki yang menghalangi jalan (yang baru saja menari sambil menyenandungkan sebuah lagu yang aneh), dia menuju ke lantai dua.


********

"Hei, Shiina! Sudah pagi! Bangun! Walau aku ragu ini ada gunanya ...."

Sorata menunggu beberapa detik, tapi tidak ada sahutan.

Dia membuka pintunya dengan berani, dan dengan nekat melangkah ke dalam kamar tersebut.

Seperti sebelumnya, Mashiro tidak ada di tempat tidur. Dia tertidur di bawah meja belajar, ditutupi setumpuk baju dan pakaian dalamnya. Kepalanya yang disertai  rambut acak-acakan itu muncul dari balik tumpukan tersebut.

Selagi Sorata membangunkannya, dia menekankan handuk lembab yang dibawanya pada rambut Mashiro yang melawan gravitasi.

Mashiro masih belum bangun.

Dari pengalamannya, Sorata tahu masih perlu sekitar lima menit lagi.

Keadaan kamar itu begitu mengerikan. Padahal kemarin Sorata telah merapikannya sebelum Mashiro tertidur.

Komputernya dibiarkan menyala.

Nyaris tidak ada ruang pada lantai tersebut untuk dilangkahi Sorata.

Tepat saat itu, Sorata berhenti setelah melihat secarik kertas berukuran B4.

Itu adalah cetakan dari sebuah manuskrip manga.

Tentu saja, halaman-halaman manuskrip tersebut berserakan di lantai.

Sorata telah berjanji pada dirinya bahwa dia tidak akan ikut campur dengan urusan Mashiro, tapi rasa ingin tahunya kini mengalahkan hasratnya untuk menjaga diri.

Mungkin itu karena dia baru saja melihat salah satu lukisan Mashiro pada beranda situs museum seni.

Dia memungut halaman pertama. Kemudian tanpa sadar dia memungut sisanya.

Dia menyusunnya sesuai urutan halaman yang benar.

Manga itu terdiri dari 32 halaman.

Dia membaca satu halaman, kemudian halaman selanjutnya, lalu selanjutnya lagi.

Karyanya menabjubkan. Sungguh menabjubkan. Tidak peduli dilihat dari sudut mana pun, karakternya digambar dengan akurat, dan komposisi seni tersebut benar-benar menarik. Karyanya sungguh memberi dampak besar.

Susunan panel manga tersebut juga sangat menarik. Sorata tidak pernah melihat sesuatu yang mirip seperti ini, di mana tokoh-tokoh dan pemandangannya digambar dengan begitu bebas.

Selagi pandangannya mengikuti gambar yang dilukis dengan teliti itu, dia tersadar bahwa dirinya sampai di akhir manga tersebut dan selesai membacanya.

Dia merapikan kertas-kertas tersebut ke atas meja, kemudian dengan perlahan meletakkannya di pojokan.

"... membosankan."

Malah, tidak disangka ternyata itu membosankan.

Hampir terasa lucu betapa sedikitnya isi di dalam manga tersebut.

Genrenya shoujo.

Di dalamnya, seorang gadis yang amat tidak menarik bertemu dengan seorang lelaki yang juga amat tidak menarik, jatuh cinta, dan sama sekali tanpa sedikitpun drama yang terjadi, mereka akhirnya berpacaran.

"Yah, kurasa itu juga terjadi di dunia nyata .... Tapi siapa yang peduli?!"

Manga itu terasa begitu hambar sampai hampir membuat Sorata bersuara keras.

"... selamat pagi."

Pada saat itu, Mashiro merangkak keluar dari bawah meja.

Perempuan itu mengenakan piyama tunik bermotif kotak-kotak. Lalu, hampir seakan dia meninggalkannya dalam mimpi, perempuan itu tidak mengenakan apa pun di bagian bawah tubuhnya. Kaki jenjang berkulit seputih salju dan ramping tersebut mengacaukan pikiran Sorata.

"Shiina! Ka-kamu ...! Pakailah sesuatu di bawah sana! Apa kamu ini sedang menggodaku, hah?!"

Tunik itu nyaris mencapai pahanya. Setiap kali Mashiro yang masih setengah sadar menggerakkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan, tepi bawah tuniknya akan melambai, dan kulit polos di baliknya akan muncul dalam pandangan Sorata. Akan tetapi, Sorata bersumpah kalau dia bisa melihat lebih jauh yang ada di baliknya. Degupan dada Sorata bersumber dari pandangannya terhadap titik tersebut.

Dengan langkah yang goyah, Mashiro duduk di depan meja riasnya, dengan mata yang masih setengah tertutup.

Sorata mencoba menahan kegugupannya.

"Aku benar-benar akan pindah ke gunung dan menjadi seorang pertapa kalau terus menahan diri seperti ini ...."

Memangnya mau apa? bantah Sorata dalam benaknya sembari menyisir rambut Mashiro. Rambut sehabis tidurnya yang membandel harus dipaksa lurus dan dirawat dengan pengembun dan pengering rambut.

"Kak Misaki pernah bilang ...."

"Jangan bicara mendadak begitu! Aku jadi takut!"

"... kalau Sorata akan suka jika aku tidak memakai celana."

"... oi, jadi orang itu jangan langsung percaya. Kak Misaki itu memang tidak waras."

"Kak Misaki itu memang hebat ...."

Mashiro masih terlihat agak linglung.

"Asal kamu tahu, andai aku itu serigala, sudah pasti aku akan menerkammu."

Sembari mengatakannya, aku melihat tatapan dirinya melalui cermin.

"Tapi sampai saat ini kamu masih cukup aman."

"Tidak ada serigala."

"Tidak, maksudku, serigala itu hanya kiasan. Maksudku itu anak lelaki .... Kamu tahu lelaki, 'kan?"

"Mereka juga tidak ada."

"Bukankah sebelumnya kamu belajar di sekolah khusus perempuan? Apa ini pertama kalinya kamu bersekolah bareng anak lelaki?"

"Sorata yang pertama."

"Huh?"

"Lelaki pertamaku."

"Oi, oi, hati-hati sama bicaramu! Jaga kata-katamu! Kamu membuatnya terdengar seolah aku sudah berbuat sesuatu padamu jika kamu berkata begitu! Tapi aku belum melakukan apa-apa, jadi jangan berkata begitu!"

"Syukurlah aku punya Sorata."

"Ka-kamu ini bicara apa?"

"Sorata sudah berbuat banyak padaku."

"Ce-cepat bangun dan ganti bajumu!"

"Aku sudah bangun."

Mashiro lalu berdiri, dan Sorata menyodorkan sepasang pakaian dalam yang baru saja dicuci beserta seragam sekolah padanya.

Sorata sungguh tidak mampu melihat ke arah wajah perempuan itu.

Sewaktu Sorata berpaling untuk meninggalkan kamar, Mashiro mulai menanggalkan piyamanya.

"Tunggu sampai aku keluar kamar dulu! Yang benar saja, aku benar-benar akan menerkammu nanti!"

Sorata menutup pintunya dengan kasar.

Mashiro mengatakan sesuatu, tapi Sorata mengabaikannya.

Dia bersandar pada salah satu dinding.

Dia benar-benar letih.

"... apa yang akan terjadi padaku mulai sekarang ...?"

Tidak ada yang menjawab.

Tidak ada orang yang tahu jawabannya.

Bahkan para dewa mungkin tidak mengetahuinya.

Seluar biasa itulah Mashiro Shiina.

Itu persis seperti yang digambarkan oleh komentar lukisannya tadi.

Bahkan kita tidak mampu untuk mulai memahami dunia seperti apa yang harus dijalani perempuan ini ....

Juri ahli memang jeli dalam menilai.

Dia telah melihat sifat asli Mashiro. Dia telah melihatnya dengan begitu jelas.

"Ini tidak menyenangkan ...."

Selagi Sorata berdesah panjang, dia melihat sosok Mashiro dalam keadaan berseragam yang masih tampak asing baginya itu keluar dari kamar.

Sorata mulai berjalan tanpa berkata apa-apa, hingga ....

"Hei."

Mashiro memanggilnya, hampir seperti sebuah bisikan.

"Hmm?"

"Membosankan.”

"Eh?"

"Manga-ku."

Tidak menemukan kata yang tepat untuk diucapkan pada situasi ini, Sorata tersenyum getir. Sekarang semuanya sudah terlalu jelas. Mashiro adalah orang yang membuat manga tersebut.

"Kamu sudah benar-benar bangun?"

"Terasa membosankan sekali, ya?"

Tidak sedikitpun emosi terasa dalam suara Mashiro, dan wajahnya pun juga tidak menunjukkan emosi.

Sorata tidak memiliki cara untuk mengetahui apa persisnya yang sedang dipikirkan perempuan itu.

"Junior~! Apa Mashiro sudah bangun?!"

Sorata sungguh merasa lega atas selaan tiba-tiba dari Misaki. Misaki juga sudah mengenakan seragamnya.

"Kalian bisa telat ke sekolah, lo."

"Iya."

Sorata turun ke lantai satu sembari merasakan keberadaan yang lemah dari orang di belakangnya. Semua orang masih menunggu di sana.

Sorata menyuapi Mashiro sepotong roti panggang, dan meski itu tidak biasa, hari itu semua penghuni Asrama Sakura pergi ke sekolah bersama.

"Akasaka~. Titip tempat ini saat kita pergi, ya~?"

Satu-satunya orang yang tersisa dalam asrama tersebut adalah sang pengurung diri, Ryuunosuke Akasaka.

"Hei, bisa-bisanya Ibu menitipkan tempat ini padanya?! Dia itu salah satu murid Ibu!"


Read more ...»

Sakurasou Jilid 1 Bab 2

On 0 komentar

-Bab 2 - Apa yang Harus Kulakukan?-


Daftar Isi

Read more ...»

Oreshura Jilid 1 Bab 2

On Selasa, 17 Januari 2017 0 komentar

=========================================================
Rilisan menjadi sangat lama dikarenakan murni dari ane... Hkhkhkhk...
Komainu adalah patung mirip singa yang dipasang di depan kuil...
Fundoshi adalah cawat dari kain seperti yang dikenakan oleh pesumo...
Marmoset adalah salah satu spesies primata...
Hasil terjemahan seri ini di-posting di masing-masing fantranslation... Rilisan seri ini bisa terlebih dahulu dinikmati sehari lebih awal di Zhi-End Translation...
Selamat menikmati....
=========================================================


Bab 2 - Pernyataan Cinta Teman Sekelas Menjadi Sebuah Kekacauan


Di waktu yang sama ketika Chiwa tenggelam bahkan sebelum sempat berlayar, sudah ada orang lain yang terus mencetak rekor.

Dia adalah Natsukawa Masuzu.

Memasuki bulan Juni, jumlah orang yang menyatakan cinta padanya masih terus bertambah. Rumor mengatakan bahwa jumlahnya sudah melebihi lima puluh orang. Menurut kabar, sang pelaku mengungkapkan, Dia tidak punya keinginan untuk berpacaran. Meski begitu, orang yang menyatakan cinta padanya itu terus saja mendekatinya.

Dari situasi di atas, sudah hampir dipastikan kalau Natsukawa telah menjadi sosok terkenal di sekolah, tapi kenyataannya, dia hampir selalu menyendiri. Di dalam kelas ataupun selama istrahat, dia selalu berada di kursinya sambil membaca. Dia segera pulang ke rumah seusai sekolah. Pada awalnya, beberapa anak lelaki di kelas terkadang mencoba menyerangnya, tapi sebuah perjanjian aktual segera dibuat. Individu yang melakukan penyerangan sepihak kepada Natsukawa akan diasingkan dari kelas. Segera setelahnya, itu menjadi pernyataan, Boleh dilihat tapi tidak boleh disentuh. Bagi para anak perempuan, mereka mencoba menjaga jarak darinya. Bahkan kalangan riajuu menyatakan, Kami rakyat jelata tidak berani bersanding dengan ojou-sama! (Red: Kami tidak semanis dirimu!) dan menolaknya. Sementara di kalangan gadis berpenampilan rata-rata, mereka menyatakan, Natsukawa dan kami berada di dunia yang benar-benar berbeda, (Red: Orang yang hebat harusnya bermain bersama orang yang hebat pula) dan mendiskriminasikannya. Ini adalah bukti sempurna bahwa menjadi terlalu populer bukanlah hal yang bagus, sebaiknya aku benar-benar membuat Chiwa berkaca soal ini.

Di hari pertama bulan Juni, aku mendapat tempat duduk di sebelah Natsukawa. Bagiku, aku sama sekali tidak tertarik soal itu, namun aku merasa begitu senang karena ditempatkan di kolom kedua dari jendela, baris paling belakang di kelas. Itu adalah tempat yang sangat nyaman di mana aku bisa bersandar di meja dan beristirahat, tapi sepertinya pemikiranku tadi tidak akan pernah terlintas ke seluruh penghuni kelas. Hal itu sangat bisa kupahami melalui setiap tatapan cemburu yang kudapat. Ditolak tapi tidak menyerah, Yamamoto, yang seorang anggota klub sepak bola bahkan datang kepadaku untuk bersalaman dan mengatakan, Aku percaya kalau kamu adalah pria sejati!. Karena rasanya cukup merepotkan juga diberi kepercayaan seperti ini, maka sementara kutolak permintaan jabat tangannya. Di hari berikutnya, rumor di dalam kelas mulai menyebar seperti, Natsukawa adalah incaran Kidou dan semacamnya. Merasakan bahaya, aku langsung bergegas menerima ajakan jabat tangan itu.

Sebaiknya kuklarifikasi saja di sini, aku tidak takut atau apa pun itu. Dikarenakan ini sangat penting, aku ingin mengulanginya sekali lagi; aku sama sekali tidak takut. Aku hanya memperlihatkan semangat kehidupan yang damai, yang disebut Love & Peace. Oh, lupakan bagian Love-nya, yang benar Peace & Peace.

... meski begitu, anggap saja kalau kini aku seperti anak TK yang bersemangat saat di depan kamera, jadi kesampingkan saja itu untuk sekarang. Kesimpulannya, yang kuinginkan hanyalah memotong ombak layaknya mentega, mengincar salah satu kursi di universitas serta rekomendasi dari sekolah. Wajarnya, cinta berada di kategori ombak, apalagi Natsukawa, selebriti macam ini? Jangan bercanda. Itu sebabnya aku memberitahu kalian, Yamamoto dan anak lelaki lainnya, kalian mencemaskan hal yang percuma.


XXX


"Begitu, ya? Kedengarannya buruk," sambil mendengarkan keadaanku, teman sekelasku, Asoi Kaoru, perlahan menganggukkan kepalanya.

Saat ini adalah waktu makan siang, Kaoru dan aku menggaabungkan meja kami dan mulai menyantap makan siang.

Aku membawa bekal buatan sendiri. Dengan selera makan yang kurang, bekal Kaoru hanya terdiri dari roti kepiting dan jus kotakan.

"Dari sudut pandang anak-anak itu, bisa duduk di sebelah Natsukawa-san adalah hal yang benar-benar membuat iri."

Kaoru selalu menggunakan kata anak-anak itu, mereka, dan kata ganti yang serupa untuk memanggil teman kelas kami. Itu tidak terdengar menjengkelkan. Kurasa itu karena perilaku baik, penampilannya yang netral, dan sikap teguhnya untuk memanggil sesuatu. Baik di kalangan anak lelaki ataupun perempuan, Kaoru lumayan populer.

"Kalau kursi Eita ditaruh di pelelangan, aku yakin bisa mendapatkan uang yang cukup banyak."

"Kalau lelangnya jadi diadakan, jangan lupa panggil aku. Aku pasti akan melepasnya di tawaran pertama."

Ah~ sangat sulit untuk menenangkan pikiran di hari-hari seperti sekarang ini. Percakapan normal semacam ini memang selalu yang terbaik.

Sebagai rekan bicara, tidak ada yang sebaik Kaoru.

Pertemanan kami dimulai saat kelas tiga SMP. Dari percakapan sehari-hari kami, dia kurang lebih bisa mengerti situasi keluargaku dan Chiwa, namun dia tidak pernah begitu ingin mencari tahu lebih dalam, keseimbangan yang sempurna antara pertemanan dan privasi. Dia benar-benar layak mendapatkan gelar Master Hubungan.

"Ketimbang itu, aku lebih khawatir soal Chihuahua-chan."

"Ada apa dengan Chiwa?"

"Ketika Chihuahua-chan sudah memutuskan sesuatu, dia pasti akan terus memaksakan diri. Aku takut kalau dia tidak akan menyerah sampai menjadi super populer."

"Tapi hal itu tidak bisa begitu saja diraih melalui cara-cara biasa. Ini bukan Kendo," ujarku sambil mengunyah kentang dan daging sisa kemarin.

Mmmm, setelah diinapkan semalam rasanya menjadi sempurna. Ini akan jadi menu yang bagus untuk bekal Chiwa.

"Secara pribadi, kupikir Chihuahua-chan hanya perlu berperilaku layaknya gadis normal, seharusnya dia bisa menjadi sangat populer dengan cara itu."

"Benar. Jika dia tidak bicara atau bergerak, mungkin para anak lelaki akan mulai mendekatinya."

"Seperti Komainu yang ada di kuil ...?"

Yah, penampilannya memang tidak seburuk itu, jadi yang kami katakan tadi mungkin saja benar.

"Tapi Chihuahua-chan pernah dinyatakan cinta sewaktu SMP, lo."

"Oleh siapa?"

"Kapten klub kendo putra. Kabar itu dulu sangat heboh, apa kamu tidak tahu?"

Ini adalah pertama kalinya kudengar hal tersebut.

Di SMP, baik klub kendo putra maupun putri, keduanya sangatlah kuat. Terutama kapten klub kendo putra yang hebat dalam hal olahraga sekaligus pelajaran. Aku dengar dia masuk ke SMA swasta terbaik di provinsi ini. Tampangnya juga tidak begitu jelek, kurasa.

Hmmm? Jadi Chiwa juga memiliki masa lalu semacam ini.

"Tapi, aku tidak pernah dengar dia berpacaran dengan seseorang."

"Tentu saja tidak. Chiwa menolaknya."

"Kenapa dia membuang kesempatan hebat seperti itu?"

"... fiuh," Kaoru menghela napas panjang.

"Ada apa?"

"Oh, tidak ada apa-apa. Aku merasa kalau itu memang pemikiran jujur dari lubuk hatimu."

"Tentu saja. Aku tidak sedang bercanda."

"Aku tahu. Itu karena Eita orang yang sangat serius."

Apa .... Apa dia bermaksud mengatakan hal lain?

"Jika Chihuahua-chan benar-benar menjadi super populer, aku takut dia akan mendapat masalah lain."

"Masalah seperti apa? Apa dia akan menolak orang lain lagi? Itu mustahil. Ini berbeda dengan yang terakhir."

Dia melakukan ini hanya karena ingin punya pacar? Sepertinya bukan ....

... tunggu. Apa benar seperti itu?

Dia memang pernah bilang kalau dia menginginkan romansa seperti di manga cewek, tapi kurasa dia tidak pernah mengatakan apa pun soal pacar ....

Hmmm....

"Aku benar-benar tidak tahu apa isi kepala Chiwa."

"... ya ampun ...," Kaoru mengangkat bahunya.

Bel persiapan lima menit yang menandakan berakhirnya jam istirahat makan siang pun berbunyi.


XXX


Hari itu, sepulang sekolah.

"Kidou-kun, apa hari ini kamu mau pulang bareng denganku?" Natsukawa tiba-tiba menanyakan hal ini padaku. Seluruh kelas pun terhenyak dalam keterkejutan.

Tapi tidak ada yang lebih terkejut daripada aku.

Apa maksudnya ini?

Kenapa aku? Bukankah ini terlalu mendadak?

Sedikit bingung, tanpa sadar aku mengeluarkan buku-buku yang sudah kumasukkan ke dalam tas.

Aku pasti salah dengar? Ya, Kata-kata itu pasti berasal dari lelaki yang duduk di belakangku. Itu benar, pasti begitu.

Tapi ketika aku menoleh, di sana tidak ada siapa-siapa.

... tentu saja, ini kan baris terakhir.

"Bagaimana? Siap untuk pulang?" Natsukawa menatapku.

... sial. Aku tidak semudah itu dibodohi.

Natsukawa memang sangat cantik. Hanya dengan mata biru dan rambut peraknya itu saja sudah cukup untuk menarik perhatian semua orang. Karena penampilannya juga sangat bagus, tidak hanya terlihat sangat menawan ketika tersenyum, itu juga memberi perasaan lembut dan mudah untuk didekati. Bahkan boneka yang dibuat sedemikian cantik pun sulit untuk mengimbanginya. Detail yang Sang Pencipta berikan padanya sangatlah luar biasa. Jika dia mengenakan rok panjang, meskipun dia mengklaim bahwa dirinya adalah tuan putri dari negara asing, aku yakin banyak orang akan percaya.

Lantas kenapa? Dulu saat ibuku masih muda, beliau juga disebut bunga kota. Wanita cantik itu tidak bisa dipercaya.

Sebaiknya aku memberi tanggapan dingin, menolaknya dengan pasti!

Sambil menatap Natsukawa, kuberi tahu dirinya secara langsung.

"Itu ..., itu ..., itu sebenarnya, begini ..., hari ini, aku ada urusan!"

Sial ...

Ada Urusan adalah alasan pamungkas.

"... begitu ya? Sayang sekali."

Natsukawa menjawab dengan sopan, lalu pergi dengan mengucapkan, "Aku pulang dulu."

Fiuh, tadi itu sangat menegangkan.

Aku penasaran, ada apa dengan ajakan mendadak ini?

Meski kami pernah bertukar ucapan karena kami bersebelahan di dalam kelas, hal itu tidak cukup dijadikan alasan untuk pulang bareng.

Mungkin itu kepentingan mendadak si cantik. Besok dia pasti akan melupakan semua tentangku.

Hidup ternyata membuktikan kalau aku salah.

Hari kedua, bahkan sampai hari ketiga, Natsukawa terus mengajakku pulang bareng.

"Apa tujuanmu?" mau tidak mau aku menanyakan hal ini pada Natsukawa dengan suara pelan agar tidak menarik perhatian seluruh kelas.

Natsukawa memiringkan kepalanya dengan cara yang manis lalu mengulanginya, "Tujuan?"

"Apa ini semacam hukuman permainan? Atau mungkin aku direkam menggunakan kamera tersembunyi oleh temanmu yang bersembunyi di pojokan? Aku tidak semudah itu dibodohi!"

Natsukawa tersenyum. Itu adalah sebuah senyum yang mematikan.

"Aku— bolehkah aku mengatakannya?"

"Me-mengatakan apa ...?"

Jangan lengah! Tetap tenang...

"Alasan kenapa aku ingin pulang bareng denganmu, apa boleh jika aku mengatakannya di sini?"

"Memang itu maksudku tadi."

"Itu ... ka—"

Natsukawa tiba-tiba berhenti. Pandangannya beralih seakan ragu, lalu dia melihatku dengan mata yang berkaca-kaca.

"Kare— aku menyukaimu!"

Udara di dalam ruang kelas terasa membeku.

Pikiranku menjadi kosong. Dengan susah payah kugumamkan sebuah kata,

"... eh?"

"Aku sangat tergila-gila padamu!"

"Tungggu, aku tidak yakin bisa memahami perkataanmu ...."

"Aku memikirkan hal-hal mesum denganmu!"

"Itu bahkan lebih sulit dipahami!"

"Aku memikirkan hal-hal mesum tentangmu!"

"Iya, iya, aku paham, tapi kamu hanya membuat situasi jadi lebih buruk!"

Beberapa jeritan tersebar ke seluruh kelas. Ada para gadis yang berteriak, Ahhh—, ada beberapa bisik-bisik kebingungan di antaranya, ada juga beberapa yang hanya menunjukan ekspresi tidak percaya pada wajah mereka. Yamamoto yang tadi sempat kusebutkan, berlutut di lantai seperti seorang pitcher yang bola lemparannya dipukul home run di saat-saat penentuan — padahal anak itu berasal dari klub sepak bola.

"Sepertinya kita sudah membuat kehebohan."



Natsukawa tersenyum malu-malu.

Tiba-tiba ditempatkan pada situasi semacam ini, aku tidak tahu harus berbuat apa.

"Kupikir tidak seharusnya kita terus di sini, kalau tidak, rumor akan mulai menyebar."

Kalau kamu memang merasa khawatir, itu sudah sangat terlambat!

"Kumohon, kemana pun tidak masalah, bawa saja aku bersamamu~" dia nampaknya mengutip sebuah kalimat dari sebuah drama percintaan di TV.

Meski kalimat ini sungguh tidak terasa nyata, namun ketika itu berasal dari mulutnya, itu terdengar seolah-olah dia memang bermaksud mengatakannya. Mungkinkah itu dikarenakan penampilannya?

—ada apa dengan kecantikanmu itu? Membuatku jijik!"


XXX


"Namun terlepas dari semua itu, aku masih menuruti kata-kata gadis tersebut, tehe~"

"Sekarang bukan waktunya bernyanyi tehe~!"

"Ada apa?" tanya Natsukawa yang berjalan di sampingku. "Daripada menyuarakan celetukan dalam hatimu itu, akan lebih baik kalau tidak mengucapkannya sama sekali~. Kalau tidak, kamu bisa terlihat sangat mencurigakan~. Seharusnya kamu lebih memperhatikan diriku yang berjalan di sebelahmu ini."

"Kalau begitu jangan dekat-dekat, lekas dan pulang sendiri sana ...!"

Karena kami berdua berangkat sekolah dengan berjalan kaki, kami berjalan ke arah yang berlawanan dengan arah stasiun. Kurasa ini adalah cara yang terbaik agar tidak membuat kasus ini semakin buruk. Jika kami pulang naik menaiki kereta, aku pasti akan berkeringat dingin karena tatapan dari teman sekelas yang menguping di kereta yang sama.

Setelah memasuki jalanan sepi dari salah satu area pemukiman penduduk dan memastikan tidak ada orang di sekitar, aku mendesaknya,

"Bukankah sekarang waktunya untuk menjelaskan semuanya?"

"Menjelaskan soal apa?"

"Kenapa kamu berbohong seperti itu?"

"Berbohong apa?"

"Pernyataan itu. Terutama bagian di mana kamu bilang kalau kamu menyukaiku. Itu bohong, 'kan?"

Saat mendengarkannya, mata Natsukawa terbuka lebar.

"Kasar sekali .... Setelah aku mengumpulkan begitu banyak keberanian untuk menyatakannya padamu, kamu mulai berpikir kalau itu sebuah kebohongan?"

"Benar!"

"Kamu berpikir kalau aku sebenarnya merendahkanmu?"

"... tepat sekali."

"Hanya melihat wajahmu saja sudah membuatku tidak nyaman. Bahkan menghirup udara yang sama denganmu saja membuatku benci. Duduk bersebelahan denganmu di kelas, terus terang, aku mungkin tidak akan sanggup. Ya, ya, bodoh, bodoh, dasar perjaka sial; berhentilah berlagak padahal kamu hanya seorang pengecut— begitu?"

"Aku sebenarnya tidak sampai berpikir seperti itu ...."

Apa-apaan wanita ini? Dia benar-benar orang yang berbeda dengan Natsukawa yang pendiam di kelas.

"—karena kamu sudah melihat semuanya, kurasa apa boleh buat."

Aku tidak menyangka kalau Natsukawa akan menyerah sebegitu mudahnya.

"Seperti katamu, pernyataan itu memang sebuah kebohongan. Kidou-kun memang cermat, sepertinya dugaanku benar, kamu sedikit berbeda dari lelaki lain."

"... hmm."

Pujian semacam ini tentu membuatku kesal, itu memberiku perasaan yang tidak menyenangkan.

"Nah, aku harus mulai dari mana, ya ...."

Menatap ke arah langit senja yang begitu jelas dan menyegarkan, Natsukawa menguap lebar.

Sambil kusaksikan rambut indahnya itu melambai di belakang punggungnya, aku menunggu dirinya untuk melanjutkan.

Tepat di saat itu juga.

Hembusan angin yang cukup kuat bertiup melewati kami dan sedikit mengangkat roknya.



Pada awalnya, aku mengira hanya akan melihat pahanya saja, tapi secara tidak terduga, angin ini memperlihatkan semua yang ada di balik roknya saat siang bolong begini.

Dengan kata lain—

"... tidak ..., tidak pakai ...?!"

Apa yang seharusnya ada di sana, ternyata tidak ada.

Di ujung paha itu, seharusnya aku bisa melihatnya, tapi tidak ada apa-apa di sana.

... cih, tidak perlu diam-diam menggunakan persamaan kata.

Celana dalam. Kolor. Sempak. Cawat.

Meskipun ada beragam nama, tidak ada pakaian semacam itu di balik roknya. Tidak ada.

Tidak, tidak, tidak, tunggu, tunggu, tunggu, tenang, tenang! Ini masih terlalu gegabah untuk berkesimpulan seperti itu sekarang. Mungkin itu hanya tidak kelihatan saja.

Hanya dengan kekuatan angin seperti itu, aku tidak akan bisa melihatnya dari sudut ini — mungkin begitu. Meskipun roknya sudah berada di posisi tertinggi, ini tidak harus disimpulkan tidak melihat hal yang seperti itu di sana. Penjelasan ini terdengar jauh lebih masuk akal.

Tapi bagaimana jika dia benar tidak memakai apa-apa?

Itu sangat gawat.

Mengetahui rahasia sepenting itu, bagaimana aku harus menjaganya?

... tidak. Aku seharusnya berpikir lebih terbuka, aku seharusnya menggunakan sudut pandang psikologi seorang dokter untuk menentukan masalah ini. Bagaimana seorang Natsukawa dalam pikiranku? Apakah mengenakan celana dalam? Lalu celana dalam macam apa yang akan dia kenakan?

—ini membuatku penasaran.

Sebagai seorang ojou-sama yang pulang ke kampung halamannya, pakaian dalam macam apa yang akan dikenakannya?

Apa mereka yang bahkan bukan spesialis celana dalam akan memikirkan celana dalam yang tampak sangat berkelas? Tidak mampu kubayangkan. Apa itu ikut membuat orang-orang berpikir jenis celana dalam anak perantauan memang beda, ataupun begitu internasional? Itu juga sulit untuk dibayangkan. Omong-omong, sejak awal celana dalam itu adalah hal yang eksotis.

Ataukah itu jenis Fundoshi?

Akan terlihat seperti apa celana dalam khas Jepang ...? Pembalut? Popok? Tidak, itu tidak tampak realistis. Kalau begini, pandanganku terhadap kecantikan Natsukawa yang misterius ini bisa runtuh?

—kalau begitu, tidak ada pilihan lagi selain membuat kesimpulan ini;

Tidak ada!

Apakah seburuk itu?

Tidak ada lagi persaingan antara faksi katun maupun faksi sutra, juga tidak ada konflik apapun antara faksi berpola ataupun faksi polos. Bahkan keputusan untuk mengenakan pakaian dalam atau tidak ketika memakai Yukata tidak cukup untuk menyebabkan perselisihan .... Bukankah ini Peace & Peace yang aku harapkan? Dunia dalam keadaan sangat damai sekarang ini.

Ayolah, kita pastikan bersama sekali lagi!

"Celana dalam?"

"Aku memakainya."

Senyum kecil Natsukawa terbantahkan oleh teori.

"Aku memakainya."

Dia mengulanginya dengan nada yang meragukan.

"Hmm, kalau begitu ini akan sangat merepotkan."

"Kenapa?"

"Bumi akan hancur karena perang dunia ketiga."

"Ka-kalaupun begitu, biarlah terjadi."

Natsukawa lalu melanjutkannya dengan santai.

"Dunia di mana mencurigai teman sekelasmu tidak memakai celana dalam adalah sesuatu yang wajar, memang layak hancur."

"Dunia jadi hancur karena aku ...?"

Menjadi orang paling berdosa di dunia, rasanya aku tidak sanggup.

"Maaf, aku terlalu banyak berpikir."

"Tidak masalah. Aku suka orang yang jujur."

Natsukawa tersenyum. Aku merasa seperti dipermainkan di tangannya.

"... Omong-omong, apa yang awalnya kita bahas tadi?"

"Kita tadi membahas tentang alasan aku membuat pernyataan palsu padamu."

"Ceritanya panjang—" dengan pengantar cerita tadi, Natsukawa langsung menuju ke intinya. "Selalu ada lelaki yang mengejarku, aku yakin Kidou-kun tahu soal itu. Iya, 'kan?"

"Jika itu adalah rumor tentang jumlah pernyataan cinta yang kamu terima hingga mencapai dua digit angka, maka jawabannya adalah iya."

"Sekadar info, aku sudah menerima pernayataan cinta sebanyak 58 kali dalam dua bulan ini."

"Itu hampir sekali per hari."

Itu mirip seperti skenario di manga.

"Itu mungkin terdengar seperti persoalan yang mengagumkan, tapi batas kesabaranku sudah habis. Setiap hari para anak lelaki dari kelas lain maupun para senpai pasti akan mengelilingi dan memperhatikanku, seperti mengamati seekor koala. Bahkan ada sayembara bodoh tentang siapa yang akan memenangkan hatiku. Selalu saja ada beberapa rumor tanpa dasar tentangku, dan tidak ada satu pun hal baik dari hal ini."

"Apa kamu tidak punya teman? Teman dari SMP, begitu?"

"Tidak punya. Sejak umur tujuh tahun aku sudah tinggal di luar negeri. Aku saja baru kembali ke sini sekitar bulan Maret ini."

Begitu, ya? Itu pasti situasi yang sangat sulit.

"Kenapa tidak kamu terima saja salah satu dari mereka?"

"salah satu itu maksudnya siapa?"

"Pilih saja salah satu dari mereka yang menyatakan cintanya padamu. Segera setelah kalian menjadi sepasang kekasih, sisanya pasti akan mundur dengan sendirinya. Iya, 'kan?"

"... fiuh."

Natsukawa mengedipkan matanya yang terlihat berkilau.

"Sepasang kekasih?"

Seolah meludahkan benda aneh yang secara kebetulan masuk ke dalam mulutnya, Natsukawa lanjut berkata,

"Kenapa aku harus satu level dengan sampah ini? Memperlakukan cinta sebagai hal paling berharga untuk dipuja, mengorbankan uang setiap hari Natal ataupun hari kasih sayang, tertawa, Hohohohahaha seperti orang bodoh. Aku tidak melihat adanya alasan yang membuatku tidak punya pilihan lain. Cinta adalah hal yang menakjubkan? Lalu kenapa ada orang saling membunuh karena perselisihan emosi? Kenapa ada begitu banyak sepasang suami istri yang bercerai segera setelah mereka menikah? Kenapa selalu ada anak yang ditelantarkan oleh orang tuanya?"

Sebuah nyala api yang redup terlihat jelas di mata Natsukawa.

"Kamu seharusnya mengerti, Kidou-kun. Cinta bukanlah hal sempurna yang harus dimiliki —setidaknya hanya segelintir orang yang bisa memuji tanpa syarat. Itu pun jika kamu memang ingin jatuh cinta. Tidak, terima kasih. Merasakan jantung yang berdegup kencang? Semakin dalam mencintaiKencan bersama gadis impian di musim panas? Buang-buang waktu. Bagiku, ini tidak ada bedanya dengan ajakan dari suatu sekte agama. Kecuali kalau itu memanglah agama yang disebut Cinta —itu pasti agama paling buruk di Bumi!"

Lidah kejam Natsukawa ini, aku pernah mendengarnya sebelumnya, tapi kali ini terlihat berbeda. Kata-kata barusan penuh dengan kebencian murni terhadap romansa.

... menakutkan.

"Oh, aku paham!"

Sambil mengusap keringat di telapak tanganku ke celana, aku mengangguk dan berkesimpulan.

"Karena alasan itulah makanya kamu menyatakan cinta padaku, 'kan?"

Ekspresi Natsukawa terlihat menjadi lebih tenang.

"Murid terbaik angkatan kita memang hebat, mengerti dengan sangat cepat dan menghemat waktu kita."

Singkatnya, ini berarti ....

Jika dia memiliki seorang pacar, seluruh pernyataan cinta tanpa henti itu akan berakhir. Tapi karena Natsukawa tidak menginginkan adanya cinta, dia mencari orang yang bersedia untuk berpura-pura menjadi pacarnya —tamat.

"Tapi, kenapa aku?"

"Karena kamu mirip denganku. Iya, 'kan?" Natsukawa menempelkan jari rampingnya yang panjang itu ke dadaku, "Aku bisa segera menyadari betapa kecilnya ketertarikanmu terhadap cinta .... Atau bisa kubilang benci. Ketika mengobrol dengan temanmu, kamu langsung buru-buru mengganti topiknya ketika itu memasuki zona merah. Dan responmu menjadi samar dan tergesa-gesa. Bukan begitu? Bukan tanpa alasan aku betah duduk di sebelahmu untuk waktu yang lama."

"Kamu, kamu cukup jeli."

"Awalnya aku mengira kalau kamu homo."

"...."

Aku tarik kembali kata-kataku. Jeli dengkulmu!

"Itu sebabnya secara resmi aku meminta padamu, Kidou-kun, kumohon jadilah pacarku."

Hmm, paling tidak aku mengerti semuanya sekarang.

Sebagai seorang antiromansa, tidak ada yang bisa lebih cocok lagi untuk menjadi pacarnya.

Tapi tetap saja ....

"Aku menolak!"

Natsukawa sedikit memiringkan kepalanya.

"Pacar itu hanya sebagai kedok saja, kamu hanya perlu mengantarku pulang setiap hari. Karena kita berdua pulang ke arah yang sama, seharusnya itu tidak terlalu merepotkan."

"Salah. Murid lelaki lainnya akan iri padaku, para gadis pasti akan bergosip. Bahkan aku mungkin akan dipanggil dan dihajar oleh penggemarmu."

"Kamu memang tahu caranya khawatir. Itu bisa membuatmu botak, tahu?"

"Sempurna. Aku sudah mengumpulkan tonik rambut dan panduan dari perusahaan wig."

Selalu memikirkan kemungkinan terburuk — Cara Kidou dalam melakukan sesuatu.

"—kita mungkin jauh lebih mirip dari yang kamu kira ...."

Natsukawa menyeringai.

Senyum ini berbeda dengan senyum yang dia tunjukan sejauh ini, senyum itu memiliki banyak makna di dalamnya.

"Ka-kamu takut menjadi botak juga?!"

"Tidak, maksudku itu soal kita berdua yang suka khawatir. Aku juga selalu khawatir jika permintaan menjadi pacar <<fake>> ini ditolak. Hal-hal seperti ini sulit untuk dikatakan. Jika nanti rumor menyebar tanpa kendali, maka ...."

"Kamu anggap aku ini apa? Aku tidak pernah melakukan hal semacam itu."

"Tentu saja aku percaya padamu. Sebagai orang yang suka khawatir, aku selalu berharap semuanya berjalan sesuai rencana .... Itulah alasannya, Kidou-kun ...."

Natsukawa tiba-tiba mendekatkan wajahnya. Bahkan napasnya terasa lebih dekat.

Kedua mata biru itu menatapku seolah-olah mereka bisa mengisap orang ke dalamnya, membekukan seluruh tubuhku.

"Untuk menjadi kandidat pacar <<fake>>, selain faktor bahwa mereka harus tidak tertarik dengan romansa, ada kriteria penting lainnya. Apa kamu tahu itu?"

"Memangnya apa?"

Wangi shamponya yang manis membuat hidungku sedikit gatal.

Aku merasa pusing.

"Kidou-kun, kriteria lainnya adalah  — lelaki itu harus seseorang yang tidak akan pernah mengkhianatiku. Tidak ada orang lagi selain Kidou-kun yang bisa memenuhi persyaratan ini; oleh sebab itu, aku tidak akan membiarkan Kidou-kun kabur semudah itu. Kidou-kun ...."

Meski itu sepelan sebuah bisikan, wajah Natsukawa yang luar biasa itu membuatnya tampak begitu menawan.

Natsukawa mundur satu langkah ke belakang dan membelakangiku, kemudian mengeluarkan sebuah buku catatan suram berwarna kuning dari dalam tasnya.

"Ada apa dengan buku catatan kotor itu?"

Natsukawa tidak menjawab, dia justru membuka dan mulai membacanya.

"Minggu, 21 April. Cerah. Aku pergi ke Toko Imamura untuk membeli sepasang sarung tangan tanpa ruas, namun aku terkejut saat diberitahu oleh pegawainya kalau mereka tidak punya. Pilihan produk di toko ini sangat terbatas. Mungkinkah mereka kehabisan stok karena barang itu terlalu populer? Aku ingin membelinya secepat mungkin, lalu aku berlari sekencang yang kubisa di jalanan yang dingin."

"... eh?"

Ada apa dengannya? Tiba-tiba membacakan hal semacam ini.

Sarung tangan tanpa ruas? Itu sarung tangan yang bagian ruas jarinya tidak terlapisi kain, 'kan?

Apa masih ada saja orang yang mau barang semacam itu?

"Senin, 22 April. Hari ini tiba-tiba hujan deras saat aku dalam perjalanan pulang. Meski membawa payung, aku pulang dalam keadaan basah kuyup. Aku suka hujan, hujan bisa membersihkan dosa-dosa kotor di tubuhku."

Tidak, tidak, tidak, yang kamu dapatkan hanyalah flu. Lagi pula, membersihkan dosa-dosa kotor di tubuhmu? Memangnya kamu ini siapa?

"Selasa, 23 April. Berawan. Dalam perjalanan pulang, Chiwa bertanya padaku, Kenapa di sekitar tubuhmu ada petasan? kujawab, Lantas apa rencanamu jika ada serangan serangan teroris yang tidak terkendali? Chiwa sepenuhnya terbantahkan oleh kata-kataku. Wanita memang dangkal."

Huahahahahah, bodoh! Daripada cemas terhadap serangan teroris, kenapa tidak mengkhawatirkan otakmu dulu? Lagi pula, bagaimana caranya petasan bisa mengusir teroris? Apa kamu tidak lihat kalau Chiwa sampai terdiam karena kebodohanmu ....

"Oi ...! Bukankah itu buku catatanku—?!"

Natsukawa berbalik dan tersenyum.

"Tepat sekali. Ini adalah buku harian Kidou-kun saat masih SMP."

"Bagaimana kamu mendapatkannya?!"

"Aku membelinya dari toko buku tua di depan stasiun. Harganya 525 yen termasuk pajak."

"Mustahil!"

"Itu benar. Buku ini ada di dalam kotak Ensiklopedia Bergambar Binatang (edisi khusus). Penjaga tokonya sudah lumayan tua, aku takut dia tidak sadar buku ini diletakkan di rak itu."

... aku memang meletakkan buku harianku di dalam kotak hadiah yang kudapatkan saat masuk SMP. Tapi kotak itu seharusnya tersimpan dengan aman di dalam lemariku sekarang ....

Tunggu, apa benar begitu?

Mungkin aku secara tidak sengaja menjualnya bersama dengan buku binatang selama obral buku bekas?

Tidak, tidak, tidak, itu tidak mungkin. Dulu aku memindahkan buku binatangnya ke luar kotak. Tapi, eh?

"Tidak mau menerima kenyataan adalah sesuatu yang sangat bodoh, Kidou-kun."

Tapi buku harian yang Natsukawa lambaikan di hadapanku itu, tidak salah lagi itu adalah bukuku.

"Cukup kekanak-kanakan selama SMP, ya? Itu sangat berbeda dengan dirimu yang sekarang ini menjadi murid terbaik. Atau mungkin jauh di dalam sana, kamu masih orang yang sama?"

"Sini .... Kembalikan, sini!"

"Enak saja!"

Natsukawa berbalik dengan cepat.

"Cepat kembalikan! Ada banyak hal buruk di dalam buku harian itu!"

"Sudah kuamankan. Aku sudah memindai semuanya dan menyimpannya di dalam komputerku."

"Haaah?!"

"Meski komputerku sudah terpasang antivirus dan firewall yang diperlukan, tapi masih ada kemungkinan kalau file itu secara tidak sengaja bocor. Dunia internet itu sangat menakutkan .... Aku pernah dengar ketika sesuatu diunggah di internet, itu akan terus berada di sana selamanya."

Aku pun jatuh berlutut.

Mereka bilang kalau pandanganmu akan berubah gelap saat merasa putus asa .... Tampaknya itu benar.

Di depan mataku saat ini gelap gulita.

Berakhir.

Hidupku berakhir sudah—

"Kalau begitu, aku ingin mendengar jawabanmu lagi."

Seperti seorang pemimpin mutlak, suara titah Ratu Natsukawa turun dari langit.

"Kidou Eita-kun, maukah kamu menjadi pacarku?"

"... da-dasar iblis ...!"

"Ah, sepertinya ada yang salah dengan telingaku. Mungkinkah ini firasat serangan virus komputer?"

"Ya, ya, ya, ya, ya, ya, ya, ya! Aku mau! Aku setuju menjadi pacar Natsukawa-san!"

"Kalau begitu, mulai sekarang panggil aku Masuzu!"

Masuzu mengedipkan matanya dengan licik.

Dia terlihat begitu manis. Benar-benar membuat kesal.

"Ayo pulang bareng lagi besok. Aku mencintaimu, Eita-kun~"


XXX


Dulu, ketika hubungan orang tuaku masih baik-baik saja dan aku masih berada dalam keluarga biasa pada umumnya — yang berarti sebelum masuk SMA, aku punya cara pandang yang benar-benar berbeda.

Ingin menarik perhatian.

Ingin menjadi berbeda dari orang lain.

Secara umum, aku menyukai tren mode musiman (secara pribadi aku memikirkan kedahsyatannya), ingin memamerkan diriku yang menjalani kehidupan luar biasa, menunjukan semua pose aneh yang kutiru dari anime dan manga.

Kemudian, aku dengar kalau inilah yang disebut chuunibyou.

Diriku ini berbeda dari orang lain?

Aku ini tidak biasa?

Benar-benar bodoh.

Kamu tidak tahu betapa berharganya menjadi biasa.

Bisa memakan makanan yang biasa, pergi ke sekolah di hari-hari biasa, ditemani oleh keluaga yang biasa—

Kamu tidak tahu.


XXX


Sesampainya di rumah, hal pertama yang kulakukan adalah menggeledah isi lemari.

"... tidak ada ...."

Ensiklopedia bergambar binatang yang dulu kusukai tidak ada.

Semua gajah India, ungka telapak putih, marmoset Jepang, mereka semua tidak ada.

Berarti wanita itu mengatakan yang sebenarnya.

"Aaarghhh—!"

Dengan begitu, dimulailah hubungan sepasang kekasih antara Natsukawa dan diriku.

__________________________________________________________




Masuzu: Omong-omong, apa akhirnya kamu berhasil membeli sarung tangan itu?

Eita: ... aku membuatnya sendiri dari sarung tangan kerja.

Masuzu: Oh ....

Eita: Kemudian kugunakan spidol merah dan menulis kata MUSNAH di kepalannya.

Masuzu: Ooohhh ....


Read more ...»