Sakurasou Bab 1 Bagian 5

On Minggu, 25 Desember 2016 0 komentar

=========================================================
Bab 1 akhirnya selesai... Sebagai pengingat kalau ada yang nanya, ini dibuat jadi per bagian karena isinya panjang... Begitu...
Baumkuchen atau "Kue Pohon" adalah kue khas Jerman yang populer pada saat perayaan penting dan pesta pernikahan... Bentuknya seperti menara dengan cincin gak rata berlapiskan coklat putih atau hitam...
Maharaja di sini merujuk pada maharaja di negeri India yang punya banyak selir...
Selamat menikmati...
=========================================================


Bab 1 - Selamat Datang di Asrama Sakura

Bagian 5


Malam itu, untuk menangani masalah besar yang bernama Mashiro Shiina, Sorata memanggil para penghuni Asrama Sakura untuk mengadakan rapat.

Singkatnya, ini adalah tempat di mana para penghuni menyusun beberapa aturan dasar mengenai tata cara mereka hidup bersama.

Sampai hari ini, banyak peraturan Sakurasou ditentukan dalam rapat ini, mulai dari tugas biasa seperti menentukan siapa yang menyiapkan makanan, siapa yang pergi berbelanja, siapa yang membersihkan kamar mandi, sampai tugas yang lebih aneh seperti menentukan siapa yang akan memperbaiki atap yang bocor dan siapa yang akan menangani sarang lebah.

Tujuan diadakannya rapat hari ini adalah menyusun tugas baru untuk mengurusi Mashiro, dan untuk memutuskan siapa yang akan bertanggung jawab untuk Tugas Mashiro ini.

Untuk pertama kalinya dalam satu bulan ini, seluruh penghuni Sakurasou berkumpul di sekeliling meja bundar ruang tamu. Dengan urutan searah jarum jam, Chihiro, Misaki, Jin, Sorata, dan Mashiro duduk mengelilingi meja itu.

Ryuunosuke Akasaka, yang menolak untuk keluar dari kamarnya, ikut berpartisipasi dalam rapat lewat obrolan internet. Misaki mengobrol dengannya, mengetik keyboard laptopnya sambil mengunyah sepotong udang goreng.

"Anu, begini, kita semua tahu kenapa kita berkumpul hari ini. Aku ingin semua orang di Asrama Sakura berpartisipasi agar kita dapat mengatasi masalah yang sangat menyulitkan ini."

Tidak seperti Sorata yang bersungguh-sungguh, para penghuni lain justru sibuk dengan makanan mereka dan tidak begitu mendengarkan.

Mencoba untuk menghidupkan suasana pada para peserta rapat yang tampak tidak tertarik itu, Sorata menghantamkan kedua tangannya ke atas meja.


********

Pada akhirnya, dia telat datang ke sekolah pagi ini.

Setelah membantu mencuci muka Mashiro, dia membantunya mengenakan beha yang warnanya sama dengan celana dalamnya, membantunya mengganti blusnya yang basah, memaksanya memakai kaos kaki, dan merapikan rambut sehabis tidurnya yang berantakan ..., dan saat semuanya sudah beres, mereka rupanya sudah cukup telat.

Kalau mereka toh akan telat juga, Sorata berpikir lebih baik jika menyantap sarapan sewajarnya, setelahnya mereka pun berjalan dengan santai ke sekolah.

Mereka tidak sempat mengikuti upacara pembukaan yang membosankan, tapi Sorata muncul sewaktu homeroom.

Ketika Sorata membawa Mashiro ke ruang guru, dia terkejut Chihiro tidak mengomelinya, namun tampaknya Chihiro sudah menduga kalau mereka akan datang lebih telat lagi.

Yah, kalau begitu, harusnya beliau memeringatkanku dulu.

Lelah karena insiden pagi ini, Sorata tidak mampu fokus dalam pelajaran kelas duanya kini.

Dan selepas sekolah, Chihiro memaksanya untuk menemani Mashiro mengelilingi sekolah seorang diri.

Tidak peduli ke mana pun Sorata membawanya, Mashiro bereaksi dengan cara yang ambigu hingga membuatnya sulit untuk menilai apa dia tertarik atau tidak, dan seluruh situasi ini membuat Sorata merasa cukup tidak berdaya.

Sorata juga yang membawa Mashiro pulang. Itu karena Mashiro bahkan tidak bisa ingat caranya pulang, meski jaraknya hanya sepuluh menit berjalan kaki.

Setelah Sorata pulang dari sekolah, dia menunggu sejam ..., kemudian dua jam ..., tapi tidak peduli selama apa pun dia menunggu, Mashiro tidak pulang.

Karena khawatir, Sorata kembali ke sekolah untuk mencarinya, dan menyadari bahwa dia bahkan tidak berada di jalan pulang, tapi malah berkeliaran di sekitar sekolah seperti seekor anak anjing yang tersesat.

Terlebih lagi, Mashiro sendiri kelihatannya tidak sadar dengan keadaannya, dan menyatakan bahwa dia belum berencana untuk pulang dulu.

Dan bukan cuma itu saja.

Karena bertanggung jawab membeli sembako minggu itu, Sorata singgah di minimarket untuk membeli susu pesanan Misaki.

Mashiro juga mengikutinya ke sana.

Dan tanpa membayar, Mashiro mulai menyantap makanan yang terpajang. Seakan itu semua yang dilakukannya itu lumrah, dia mengambil sepotong baumkuchen dari rak, membukanya tanpa sungkan, lalu mulai melahapnya dengan penuh selera. Dia melakukan itu semua tanpa merasa bersalah sampai Sorata perlu waktu sejenak sebelum dia menyadari apa yang sedang dilakukan gadis itu.

"Anu, Shiina? Tolong jelaskan, sebenarnya kamu ini sedang apa?"

"Memakan baumkuchen."

"Kenapa?"

"Aku suka."

"Kalau semua orang boleh melakukan apa saja karena mereka suka, maka tidak perlu lagi ada polisi!"

"Tapi masih ada banyak."

"Itu semua untuk dijual! Kalau mau, harus bayar!"

Mashiro memiringkan kepalanya ke samping dan terlihat bingung.

"Shiina .... Kehidupan macam apa yang sudah kamu jalani sampai sekarang?"

"Aku menggambar."

"Lalu apa lagi?"

"Aku menggambar."

"...."

"Aku menggambar."

"Aku sudah dengar! Aku sedang menunggumu mengatakan yang lain!"

Pada saat itu, manajer toko tersebut mendengar keributannya lalu datang memeriksa, hingga membuat Sorata merasa amat malu selagi dia membungkukkan badan berkali-kali untuk meminta maaf. Selagi semua itu terjadi, Mashiro sudah selesai melahap baumkuchen-nya, lalu mencoba mengambil yang kedua.

"Shiina! Apa niatmu yang sebenarnya padaku?! Kamu punya dendam atau apa?!"

"Kamu mau?"

Dengan ekspresi menggemaskan, dia membagi sepotong dan memberikannya pada Sorata.

"Buka mulutnya, aaaaaahhhhhh~."

"Aku tidak mau!"

"Tapi ini enak."

Pada akhirnya, Sorata diizinkan untuk membawa kemasan baumkuchen kosong beserta yang separuh kosong tersebut ke kasir. Setidaknya Sorata merasa lega karena mengenal manajer toko itu sebelumnya, dan manajer itu tertawa melihat betapa anehnya Mashiro.


********

"Dan itu semua adalah hal-hal mengerikan yang sudah kulalui hari ini."

"Yah, mau bagaimana lagi?"

Yang mengatakannya tadi adalah Chihiro, satu-satunya orang yang menenggak bir dengan riang di meja tersebut.

"Semua yang pernah dilakukannya hanyalah mempelajari seni rupa, jadi dia tidaklah begitu normal."

"Tidak tidak tidak, rasanya frasa tidaklah begitu tadi belum cukup untuk menjelaskannya!"

Terlihat jelas tidak memedulikan hal-hal buruk yang terus diucapkan Sorata, orang yang sedang dibahas tersebut sendiri dengan terampil menggunakan sumpitnya untuk melepaskan cangkang dari udang goreng. Kemudian, tanpa merasa risau, dia meletakkan cangkang tersebut ke atas piring Sorata.

"Kamu ini sedang apa?"

"Melepas kulitnya."

"Apa ini waktunya melucu?!"

"Aku tidak sedang melucu."

"Itu sebuah pertanyaan retorika!"

Mashiro memiringkan kepalanya dengan pelan ke samping, lalu memalingkan perhatiannya kembali pada pembedahannya, mengubah udang goreng keduanya menjadi seekor udang biasa. Sekali lagi dia meletakkan bagian gorengan yang sudah dilepaskannya ke atas piring Sorata. Dan kemudian, dia memakan udang yang sekarang telanjang itu dalam sekali gigitan.

"Oh, dia juga pilih-pilih soal makanan."

"Bu, kenapa Ibu tidak memberitahu saya soal ini sebelumnya?!"

Kaget dengan persoalan baru ini dan kini tidak lagi memperhatikan piringnya, Sorata tidak sempat bereaksi untuk menghentikan Misaki mengambil dua potong udang goreng dari piringnya. Dia bahkan tidak punya kesempatan mengeluh sebelum gadis itu melahap kedua udang tersebut ke dalam mulutnya.

"Kak Misaki, apa-apaan ini?!"

"Rasanya tidak adil kalau hanya Junior saja yang diajak berbagi oleh Mashiron!"

"Kalau begitu, ambil saja cangkang kosong ini!"

"Tapi aku dalam masa pertumbuhan, tahu?!"

Misaki membusungkan dadanya.

"Aku juga!"

"Hmm, tahu tidak? Walau ini pemikiranku saja, tapi bukankah notepad dan no pants terdengar agak mirip?"

"Sebenarnya kita ini sedang membahas apa?!"

"Sudah, sudah, jangan marah, Kanda~. Bawakan lebih banyak bir lagi."

Dalam keadaan benar-benar mabuk, Chihiro menggelindingkan kaleng birnya yang kosong ke arah Sorata.

"Ambil saja sendiri!"

"Tapi kamu yang lebih dekat."

Jin, yang terus terdiam sampai sekarang, memasang senyuman getir kemudian berdiri, mengambil sekaleng bir dari kulkas dan menyodorkannya pada Chihiro.

"Ahh, Mitaka memang anak yang baik~. Beda sekali dengan Kanda~."

"Ibu akan berkata begitu pada siapa saja yang memberikan bir, 'kan?! Dan jangan lupa juga bahwa kita ini sedang membicarakan soal Shiina sekarang!"

"Yah, orang tuanya memberitahuku bahwa dia akan butuh seorang pengurus. Jadi itu sebabnya dia ada di Asrama Sakura ini."

Pengurus? Yang membuat itu jadi menakutkan adalah mungkin saja hal tersebut benar.

"Kalau begitu, Ibu yang harus bertanggung jawab dan mengurusnya!"

"Hei, jangan gila, Sorata."

Yang menyela adalah Jin, yang selesai makan terlebih dulu dan sekarang sedang mengirimkan surel satu per satu dengan ponsel-nya.

"Rapat ini tidak ada gunanya."

"Jangan bilang begitu!"

"Kamu tidak memikirkannya, 'kan? Aku jarang berada di sini, dan lucu sekali meminta Misaki mengurus orang lain. Aku temannya sedari kecil, makanya aku tahu. Dan Mbak Chihiro juga sedang sibuk mencari suami, jadi memasangkannya dengan seorang anak itu agak kejam baginya."

Jin melewati satu nama, tapi itu cukup jelas bahwa menyerahkan Mashiro pada orang-orang tadi merupakan ide yang buruk.

"Kalau begitu tolonglah, Kak Jin, kamu harapan terakhirku!"

"Tidak tidak, sudah kubilang kalau itu tidak mungkin. Senin aku harus berjumpa dengan Misami, murid jurusan drama semester delapan, lalu Selasa perawat yang bernama Noriko, Rabu si pemilik toko bunga, Kana, dan Kamis si pengantin baru, Meiko, kurasa? Dan kemudian Jumat si model iklan, Suzune, dan Sabtu aku ragu kalau Rumi, yang merupakan karyawan kantoran akan mengizinkanku pulang. Aku sama sekali tidak punya waktu luang."

“Dasar hidung belang borjuis! Kamu sudah berganti kelas menjadi maharaja, hah?! Memangnya kamu mau pindah ke India atau apa, berengsek?!"

"Tidak usah naik darah. Bukan berarti aku melakukan hal yang salah."

"Sadarlah! Setidaknya itu tindakan tidak bermoral dengan melakukannya pada seorang wanita yang telah menikah!"

"Ah, benar juga. Baru-baru ini kami hampir saja ketahuan oleh suaminya .... Benar-benar gawat."

Mungkin karena sudah selesai mengirim semua surel-nya, Jin akhirnya meletakkan ponsel-nya.

Di saat yang sama, Chihiro sedang berusaha menghabiskan bir keenamnya untuk hari ini.

"Menurutku, aku tidak akan bisa membiarkan sepupu kecilku yang menggemaskan itu terlibat dalam lingkaran setan Mitaka, jadi bagaimanapun juga, opsi itu sudah pasti ditolak. Karena itu Kanda boleh saja merengek sesukanya, tapi itu tetap tidak ada gunanya."

Jin sedikit tertawa di atas derita Sorata. Tidak, dia jelas sekali merasa senang atas hal ini.

"Hmm, kalau begitu saya mau tanya, bagi Ibu, persisnya ada opsi apa saja selain saya?”

"Aku menyiapkan empat opsi, dan kesemuanya berujung pada dirimu."

Sorata bahkan tidak tersentak mendengar jawaban jujur yang tidak disangka ini. Jika mundur sekarang, dia tidak akan pernah menang.

"Aku juga berencana segera meninggalkan Asrama Sakura, jadi tidak mungkin memilihku. Ayolah, ini memang mustahil."

"Kamu sudah temukan orang yang mau memelihara kucingmu?

Jin tersenyum selagi melihat ke arah Sorata.

Ia menyodorkan pertanyaan tersebut seolah menandakan bahwa dirinya sudah tahu jawabannya.

"Hmm, hei~"

Bibirnya berkilau karena rembesan minyak yang berasal dari udang goreng, Misaki melihat ke arah monitor laptopnya.

"Ada apa?"

"Ryuunosuke bilang, Aku tidak mau buang-buang waktu dalam rapat tidak berguna macam ini. Aku keluar dulu, hmm ..., ah, dia keluar dari percakapan. Tidak, kembalilah! Yah, bukan berarti dirinya akan kembali, sih .... Baiklah kalau begitu, terima kasih atas makanannya. Aku sudah kenyang.”

"Baik. Jadi telah diputuskan bahwa orang yang diberi mandat untuk Tugas Mashiro adalah Sorata! Rapat selesai!”

Sambil memegan ponsel, Jin beranjak dari tempat duduknya. Bukannya kembali ke kamarnya, dia justru menuju ke arah pintu depan. Ini hari Selasa, jadi kali ini giliran Noriko, si perawat.

Misaki memandang punggung Jin dengan tatapan lelah sampai lelaki itu menghilang dari pandangannya, lalu berkata,

"Yak, kerja bagus, semuanya. Hmm, yaaaahhh, mungkin sebaiknya aku lanjut merekam ulang 'anime'-ku. Sudah, ya !Aku pergi dulu! Dadah!"

Misaki menutup laptopnya, lalu melompati anak tangga menuju lantai atas.

Selanjutnya, Chihiro pergi mengambil bir berikutnya dari kulkas.

Hanya Mashiro dan Sorata yang tersisa di meja bundar tersebut.

Suasana yang berat menyelimuti udara.

Ini adalah pertama kalinya mereka berdua terlibat dalam hubungan semacam ini. Baik si pengurus maupun yang diurus.

Angin topan dari rasa bingung berputar di dalam pikiran Sorata.

"Sorata."

"A-apa?"

"Mohon bantuannya."

Mashiro sedikit membungkuk.

"A-ah. Iya, mohon bantuannya ju— tunggu dulu, ini tidak benar! Kenapa kamu dengan gampangnya menerima fakta bahwa kamu perlu diurus?!"

"Terkadang, Sorata sulit dimengerti."

"Kalau aku yang salah di sini, biarlah dunia terbakar ...."

"Itu bisa meresahkan."

"Argh, sial, aku tidak mau ini! Aku bisa gila! Aku pasti akan keluar dari sini. Aku pasti akan keluar dari Asrama Sakura!"


********

Asrama Sakura, 6 April


Berikut adalah kesepakatan yang tertuang dalam notulen rapat Asrama Sakura:

Kanda Sorata terpilih sebagai orang yang diberi mandat untuk Tugas Mashiro! Lakukan yang terbaik, Junior! Aku akan menyemangatimu!



— Sekretaris Misaki Kamiigusa


Read more ...»

SPS Jilid 1 Bab 12

On Rabu, 21 Desember 2016 0 komentar

=========================================================
Wah, sudah mau klimaks...
Gak ada catatan terjemahan kali ini, jadi langsung saja...
Seperti biasa, seri yang dikerjakan bareng ini, bisa agan sekalian nikmati lebih awal satu hari di Hanami Translation...
Selamat menikmati....
=========================================================


Bab 12 - Memori, Janji, Alasan


Dua minggu telah berlalu dalam sekejap bersama dengan larutnya kami dalam latihan, dan tidak lama, akhir bulan Mei telah tiba. Kulit pada ujung jari kiriku terasa keras seperti tanah kering. Karena senar bas lebih tebal daripada senar gitar, kapalan di jariku sedikit berbeda dari Kagurazaka-senpai.

"Kamu lebih terlihat seperti pemain bas sekarang."

Senpai tidak bisa menahan dirinya untuk tertawa keras saat jari kami bersentuhan layaknya adegan alien dalam film E.T. Meski begitu, kapalan itu telah sedikit mengubah indra perabaku — yang memengaruhi pekerjaanku ketika melakukan sesuatu yang perlu ketelitian terhadap mesin — hingga membuatku sedikit kerepotan.

Namun, sebelum mengajukan tantangan pada Mafuyu, ada hal yang mengharuskanku untuk mempergunakan hobiku dalam mengutak-atik mesin.

Pada hari Kamis di minggu keempat bulan Mei, Aku langsung berlari ke halaman sepulang sekolah. Di saat yang sama, Chiaki mencoba untuk menahan Mafuyu dengan cara apa pun — meskipun, jika berpikir optimis, ia mungkin hanya bisa menahan Mafuyu sekitar dua puluh menit saja. Aku harus memenangkan pertempuran ini dengan kecepatan. Aku mulai dengan membuka gembok, yang butuh waktu kurang dari semenit. Kemudian, kuputar pegangan pintunya sedikit, seperti biasanya, lalu membuka kunci untuk memasuki ruangan. Mengulang skenario imajinasiku yang telah kupikirkan sebelumnya, aku mengambil peralatan dan kabel dari tasku lalu mulai mengutak-atik amplifier. Dengan cepat kubuka penutup belakangnya, membuat internal mesin terlihat jelas. Aku pernah mengutak-atik amplifier beberapa kali sebelumnya, jadi memodifikasi sirkuit bukanlah masalah besar; sirkuit tersebut rupanya menyembunyikan kabel yang baru diperpanjang hingga membuatku menghabiskan banyak waktu.

Setelah semuanya selesai dilakukan, kukunci kembali gemboknya. Ketika hendak kembali ke gedung utama, aku tanpa sengaja menabrak Mafuyu.

Kami berdua hanya bisa berdiri terdiam. Tidak satu pun dari kami yang saling melihat.

Sejak hari itu, kami tidak saling berbicara. Itu sebabnya, teman-teman di kelas mengeluh soal bagaimana satu-satunya akses informasi mereka mengenai hime-sama telah tertutup. Meski begitu, tidak satu pun dari mereka yang tahu rincian situasi sebenarnya.

Saat aku mulai berjalan melewatinya, Mafuyu berbicara.

"Apa kamu ... sudah menyerah?"

"... eh?"

"Bas. Biasanya kamu bermain bas di atap."

"Aku masih memainkannya? Hanya saja, aku berlatih di atap gedung utara, karena aku tidak ingin mengganggu seseorang yang punya pendengaran tajam."

"Pembohong. Aku juga mencarimu di sana, tapi kamu tidak ada."

Itu memang bohong. Belakangan ini, aku pergi ke Toko Musik Nagashima untuk bertemu dengan pemain bas kenalan senpai yang bertugas melihat dan memperhatikan latihanku. Karena aku tidak berniat untuk membiarkan Mafuyu tahu tentang latihan seriusku, aku pun berbohong padanya.

"... tadi kamu baru saja bilang kalau kamu mencariku? Apa maksudmu?"

"Ah, itu .... Jangan dipirkan, tidak ada apa-apa. Aku hanya sedikit khawatir."

Suara Mafuyu menjadi lebih cemas, dan ia menggelengkan kepalanya berulang kali.

"Aku hanya penasaran .... Apa kamu masih memikirkan kejadian waktu itu?"

Aku melompat kaget, kemudian menoleh. Sepertinya Mafuyu merasa sulit untuk berbicara, dan ia terus menatap jari-jarinya.

"Kumohon lupakan saja itu. Aku baik-baik saja, jadi kamu tidak perlu khawatir soal itu."

Kumohon lupakan. Aku sudah berkali-kali mendengar kalimat itu dari Mafuyu.

Aku merasa sedikit marah. Rasanya aku akan mengatakan perasaanku yang sebenarnya—

"Hei, kamu pikir otak manusia itu apa? Otak kita tidak seperti hard disk. Kamu pikir dengan tindakan Hapus Memori darimu akan membuatku berkata, Oh, seperti ini? lalu aku akan melupakan semuanya, begitu?"

Mata Mafuyu melebar, dan dia mengambil langkah mundur.

"Aku tidak lupa, dan pada kenyataannya, aku ingat segalanya dengan jelas. Kamu berkata, Apa kamu pikir bisa menang hanya dengan beralih ke bas? Dasar bodoh! oke, Jumat, sepulang sekolah besok ayo bertanding. "

"... apa maksudmu bertanding?"

"Pertandingan antara permainan basku dan gitarmu, itu maksudku. Jika aku sanggup mengimbangi permainan gitarmu sampai akhir, maka itu akan menjadi kemenanganku. Jika aku menang, maka aku boleh menggunakan ruangan itu. Dan jika aku kalah, aku tidak akan pernah mendekatimu lagi."

"Apa kamu serius ... tentang itu?"

Tentu saja! Tapi aku tidak berkata apa-apa lagi, dan berjalan melewati Mafuyu begitu saja.

Jujur, aku bahkan tidak percaya diri untuk menang. Tapi Kagurazaka-senpai berkata sebelumnya, bahwa ia akan memenangkanku dalam pertandingan ini. Oleh karena itu, ini bukan "Aku akan menang," melainkan, "Ia akan membawakanku kemenangan."

Seseorang yang akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa pun yang diinginkannya — perasaan dingin yang menyusup tulang belakangku ketika mempertimbangkan fakta bahwa beberapa kata dari mulutnya cukup untuk memberikanku banyak keberanian. Kurasa satu-satunya orang yang dapat kuandalkan saat ini adalah senpai seorang.


"Shounen, kini kamu lumayan pandai bicara."

Kagurazaka-senpai mengatakan itu padaku saat aku sampai di atap. Tampaknya ia telah mengawasi kami dari pagar.

"Aku sungguh tidak percaya kalau tiga minggu yang lalu kamu adalah pecundang."

"Jangan panggil aku pecundang!" kualihkan pandanganku dari senpai. Entah kenapa, sejak hari itu, aku merasa agak malu setiap kali melihat langsung ke arahnya.

"Saat aku benar-benar memikirkannya, tidak ada kerugian apa pun jika kalah dalam pertandingan ini. Sekarang pun aku juga tidak bisa menggunakan ruangan latihan, jadi tidak ada bedanya andai aku kalah. Ini persis permainan janken yang kulakukan dengan senpai waktu itu."

Separuh alasan untuk pikiran menyimpang itu merupakan semacam ejekan buat diriku. Biarpun begitu, senpai duduk di sampingku sambil memeluk bas, dan mengilaskan senyum puas.

"Jadi kamu masih ingat perbuatanku saat adu janken itu."

Aku menatap sisi wajah senpai dan memiringkan kepala. Saat itu, senpai menantang adu janken melawanku, dan memegang pick di antara telunjuk dan jari tengahnya. Ketika melihat itu, kupikir ia mencoba menipuku agar berpikir kalau ia tidak akan mengeluarkan gunting, jadi aku mengira demikian — dengan otakku yang sedang kacau, aku mengeluarkan batu. Pada akhirnya, aku kalah dari senpai. Namun, senpai tertawa keras dan berkata,

"Sebenarnya aku tidak berusaha membaca pikiranmu, itu sebabnya aku bisa menggunakan cara tersebut padamu. Bahkan jika aku melakukannya, itu tidak akan meningkatkan peluangku memenangkan permainan sederhana macam itu. Memangnya menurutmu ada metode jitu untuk memenangkan adu janken?"

"Eh?" itu artinya senpai menggunakan strategi menang mutlak?

"Sederhana, kok. Keluarkan saja belakangan."

"Hah?"

"Sebenarnya tidak ada alasan khusus soal memegang pick di antara jari-jariku, selain untuk membingungkanmu sehingga kamu akan mengeluarkan pilihan sesuai tempoku. Itu saja. Ingat ini baik-baik. Strategi menang mutlak adalah dengan mengeluarkannya belakangan."

Aku terkejut hingga tidak mampu berkata-kata, dan hanya menatap wajah senpai yang penuh kemenangan. Setelahnya, aku pun menghela napas panjang di antara lututku. Itu tidak mungkin. Sejak awal, aku tidak punya kesempatan untuk menang melawan orang seperti dia.

"Selalu dikatakan bahwa pertempuran dimenangkan jauh sebelum hal itu dimulai — itulah yang sebenarnya kumaksud. Yang berarti, cara kamu memancing lawan ke dalam wilayahmu itu sangatlah penting. Oh benar, apa kamu tahu alasanku memilih lagu ini untuk pertandinganmu dengan Mafuyu? Biar kuberi tahu."

Setelah mengatakannya, ia mengambil partitur dari arsip di dalam kotak belakang kami, lalu menyebarkan lembaran partitur di depan kami. Ia kemudian berkata, "Ada empat alasan kenapa aku memilih komposisi ini."

Harusnya Senpai bilang dari awal! pikiran itu melintas dalam benakku untuk sesaat. Selama beberapa hari terakhir, aku telah bertanya pada diri sendiri sewaktu berlatih, Kenapa komposisi ini? namun, setelah mendengarkan penjelasan panjang senpai, aku hanya bisa menjawab dengan desahan.

"—jadi, kamu mulai percaya bahwa kamu punya kesempatan untuk memenangkan ini?"

"Hmm .... Sedikit."

Aku menjawab jujur. Kesempatan menangku telah meningkat beberapa kali lipat — sekitar 0,2% sekarang! Itu mungkin yang kurasakan sekarang. Senpai menyenggolkan bahunya padaku sambil tertawa.

"Lumayan juga! Hanya kamu yang akan tahu bagaimana berlangsungnya pertempuranmu. Aku hanya tahu hasil pertempuranku sendiri karena aku tidak akan ikut serta dalam pertempuran kalian berdua."

"Jika kamu menggantikanku, kamu bisa menang .... Apa itu yang Senpai mau katakan?"

Tanyaku lirih. Senpai menjawabku dengan suara sedikit marah.

"Memangnya aku bisa menang?"

Aku menatap wajah senpai dengan terkejut.

"Bukankah sudah pernah kubilang? Itu harus dirimu."

Aku tidak bisa menjawabnya, karena itu aku kembali menundukkan kepala.

Senpai tiba-tiba mengambil secarik kertas dan menggunakannya untuk menyodok ujung hidungku.

"Kalau begitu, ini adalah persiapan akhir. Tanda tangani ini dulu supaya kamu siap secara mental. Salinannya untuk Ebisawa Mafuyu."

Aku menengadahkan kepala untuk melihatnya. Itu adalah formulir pendaftaran untuk bergabung dalam klub, dicetak pada kertas kuarsa — terdiri dua lembar. Di masing-masing lembar, kata-kata "Klub Riset Musik Rakyat" ditulis rapi — menggunakan pena — di dalam kotak di mana pemohon seharusnya memberikan nama klub yang ingin diikuti.

Aku mengalihkan pandanganku dan mencoba mengalihkan topik.

"Hmm ..., kurasa aku akan ... menyimpan formulir ini untuk sementara."

"Kenapa? Aku sudah mengajarimu begitu banyak tentang bas. Jangan-jangan ... kamu memang membenciku? Apa begitu?"

Jangan menatapku dengan ekspresi sedih. Jelas itu pura-pura.

"Hmm, bagaimana menjelaskannya, ya?"

Kuangkat bas dari lututku.

"Rasanya aku tidak memenuhi syarat. Standar Senpai dan Chiaki terlalu tinggi bagiku."

"Aku sudah bilang sebelumnya, 'kan? Aku tidak memintamu untuk mengikuti kami. Kamilah yang akan mengikutimu."

Karena bas adalah jantungnya. Aku tahu itu, tapi tetap saja ....

"Tetap saja, aku tidak bisa memutuskan akan bergabung atau tidak. Setidaknya bukan sekarang. Itu sebabnya ...."

Kuangkat basku dan menatap senarnya.

"Itu sebabnya, jika aku berhasil menang melawan Mafuyu dan membuatnya bergabung dalam klub ...."

"Jika kamu bisa mengalahkannya, kamu akan ikut bergabung juga?"

Aku mengangguk sebagai jawaban.

Jika tidak begitu, aku pasti akan menyesal. Entah kenapa, rasanya seperti aku tidak memberikan pendapatku pada segala hal yang dihadapakan padaku.

"Lalu ..., apa yang akan kamu lakukan jika kamu kalah?" kalimat dari senpai itu membuatku terhenyak karena terkejut. Aku belum memikirkan itu.

Walaupun begitu, aku harus membuat keputusan sekarang.

"... jika aku kalah, aku akan terus bermain bas — namun, aku tidak akan bergabung dalam klub. Senpai telah membantuku selama ini, jadi aku tidak bisa mengatakan hal semacam ..., Izinkan aku bergabung dalam klub walau aku kalah."

Setelah hening sesaat, bisa kudengar Senpai mendesah lembut di sebelahku.

"Aku baru memahaminya akhir-akhir ini, ternyata kamu adalah pria yang punya harga diri tinggi."

Ia menyimpulkan sebuah senyuman lembut. Aku hampir tidak bisa menjaga pandanganku, dan mengalihkan mataku setelah sekilas menatap wajahnya.

"Kita akan anggap ini sebagai janji di antara kita berdua, untuk saat yang akan datang. Ya, ayo kita anggap seperti itu."

Senpai lalu mengambil obeng dari tasku — tanpa izin — dan melepas penutup belakang basku. Ia lipat dua formulir pendaftaran dan memasukkannya ke dalam ruang kosong di antara kabel-kabel. Ia kemudian menutup kembali penutup basku.

"... kenapa Senpai letakkan formulirnya di tempat seperti itu?"

"Coba dengarkan. Seharusnya ada suara samar dari kertas yang saling bergesekan."

Aku letakkan kembali bas ke lututku. Kemudian, senpai memetik senarnya. Suara kertas yang saling bergesekan—

"Tidak, aku tidak dengar apa-apa?"

"Tapi aku bisa mendengarnya!" itu berarti telinganya setara dengan kucing, "Dan mungkin saja Ebisawa Mafuyu bisa mendengarnya juga. Ia benar-benar sensitif terhadap suara kertas yang saling bergesekan, bukan? Suara kecil ini dapat memengaruhinya tanpa sadar, menyebabkan ia menjadi gelisah dan frustrasi."

Apa ada sebuah logika di balik itu?

"Jika kamu ingin menjadi sedikit lebih klenik, ini adalah semacam mantra. Sama halnya dengan samurai yang menjahit jimat pelindung pada pakaian mereka."

Senpai menepuk basku.

"Janji kita akan terpatri di dirimu sepanjang waktu. Jadi jangan lupakan itu."

Setelah sejenak meragu, aku pun mengangguk.

"Semoga sukses."


Aku kebetulan bertemu Maki-sensei dalam perjalanan pulang. Setelah masuk ke dalam kereta biasa, yang berhenti di setiap stasiun, beliau bertanya,

"Belakangan ini tampaknya kamu sering mengobrol dengan Mafuyu-chan?"

Aku menundukkan kepala saat berpegangan pada gagang menggantung. Aku tertangkap oleh orang yang merepotkan.

"Tidak, itu tidak bisa dianggap mengobrol."

"Terus terang dan katakan saja padanya kalau kamu ingin berbagi ruangan. Kenapa anak lelaki itu suka merepotkan diri?"

Memangnya aku bisa mengatakan itu? Aku? Pada Mafuyu?

"Dan juga, akhir-akhir ini kamu melakukan apa saja? Sepertinya kamu sering bersama dengan anak kelas dua yang bernama Kagurazaka-san itu, ya?"

"Oh, itu ...."

Dengan jari-jarinya mencengkeram bagian belakang kerahku, aku tidak punya pilihan selain mengatakan yang sebenarnya.

"Sebuah pertandingan gitar?"

Maki-sensei tiba-tiba mengeluarkan suara aneh hingga para penumpang lainnya mengarahkan perhatian mereka pada kami.

"Haruskah kubilang kalau kamu itu bodoh, atau sama saja dengan Kagurazaka-san ...."

Maki-sensei mendesah sambil menyuarakan pikirannya. Apa Kagurazaka-senpai juga terkenal di kalangan guru? Ia tampaknya sering tidak mengikuti pelajaran, jadi bisa saja, ia salah satu orang yang disebut "murid bermasalah" atau semacamnya?

"Memangnya Mafuyu-chan tidak keberatan dengan tantangan itu? Bagaimana bisa?"

"Tidak, ia hanya tertegun."

"Ya, itu lebih masuk akal! Lalu apa yang akan kamu lakukan? Apa kamu benar-benar mau melakukannya?"

"Huh, ada banyak alasan di balik ini .... tapi saya akan melakukan yang terbaik."

Jawabku samar. Aku tidak mungkin memberitahu Maki-sensei tentang berbagai hal yang kami lakukan untuk membuat Mafuyu berpartisipasi dalam pertandingan.

Maki-sensei sejenak mengernyitkan alis matanya yang indah itu lalu menekan jarinya pada pelipis.

"Dengar ..., Sensei sangat berterima kasih atas interaksimu padamu Mafuyu-chan, tapi jangan terlalu sering memprovokasinya. Ia gadis yang benar-benar peka."

"Oh."

Bahkan jika beliau berkata begitu ..., untuk beberapa alasan yang tidak diketahui, aku tidak kuasa menahan marah saat beliau ingin aku bersikap lembut terhadap Mafuyu. Gadis itu telah banyak berkata buruk kepadaku, tahu?

"Hmm ...." Maki-sensei menyilangkan tangan di depan dadanya. Ekspresinya menunjukkan bahwa beliau tidak tahu harus berkata apa. "Kupikir, sebagian besar masalahnya itu karena hal psikologis yang ia miliki. Itu sebabnya—"

"... maksudnya? Hal psikologis apa yang Sensei maksud?"

Maki-sensei menatapku tanpa mengatakan sepatah kata pun. Beliau kemudian bergumam sendiri dengan suara serak, "Jika itu Nao-kun, mungkin tidak apa-apa kalau Sensei beri tahu ...," namun beliau langsung menggeleng dan membatalkan pikirannya.

"Sensei bukan orang yang berhak memberitahukanmu soal itu. Akan lebih baik jika Mafuyu sendiri yang menceritakannya padamu."

Hal psikologis. Aku ingat Mafuyu pernah memegang erat sebuah tas obat di tangannya dulu.

Jadi Mafuyu benar-benar sakit? Aku tidak bisa menebaknya dari luar, tapi kalau

"Hmm, Maki-sensei ...." aku memikirkan hal lain dan memutuskan untuk bertanya soal itu. "Mafuyu .... Aku dengar ia akan segera pindah sekolah. Apa itu benar?"

"Pindah? Kenapa?"

"... ah, tidak apa-apa."

Ia akan menghilang di bulan Juni. Tapi .... Apa sebenarnya yang ia maksud? Aku tidak jadi mengatakannya, dan kembali tenggelam dalam pikiranku sendiri. Biar bagaimanapun, Mafuyu sama sekali tidak mengatakan apa-apa padaku.

"Sebuah pertandingan gitar, ya .... Seperti itulah masa muda! Mungkin saja itu merupakan hal baik."

Maki-sensei tersenyum sambil menatap ke kejauhan.

"Mafuyu-chan memang tidak punya niat untuk berteman. Walau mungkin terasa sedikit tidak masuk akal untuk mendukungnya, namun ide yang cukup bagus untuk memaksanya bergabung dalam klub. Dan jika dia bergabung, Sensei akan menjadi guru pembimbing klub kalian!"

"Jadi Sensei pikir ... saya bisa menang?"

"Tidak, sama sekali tidak."

Jawab Maki-sensei seketika. Kucengkeram erat gagang menggantung dan menundukkan kepala dalam kekecewaan.

"Biarpun begitu, Sensei dengar kalau ia baru mulai bermain gitar sejak setengah tahun yang lalu."

"Yang benar?" ia mampu mencapai keahlian seperti itu hanya dalam setengah tahun? Tuhan benar-benar tidak adil.

"Tetap saja, semua orang akan mengalami hal-hal seperti ini. Iya, 'kan? Ada saat-saat ketika kamu hanya perlu melakukan hal-hal yang memang perlu dilakukan. Berikan yang terbaik, Nak. Tapi jika kamu membuat Mafuyu menangis, Sensei tidak akan begitu saja melepaskanmu."

Saat mengatakannya, Maki-sensei memberiku tamparan keras di punggung.


Malam itu, Tetsurou tidak ada di rumah. Aku menerima SMS darinya melalui ponsel, 「Ayah sedang minum-minum bareng teman, jadi Ayah mungkin tidak akan pulang malam ini,」 aku berencana menanyakan beberapa hal tentang Mafuyu, tapi pria itu tidak pernah ada di saat-saat penting begini.

Aku kembali ke kamarku dan duduk di kasur. Setelah meletakkan bas di pahaku, jari-jariku tanpa sengaja mulai memetik senar. Aku kemudian sadar kalau sedang memainkan konserto piano yang tidak kukenal dengan basku ini.

Itu adalah bagian yang Mafuyu mainkan ketika di tempat pembuangan sewaktu hari pertama kami bertemu.

Aku pergi ke kamar Tetsurou dan mulai menyusun CD dari berbagai konserto piano dari era romantisisme terkini, kemudian membawa semuanya ke ruang tamu. Aku menghabiskan sepanjang malam dengan mendengarkan CD tanpa jeda, bahkan sampai di titik di mana aku melewatkan makan malam. Namun, aku tidak berhasil menemukan komposisi itu dalam memoriku. Itu tidak mengherankan, karena di situ ada ribuan konserto piano.

Aku mematikan pengeras suara dan menyerah mencarinya.

Tiba-tiba aku teringat pernyataanku pada Mafuyu saat menyetem basku. Dan jika aku kalah, aku tidak akan pernah mendekatimu lagi, kalimat itu tiba-tiba terlintas dalam pikiranku. Aku ini sudah bicara apa? Padahal aku bermaksud untuk tidak pernah lagi mendekati ruangan itu, dengan begitu aku tidak akan pernah mendekati Mafuyu. Juga karena kursi kami tepat bersebelahan, maka mustahil bagiku untuk tidak mendekatinya. Pada akhirnya, aku pun tidak berhenti mencoba menjelaskan masalah ini dalam benakku sendiri.

Bagaimana jika aku kalah? Aku terus memikirkan itu.

Alasanku untuk berbicara dengan Mafuyu juga akan ikut menghilang, 'kan?

Dan aku sudah bilang kalau tidak akan bergabung dalam Klub Riset Musik Rakyat jika kalah. Itu karena aku tidak memiliki keyakinan dalam memulai sebuah band bersama senpai dan Chiaki.

Aku teringat lagu yang kami mainkan di ruang rekaman hari itu — <Kashmir>. Itu adalah pengalaman yang amat manis yang membuatku terengah-engah. Tubuhku rasanya seperti terbakar dalam api.

Tidak ada kerugian apa pun jika kalah — itu adalah sebuah kebohongan besar.

Tanpa kusadari, ada banyak hal-hal di sekitarku yang mungkin saja akan hilang, hal-hal yang tidak ingin kulepaskan.

Jika aku kalah—

Kugelengkan kepala dan membuang pikiran itu keluar dari otakku. Tidak ada gunanya memikirkan semua itu sekarang.

Besok— yang bisa kulakukan hanyalah memberikan yang terbaik dan beraksi!


Read more ...»

Sakurasou Bab 1 Bagian 4

On Rabu, 14 Desember 2016 0 komentar

=========================================================
Hore... Agan Silvstar kembali, dengan begitu, proyek Sakurasou pun berlanjut...
Tapi tetap saja... Ane tetap jadi editor...
Dan di sini masih benar-benar membutuhkan bantuan kontributor penerjemah untuk proyek Chuunibyou... Ane sungguh-sungguh loh...
Lanjut ke catatan terjemahan...
Jika ada yang bertanya kenapa saat nilai kurs yen menguat, itu malah menjadi masalah... Jawabannya karena walaupun penguatan mata uang merupakan hal yang baik di berbagai aspek, namun bagi Jepang, penguatan yen terlalu besar itu bisa merugikan pasar ekspor Jepang...
Blue Train (ブルートレイン) adalah layanan kereta api berkamar yang perlahan ditinggalkan di Jepang...
Zosui adalah sejenis masakan dari beras yang dimasak (direbus) dengan air atau sup hingga lembut...
Flipbook adalah sebuah buku yang berisi gambar berseri yang perlahan sedikit berubah tiap halaman demi halamannya, sehingga ketika halaman tersebut dibalik secara berentetan dengan cepat, gambar di dalamnya seakan teranimasikan...
Oke deh...
Selamat menikmati...
=========================================================


Bab 1 - Selamat Datang di Asrama Sakura

Bagian 4


"'Ngantuuuk. Aku bisa benar-benar tertidur saat ini juga."

Selagi dia memikirkan hal tak berarti tentang betapa jengkelnya karena libur musim semi telah usai, Sorata berusaha mengangkat badannya yang berat pergi dari ranjang.

Kurang tidurnya itu gara-gara Misaki. Malah, semuanya itu memang gara-gara Misaki. Pemanasan global, krisis pasar modal secara global, peningkatan nilai kurs yen, penghentian semua penggunaan jet Concorde dan Blue Train .... Sorata percaya bahwa Misaki adalah dalang di balik semua itu. Pasti gara-gara dia.

Sorata tidak tidur sampai larut karena pesta penyambutan Mashiro. Chihiro masih memulihkan diri dari syok acara kongko-kongko dan mengunci diri dalam kamarnya, dan Ryuunosuke Akasaka juga masih mendekam di dalam kamarnya, jadi Sorata dan Misaki, bersama dengan Jin, hanya mereka yang menemani Mashiro.

Sambil mengelilingi nabe yang sudah dipersiapkan Jin, mereka mendengarkan selagi Misaki terus berbicara sendiri tanpa henti, sementara itu, Sorata mencoba bertindak sebagai perisai Mashiro untuk melindunginya dari bahaya. Mashiro tidak terlihat keberatan dengan kelakar Misaki, tapi dia juga sama sekali tidak menunjukkan reaksi apa pun pada usaha humoris Jin untuk membuat lelucon, jadi Sorata sebenarnya tidak tahu apa yang benar-benar sedang dipikirkan gadis itu.

Tentu ada sesuatu yang aneh mengenai dirinya, tapi pada dasarnya dia adalah orang yang polos dan kalem. Dia akan menghilang dalam sekejap ketika Sorata melepaskan pandangan darinya .... Kesan miliknya itu diperkuat ke pikiran Sorata melalui interaksi-interaksi ini. Jika dia tidak melindunginya, maka gadis itu tidak akan mampu bertahan hidup di Asrama Sakura ini. Jadi Sorata bersumpah pada dirinya bahwa dia akan melindunginya.

Menyantap habis hidangan periuk nabe dengan sedikit zosui, Sorata kemudian melihat Misaki sedang menghibur Mashiro dengan sebuah flipbook buatannya yang memperlihatkan seorang pesenam berayun pada sebuah mistar tinggi dan turun dengan lompatan salto terbalik, semuanya digambar pada buku teks bahasa Inggris kelas tiganya yang sama sekali tidak dipakai. Kualitas gambarnya amat tinggi, sampai-sampai gambar tersebut bisa disalahkirakan dengan karya asli sebuah produksi anime.

Sebagai balasannya, Mashiro mengeluarkan sebuah buku sketsa dari bagasinya, dan menggambar tujuh kucing yang sedang menyantap sisa makanan.

Sewaktu melihat hasil akhirnya, Sorata merasa bulu kuduk kulitnya merinding, dan tidak mampu berkata-kata. Kucing-kucing yang digambar di buku sketsa itu terlihat seakan bisa melompat keluar dari dalam kertas; kucing-kucing tersebut terlihat lebih asli dari yang aslinya.

Sorata akhirnya menempelkan sketsa tersebut pada dinding kamarnya.

Pesta itu pun usai sekitar jam sebelas, tapi setelahnya, Sorata diseret Misaki untuk bermain game dan bergadang sampai larut malam.

Dia tidak ingat kapan persisnya dia terlelap. Justru sebuah keajaiban dia bisa terbangun saat itu. Misaki tidak tampak di mana pun. Sorata teringat samar-samar bahwa Jin memaksa Misaki untuk tidur di kamarnya sendiri dan membawa gadis itu bersamanya, tapi dia tidak tahu apa itu benar terjadi atau itu hanya mimpi.

Ketika meninggalkan kamarnya, dia mendengar suara dari pintu masuk.

Sorata mencoba mengintip.

Mungkin dia hanya terlalu senang karena semester baru sudah dimulai, tapi Misaki sedang berteriak keras selagi melesat keluar dari pintu. Kenapa dia bisa segembira itu? Selagi merajuk tentang ketidakadilan di semua hal, Sorata teringat bagaimana Misaki membuatnya begitu lelah semalam, dan sebagai balasannya dia mengintip dengan cermat celana dalam biru muda belang yang terlihat dari bawah rok Misaki. Tapi kemudian, Jin muncul dari belakang dan menyodok kepala Sorata dengan kuat.

Selagi Sorata menahan rasa sakitnya, sosok Misaki pun menghilang.

"Pagi-pagi begini jangan berpikiran mesum."

Jin kemudian langsung beranjak ke ruang makan, tanpa memberi Sorata waktu untuk mengeluh atas perlakuan yang diterimanya tadi.

Menggantikan Jin, Chihiro muncul.

"Bu Chihiro, hari ini Ibu bangunnya cepat."

Baru jam setengah delapan. Masih hampir sejam sebelum sekolah dimulai.

"Kanda, manusia hanya bisa berkembang lewat pengalaman. Sebaiknya kamu ingat itu."

Sorata tidak tahu dari mana komentar itu berasal, tapi dia merasa Chihiro masih berbicara soal acara kongko-kongko semalam, jadi dia memutuskan untuk tidak menyinggung topik tersebut.

"Jadi, aku boleh menyerahkan Mashiro padamu, 'kan? Nanti bawa saja dia ke ruang guru."

"Boleh, toh, ini hari pertamanya. Setidaknya aku bisa menunjukkan jalan menuju sekolah.”

Kemudian, Chihiro mendadak condong ke depan, dan menekannya jarinya pada dada Sorata.

"A-apa?"

"Kamu pasti akan membawanya ke sana, 'kan? Kamu pasti akan bertanggung jawab terhadapnya, 'kan?"

"I-iya, sudah kubilang aku akan melakukannya."

"Bagus. Kamu tahu? Aku mengandalkanmu. Aku benar-benar mengandalkanmu."

"Eh .... Sikap Ibu tadi agak menjijikan ...."

Sorata mengira kalau Chihiro akan menyerang balik, Namun Chihiro hanya mendengus dan beranjak pergi.


********

Melihat Chihiro pergi dan melirik ke jam dinding di ruang masuk, Sorata melihat kalau kini baru sekitar jam tujuh lewat empat puluh menit.

Mashiro tidak menunjukkan tanda-tanda akan turun dari lantai dua. Sorata merasa mungkin ada baiknya naik ke atas dan membangunkannya.

"Kalau tidak salah ingat, anak lelaki tidak boleh naik ke lantai dua ...."

Selagi dia menaiki tangga yang berderak itu, Sorata merasa sedikit gugup. Bagaimana penampilan Mashiro saat memakai piama maupun gaya tidurnya, ya? ... Sorata tidak dapat menghentikan imajinasi liar dalam pikirannya dan itu membuatnya antusias.

Bukan berarti Sorata tidak tahu bagaimana menghadapi seorang gadis. Justru berkat Misaki, dia sudah lumayan kebal. Yah, memang, dia tidak tahu apa cukup layak jika menganggap Misaki itu seorang gadis .... Kalau harus menyebutkan seperti apa dirinya, Sorata mungkin harus menjawab bahwa kalau gadis itu seorang alien.

Rasa gugup Sorata memuncak ketika dia sampai di depan kamar Mashiro. Perutnya pun mulai bergejolak.

"Aku ini ... benar-benar ketakutan, tahu?"

Sorata mengucapkannya keras-keras untuk menenangkan diri, yang ada justru suaranya jadi melengking saking gugupnya.

"He-Hei, Shiina! Kalau tidak bangun sekarang, kamu bisa telat, lo ...."

Sorata semakin lama semakin merasa suram, mendengar betapa canggungnya dia mengucapkan itu.

Mungkin dia tidak mendengarnya, tapi Sorata tidak mendengar balasan apa pun dari dalam kamar.

Kali ini, dia coba mengetuk pintunya.

"Shiina? Sudah pagi! Argh, dia sama sekali tidak menyahut. Ini bisa jadi masalah ...."

Sekarang dia mengetuk dengan lebih keras lagi. Tok, tok, tok.

Yang menyahutnya hanyalah sebuah keheningan yang kejam.

Dia lalu meraih gagang pintu, tapi kemudian sadar dengan yang sedang dilakukannya.

"Tidak, tidak, tidak, tidak, tunggu, tunggu, tunggu, tunggu. Ini bukan kamar Kak Misaki, jadi tidak mungkin kamarnya tidak terkunci ...."

Untuk menguji hipotesisnya itu, Sorata memutar gagang pintunya dengan pelan. Dia tidak merasakan halangan yang diharapkannya jika pintu itu terkunci.

Pintunya sudah pasti tidak terkunci.

"Biarpun begitu, ini bukan kamar Kak Misaki, jadi tidak sopan kalau aku asal masuk saja ...."

Tapi di saat yang sama, di titik ini, Sorata merasa bahwa dia tidak akan menuntaskan apa pun jika hanya berdiri di luar dan memanggil gadis itu saja.

"Aku tidak punya pilihan lain. Aku melakukan ini hanya karena tidak ada pilihan lagi."

Selagi Sorata menggumamkan alasan-alasan yang tidak berarti pada dirinya sendiri, dia memegang erat gagang pintunya.

Dia memutarnya dengan perlahan, dan membuka pintunya dengan suara *krek* kecil.

"Eh?"

Dia terpana dengan apa yang dilihatnya, dan tanpa sadar membuka pintu lebar-lebar.

"Apa-apaan ini?"

Sorata hampir berpikir kalau dirinya salah masuk kamar. Kalang kabut, dia melihat kembali nomor kamar untuk memastikannya. Ini kamar 202. Kamar Mashiro. Cocok. Benar. Tepat. Bingo.

Tapi pemandangan yang muncul di depannya tidak menunjukkan sedikit pun kemiripan dengan kamar yang diingatnya semalam.

Baju dan celana dalam, buku dan manga semuanya tersebar di sana-sini sepanjang lantai. Sorata bahkan tidak dapat melihat karpetnya. Kamarnya tampak seperti baru diterjang tornado yang melintasi kamar itu.

Bel alarm di dalam kepala Sorata berbunyi selagi dia berusaha memahami keadaan.

Hanya ada satu kata yang terlintas dalam pikirannya. Perampokkan.

Sorata merasakan panik membumbung dari dalam dirinya, dan keringat dingin mulai bercucuran melewati alisnya.

"Oi, Shiina!"

Dengan riuh dia melesat ke dalam kamar tersebut.

Mashiro tidak ada di tempat tidurnya. Dia juga tidak ada di lantai. Dia tidak terlihat di mana pun.

Setiap kali dia memalingkan pandangannya ke tempat lain, dia merasakan hawa yang semakin lama semakin dingin menjalari sumsumnya.

Kamar itu porak poranda, dan Mashiro tidak bisa ditemukan.

Situasi tersebut membuatnya putus asa.

Kakinya gemetaran, Sorata meletakkan sebelah tangannya ke meja. Ketika melakukan itu, dia pasti telah menyentuh mouse-nya, karena monitor yang dalam keadaan nonaktif itu tiba-tiba menyala. Kamarnya mendadak diterangi, Sorata sedikit menjerit.

Merasa frustasi, Sorata melihat ke arah monitor komputer tersebut.

Pada layar tersebut terlihat seperti sebuah deretan panel komik, dimana seorang lelaki ganteng sedang mengucapkan kata-kata cinta. Dia meletakkan tangannya pada pipi seorang gadis malu-malu yang menundukkan kepalanya ke bawah, dan dia condong ke depan untuk menciumnya. Gambarnya luar biasa.Komiknya digambar dengan sangat baik.Tapi walaupun proporsi tubuhnya dibuat dengan sangat baik, gambar tersebut tidak membawa kesan realistis yang besar.Gambarnya terlihat seperti ada banyak garis yang dilukiskan, sampai gambarnya terlihat terlukis berlebihan.

Dilihat dari mana pun, gambar tersebut terlihat seperti naskah untuk manga cewek.

"Kenapa Shiina punya ...?"

Untuk sejumlah alasan, Sorata sepenuhnya teralihkan oleh monitor komputer tersebut. Namun ketika dia mendengar sesuatu bergerak di kakinya ....

Sorata sedikit melompat karena kaget, kemudian dengan enggan melirik ke bawah meja.

Selimut dan baju dijejalkan ke dalam ruang yang sempit itu, dan di sana Mashiro Shiina terlihat sedang tertidur dengan bahagia. Tempat itu hampir menyerupai sarang hamster.

Sorata menghela napas lega. Syukurlah. Ya ..., syukurlah. Tidak, yang benar saja ..., syukurlah.

Di saat itu juga, Sorata melihat sekilas ke seluruh pojok kamar.

Jangan bilang, ini .... Pandangan Sorata meredup. Kalau ini bukan ulah seorang pencuri, maka hanya ada satu kemungkinan yang tersisa.

"Sebentar .... Beri aku waktu ...." Sambil menggumamkannya sendiri, Sorata memejamkan matanya. Dia berpikir keras mencari penjelasan yang cukup terlihat masuk akal untuk menjelaskan situasi ini.

Dia pasti belum terbiasa hidup di Jepang.

Tapi negara mana yang punya kebiasaan menjalani hidup seakan ada tornado yang melintasi kamarmu ...?

Mungkin dia berguling sedikit sering saat tidur lalu berakhir di sana?

Sedikit? Tapi dia ada di bawah meja.

Kalau begitu, dia pasti hanya sedang bersembunyi dari invasi alien.

Yah, pemikiran-pemikiran ini sudah tidak masuk akal lagi.

Jadi ..., yang tertinggal hanyalah penjelasan kalau ini sebuah mimpi, Sorata. Kamu pasti masih sedang bermimpi.

Ah, ya, pasti begitu. Itu adalah penjelasan yang paling masuk akal.

Merasa teryakinkan, Sorata keluar dari kamar Mashiro.

Sambil menutup pintu di belakangnya, dia menghirup napas dalam-dalam lalu menghembuskannya.

Mungkin sudah waktunya dia harus bangun dari mimpi ini.

Sambil menguatkan dirinya, Sorata membuka pintu.

Persis setelahnya, Sorata menatap ke atas. Cukup jelas, keadaan kamar itu masih belum berubah.

Tidak disangka kalau seseorang bisa hidup tenang ketika kamarnya dalam keadaan seperti ini.

Mashiro itu aneh dalam beberapa hal, tapi Sorata berpikir bahwa setidaknya dia mirip dengan gadis itu. Dia berharap bahwa dirinya bisa menjadi seseorang yang dapat memahaminya di tengah semua kegilaan ini ....

"... Tuhan, kenapa engkau menelantarkanku?"

Selagi Sorata merasa telah hilang harapan, tidak seperti sesaat yang lalu, Sorata mencari celah-celah di antara lantai yang dipenuhi pakaian tersebut dan bergerak ke depan meja. Bagi anak SMA yang sehat di seluruh penjuru dunia ini, melihat pakaian seorang gadis berserakan seperti ini merupakan godaan yang cukup jahat. Terutama celana dalam yang berwarna terang, sangat berbahaya.

Bahkan selagi Sorata berusaha semampunya untuk berpura-pura tidak melihat , matanya tanpa sadar melirik ke sana-sini.

Sambil berjongkok di depan meja, Sorata memanggil dengan hati-hati.

"Eng ..., Shiina? Sebaiknya kamu bangun."

Tidak ada balasan.

"Halooooo?"

"...."

Hanya suara napasnya yang teratur itu saja yang bergema di kamar itu.

"Aku sungguh berterima kasih kalau kamu bangun~."

"...."

Kehabisan pilihan, Sorata meraih ujung selimutnya dan menariknya. Mungkin karena Mashiro juga mengenggam selimutnya dengan cukup erat, Sorata merasakan cukup perlwananan. Karena menyerah, Sorata mulai mengoyang bahu Mashiro.

"Haloooo, sudah paaaaaaaaaaagi~. Paaaaaaaaagi~."

"... pagi tidak akan datang."

"Tidak, tidak, tidak, pagi sudah datang! Jangan berkata hal yang mengerikan begitu!"

Mashiro mendongakkan wajahnya dari gundukkan pakaian dan celana dalam yang menutupinya. Mata setengah terlelapnya melihat hampa untuk sejenak, dan hampir semenit berlalu sebelum dia akhirnya kembali sadar dan menerima tatapan Sorata.

"Selamat pagi."

"...."

Mashiro memendam wajah mengantuknya kembali ke dalam sarangnya.

"Kamu bisa mati kalau tidur lagi~! Ini hari pertamamu, jadi bahaya kalau kamu telat~!"

"... aku mengerti. Aku akan bangun."

"Ohhh, rupanya kamu lebih pengertian dari yang kukira."

Dengan ekspresi hampa, Mashiro keluar dari bawah meja lalu berdiri.

Selimut dan pakaian yang menyelimutinya jatuh ke lantai dengan lembut.

Bahunya utuh tersingkap. Lengannya yang ramping, dadanya yang berukuran sedang, lingkar pinggang dan panggulnya semua terlihat jelas dalam pandangan Sorata.

Pada saat itu juga, darah muncrat dari hidung Sorata.

"Gyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhh!"

Jeritan pembunuhan keji itu bergema di seluruh kamar, hingga yang melihatnya mungkin berpikir bahwa seseorang bisa menemukan ada darah dalam urinnya. Sorata-lah yang berteriak barusan.

"Kamu ribut sekali."

Terlihat jengkel, Mashiro menggosok matanya.

"Ap-?! Ka-kamu, a-apa?! Gyaaaaaaaah!"

"Apa?"

"Pakai bajumu! Kenapa kamu telanjang begitu?! Kamu ini kaum nudis atau apa?!”

Syok berat, Sorata mengumpulkan akal sehat yang masih dimilikinya dan berpaling dari Mashiro.

"Aku heran ...."

"Itu sudah jelas, coba saja kamu pikir!"

"... aku mau mandi."

"Lalu?"

"Aku akan keluarkan beberapa pakaian ...."

"Bagus, berarti tinggal dipakai saja."

"Akan kukeluarkan semua pakaian yang kupunya."

"Tunggu! Hentikan! Jangan keluarkan semuanya!"

"Lalu, kupikir aku tinggal berhenti saja jika sudah selesai ...."

"Pemikiran macam apa itu?! Jangan bertingkah seakan ini masalah orang lain! Lagi pula, yang benar saja, pakai bajumu! Sesuatu! Apa saja! Cepat pakai!"

Ketika Sorata memikirkan tentang fakta bahwa seorang Mashiro yang telanjang berada di belakangnya, dia kehilangan seluruh sikap kalemnya.

"Ya sudah, pakai saja seragammu!"

Sorata mengeluarkan seragam Suikou dari gundukan besar pakaian yang berantakan itu di kakinya lalu melemparkan seragam tersebut pada Mashiro.

Sorata mendengar suara gemerisik pakaian dari belakangnya.

Dia sungguh merasa seolah jantungnya hampir meledak.

"Sudah siap?"

Setelah menunggu cukup lama, Sorata memanggil Mashiro.

"Siap."

"Astaga, kamu, kamu itu harus ...."

Sorata mulai berbicara lalu berbalik, di saat dia tiba-tiba terpaku, mulutnya masih mengangga.

Mashiro hanya mengenakan blusnya, dan semua kancing belum dipasangkannya. Banyak bagian yang masih terlihat.

"Apa yang kamu maksud dengan siap tadi?!"

Sorata memalingkan wajahnya dan berbalik sekali lagi. Dia meringkuk ke lantai dan melipat tangannya.

"Ada apa?"

"Kamu sudah tahu jawabannya!"

"Kamu baik-baik saja?"

"Kamu sendiri, apa kamu baik-baik saja?!"

"Iya."

"Tidak, bukan iya .... Cepat selesaikan pakai bajumu!”

Sekali lagi, Sorata mendengar suara gemerisik pakaian.

Belajar dari kesalahan sebelumnya, dia memutuskan untuk memberinya banyak waktu kali ini.

"Ka-kamu sudah selesai memakai baju?"

"Kalau celana dalam?"

"Ya, pakai!"

"Pakai yang mana?"

"Jangan suruh aku pilih!"

"Kalau begitu, aku sudah siap."

"Tidak kamu belum siap! Apa yang akan kamu lakukan jika ada angin berhembus?! Itu akan jadi sebuah bencana! Pakai! Pakai sekarang juga! Kumohon pakai!"

Sambil meneriakkannya dengan histeris, Sorata memungut sebuah celana dalam hijau muda dari lantai dan melemparkannya ke Mashiro.

"Aku tidak suka celana dalam ini."

"Memangnya hari ini kamu mau memamerkan itu ke seseorang, apa?!"

"Tidak juga."

"Kalau begitu, pakai yang itu saja!"

Setelah nyaris berteriak tanpa henti sejak pagi, Sorata merasa mulai agak pusing.

Ketika melirik ke arah jam di ponsel-nya, dia melihat waktu sudah menunjukkan sekitar jam delapan lebih lima belas.

"Sial! Hei, Shiina, cepat sedikit!"

"Aku sudah selesai."

Saat berbalik, Sorata melihat Mashiro tampak cukup bangga dengan dirinya yang bisa memakai celana dalam sendiri ..., berbarengan dengan rambut sehabis tidurnya yang berantakan. Rambutnya terlihat begitu acak-acakan sampai-sampai burung pum mungkin bisa bersarang di sana, dan perbedaan mencolok antara rambut tersebut dengan tampang cantiknya itu membuat pemandangan ini terasa menyakitkan untuk dilihat.

"Kepalamu! Maksudku, rambutmu! Rapikan dulu kamar mandi lalu kembali ke sini! Sekalian cuci mukamu!"

"Di mana?"

"Kemarin aku sudah memberi tahu tempatnya, 'kan?! Sini, kubawa kamu ke sana!"

Sorata dengan buru-buru bergerak keluar dari kamar dan menuju ke lantai satu. Namun Mashiro tidak mengikutinya. Malah, dia berjalan pelan dari kamarnya, dengan langkah santai.

"Tunggu, tunggu. Kalau kamu mau mencuci muka, lepas dulu jasmu!"

Sambil melepaskan pakaian luar gadis tersebut, Sorata lalu mendorongnya ke dalam kamar mandi. Sorata menggunakan waktu tersebut untuk kembali ke kamarnya, untuk mengganti bajunya dengan seragam sekolah.

Itu memakan waktu kurang dari satu menit baginya untuk berganti baju. Dia juga menggantung tas kosongnya pada bahunya.

Dia bergegas kembali ke kamar mandi, dan tiba persis ketika Mashiro keluar.

Sorata pun akhirnya kembali berteriak.

Ketika kamu mencuci mukamu, kamu memakai air, 'kan? Kemeja yang dikenakan gadis itu basah hingga ke area dadanya, dan membuatnya menempel pada kulit.

Terlebih, mungkin karena dia tidak mengenakan beha, bisa dilihat tonjolan payudaranya, putingnya .... Intinya, semuanya itu bisa terlihat.

"Oi! Kamu ..., kamu! Pakai sesuatu! Sesuatu di balik bajumu!"

"Sorata tidak memberikannya padaku."

"Jadi itu salahku? Kamu bercanda?"

Mashiro menatap kosong pada Sorata lalu memiringkan kepalanya ke samping.

Semua akal sehat Sorata yang semakin dewasa itu kelihatannya tidak berlaku pada gadis tersebut.

Namun, demi kesehatan jiwanya, Sorata pergi mengambil handuk dari kamar mandi. Tapi kamar mandi itu juga sudah menjadi zona bencana. Air mengucur dari keran seperti geiser, dan banjir melanda seluruh area mandi.

"Kamu sedang mencoba mandi di sini atau apa?!"

"Aku tidak sedang mandi."

"Itu pertanyaan retorika!"

"Sorata menganggu."

"Aku? Jadi aku yang bertingkah aneh?"

Sorata memutar keran dan menghentikan airnya. Dia keluarkan semua kain lap yang dapat ditemukannya di sana lalu menutupi lantai kamar mandi dengan kain lap tersebut.

Tepat di saat itu, apa yang Chihiro katakan padanya semalam terlintas dalam benaknya.

Karena Mashiro cocok di sini.

Semua jadi masuk akal sekarang.

Seiring waktu, semuanya akan jelas. Terutama bagimu.

"Sial! Guru malas itu! Jadi beliau membebankan semua masalahnya padaku?!"

Sorata tahu kalau dia sedikit terlambat menyadarinya, meski begitu, dia merasa harus mengucapkan hal itu dengan nyaring.

"Kita bisa telat ke sekolah."

"Aku tidak mau mendengar itu darimu, Shiina!"

Jiwa Sorata berteriak, dan teriakan itu bergema ke langit musim semi.


Read more ...»