Sakurasou Bab 1 Bagian 2

On Selasa, 26 Januari 2016 0 komentar

==========================================================
Perkenalkan, penerjemah baru untuk seri ini, Irant Silvstar, yang kalau misal sering baca di B-T Indonesia, pasti tahu nama ini... Semoga agannya betah melanjutkan seri ini, walau blog ane sudah sepi postingan begini...
Lanjut ke catatan terjemahan (yang cukup penting di bagian ini), Stasiun Gedaimae dalam raw-nya tertulis 芸大前駅 (Geidaimae-eki), di mana 芸大 (Geidai) adalah sebutan (yang juga kependekan) dari Institut Seni Tokyo (東京藝術大学 ,Tōkyō Geijutsu Daigaku), sehingga di sini terasa seperti 'Stasiun Depan Geidai (Institut Seni)'  yang sering mengecoh orang yang gak tahu...
Mentaiko adalah telur ikan Pollock yang diasinkan, dan Kota Fukuoka cukup terkenal dengan hidangan ini...
Hawks di sini adalah tim bisbol Fukuoka Softbank Hawks... 
Lolicon (Lolita Complex), kecenderungan seseorang yang terobsesi akan sosok anak perempuan di bawah umur...
Dan yang terakhir, walau ane yakin para fans sudah tahu artinya, Mashiro (ましろ) berarti putih (bersih), dan untuk beberapa kondisi juga bisa diartikan 'kosong'...
Akhir kata... 
Selamat menikmati...
==========================================================


Bab 1 - Selamat Datang di Asrama Sakura

Bagian 2


Rute terpendek dari Asrama Sakura menuju stasiun adalah melalui jalan berbata merah yang terlintang di sepanjang distrik perbelanjaan. Rute tersebut memberi suasana jalan perbelanjaan lawas yang menyenangkan, dan bagi Sorata yang lahir dan dibesarkan di kota ini, rute ini bahkan pernah menjadi tempat bermainnya.

Mungkin itu sebabnya, hanya berjalan melintasinya saja, Sorata disapa oleh satu per satu orang yang dia kenal.

Di depan penjual ikan:

"Hei, kamu Nak Kanda, 'kan?! Ayo sini, coba ikan kembungnya hari ini!"

Dan di depan penjual daging di hadapannya:

"Oh, Sorata, ya ~ Kamu lapar? Ini kuberi beberapa kroket."



Seperti itulah, bahkan tanpa membeli apapun, Sorata mendapat beberapa kroket dari penjaga toko itu.

"Hei Sorata, lama tak jumpa. Sekarang kamu sekolah di Suikou, 'kan?"

Tentu saja, dia bahkan berpapasan dengan teman SMP-nya, yang kebetulan sedang membantu di toko sembako.

Kota ini penuh dengan jalinan persahabatan yang erat dan sulit dijumpai di kota-kota besar.

Sebagian alasannya adalah hal itu tidak akan memberi keuntungan bagi mereka untuk mendesak pembangunan kota di waktu setelat ini, dan sebagiannya lagi adalah semua orang merasa cukup nyaman dengan kondisi distrik perbelanjaan yang sekarang ini.

Sekitar tiga tahun yang lalu, sebuah toko swalayan besar dengan harga-harga murah dan pilihan barang yang bagus dibuka di seberang stasiun, tapi Sorata hanya tetap berbelanja di distrik perbelanjaan ini. Dia hanya merasa jauh lebih nyaman di sini. 

Dan mungkin karena ada orang lain yang berpikir serupa dengannya, distrik perbelanjaan ini tetap seperti ini.

Selagi menjejal mulutnya dengan kroket yang diterimanya tadi, Sorata segera sadar jika sudah berada di depan stasiun.

Meskipun tempat itu disebut-sebut sebagai Stasiun Geidaimae, tidak akan memakan lebih dari lima belas menit bagi orang dewasa untuk berjalan dari sini ke sekolah. Karena itulah, tempat ini cukup terkenal atas kehebatannya menjebak para peserta yang berharap tiba tepat waktu untuk melaksanakan ujian masuk, yang kemudian membuat mereka berlinangan air mata saat sadar bahwa mereka akan telat.

Stasiun itu terasa agak menyusahkan karena hanya menyediakan gerbang satu tiket, sehingga memaksa orang-orang yang tinggal di sisi lain stasiun untuk melalui jembatan penyeberangan rel terlebih dahulu jika ingin menuju ke sana. 

Sorata duduk di pembatas besi tepat di depan gerbang tiket dan menunggu.

Dia mengeluarkan foto yang disimpannya di dalam dompet lalu memeriksanya sekali lagi.

Mashiro Shiina.

Nama yang aneh.

Bu Chihiro bilang kalau ini sepupunya. Tapi usianya tampak berbeda jauh.

Sembari Sorata memikirkan hal-hal tersebut, sebuah kereta yang tiba dari arah pusat kota berhenti.

Biasanya Sorata mengira jika dia akan melihat sejumlah murid SMP yang turun dari kereta itu, tapi karena sekarang liburan musim semi, tidak ada banyak orang di dalamnya. Orang-orang yang turun dari kereta tersebut hanyalah orang-orang yang tidak diketahui dari mana asalnya maupun usianya, yang meninggalkan stasiun untuk alasan yang tidak diketahui pula.

Di antara orang-orang itu, Sorata mengenal sesosok wajah. Orang tersebut kelihatannya juga mengenal Sorata, dan membelalakkan matanya karena terkejut. Dia mempercepat langkahnya hingga sampai di depan Sorata.

"Sedang apa kamu di sini? Menungguku, ya?"

"Sama sekali tidak."

"Ah, kurasa lain begitu."

Jelas sedang memikirkan sesuatu yang lucu, Jin Mitaka tertawa terbahak-bahak.

Dia memiliki rambut coklat muda yang lebat. Badannya cukup tinggi dan juga cukup ramping. Sosoknya cukup memberikan kesan yang kuat jika dilihat dari dekat, tapi entah kenapa, dia lebih dikenal sebagai seorang pria yang lembut.

Kacamata bersiku runcingnya memberi tampang orang intelek, bahkan anak seperti Sorata tidak keberatan untuk menyebut kalau lelaki itu keren.

Karena itu Sorata bisa menerima bahwa lelaki itu cukup populer di kalangan para perempuan. Itu tidak akan membuatnya terkejut meski dia menemukan bekas cupang di leher Jin. Nyatanya, hal itu cukup bisa ditebak.

Lelaki itu tinggal di kamar 103 di Asrama Sakura. Kemampuan istimewanya yakni dapat menebak tiga ukuran tubuh wanita melalui penglihatannya, bahkan ketika mereka sedang mengenakan pakaian.

"Hei, hei, yang kamu bawa itu apa? Baunya enak."

Dia memalingkan tatapannya pada plastik kroket yang dipegang Sorata. Bertolak belakang dengan seseorang yang terlihat begitu dewasa dan kalem, sebuah tampang anak kecil yang penasaran terpancar jelas dari matanya.

"Kroket dari penjual daging. Kudapat sewaktu datang kemari."

"Wah, enaknya. Bagi sedikit, dong. Aku belum ada makan sejak sarapan tadi."

Jin mengambil kroket yang ditawarkan Sorata padanya lalu memakannya dengan semangat.

"Sorata memang hebat."

"Eh?"

"Hanya berjalan melewati distrik perbelanjaan saja, kamu bisa dapat kroket lezat ini. Aku benar-benar terkesan."

"Aku lebih terkesan dengan Kak Jin, karena wanita bisa saja hamil setiap kali kamu berpapasan dengan mereka."

"Hei, hei, aku pakai kontrasepsi."

"Terserahlah. Omong-omong, anime buatan Kak Misaki ... jadi terkenal, ya?"

Jin-lah orang yang menulis naskah untuk anime itu. 

"Itu semua karena Misaki. Dari dulu dia memang sudah tidak normal. Wah, kroket ini benar-benar enak .... Aku suka banget."

Jin tampak ingin mengubah topik pembicaraan, karena itu Sorata berhenti membicarakannya.

"Aku tidak boleh lupa untuk berterima kasih pada penjual daging itu saat berjumpa lagi dengannya. Akan kuberi tahu kalau Kak Jin memuji kroketnya."

"Ah, sekarang setelah kuingat lagi, kamu itu penduduk sini, kan?"

"Iya." 

"Terus kenapa tinggal di asrama?"

"Baru sekarang kamu menanyakannya? Yah, tidak masalah, sih, tapi itu benar-benar bukan cerita yang menarik."

Kejadiannya sekitar setahun lalu, di hari ketika pengumuman hasil ujian seleksi masuk SMA.


*********

Kaget karena bisa lulus ujian masuk, Sorata pergi dan merayakan dengan teman-temannya ke tempat karaoke.

Pulang ke rumah persis lewat tengah malam, Sorata mendapati sosok garang ayahnya sedang berdiri menunggunya di ruang tamu.

"Kamu sekarang murid SMA. Jadi kamu punya hak untuk memilih."

"Apa?"

"Pilih apa kamu ingin pergi bersama keluargamu ke Fukuoka, atau tetap tinggal di sini dan hidup sendiri."



Selagi dia melihat ayahnya berdiri di sana sambil melipat tangan, Sorata benar-benar tidak bisa menebak apa yang sedang terjadi.



Mencari bantuan, dia diam-diam melirik pada ibunya yang sedang mencuci piring sambil bersenandung.

"Ini agak mendadak, tapi ayahmu dimutasi ke tempat lain."

"Oh, begitu. Lalu?"

"Jadi sebaiknya kamu memilih apa ingin pergi bersama kami atau tinggal di sini."

"Tunggu dulu. Bukankah yang akan pergi itu Ayah sendiri?"

"Kamu ini bicara apa? Kalau Ayah saja yang pergi, nanti Ayah kesepian."

"Yang namanya seorang ayah itu tidak sepatutnya mengeluh tentang hal-hal seperti kesepian!"

"Itu sebabnya Ayah mengajak ibumu dan Yuuko untuk ikut."

"Terus kenapa aku disendirikan?"

"Ada atau tidak adanya dirimu, tidak berpengaruh pada kesepian Ayah."

"Oh, begitu. Lalu bagaimana dengan sekolah Yuuko?"

"Kami sudah memindahkannya ke sekolah baru."

"Buset, cepat amat!"

Soalnya, bagi Sorata, ini bukanlah hal buruk. Dia akhirnya telah mendapatkan keinginannya untuk hidup sendiri.

"Omong-omong, Ayah barusan pergi ke agen properti. Rumah ini sudah kami jual."

"Loh! Kok semuanya buru-buru begitu?!"

"Ayah sudah menerawang ke masa depan, kelak Ayah akan dikubur di Provinsi Mentaiko."

"Ayah ini gila, ya? Oi, sadar! Pakai menyebut Provinsi Mentaiko segala .... Ayah sebaiknya meminta maaf pada Fukuoka sekarang! Kuyakin mereka punya hal-hal menarik lainnya di sana!"

"Jangan khawatir. Ayah juga seorang fans Hawks."

"Siapa yang peduli?!"

"Sayang, aku menyerah. Aku tidak mampu lagi berbicara pada anakku yang sudah dewasa ini. Inilah alasan kenapa pubertas itu begitu menjengkelkan."

"Hei, hei, tunggu sebentar! Jangan buat seakan ini jadi salahku!"

Dengan ekspresi syok, ayah Sorata beranjak pergi menuju kamar mandi. Seperti yang bisa ditebak, Sorata tidak ada niat untuk mengejarnya. Siapa juga yang ingin melihat ayah mereka bertelanjang bulat?

Menggantikan tempat ayahnya, ibu Sorata datang dan duduk di depannya.

"Jadi, apa yang akan Ibu lakukan? Ini sebuah keputusan besar, Bu."

"Kamu masih menyimpan brosur sekolahnya, kan? Berapa biaya untuk tinggal di asrama?"

"Termasuk dua kali makan sehari, lima puluh ribu yen."

Ibu Sorata terlihat gembira.

"... Yah, paling buruk pun, kurasa aku bisa mencari kerja paruh waktu atau semacamnya."

"Eh, tunggu, kenapa, kenapa? Apa Kakak tidak pergi bersama kita?!"

Yang tiba-tiba menyela ialah adik kecil Sorata, Yuuko, yang mengenakan sepasang piyama merah muda yang imut.

Dia mendekat pada Sorata dan menggaet lengannya, menggoyang-goyangnya naik turun sambil memohon-mohon padanya.

"Aku tidak mau jauh-jauh dari Kakak ~! Lagian, bisa-bisanya Kakak tidak masalah kalau jauh dariku? Tidak bisa kupercaya!"

Dia sudah menginjak tahun kedua SMP-nya April lalu, tapi tindakannya yang kekanak-kanakan itu begitu meresahkan. Saat dia masih kecil, kesehatannya tidak begitu bagus, dan dia selalu bersembunyi di balik punggung Sorata. Jadi tidak mengejutkan kalau dirinyalah yang paling banyak menentang soal pindah rumah ini.

"Yah, aku tidak mau penerimaan masuk SMA-ku ini jadi sia-sia."

"Bohong! Kakak bilang kalau alasan mendaftar ke SMA itu hanya karena itulah yang paling dekat dengan rumah kita! Kakak pindah saja ke sekolah terdekat dari rumah kita di Fukuoka!"

Untuk beberapa saat setelahnya, Yuuko sama sekali tidak kehabisan semangat, dan mencoba dengan segenap kemampuannya untuk membuat Sorata ikut dengan mereka.

Melihat Sorata yang tidak bisa dibujuk, dia hampir menangis, dan Sorata tidak tahu bagaimana menangani situasi ini. Tapi akhirnya, sepatah kata dari sang ibu membuat Yuuko terdiam.

"Sudah, jangan egois. Nanti kakakmu bisa tidak menyukaimu lagi."

Seperti yang bisa ditebak dari seorang ibu yang sudah tiga belas tahun berpengalaman menghadapi Yuuko, dia tahu persis bagaimana menangani anak perempuannya.

"Ya sudah ..., aku  menyerah ...."

Sambil memberi Sorata tampang mirip seekor kuda poni yang baru saja dijual, Yuuko pergi kembali ke kamarnya.

Esoknya, Sorata menyelesaikan berkas-berkas yang diperlukan untuk masuk ke Suikou dan pindah ke asrama, dan keluarganya mulai sibuk bersiap-siap untuk pindah.


*********

Kejadian setahun yang lalu itu kini terlihat sangat jauh bagi Sorata.

Untuk beberapa saat selagi Sorata menceritakan kisahnya, Jin terkikik.

"Aku jadi agak iri dengan keluargamu."

"Semua ini salah ayahku yang bodoh."

"Yah, biar begitu, aku lega itu bukan sesuatu yang serius. Aku tidak siap jika kamu menceritakanku sesuatu yang mengerikan."

"Maksudmu seperti ... keluarga kami terpecah-belah, begitu? Atau ayahku menghilang, begitu?"



"Ya, sesuatu semacam itu."

Kak Jin mengembangkan senyumnya padaku. Itu senyum yang dia gunakan untuk menaklukkan begitu banyak wanita, 'kan?

"Jadi? Apa yang sebenarnya kamu lakukan di sini?"

"Oh. Nih."

Biar kutunjukkan pada Kak Jin foto yang diberikan Bu Chihiro padaku.

"Anak yang manis."

"Iya."

"Sepertinya umurnya sekitar lima tahunan."

"Ya, kurasa begitu."

"Adik perempuanmu?"

"Bukan."

"Oh, begitu. Aku paham."

"Apa maksudmu dengan, Aku paham?"

"Sorata, Kamu akan pergi ke kantor polisi. Dan kamu akan menyerahkan diri karena kamu seorang lolicon. Lalu kamu akan mengaku sebagai pelaku di balik semua pelecehan dalam kereta yang belakangan ini terjadi di sekitar sini. Aku akan menemanimu."

"Bagaimana bisa kamu mengatakan itu semua tanpa ekspresi sedikitpun?! Kamu salah besar! Bu Chihiro yang memintaku melakukan ini! Beliau menyuruhku ke stasiun untuk menemui anak di foto ini."

"Eh? Cuma itu? Membosankan sekali ~."

"Jadi menurutmu akan lebih menarik kalau aku jadi orang cabul?"

"Yah, itu pasti akan sedikit lebih menarik."

Dari ekspresi Jin, Sorata benar-benar tidak bisa tahu sedang seserius apa dirinya.

Selagi omong kosong yang bodoh itu sedikit mereda, Sorata melihat sebuah taksi hitam memasuki stasiun. Taksi itu berhenti di zona parkir taksi, sekitar sepuluh meter jauhnya dari Sorata.

Sambil dengan santainya melihat mobil tersebut, Sorata melihat seorang perempuan yang tidak pernah dilihatnya keluar dari kursi belakang dengan mengenakan seragam Suikou yang sudah tidak asing baginya.

Seragam itu terlihat baru dibeli dan jelas sekali belum pernah dipakai sebelumnya. Dia memegang koper coklat muda di depannya dengan kedua tangan, dan tampak bosan sewaktu melihat taksi yang ditumpanginya (dengan plat nopol Narita) meninggalkan stasiun.

Mungkin karena bola matanya yang tampak sedikit ke atas, dia menjadi terlihat agak dewasa, tapi karena seragam yang dikenakannya, Sorata menarik kesimpulan bahwa dia pasti seumuran dengannya.

Kulitnya yang hampir transparan begitu putih sampai-sampai warnanya terlihat hampir merembes ke sekitarnya.

Sorata hanya bisa terpukau akan kecantikannya. Pikirannya jadi hampa, dan hanya sebuah tempat putih terbentang tanpa ujung yang tertinggal di dalam hatinya. Begitu gembiranya dia sampai tidak sadar dengan sekelilingnya, napasnya memberat, dan dia bahkan lupa di mana dia berada saat itu.

Perempuan itu berdiri sendirian di tengah padang salju yang putih. Sorata terpikat oleh pemandangan itu.

"Kesan yang ditampilkannya benar-benar cukup menarik. Bukan begitu, Sorata?"

"..."

"Sorata?"

Sorata merasa bahwa Jin sedang berusaha mengatakan sesuatu padanya, tapi ucapannya itu hanya masuk kuping kiri keluar kuping kanan saja.

Perempuan itu mulai berjalan pelan. Jika diibaratkan seekor kucing, dia akan menjadi seekor kucing gunung Iriomote. Keberadaan dirinya memberi kesan yang kuat, tapi di saat yang sama memberi kesan bahaya di sekelilingnya, hampir seperti seekor spesies yang terancam punah. Sorata terkesan dengan ketidaknyamanan tersebut, seakan perempuan itu akan menghilang jika dia melepas tatapannya darinya. 

Perempuan itu dengan hening berjalan ke sebuah bangku di sisi stasiun, lalu duduk seperti orang yang hampir hilang kesadaran.

Jarak perempuan itu sekitar enam meter dari  Sorata.

Sorata tidak tahu kenapa dia merasa begitu gugup. Menyerah pada kegugupannya, dia menelan ludahnya dengan kentara.



"Kamu tahu, tidak peduli semanis apa dirinya, tetap tidak sopan jika menatap seperti itu. Walau kuakui bahwa aku tidak menyalahkanmu sampai bisa jadi seperti ini ...."

"..."

"Bukankah dia membuatmu ingin ke sana dan melindunginya, duduk menemaninya?"

"..."



"Baiklah. Mari kutunjukkan kehebatanku. Biar kulihat .... Tingginya 162 cm, beratnya sekitar 45 kg, dan tiga ukuran tubuhnya dari atas ke bawah pasti 79 - 55 - 78. Berdada rata, ya? Jangan pesimis dulu. Karena pinggangnya begitu ramping, dia bisa memperlihatkan dada yang besar kalau dia menanggalkan bajunya. Percayalah padaku."

Sorata mendengar suara Jin datang dari sedikit di depannya.



"... kamu ini bicara apa, Kak Jin?"



"Aku sedang memberi tahu betapa mudahnya membaca isi hatimu."

Bahkan setelah kembali dari alam mimpi, Sorata tidak melepas tatapannya dari perempuan itu. Sambil melihat wajahnya, Sorata merasa harus mengingat sesuatu, dan dia mencoba untuk memikirkan apa itu.

Lalu, secara tiba-tiba dan tak disangka dia menyadarinya.

"Ah, iya."

"Jangan cemas, Kawan. Tidak usah malu."

"Bukan, bukan. Ini soal perempuan itu.”

Di saat Sorata menyuarakan pemikirannya, segalanya terasa jadi lebih mudah.

"Eh? Sekarang ini kamu lagi membicarakan apa?"

"Tadinya kupikir dia akan kemari naik kereta ...."

"Tunggu dulu, otakmu masih berfungsi, 'kan?"

"Bukan, bukan, bukan, bukan. Foto ini!"

Sorata menyodorkan foto yang diberikan oleh Chihiro ke wajah Jin. 

"Aku tidak mengerti yang kamu bicarakan."

"Yah, terserahlah."

Sorata pergi melintasi pembatas besi, dan berjalan ke arah perempuan yang duduk di bangku tersebut.

"Hei, kamu ingin menjadi warna apa?"

Itu memakan waktu sejenak sebelum Sorata menyadari bahwa pertanyaan itu datang dari sang perempuan.

Andai dia tidak memusatkan perhatiannya pada perempuan itu, Sorata yakin bahwa dia tidak akan mendengarnya.

Gadis itu menengadah ke arah Sorata, dan mata mereka saling bertemu. Itu sudah cukup untuk menggetarkan Sorata sampai ke sumsumnya.

"Maksudmu, aku?"

Perempuan itu sedikit mengangguk.

"Aku sama sekali belum pernah memikirkannya."

"Oh, kalau begitu pikirkan."

"Aku tidak yakin untuk ke depannya, tapi untuk sekarang, kurasa aku ingin menjadi warna-warni."

"Itu sebuah warna?"

"Kurasa maksudnya seperti warna pelangi, tapi dengan nuansa warna yang sedikit tidak jelas."

"Menarik."

"Kamu sendiri?"

"Eh?"

"Kamu ingin menjadi warna apa?"

"Aku belum memikirkannya."

"Apa-apaan?"

"Hari ini, mungkin aku mau menjadi warna putih.”

"Hmm, persis seperti namamu."

"..."

Dia melihat ke arah Sorata dengan tatapan yang sedikit terkejut.

"Maaf. Mungkin aku sekarang tampak agak mencurigakan. Aku Sorata Kanda. Bu Chihiro memintaku untuk menjemputmu .... Beliau sudah mengabarimu, 'kan?"

"Bu Chihiro yang menyuruhmu?"

"Huh, beliau benar-benar membuat orang bingung, ya?"

Sorata membandingkan perempuan di depannya itu dengan anak yang di dalam foto. Tidak mudah untuk mengetahuinya dengan sekali lihat. Tapi untuk beberapa alasan, Sorata tahu. Karena kesan yang dia dapatkan dari kedua perempuan itu sama. 

Karena itu, perempuan ini pastilah Mashiro Shiina.

"Foto zaman kapan yang beliau beri ini? Umurmu pasti tiga kalinya ini ...."



Read more ...»