SPS Jilid 1 Bab 4

On Jumat, 14 Februari 2014 0 komentar

==========================================================
Proyek lain akhirnya berlanjut lagi...
Entah kenapa karakter guru perempuan muda di setiap seri anak sekolahan, pasti ada aura binalnya... Ya, 'kan...?
Apa di Jepang sana setiap sekolah punya guru seksi kali, ya...? Atau jangan-jangan setiap anak sekolah di Jepang selalu berfantasi aneh mengenai guru perempuan di sekolahnya...?
Gak tahu deh...
Selamat menikmati....
==========================================================


Bab 4 - Stratocaster, Teh Merah


Saat sekolah usai, Mafuyu langsung menghilang dari ruang kelas. Sejak kepindahannya kemari, keberadaan dirinya sepulang sekolah telah menjadi misteri terbesar Kelas 1-3.

"Sepatunya masih ada di rak, jadi kurasa ia tidak langsung pulang ke rumah."

"Ketua, kemarin kamu pulang jam berapa?"

"Hmm— sekitar jam lima."

"Aku sempat melihat Mafuyu di dekat ruang guru."

Homeroom akan segera dimulai, tapi keberadaan Mafuyu masih belum terlihat. Sekelompok anak perempuan sudah berkumpul di sekitar mejanya — yang berada di sebelahku — dan saling bertukar informasi hanya untuk kalangan mereka sendiri. Berhentilah mencampuri urusan orang lain!

"Kupikir ia suka menggambar karena memilih Seni Rupa sebagai mata pelajaran pilihan, jadi aku coba mengajaknya untuk bergabung ke Klub Seni .... Tapi ia kabur setelah mengatakan hal aneh padaku. Apa-apaan itu?!"

"Omong-omong, anak itu tidak melakukan apa-apa selama jam pelajaran, 'kan? Yang dilakukannya cuma membuka buku gambar dan meletakkannya begitu saja! Apa ada yang salah dengan otaknya?"

"Harusnya ia memilih Musik saja. Ia juga sudah sering membuat masalah bagi para guru, 'kan?"

Semua penilaian tentang Mafuyu semakin merosot tajam sejalan dengan berlanjutnya pembicaraan mereka, walau hal demikian itu sudah bisa ditebak.

"Maniak, apa ada yang kamu tahu tentangnya?"

Tiba-tiba aku dilibatkan dalam pembicaraan mereka.

"Bisa tidak, kalian tidak memanggilku dengan sebutan itu ...."

"Bagaimana kalau Kritikus Ekslusif Mafuyu?"

"Wah, kedengarannya seperti penguntit."

"Aku juga tidak mau dipanggil begitu."

"Terus bagaimana kalau keduanya digabung, jadi, Kritikus Maniak?"

"Jangan seenaknya menggabung-gabungkan kata!" berkat fitnah Mafuyu yang tidak berdasar itu, aku pun menjalani masa suram dalam hidupku. "Kami cuma satu kali bertemu, itu pun sebelum masuk SMA, jadi aku tidak tahu apa-apa tentang dirinya."

Kenapa mereka malah menatapku dengan pandangan tidak percaya?!

Bel mulai berbunyi, tapi Mafuyu masih belum masuk ke kelas, dan seperti biasanya, Chiaki juga belum datang. Sepertinya, setiap pagi ia berlatih bermain drum di suatu tempat. Keuntungan menjadi seorang penabuh drum adalah bisa berlatih hampir di mana saja, asal punya sepasang stik drum, sebuah metronom dan sekumpulan majalah tua.

Bel pun berhenti berbunyi, tapi di saat sensei hendak menutup buku hadir, pintu belakang kelas tiba-tiba terbuka.

"Masih sempat! Aku masih sempat, 'kan?" teriak Chiaki sambil berlari masuk ke kelas. Tanpa alasan yang jelas, ia menarik Mafuyu bersamanya. Mafuyu yang terdiam menunjukkan wajah kesal, dan berusaha melepas genggaman tangan Chiaki yang mencengkeramnya.

Guru kami sebetulnya orang yang baik, pada mereka berdua beliau berkata. "Sensei tidak akan anggap kalian telat, segeralah duduk di kursi kalian masing-masing," kalau cuma Chiaki saja yang telat, sensei mungkin tidak akan ragu mencap telat pada daftar hadirnya.

"Maaf, pinjami catatanmu sebentar. Akan kusalin dengan cepat."

Chiaki merebut buku catatanku sesudahnya ia duduk.

Kutatap punggungnya saat ia menyalin catatanku dengan menggebu-gebu, lalu kutanyakan dengan suara pelan. "Kalian berdua dari mana?"

"Aku berlatih di koridor lantai tiga, lalu kulihat ada Mafuyu. Sepertinya ia tersesat."

"Aku enggak tersesat ...," gumam Mafuyu. Aku diam-diam menatap sekilas ke arahnyaia tampak sedikit marah, wajahnya pun agak memerah. Apa artinya ... gadis ini ternyata buta arah? Sekolah ini memang cukup luas, tapi tetap saja aneh jika tersesat saat menuju kelas sendiri, ya 'kan?

"Aku mengambil jalan memutar menuju ruang musik, dan saat aku kembali ...."

"Baik, Sensei akan mulai pelajarannya, jadi berhenti dulu mengobrolnya," tegur sensei, dan teman sekelas kami pun menahan tawanya.

Ruang musik? Untuk apa ke sana? Kebimbanganku tidak bertahan lama, karena sensei memintaku menjawab pertanyaan yang ada di PR kami. Maka dari itu, satu-satunya yang bisa kulakukan adalah fokus mengambil kembali buku catatanku dari Chiaki.


Seperti biasa, saat sekolah usai, aku menghidar dari upaya Chiaki yang memaksaku untuk bergabung ke klubnya. Aku berjalan turun ke perpustakaan untuk mengembalikan buku yang kupinjam, lalu menuju ke arah ruang kelas tidak terpakai yang ada di belakang gedung utama sekolah. Saat berbelok melewati pojok gedung — yang cerobong asap pembakarannya terlihat jelas — suara gitar listrik yang teredam terdengar sampai ke telingaku.

Suara itu berasal dari ruang kelas yang selama ini kugunakan. Mendadak terlintas di pikiranku: Apa aku meninggalkan ruangan itu dalam keadaan CD masih diputar? Sial! Tapi saat kudekati pintu dan mendengarkannya baik-baik, kusadari kalau ternyata aku salah sangka. Dari dalam ruang kelas, terdengar nada yang belum pernah kudengar sebelumnya, tapi di saat bersamaan, melodi itu sungguh tidak asing bagiku.

<Rapsodi Orang Hongaria No. 2> gubahan Liszt.

Sebuah permainan solo piano yang sangat sulit. Selama friska yang memanjakan telinga, nadanya dibarengi dengan not-not yang dimainkan berulang-ulang pada kecepatan tinggi; terlebih, yang kudengarkan adalah versi gitarnya. Apa-apaan ini? Aku tidak punya CD yang sehebat itu .... Eh, tunggu, ini dimainkan secara langsung — berarti saat ini ada seseorang yang memainkannya dengan gitar listrik yang terpasang pada amplifier yang sudah kumodifikasi.

Aku hanya bisa merinding. Tidak mungkin nada seperti itu dimainkan seorang diri, meski ia punya empat tangan sekalipun. Akan tetapi, melodi yang masuk ke telingaku ini jelas-jelas berasal dari satu gitar. Jadi, siapa yang memainkannya ...?

Kuraih pegangan pintu.

Saat itu, ingatan tentang piano besar yang terkubur dalam tempat pembuangan muncul kembali di ingatanku.

Kudorong pegangannya turun secara diagonal, dan memutarnya di saat yang bersamaan. *Kacha* — bunyi logam yang teredam pun terdengar, dan aku bisa merasakan sensasi kunci yang terlepas itu melalui tanganku ini. Saat aku membuka pintu, musik itu berhenti dengan suara berdecit.

Mafuyu duduk di meja panjang dan menatapku dengan ekpresi terkejut. Gitar pernisan miliknya hampir jatuh dari pahanya. Kurasa ekspresiku saat itu hampir serupa dengan ekspresinya.

Kenapa bisa — Mafuyu ada di sini? Di ruang kelasku (yang kugunakan tanpa izin), sambil memegang sebuah gitar? Apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini? Kapan dan bagaimana mimpi ini dimulai? Mungkinkah, semua yang terjadi sejak pertemuanku dengannya saat libur musim semi hanyalah sebuah mimpi—

"... kenapa?"

Mafuyu mulai tersadar sedikit lebih cepat dan duluan bicara. Aku pun sedikit mundur ke belakang karena kaget.

"Eh? Ah, enggak .... Tunggu, hentikan, bisa mati aku kalau kamu hantam dengan gitarmu itu!"

Wajah mafuyu sudah memerah. Sambil mengejarku, ia ayunkan Statocaster miliknya yang agak berat itu ke arahku. Kubanting pintu saat menutupnya agar bisa kabur dari Mafuyu.

"... kenapa kamu ada di sini? Dasar Maniak! Penguntit!"

Jeritan Mafuyu terdengar dari celah pintu. Tunggu, seharusnya akulah yang menanyakan pertanyaan itu!

"Sejak awal, ruang kelas ini memang sudah kupergunakan, jadi kenapa kamu malah masuk seenaknya?" yah, walau aku juga menggunakannya tanpa izin ....

"Aku ..., aku sudah dapat izin dari Mukoujima-sensei."

"Hah?"

Mukoujima Maki-sensei, meski kadang ada yang memanggilnya Maki-chan. Beliau guru Musik yang masih muda dan dianggap mudah bergaul sekaligus tegas di saat bersamaan. Begitu rupanya, jadi itu sebabnya Mafuyu beralasan pergi ke ruang musik pagi tadi? Eh, tunggu, kenapa ia diizinkan menggunakan ruang kelas ini? Itu berarti, kalau aku meminta izin pada guru, apa aku juga boleh menggunakan ruang kelas ini?

"Cepat enyah dari sini!"

Itulah yang dikatakannya, padahal aku sudah memindahkan setumpuk besar CD-ku, melengkapi komponen amplifier, bahkan mempersiapkan beberapa alas duduk — sudah kuhabiskan banyak tenaga untuk membuat ruang kelas ini agar menjadi senyaman mungkin! Meski ia ingin aku enyah dari sini, jangan harap aku akan berkata, Baiklah kalau begitu. Lalu pergi sesuai perintahnya!

"... eh, apa-apaan itu? Bisa-bisanya sensei ...."

Ia tidak menjawab. Yang terdengar justru suara seperti kuku raksasa yang sedang mencakar tembok — ternyata itu suara feedback dari gitar listrik. Cepat hentikan, kalau tidak amplifier-nya bisa rusak!

Yang bisa kulakukan cuma mendesah dan menjauh dari pintu ruang kelas.


Kembali ke gedung sekolah, gelombang kemarahan dalam diriku bergejolak saat berjalan menyusuri koridor. Tempat itu adalah daerah kekuasaanku — ia datang belakangan, tapi ia sudah ada di sana sambil duduk dengan santainya. Mana bisa aku terima? Kalau begitu, aku mau protes sama Maki-sensei. Tapi entah kenapa, kemarahanku mereda saat kudekati pintu ruang persiapan musik. Sebuah poster Ohtsuki Kenji ditempel di pintu geser — mungkinkah sensei adalah penggemar band rock Kinniku Shoujo Tai? Terus, apa tidak jadi masalah bagi beliau jika terang-terangan menempel poster semacam itu di pintu masuk ruang guru?

Aku beradu tatap dengan Ohtsuki Kenji saat berusaha menenangkan diri. Bisa kudengar samar-samar melodi santai dari latihan sebuah konser band di ruang sebelah sebuah musik latar dari game simulasi <Take the 'A' train>.

Tidak peduli ia mau bilang apa, ia juga menggunakan ruang kelas tanpa izin — kalau aku protes pada sensei, nanti aku bisa kena masalah.

Hmm, meskipun begitu, kalau ia mau supaya aku menyerah begitu, yah—

"Ya? Kamu mencari Sensei?"

Aku melompat kaget, bersamaan dengan suara yang mendadak muncul dari belakangku, keningku pun membentur wajah Ohtsuki Kenji. Aku menoleh ke belakang, dan melihat Maki-sensei sudah berdiri di belakangku sambil sedikit tersenyum. Beliau mengenakan blus putih dipadu dengan rok mini, dan karena beliau begitu cocok dengan pakaian semacam itu, para murid diam-diam menjulukinya Guru Erotis. Beliaulah alasan kenapa murid kelas satu khususnya lelaki yang memilih Seni Rupa atau Kaligrafi sebagai mata pelajaran pilihan, menjalani hidupnya dengan penyesalan. Meski begitu, seusai mengikuti pelajaran beliau, justru murid lelaki yang memilih Musik sebagai mata pelajaran pilihanlah yang akhirnya lebih menyesal.

"Eh? Ah, bukan apa-apa."

"Jangan khawatir, masuk saja. Sensei juga sedang ingin minum teh. Mau temani Sensei?"

Dengan itu, beliau pun menyeretku masuk ke ruang persiapan.

Ruang persiapan musik hanya berukuran setengah dari ruang kelas biasa. Karena ada sebuah rak yang dipenuhi lembaran not musik serta sebuah piano biasa, tempat ini pun jadi cukup sesak.

"Oh, ada air panas di teko, terus kantung tehnya ada di laci. Lalu, potong kue madunya sekalian, ya."

Jadi semuanya aku yang kerjakan, nih?

"Ah, tehnya satu cangkir saja, lalu potong kuenya jadi tiga bagian."

"Eh? Sensei tidak minum?"

"Kamu ini bicara apa? Teh itu jelas untuk Sensei. Tidak ada yang bilang kalau itu untuk dirimu."

Yah, aku harus berkata apa lagi?

"Kalau kamu sebegitunya mau minum teh, hisap saja ampas kantung tehnya. Sensei bolehkan, kok."

Tidak, terima kasih. Ah, aku pulang saja, deh ....

Sensei lalu menepuk punggungku dan berkata kalau itu cuma lelucon. Aku akhirnya bisa duduk di kursi setelah menyiapkan dua porsi teh dan kue. Tepat saat itu, sensei tiba-tiba berkata.

"Kamu kemari mau membahas soal ruang musik di gedung itu, 'kan?"

Aku hampir menyemburkan teh yang baru kuseruput.

"Ba-bagaimana Sensei bisa tahu?"

"Wah, kamu ini. Sensei sudah tahu semuanya, kok. Contohnya tentang kamu yang telah menggunakan ruang kelas tanpa izin selama dua minggu; bagaimana kamu memodifikasi pemutar CD agar bisa dihubungkan ke perangkat audio luar; atau tentang kamu yang telah memperbaiki kabel penerima radio ..., juga tentang alas duduk di sana, yang sangat nyaman ketika diduduki ...."

"Ahh ....!"



Aku jadi berpikir apa aku seharusnya bersembunyi saja di bawah meja atau semacamnya. Tunggu dulu, kalau aku melakukannya, bisa-bisa nanti aku dibantai.

"Tapi karena kamu membersihkan tempat itu dengan begitu teliti, Sensei pura-pura saja tidak melihatnya. Lagi pula, cuma Sensei saja satu-satunya orang yang tahu."

"Maaf, maaf, saya tidak akan melakukannya lagi."

"Karena Mafuyu-chan bisa langsung mempergunakannya, jadi Sensei rasa itu kebetulan sekali."

Kulepaskan kedua tangan yang melindungi kepalaku, lalu menatap wajah sensei.

Beliau lalu berkata sambil tertawa. "Kamu mau protes tentang hal itu, 'kan?"

"Tidak .... Lagi pula saya tidak dalam posisi mau protes, kok."

"Tidak masalah bagi Sensei kalau kamu juga mau menggunakannya. Asalkan Mafuyu-chan sudah memberi izin khusus padamu, Sensei tidak akan keberatan. Kalian berdua mestinya saling mencoba akrab satu sama lain."

"Tidak, sepertinya itu mustahil."

Bicara soal itu, aku benar-benar bingung mengenai situasinya.

"Jangan-jangan, Sensei dan Mafuyu sudah saling kenal, ya?"

"Ya. Sensei dulu pernah jadi murid ayahnya, dan dulu Sensei sering sekali bermain bersama Mafuyu-chan."

Ekspresi sensei tampak sedikit kesepian.

"Sedangkan Mafuyu-chan ..., ada sesuatu yang telah terjadi, hingga akhirnya ia pindah ke sekolah ini. Ia bilang pada Sensei kalau ia ingin sebuah ruangan yang bisa ia gunakan sendiri. Itu memang permintaan egois dari seorang putri kepala sekolah, tapi karena ia tidak membuat masalah bagi siapa pun, jadinya ...."

"Oh, begitu ...," jadi para guru diam-diam sudah menyetujuinya.

"Jadi, kamu juga bisa menggunakan ruang tersebut, itupun kalau kamu mau berbagi dengan Mafuyu-chan."

Jadi pada akhirnya, akulah yang diusir keluar!

"Tapi, kenapa ia memainkan gitar? Saya dengar ia tidak lagi bermain piano, apa itu benar? Ia sebenarnya mau masuk ke Sekolah Musik, 'kan? Lalu kenapa ia malah pindah ke sekolah ini?"

"Sensei tidak bisa mengatakannya padamu ...," ekspresi sensei segera berubah jadi serius. "... lagi pula, ia sendiri tidak ingin ada orang lain yang tahu. Sejujurnya ..., menurut Sensei, akan lebih baik kalau ia tidak melakukan hal itu, namun pada akhirnya, keputusan tetap ada di tangan Mafuyu-chan sendiri."

Aku tidak mengerti sedikit pun tentang yang sedang sensei bahas di sini, dan Mafuyu juga tidak menjelaskan apa pun padaku.

Karenanya, masalah terbesar bagiku saat ini adalah tentang apa yang harus kulakukan dengan ruang kelas tersebut. Kalau masalahnya adalah pihak sekolah tahu kalau aku menggunakan ruang kelas itu tanpa izin, lalu dengan keras melarangku untuk mempergunakannya lagi, maka aku dengan ikhlas merelakannya. Akan tetapi, kalau aku harus duduk di samping Mafuyu sambil mendengarkan CD-ku sementara ia bermain gitar, biar bagaimanapun caranya, jelas tidak mungkin bisa aku melakukannya!

"Kenapa kamu tidak mencoba bicara padanya? Siapa tahu kalian bisa saling berbagi ruang kelas bersama, ya 'kan?"

"Saya sudah coba bicara, tapi ia malah berusaha membunuh saya dengan hantaman gitarnya."

"Kamu itu terlalu cepat menyerah! Anak muda macam apa itu?"

Seusai rentetan omelan yang tiba-tiba dari Maki-sensei, akhirnya aku pun diizinkan meninggalkan ruang persiapan musik.


Read more ...»

Sakurasou Bab 1 Bagian 1 (Beserta Prolog)

On Minggu, 09 Februari 2014 0 komentar

==========================================================
Halo-halo... Ane kembali lagi...
Sebenarnya ane belum kembali sepenuhnya, sih... Proyek ane pun sebenarnya masih belum ada yang dilanjutin... Terus kalau ini...?
Nah, proyek yang satu ini adalah proyek dari teman-teman ane...
Gadis Peliharaan Asrama Sakura, yang dikerjakan oleh tim yang pernah menakarirkan anime-nya hingga tamat...
Terima kasih sebelumnya kepada agan Rizerza dan agan HikigayaArfandi yang memperbolehkan garapannya agar bisa nampang di sini...
Yang berbeda dari seri ini adalah, gaya penceritaannya yang mengambil sudut pandang orang ketiga... Jadi kalau nanti ketemu kalimat dengan struktur lengkap yang dicetak miring, itu tandanya monolog dari salah satu karakter...
Oke, lanjut ke penjelasan... Koushien merujuk pada dua ajang turnamen bisbol nasional tingkat SMA di Jepang... Soutai adalah pekan lomba olahraga SMA kalau di Indonesia ibaratnya O2SN...
Sekalian, deh... Kalau ada yang mau bantu-bantu garap LN, bisa hubungi fanpage blog ini atau fanpage web rekan-rekan, contohnya AIAsubs... Akhir kata... (sebelum tl;dr)
Selamat menikmati...
==========================================================


Prolog


Suatu hari nanti di saat kita telah dewasa ....

Apa yang akan ada di benak kita saat mengingat kembali kenangan di Asrama Sakura?

Akankah kita merenungi hal-hal konyol yang sudah kita lakukan?

Atau lebih pada mengenang hari-hari yang ramai dan menyenangkan yang sudah kita lalui?

Hanya dua kemungkinan itu yang bisa kupikirkan.

Karena setiap hari yang kita habiskan di tempat ini sungguh luar biasa.

__________________________________________________________


Bab 1 - Selamat Datang di Asrama Sakura

Bagian 1


Saat dirinya terbangun, hal yang pertama kali dilihatnya adalah bokong putih yang lebat.

"... Hikari, kamu lagi?"

Setelah dia memanggil namanya, Hikari menjawab dengan suara meongnya.

Tanpa pikir panjang, Sorata Kanda segera mengangkat bokong Hikari yang menempel di wajahnya dan beranjak dari karpet abu-abu tempat dia berbaring. Hikari memasang wajah cemberut saat dia dipaksa minggir, namun Sorata hanya membalasnya dengan menghela napas.

"Tragis banget ...."

Sorata menyipitkan matanya saat melihat pemandangan nan terang yang ada di luar jendela. Langit di bagian timur serasa terbakar, seolah meramalkan akhir dari dunia.

"Bangun-bangun sudah diduduki bokong kucing .... Masa mudaku tragis banget."

Dengan rasa keputusasaan yang menyelubungi dirinya, Sorata menutup wajahnya dengan tangan.

"Yah ..., mungkin lebih tragis lagi kalau menyebut yang tadi sebagai bagian masa muda ...."

Hikari, Si Kucing Putih yang ada di pangkuan Sorata, menguap seolah dia setuju, lalu enam kucing lain yang tinggal di kamar berukuran enam tatami itu memulai paduan suara mengeong, meminta diberi makan.

Kucing berwarna putih, hitam, cokelat, kuning, belang-belang, jenis anggora, dan kucing yang mirip jenis American Shorthair .... Ketujuh-tujuhnya ditelantarkan oleh pemiliknya, yang kemudian dipungut oleh Sorata.

Dia juga memberi mereka nama, yaitu Hikari, Nozomi, Kodama, Tsubasa, Komachi, Aoba, dan Asahi.

Dihadapkan dengan sekumpulan kucing yang mendambakan makanan, Sorata menanggapinya dengan bunyi perutnya sendiri. Pesannya tersirat jelas, Tuanmu juga lapar, tahu.

Hari itu adalah hari terakhir liburan musim semi, 5 April pukul 5 sore ....

Gedung apartemen berlantai dua dengan kayu compang-camping itu merupakan asrama milik SMK yang berafiliasi dengan Institut Seni Suimei.

Mungkin pohon sakura besar yang tumbuh di halamannya menjadi inspirasi nama gedung tersebut, hingga dinamakan Asrama Sakura.

Semua penghuninya saling berbagi ruang dapur, ruang makan, serta kamar mandi.

Butuh waktu sepuluh menit jika berjalan kaki untuk sampai ke sekolah. Bahkan, ke stasiun terdekat pun butuh waktu sepuluh menit.

Dan kamar nomor 101 adalah markas Sorata Kanda, yang baru saja naik ke kelas dua pada musim semi itu.

Sebagai kaligrafi pertamanya dalam tahun ini, Sorata menulis sebuah pesan yang besar pada dinding
MISI: Keluar dari Asrama Sakura!!

Masalah Sorata saat ini bukanlah mencari pacar, bukan juga untuk menuju Koushien. Tentu saja dia tidak berharap mengikuti kejuaraan sampai ke Stadion Nasional ataupun Soutai. Keinginannya hanyalah pergi dari asrama itu.

Asrama Sakura sedikit berbeda dari asrama biasa.

Itu adalah tempat rehabilitasi bagi murid yang telah diusir dari asrama biasa, bahasa kasarnya, tempat itu adalah sarang bagi murid bermasalah.

Tidak seperti asrama biasa, tidak ada ibu asrama, dan karena tidak ada kantin, para murid harus memasak, mencuci, dan bersih-bersih sendiri. Rasanya sangat menjengkelkan. Pihak sekolah mengatakan bahwa itu semua demi mendorong kemandirian para murid, tapi Sorata merasa kalau itu cuma alasan yang dibuat-buat karena tidak ada yang mau bertugas menjadi pengurus di sana.

Asrama Sakura .... Namanya saja sudah cukup mampu merusak sebuah persahabatan.

Yang lebih menjengkelkan, yaitu setiap sebulan sekali, penghuninya dipaksa membersihkan lingkungan sekolah. Tentu saja mereka harus mengambil sampah dan membuangnya ke luar area sekolah, tapi mengingat mereka harus berjalan mengitari lingkungan sekolah yang membutuhkan waktu hingga setengah jam bagi orang dewasa, rasanya tentu melelahkan. Kaki Sorata selalu pegal keesokan harinya.

Dan di asrama memalukan itu tinggallah empat orang murid, terdiri dari laki-laki maupun perempuan, bersama dengan seorang guru pengawas.

Sorata adalah salah satunya.

Musim panas lalu, dia dipanggil langsung oleh kepala sekolah dan dipaksa membuat pilihan.

"Sorata Kanda, apa kamu mau menyingkirkan kucing itu, atau keluar dari asrama? Pilihan ada di tanganmu."

"Lebih baik saya keluar dari asrama."

Berada dalam usia yang labil, Sorata langsung memberi jawaban sebelum kepala sekolah menyelesaikan pertanyaannya. Dan di hari itu juga, Sorata diusir dari asrama biasa.

Dalam perenungannya, Sorata merasa bahwa dia benar-benar telah salah arah ketika dihadapkan pada pilihan sesulit itu. Di pikirannya terjadi perdebatan, mencari siapa yang patut disalahkan atas hal tersebut. Tentu, nalarnya sendirilah yang salah.

Pada saat itu, yang dia punya hanyalah Hikari, kalau dia menghabiskan waktunya untuk berusaha mencari orang yang mau memelihara kucing itu, maka dia bisa menjauhi segala aktifitas yang ada di asrama. Namun sewaktu Sorata diledek oleh Jin Mitaka, salah satu penghuni asrama yang sudah lama tinggal di Asrama Sakura, Sorata merasa syok, dan tidak kembali selama tiga hari.

Untuk alasan itu, setiap harinya dia berusaha mencari pemilik baru buat kucingnya.

Tapi entah kenapa, bukannya menurun, jumlah kucingnya justru bertambah menjadi tujuh. Dia mungkin melakukan semacam kesalahan di sini ....

Ya .... apa boleh buat, mengingat ke mana pun Sorata pergi, selalu saja ada kucing yang terlantar, yang membuatnya sampai percaya kalau dia sedang dikutuk. Dia pernah mencoba mengabaikannya dan terus berjalan, tapi hanya butuh tiga langkah sampai dia terjatuh sambil mencengkeram dadanya serasa telah melakukan dosa.

Khawatir melihat Sorata begitu tenggelam dalam pikirannya, Hikari yang diikuti Nozomi dan Kodama, datang meringkuk kepadanya.

"Kalian jangan terlalu lengket padaku, aku sedang berusaha mencari orang yang mau memelihara kalian, tahu. Nanti aku bisa menangis jika tiba waktunya harus melepas kalian. Dan aku terlihat payah kalau sedang menangis, kalian pasti tidak ingin melihatnya."

Tidak begitu jelas apakah para kucing itu mengerti atau tidak, namun mereka beralih dan mulai mengusap wajah mereka.

Sambil menghela napas, mata Sorata berpaling pada langit yang merah.

Hari itu adalah hari terakhir liburan musim semi, tapi Sorata sedang kebingungan soal bagaimana mengisi hari itu dengan hal yang bermakna. Diterangi oleh sinar matahari dan senyum kecut di wajahnya, Sorata tiba-tiba mendengar suara rengekan lain dari tempat tidur yang ada di belakangnya.

Dia berhenti menutup wajahnya dan mulai berbalik, dan tiba-tiba dia ingat alasan kenapa bisa sampai tidur di lantai yang keras itu.

Di tempat tidur yang awalnya disediakan untuk Sorata, terlelap seorang gadis cantik dengan posisi seperti bayi yang masih dalam kandungan, mulutnya membentuk lekukan seperti kucing yang sedang menyengir. Boleh dibilang, dia memang ratu para kucing. Jika diperhatikan, sosoknya tampak seperti jenis American Shorthair yang cantik dan sehat. Bokong mulusnya tanpa malu menyembul keluar dari keliman rok mini seragam sekolahnya, dan belahan dadanya dapat terlihat lewat dua kancing blusnya yang terbuka, yang jadi tampak semakin jelas karena apitan kedua tangannya.

Kalau hal itu terjadi setahun yang lalu, Sorata mungkin akan menelan ludahnya karena takjub oleh pemandangan tadi, kemudian kehilangan akal sehat dan mulai menjerit-jerit.

Tapi, karena sudah diasingkan ke Asrama Sakura lebih dari satu setengah tahun lalu, Sorata tidak lagi terkejut oleh hal seperti itu.

"Kak Misaki, ayo bangun."

Dengan menahan rasa gelisahnya, Sorata memanggil nama penghuni lain yang ada di tempat tidurnya, dan membuat Misaki
Kamiigusa terbangun lalu meregangkan badan layaknya seekor kucing.

Blusnya terangkat, pinggang ramping dan pusarnya pun menjadi kelihatan. Yang anehnya lagi, rambut berantakannya sehabis tidur malah membuatnya jadi lebih menawan. Kalau dia berjalan melewati sepuluh orang di jalanan, pasti mereka bakal mabuk kepayang.

Proporsi tubuhnya pun luar biasa, dengan tinggi badan 156 cm dan berat 46 kg, tiga ukuran tubuhnya adalah 87-56-85, sebagai seorang murid kelas tiga, tubuhnya sudah tumbuh seperti orang dewasa. Dengan pesonanya yang memenuhi kamar, Misaki tersadar dan mengalihkan matanya kepada Sorata.

"~di masa depan nanti, aku ingin menikah!"

"Di dunia ini sudah jelas kalau mengigau hanya terjadi sewaktu tidur saja."

"~kalau begitu aku jadi istrinya, dan Junior jadi suaminya. Ceritanya, kamu baru pulang dari kerja. Mulai!"

"Kenapa mendadak berubah jadi dialog komedi?!"

"~selamat datang, Sayang. Hari ini kamu pulang cepat, ya?"

"Eh, serius mau dilanjutkan?!"

"~mau makan malam dulu? Atau mandi dulu? Atau mau ... ma-wa-shi (cawat sumo)?"

"Memangnya ini arena sumo?!"

"~ta-wa-shi (sikat pembersih)?"

"Sudah, katakan watashi (diriku) saja! Memangnya kamu tega menyuruh suami yang baru pulang kerja untuk membersihkan kamar mandi?! Dasar Monster!"

"~kira-kira, apa kungkang juga bersemangat kalau sedang kawin?"

"Jangan seenaknya mengubah topik!!"

"~reaksimu lamban, sih. Persahabatan kita bisa luntur kalau kamu tidak mau bekerja sama."

Berbicara dengan nada menggoda, Misaki menunjuk Sorata dan mengedipkan mata, seolah-olah dia sedang menasihati anak yang nakal.


Kok bisa ada orang yang sesemangat ini padahal baru saja bangun?

"Ya, sudah .... Selamat pagi. Dan aku sudah membicarakan hal ini berkali-kali, tapi tolong ..., kalau tidur itu di kamar sendiri."

"~yah, sang betina juga tidak akan ikhlas menyerahkan tubuhnya kalau yang jantan malas-malasan.”

"Apa kita masih membahas soal kungkang?!"

"~melihat sang betina yang tidak puas rasanya sedih sekali."

"Sang betina juga hanya berbaring saat sedang kawin, jadi mereka dan aku sama saja."

Sorata akhirnya menyerah, dan mulai mengikuti alur pembicaraan Misaki.

"Baiklah, bisa kita lanjutkan yang kemarin?"

Meski begitu, Misaki malah mengabaikan aliran pembicaraan tadi dan mulai duduk di depan TV, menyalakan video game, lalu mengambil controller. Sistem konsolnya menyala, dan berbunyi seperti sedang membaca piringan game.

Sebelum judul permainan muncul di layar, Sorata merebut konsolnya lalu mematikannya.

"~ahh ..., apa yang kamu lakukan ...."

Misaki menggembungkan pipinya sambil mengeluh, dia ternyata cukup imut kalau sedang marah. Dihadapkan dengan tatapan mata Misaki yang agak mengadah ke atas, Sorata bisa merasakan dirinya mulai tersenyum.

Namun dia tidak boleh terpedaya.

"Terus, bagaimana soal kungkang-nya?!"

"~eh .... Itu membosankan."

"Kamu duluan yang mulai, 'kan?!"

"Biar begitu, ayo main game saja."

"Kata sambung tadi benar-benar tidak sinkron sama kalimatnya! Lagi pula, sejak kemarin lusa kita tidak ada hentinya bermain game, 'kan?! Sudah 36 jam! Mataku rasanya mulai membusuk! Jika aku terkena gelombang elektromagnetik dari layar televisi lagi, kuyakin tubuhku pasti akan hancur jadi pasir atau garam!"

Alasan Sorata tertidur di lantai adalah karena dia kelelahan sampai pingsan.

Tanpa menunggu lama, Misaki langsung menyalakan konsol video game-nya lagi.

"~baiklaaah .... Kalau kamu merasa begitu, bagaimana kalau kulepas bajuku satu per satu setiap kali kamu menang? Itu juga bisa merawat matamu agar kembali sehat! Menenangkan lelah di mata! Hal yang membuat terangsang! Itulah bumbu masa muda! Kamu akan menuju tangga kedewasaan! Terikat oleh rantai hasrat dan nafsu!"

"Daripada melihat Kak Misaki telanjang, rasanya aku lebih terangsang menelanjangi kulit bawang, deh."

"~kamu pasti berpikir, Wah! Kurasa aku melihat cairan putih-putih yang keluar! Atau semacamnya, 'kan? Ya tidak ada salahnya, sih. Tapi bukan hal yang baik kalau masih terangsang dengan sayuran setelah lewat kelas dua SMP. Jangan jadi herbivora! Kamu harus lahap semua yang ada di depanmu! Saat kamu sudah SMA, kamu harus banyak makan daging! Ya, daging! ~baiklah Junior, ikutlah denganku menuju dunia hasrat jasmani kita!"

Sambil bicara begitu, Misaki membusungkan dadanya. Dadanya pun bergoyang-goyang layaknya puding yang menyembul dari balik baju. Sayangnya, naluri lelaki Sorata memaksa pandangan matanya terpaku pada dada Misaki.

Meski begitu, Sorata terus berusaha melawannya.

"Tahu tidak? Dengan sikap
yang tidak tahu malu itu, aku jadi tidak yakin lagi kalau Kak Misaki seorang perempuan! Jadi, tolong hentikan! Berhentilah juga bersikap sok imut, bisa-bisa aku mulai meragukan semua perempuan karena dirimu, sungguh!"

"~ah .... Tapi kita sudah berhasil mengatasi perbedaan gender dan menjadi teman dekat! Selamat! Ayo kita rayakan dengan bermain video game sampai pagi!"

"Itu bukan hal yang layak untuk dirayakan! Bagaimana bisa pikiran menyimpangmu itu sampai menyimpulkan demikian?! Benar-benar, deh. Yang namanya alien harusnya balik ke planetnya sendiri!"

Selama liburan musim semi, aku dipaksa bergadang dengan Kak Misaki sampai pagi. Setidaknya aku hanya ingin mengisi hari ini dengan damai dan tenang.

"~apa itu saja yang ingin kamu katakan?!"

"Jika kamu pikir aku sudah selesai bicara, kamu salah besar! Kamu itu selalu dan selalu bertindak egois! Memangnya kita hidup di negara mana?! Negara Seenak Udelmu?!"

"Kalau begitu, kita akhiri saja dengan main game! Kita mulai pertempuran berdarah sampai salah satu dari kita hancur! Atau pertempuran ini tidak akan ada habisnya!"

"Boleh sa
eh! Sudah kubilang aku tidak mau main!!"

Sorata berharap Misaki melototinya dengan ekspresi marah, tapi Misaki malah mengambil piringan dari konsol video game dan memasukan piringan putih lain ke dalam konsol.

"Huh! Oke, oke! Kalau kamu benar-benar tidak mau main, bantu aku memeriksa contoh hasil karyaku!"

Sorata penasaran dengan yang hendak dilihatnya sewaktu muncul hitungan mundur pada layar televisinya, hal yang biasa terlihat pada film-film zaman dulu.

"Jadi ini hasil karya barumu?"

"~aku baru mengeditnya kemarin lusa, jadi ini masih baru. Silakan dinikmati~"

"Tapi bagian hitung mundur itu masih terasa jadul ...."

Setelah hitungan mundur selesai, anime asli buatan Misaki pun muncul di layar televisi. Tidak ada suara, musik, maupun bunyi efek khusus karena belum ada pengisi suara untuk anime itu. Meski begitu, animasinya sangat halus, gerakannya sangat dinamis, dan itu sudah cukup memberi kejutan. Dia bahkan memadukan karakter 2 dimensi dengan latar 3 dimensi, menyajikan harmoni gambar modern yang sempurna. Karakter dan latarnya juga digambar sangat indah dan cermat. Seiring dengan sketsanya yang memiliki ritme dan komposisi yang unik, dia berani untuk mengerjakan adegan-adegan yang intens. Sulit dipercaya kalau karya tersebut hanya dibuat oleh satu orang saja. Tentu saja itu bukanlah hal yang bisa dibuat seorang pemula, karya itu benar-benar melampaui kualitas animator kelas atas.

SMK yang berafiliasi dengan Institut Seni Suimei (sering disebut Suiko) tidak hanya memiliki Jurusan Umum di mana Sorata ada di dalamnya, tetapi juga ada Jurusan Musik dan Jurusan Seni Rupa yang ditujukan untuk segelintir golongan elit. Golongan elit ini datang dari penjuru negeri. Mereka harus memiliki nilai yang sangat tinggi untuk bisa masuk ke sekolah yang memiliki tingkat penerimaan yang sulit itu.

Dan Misaki salah satu dari mereka, dia murid kelas tiga dari Jurusan Seni Rupa.

Dia satu-satunya murid yang layak menerima beasiswa dalam sepuluh tahun terakhir sejarah sekolah, namun dia juga satu-satunya murid yang haknya dirampas karena keinginannya yang terus-menerus memproduksi anime, dan itu membuatnya cukup dikenal satu sekolah.

"Luar biasa."

Itulah kesan yang mungkin semua orang akan katakan, tapi Misaki tidak menanggapi Sorata. Dia tampak sedang sibuk mengimprovisasi efek suara dan musik dari mulutnya sendiri.

"~duar! Duar! Wush! Dor dor dor! Takdirmu telah datang! Brak! Brak! Dang! Dang! Dang! Kamu terlalu naif, semua yang kamu katakan itu bohong!, A-Apa kamu bilang?!, Lepas celanamu dan coba lain kali, bocah! Bruuuuum! Jreng-jreng!"

Tapi, pertunjukan suara yang diberikan Misaki benar-benar tidak cocok dengan videonya.

Dunia macam apa yang ada di pikirannya?

Misaki berhenti sejenak bersamaan dengan layar yang perlahan menjadi hitam.

Durasi videonya berkisar selama lima menit, mungkin karena begitu mengesankan, rasanya durasi video itu lama sekali.

"Lebih dari yang kukira, ternyata banyak yang harus kukerjakan ulang."

Misaki lalu mengambil piringan dari konsol, rasa heran dan kecewa pun dapat terdengar dari dirinya. Meski sebelumnya dia banyak melontarkan kata-kata aneh, tapi dia benar-benar telah menyelesaikan pekerjaannya, dan itu cukup membuat orang terkejut.

"Aku tidak melihat ada bagian yang perlu diperbaiki."

"~kamu naif, Junior. Pertempuran sesungguhnya baru dimulai jika kamu pikir segalanya sudah sempurna! Dan musuhmu ada di dalam dirimu sendiri!"

"Ah ..., jadi begitu ...."

"~baiklah .... Menurutmu apa aku bisa minta bantuan Nanamin mengisi suara anime ini?"

Nanamin yang dimaksud ialah Nanami Aoyama, salah satu teman sekelas Sorata sejak kelas satu. Dia bercita-cita ingin menjadi seorang pengisi suara, karenanya saat ini dia mengikuti les pengisi suara. Pada angket survei kariernya sewaktu kelas satu, dengan antusias dia mengisi Jurusan Drama saat kuliah nanti. Dan juga dia sama sekali tidak suka dipanggil Nanamin.

Mungkin karena lingkungan unik yang ada di SMK yang berafiliasi dengan Institut Seni Suimei ini, banyak murid yang sudah menetapkan cita-cita mereka dan berusaha keras untuk mencapainya. Di Asrama Sakura pun ada murid kelas tiga yang bertujuan masuk Jurusan Bahasa karena cita-citanya yang ingin menjadi penulis naskah. Ada juga murid kelas dua yang sudah bekerja sebagai programmer dalam perusahaan game, dan dia juga bertujuan untuk masuk ke Jurusan Multimedia.

Tidak seperti murid lain yang sudah memiliki tujuan masing-masing, Sorata mengumpulkan angket survei kariernya tanpa mengisi apa pun di dalamnya. Sepulang sekolah dia dipanggil ke ruang guru, dan dipaksa mengisinya kembali sebagai PR libur musim semi.

Di sisi lain, Misaki, yang satu tahun lebih tua darinya, mengisinya dengan tulisan, Masa depanku terlalu cerah, aku tidak bisa melihatnya! Yang membuatnya ikut dipanggil ke ruang guru, dan dia diceramahi tiga kali lebih banyak dari Sorata. Tetapi guru yang menceramahi Misaki terkena serangan balik oleh kata-katanya yang aneh, dan guru itu pun terluka sangat dalam olehnya. Saat ini beliau sedang cuti, dan mungkin tidak akan kembali dalam waktu yang dekat. Itu kedua kalinya Misaki membuat wali kelasnya trauma, dan Sorata bisa merasakan penderitaan mereka.

"Kalau mau, aku bisa minta tolong padanya."

"~kalau begitu tolong, ya, bantu aku mengedit bagian perekaman juga."

"Sebagai gantinya, traktir aku di kantin sekolah, ya."

"~tidak masalah~"

Bagi Misaki itu bukan hal yang berat, bahkan jika Sorata meminta untuk mentraktirnya makanan selama setahun penuh, mungkin dia tidak akan terganggu sedikit pun. Selama musim panas tahun lalu, Misaki mengunggah anime berdurasi tiga puluh menit buatannya ke berbagai situs video, dan itu sukses besar, dia menerima reaksi positif dari satu juta penonton. Berbagai perusahaan pun segera menghubungi Misaki untuk menawarinya pekerjaan. DVD hasil karyanya mulai dijual Januari ini, dan terjual lebih dari seratus ribu keping, seolah-olah mengejek kondisi ekonomi negera yang sedang buruk-buruknya. Sorata pernah mengintip tabungan rekeningnya, dan jumlahnya sudah cukup bagi Misaki untuk bersenang-senang selama sisa hidupnya.

Naskahnya telah diurus oleh Jin Mitaka, teman masa kecil Misaki yang sekaligus penghuni Asrama Sakura.

Ceritanya bertempat di sebuah pulau buatan yang jauh dari Bumi. Cerita fiksi ilmiah ini dimulai dengan seorang anak lelaki yang lahir, tinggal dan hidup tentram di pulau buatan tersebut, yang kemudian bertemu dengan seorang gadis muda dari luar pulau.

Pada awalnya hubungan mereka berjalan baik, tapi lama kelamaan tidak begitu baik dan malah menjadi membosankan. Anak lelaki itu sangat cuek, jadi gadis itu mengambil inisiatif untuk mengutarakan perasaan padanya sekaligus memberi ciuman pertamanya. Anak lelaki itu sama sekali tidak peduli. Namun ada sesuatu yang misterius di sekitar mereka yang mengubah titik balik pada pertengahan cerita.

Suatu hari anak lelaki itu mengetahui kalau dunia yang dia tempati adalah sebuah kebohongan besar. Dia tidak tinggal di pulau buatan, melainkan sebuah koloni dengan skala besar yang mengapung di luar angkasa. Bumi yang dia pikir sedang dia tempati telah menjadi planet yang tidak dapat dihuni akibat selalu dilanda peperangan mengerikan.

Anak lelaki itu sadar bahwa selama enam belas tahun dia hidup, dia selalu bersikap tak acuh. Dia berpikir kalau selama ini dia hidup di Bumi, namun ternyata semua itu merupakan kebohongan besar. Dan bukan hanya itu saja, bahkan sosok yang dianggapnya sebagai orang tua ternyata bukanlah orang tua kandungnya, teman-teman sekelasnya pun sudah tahu akan hal itu, namun mereka tetap berbohong padanya. Tentu saja, keberadaan gadis itu pun suatu kebohongan yang telah dirancang untuk anak lelaki tersebut. Hidup yang dia jalani selama enam belas tahun itu hanyalah sebuah skenario buatan pemerintah dunia.

Untuk mengakhiri perang yang tak berkesudahan itu, pemerintah dunia membuat sebuah program untuk membentuk ulang kepribadian umat manusia yang dinamakan Bahtera Nuh. Program itu dimaksudkan untuk mengurangi kepekaan terhadap rasa sakit, kesedihan, kebencian, dan kemarahan yang ada pada anak-anak. Atau dengan kata lain, untuk menghilangkan naluri peperangan yang ada pada umat manusia. Di dalam program itu, pulau buatan diibaratkan sebagai bahtera, dan anak lelaki tersebut sebagai kelinci percobaannya.

Rencana mereka bisa dibilang berhasil, anak lelaki itu tidak tahu harus berbuat apa setelah mengetahui kebenaran tersebut. Dia menjadi panik dan menggigil ketakutan. Akhirnya dia pun kehilangan akal sehat dan menjadi gila karena pikirannya yang kacau. Dia tidak bisa berbuat apa-apa selain menghancurkan segala yang ada di hadapannya. Dia mengambil alih salah satu senjata raksasa berkaki dua yang melambangkan dunia palsu tersebut, dan mengubah pulau buatan manusia itu menjadi lautan api.

Saat pemerintah dunia memutuskan untuk melenyapkan anak lelaki itu, hanya sang gadis yang datang membelanya. Gadis tersebut ingin melindungi sang anak lelaki yang telah dikepung tentara, namun dia tertembak di bagian dada dan meninggal dalam pelukan anak lelaki tersebut.

Setelah gadis itu meninggal, sang anak lelaki sadar bahwa dalam dunia palsu tersebut masih ada sebuah kebenaran. Yaitu perasaan yang dia miliki pada gadis itu, dan sikap lembut sang gadis yang ditujukan padanya.

Kemudian anak lelaki itu pun menangis untuk pertama kali dalam hidupnya. Itu adalah air mata penyesalan, yang secara ajaib membawa para penonton pada adegan kehangatan yang klasik.

Sorata juga meneteskan air mata saat pertama kali menontonnya, dia benar-benar tidak berdaya menghadapi kisah yang dibuat oleh pengerjaan yang luar biasa itu.

Semuanya merupakan hasil karya Misaki sendiri. Setiap tata letak, konsep, sketsa, komposisi, gambar, animasi, pewarnaan, paduan latar belakang, pengambilan gambar, efek khusus, pemotongan adegan, perekaman, penggabungan audio, bahkan pengeditan video yang mestinya dilakukan oleh masing-masing seksi dalam setiap perusahaan, semuanya dilakukan oleh Misaki sendiri.

Dia tidak hanya pandai menggambar animasi dua dimensi, tapi juga tiga dimensi. Perpaduan antara cita rasa dan keahlian yang dimilikinya menciptakan sebuah tontonan yang tak biasa.

Meskipun bagian audionya diserahkan pada temannya dari Jurusan Musik, Misaki tetap harus menyelesaikan berbagai hal lainnya dalam standar yang sangat tinggi.

Anime buatan Misaki membuat lubuk hati Sorata merasa bahwa Tuhan itu tidak adil, Misaki diberkati bakat yang sangat abnormal, sedangkan dia tidak diberkati apa pun.

"~baiklah! Ayo kerjakan ulang sekarang!"

Misaki berdiri dan meregangkan badannya. Dia tiba-tiba tidak tertarik lagi dengan Sorata dan keluar dari kamar. Suara napas yang berat terdengar bersamaan dengan Misaki yang menaiki tangga lalu berjalan di lantai dua, kebetulan kamar Sorata berada tepat di bawah kamar Misaki.

"Aku benar-benar harus segera keluar dari sini sebelum jadi gila ...."

"Maaf mengganggu."

Tepat setelah Misaki pergi, sosok lain muncul di depan pintu. Dandanannya benar-benar terlihat tebal, dan pakaiannya terlihat seperti sudah siap untuk bertarung. Beliau adalah guru Seni Rupa, Sengoku Chihiro. Beliaulah satu-satunya guru yang ditugaskan menjadi pengawas di Asrama Sakura, serta tinggal bersama Sorata dan yang lainnya. Akan tetapi, beliau tidak serius mengemban tugasnya sebagai pengawas ....

"Ih ..., dandanan Ibu ..., seperti kupu-kupu malam saja, tepatnya, lebih mirip ngengat malam, Bu."

"Bocah sepertimu mana mengerti hal dewasa semacam ini."

Yang lebih parah lagi, Chihiro lalu mengedipkan satu matanya, sampai-sampai, bunyi tepukan maskara tebalnya pun terdengar.

Menahan rasa jijiknya, Sorata menyunggingkan senyum kecut.

"Ya ..., pokoknya, jangan bilang kalau saya tidak pernah memperingatkan Ibu."

"Jangan khawatir, hari ini Ibu pasti akan bertemu dengan suami masa depan Ibu, jadi tunggu saja."

"Jadi, cuma itu saja yang mau Ibu sampaikan?"

"Kenapa Ibu repot-repot kemari hanya untuk membahas hal tadi padamu, ya?"

"Yah, kenapa juga saya mau repot-repot mendengarkan Ibu bicara?"

"Kamu tidak perlu selalu membalas ucapan Ibu, 'kan? Kalau begitu ..., nih ...."

Beliau memberi selembar foto kepada Sorata, foto seorang gadis berumur antara lima atau enam tahun.

"Ibu kebanyakan mengigau, ya?"

"Itu sepupu Ibu, mulai hari ini dia akan pindah ke Asrama Sakura."

"Ah ...."

"Namanya Mashiro Shiina, dia akan tiba di stasiun pukul 6 sore. Tolong dijemput, ya?"

"Hah?"

"Ibu bilang, dia akan tiba di stasiun pukul 6 sore, jadi Ibu ingin kamu pergi menjemputnya. Kamu dengar, tidak?"

"Saya sudah dengar, makanya saya bingung!"

"Ayolah, Ibu ada acara minum-minum. Yang diundang itu semuanya dokter, tahu, dokter! Itu jarang sekali. Jadi ayolah, kamu sendiri juga tahu kalau Ibu sudah tidak bisa lagi mengubah jadwalnya. Lagi pula, jika dilihat-lihat, sepertinya kamu juga sedang tidak ada kerjaan, 'kan? Kalau boleh jujur, kamu malah tidak pernah terlihat sibuk."

"Ucapan Ibu tadi terdengar tidak pantas bagi seorang guru .... Suasana hati Ibu sedang bagus, ya? Aku jadi terkejut. Tapi untuk hari ini aku tidak bisa membantu Ibu, karena aku harus mencari tahu apa yang jadi keinginanku untuk masa depan."

"Apa maksudmu?"

"Ibu yang menyuruh saya mengisi ulang angket survei karier, 'kan?!"

"Ah .... Tulis saja pilot atau semacamnya, masalah beres."

"Memangnya saya anak SD?!"

"Kalau begitu tulis saja, Ingin jadi kaya."

"Itu malah lebih buruk!"

"Perhitungan sekali, sih. Kalau kamu bingung tulis saja, Melanjutkan ke sekolah tinggi, para guru pasti akan senang."

"Bisa Ibu minta tolong pada Jin saja? Dia juga sedang tidak ada kerjaan."

"Si tukang minggat itu sedang tidak di sini. Mungkin hari ini dia sedang memanfaatkan wajah tampan kebanggaannya itu untuk menggoda wanita, dan memakai tubuh bagian bawahnya untuk membuat mereka mabuk kepayang."

"Apa Ibu ini benar-benar seorang guru?! Astaga, apa Ibu tidak malu?! Saya bahkan tidak tahu harus bilang apa!!"

"Malu? Maaf, hal seperti itu sudah Ibu tinggalkan di testis ayah Ibu."

"Uwah! Astaga! Pertama kalinya saya dengar seorang wanita bilang testis! Orang yang sudah melewati umur 30 dan berubah jadi Amazoness memang beda. Kekuatan wanita berumur 30 tahun sangat hebat."

Alis Chihiro mengerut.

"Siapa yang kamu sebut 30 tahun?! Umur Ibu masih 29 tahun 15 bulan!"

Dengan sekuat tenaga beliau menghentak lantai hingga terasa berguncang, Sorata sampai mengurungkan niatnya untuk menjawab, Pejuang Amazoness memang hebat.

"Lalu ..., bagaimana dengan Akasaka? Dia pasti ada di sini, 'kan?"

Sorata melihat ke arah dinding kamar. Di kamar nomor 102 tinggal seorang programmer yang seangkatan dengannya,
Ryuunosuke Akasaka.

"Tidak mungkin pengurung diri itu mau keluar. Pikir-pikir dulu kalau mau bicara. Ah ..., Ibu bisa telat kalau tidak berangkat sekarang. Kuserahkan sepupu Ibu padamu. Pastikan kamu menjemputnya!"

Chihiro membanting pintu dengan keras, membuat engsel pintu sampai longgar sehingga menjadi miring. Para kucing mencoba menenangkan Sorata dengan suara meongnya, seolah ingin berkata kalau memperbaiki pintu itu akan sia-sia saja.

Sorata menatap Chihiro dari belakang, sambil berharap Chihiro akan gagal dalam pencariannya.

Setelah itu dia mengambil ponselnya di lantai dan mengirim pesan pada Ryuunosuke.

Dia menerima balasan yang sangat cepat.

「Saat ini Tuan Ryuunosuke sedang mengembangkan middleware untuk PT. S yang digunakan sebagai kompresor audio. Kedengarannya membosankan, tapi beliau terus melakukannya karena itu sudah jadi tanggung jawabnya. Jadi meskipun Sorata mengirim pesan, aku tidak bisa memberinya pada Tuan Ryuunosuke. Maaf atas gangguan ini, kuharap kamu mengerti.


Dari Maid-chan yang juga bertanggung jawab sebagai sekretaris~」

Maid-chan adalah AI (kecerdasan buatan) yang dikembangkan oleh Ryuunosuke untuk menjawab pesan secara otomatis. Sorata tidak tahu jelas bagaimana AI itu dibuat, tapi Maid-chan benar-benar emosional, dan sangat cerdas. Dia memiliki cara bicara yang tidak terlalu formal, dan sedikit membuat kesalahan eja di sana-sini. Meski begitu, balasannya sangat akurat dan cocok.

Hal itu sangat menarik, terkadang dalam waktu senggangnya, Sorata sering meminta nasihat soal kehidupan darinya, bahkan dia pernah mencoba menggodanya.

Tapi sekarang bukan waktu yang tepat untuk bermain-main dengan penjawab pesan otomatis.

Dia kembali mengirim pesan, dan berharap memperoleh balasan berbeda.

Kali ini dia langsung mendapat balasan dalam sekejap.

「Kalau kamu terus mengganggu, nanti kukirimkan virus kepadamu, lo. (Hihi)


Dari Maid-chan yang mampu membuat virus~」

"Wah, gawat!"

Takut ada apa-apa, Sorata langsung mengirimkan pesan minta maaf.

Sebelum ini Sorata pernah mendapat sebuah program yang mampu menghancurkan sistem ponselnya, yang mengubah ponsel barunya itu menjadi sebuah rongsokan.

「Baguslah jika kamu sudah mengerti. Ah ..., tapi sayang sekali aku tidak bisa memakai virus ini, padahal aku sudah berjuang keras membuatnya.


Dari Maid-chan yang berharap menjadi manusia~」

Sorata kembali mengirimkan pesan minta maaf, dia merasa harus lebih berhati-hati kepada AI ini. Kemudian Sorata pun menghela napasnya ....

"Ah ..., semua murid maupun guru di sini benar-benar aneh. Aku benar-benar harus segera keluar dari tempat ini, pikiranku lama-lama bisa jadi gila .... Aku hanya ingin kembali ke kehidupanku yang biasa .... Siapa saja, tolong aku."

Dia lalu melihat foto yang diberikan Chihiro padanya.

Seorang gadis berkulit putih itu mengenakan topi jerami yang besar dengan pakaian yang putih bersih. Ekspresinya pucat, meski dihadapkan pada kamera, dia tidak tersenyum. Dia memiliki ekspresi yang kosong, dan tampaknya dia sedang menatap pada sesuatu yang ada di balik lensa kamera.

Mungkin karena ekspresi kosong yang tampak jelas itu, Sorata bisa merasakan kepedihan yang ada di dirinya.

Gadis itu mengingatkan Sorata pada sesuatu.

Lalu kucing di sebelahnya mengeong.

"... begitu rupanya, dia mengingatkanku pada saat pertama kali aku menemukan kalian."

Sambil melihat kucing yang meringkuk di kakinya, dia membayangkan seorang gadis kecil duduk menatapnya dari dalam kardus. Itu saja sudah cukup membuat diri Sorata diam membatu.


Read more ...»

Sakurasou Jilid 1 Bab 1

On 0 komentar

-Bab 1 - Selamat Datang di Asrama Sakura.-


Daftar Isi

Read more ...»