SPS Jilid 1 Bab 12

On Rabu, 21 Desember 2016 0 komentar

=========================================================
Wah, sudah mau klimaks...
Gak ada catatan terjemahan kali ini, jadi langsung saja...
Seperti biasa, seri yang dikerjakan bareng ini, bisa agan sekalian nikmati lebih awal satu hari di Hanami Translation...
Selamat menikmati....
=========================================================


Bab 12 - Memori, Janji, Alasan


Dua minggu telah berlalu dalam sekejap bersama dengan larutnya kami dalam latihan, dan tidak lama, akhir bulan Mei telah tiba. Kulit pada ujung jari kiriku terasa keras seperti tanah kering. Karena senar bas lebih tebal daripada senar gitar, kapalan di jariku sedikit berbeda dari Kagurazaka-senpai.

"Kamu lebih terlihat seperti pemain bas sekarang."

Senpai tidak bisa menahan dirinya untuk tertawa keras saat jari kami bersentuhan layaknya adegan alien dalam film E.T. Meski begitu, kapalan itu telah sedikit mengubah indra perabaku — yang memengaruhi pekerjaanku ketika melakukan sesuatu yang perlu ketelitian terhadap mesin — hingga membuatku sedikit kerepotan.

Namun, sebelum mengajukan tantangan pada Mafuyu, ada hal yang mengharuskanku untuk mempergunakan hobiku dalam mengutak-atik mesin.

Pada hari Kamis di minggu keempat bulan Mei, Aku langsung berlari ke halaman sepulang sekolah. Di saat yang sama, Chiaki mencoba untuk menahan Mafuyu dengan cara apa pun — meskipun, jika berpikir optimis, ia mungkin hanya bisa menahan Mafuyu sekitar dua puluh menit saja. Aku harus memenangkan pertempuran ini dengan kecepatan. Aku mulai dengan membuka gembok, yang butuh waktu kurang dari semenit. Kemudian, kuputar pegangan pintunya sedikit, seperti biasanya, lalu membuka kunci untuk memasuki ruangan. Mengulang skenario imajinasiku yang telah kupikirkan sebelumnya, aku mengambil peralatan dan kabel dari tasku lalu mulai mengutak-atik amplifier. Dengan cepat kubuka penutup belakangnya, membuat internal mesin terlihat jelas. Aku pernah mengutak-atik amplifier beberapa kali sebelumnya, jadi memodifikasi sirkuit bukanlah masalah besar; sirkuit tersebut rupanya menyembunyikan kabel yang baru diperpanjang hingga membuatku menghabiskan banyak waktu.

Setelah semuanya selesai dilakukan, kukunci kembali gemboknya. Ketika hendak kembali ke gedung utama, aku tanpa sengaja menabrak Mafuyu.

Kami berdua hanya bisa berdiri terdiam. Tidak satu pun dari kami yang saling melihat.

Sejak hari itu, kami tidak saling berbicara. Itu sebabnya, teman-teman di kelas mengeluh soal bagaimana satu-satunya akses informasi mereka mengenai hime-sama telah tertutup. Meski begitu, tidak satu pun dari mereka yang tahu rincian situasi sebenarnya.

Saat aku mulai berjalan melewatinya, Mafuyu berbicara.

"Apa kamu ... sudah menyerah?"

"... eh?"

"Bas. Biasanya kamu bermain bas di atap."

"Aku masih memainkannya? Hanya saja, aku berlatih di atap gedung utara, karena aku tidak ingin mengganggu seseorang yang punya pendengaran tajam."

"Pembohong. Aku juga mencarimu di sana, tapi kamu tidak ada."

Itu memang bohong. Belakangan ini, aku pergi ke Toko Musik Nagashima untuk bertemu dengan pemain bas kenalan senpai yang bertugas melihat dan memperhatikan latihanku. Karena aku tidak berniat untuk membiarkan Mafuyu tahu tentang latihan seriusku, aku pun berbohong padanya.

"... tadi kamu baru saja bilang kalau kamu mencariku? Apa maksudmu?"

"Ah, itu .... Jangan dipirkan, tidak ada apa-apa. Aku hanya sedikit khawatir."

Suara Mafuyu menjadi lebih cemas, dan ia menggelengkan kepalanya berulang kali.

"Aku hanya penasaran .... Apa kamu masih memikirkan kejadian waktu itu?"

Aku melompat kaget, kemudian menoleh. Sepertinya Mafuyu merasa sulit untuk berbicara, dan ia terus menatap jari-jarinya.

"Kumohon lupakan saja itu. Aku baik-baik saja, jadi kamu tidak perlu khawatir soal itu."

Kumohon lupakan. Aku sudah berkali-kali mendengar kalimat itu dari Mafuyu.

Aku merasa sedikit marah. Rasanya aku akan mengatakan perasaanku yang sebenarnya—

"Hei, kamu pikir otak manusia itu apa? Otak kita tidak seperti hard disk. Kamu pikir dengan tindakan Hapus Memori darimu akan membuatku berkata, Oh, seperti ini? lalu aku akan melupakan semuanya, begitu?"

Mata Mafuyu melebar, dan dia mengambil langkah mundur.

"Aku tidak lupa, dan pada kenyataannya, aku ingat segalanya dengan jelas. Kamu berkata, Apa kamu pikir bisa menang hanya dengan beralih ke bas? Dasar bodoh! oke, Jumat, sepulang sekolah besok ayo bertanding. "

"... apa maksudmu bertanding?"

"Pertandingan antara permainan basku dan gitarmu, itu maksudku. Jika aku sanggup mengimbangi permainan gitarmu sampai akhir, maka itu akan menjadi kemenanganku. Jika aku menang, maka aku boleh menggunakan ruangan itu. Dan jika aku kalah, aku tidak akan pernah mendekatimu lagi."

"Apa kamu serius ... tentang itu?"

Tentu saja! Tapi aku tidak berkata apa-apa lagi, dan berjalan melewati Mafuyu begitu saja.

Jujur, aku bahkan tidak percaya diri untuk menang. Tapi Kagurazaka-senpai berkata sebelumnya, bahwa ia akan memenangkanku dalam pertandingan ini. Oleh karena itu, ini bukan "Aku akan menang," melainkan, "Ia akan membawakanku kemenangan."

Seseorang yang akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa pun yang diinginkannya — perasaan dingin yang menyusup tulang belakangku ketika mempertimbangkan fakta bahwa beberapa kata dari mulutnya cukup untuk memberikanku banyak keberanian. Kurasa satu-satunya orang yang dapat kuandalkan saat ini adalah senpai seorang.


"Shounen, kini kamu lumayan pandai bicara."

Kagurazaka-senpai mengatakan itu padaku saat aku sampai di atap. Tampaknya ia telah mengawasi kami dari pagar.

"Aku sungguh tidak percaya kalau tiga minggu yang lalu kamu adalah pecundang."

"Jangan panggil aku pecundang!" kualihkan pandanganku dari senpai. Entah kenapa, sejak hari itu, aku merasa agak malu setiap kali melihat langsung ke arahnya.

"Saat aku benar-benar memikirkannya, tidak ada kerugian apa pun jika kalah dalam pertandingan ini. Sekarang pun aku juga tidak bisa menggunakan ruangan latihan, jadi tidak ada bedanya andai aku kalah. Ini persis permainan janken yang kulakukan dengan senpai waktu itu."

Separuh alasan untuk pikiran menyimpang itu merupakan semacam ejekan buat diriku. Biarpun begitu, senpai duduk di sampingku sambil memeluk bas, dan mengilaskan senyum puas.

"Jadi kamu masih ingat perbuatanku saat adu janken itu."

Aku menatap sisi wajah senpai dan memiringkan kepala. Saat itu, senpai menantang adu janken melawanku, dan memegang pick di antara telunjuk dan jari tengahnya. Ketika melihat itu, kupikir ia mencoba menipuku agar berpikir kalau ia tidak akan mengeluarkan gunting, jadi aku mengira demikian — dengan otakku yang sedang kacau, aku mengeluarkan batu. Pada akhirnya, aku kalah dari senpai. Namun, senpai tertawa keras dan berkata,

"Sebenarnya aku tidak berusaha membaca pikiranmu, itu sebabnya aku bisa menggunakan cara tersebut padamu. Bahkan jika aku melakukannya, itu tidak akan meningkatkan peluangku memenangkan permainan sederhana macam itu. Memangnya menurutmu ada metode jitu untuk memenangkan adu janken?"

"Eh?" itu artinya senpai menggunakan strategi menang mutlak?

"Sederhana, kok. Keluarkan saja belakangan."

"Hah?"

"Sebenarnya tidak ada alasan khusus soal memegang pick di antara jari-jariku, selain untuk membingungkanmu sehingga kamu akan mengeluarkan pilihan sesuai tempoku. Itu saja. Ingat ini baik-baik. Strategi menang mutlak adalah dengan mengeluarkannya belakangan."

Aku terkejut hingga tidak mampu berkata-kata, dan hanya menatap wajah senpai yang penuh kemenangan. Setelahnya, aku pun menghela napas panjang di antara lututku. Itu tidak mungkin. Sejak awal, aku tidak punya kesempatan untuk menang melawan orang seperti dia.

"Selalu dikatakan bahwa pertempuran dimenangkan jauh sebelum hal itu dimulai — itulah yang sebenarnya kumaksud. Yang berarti, cara kamu memancing lawan ke dalam wilayahmu itu sangatlah penting. Oh benar, apa kamu tahu alasanku memilih lagu ini untuk pertandinganmu dengan Mafuyu? Biar kuberi tahu."

Setelah mengatakannya, ia mengambil partitur dari arsip di dalam kotak belakang kami, lalu menyebarkan lembaran partitur di depan kami. Ia kemudian berkata, "Ada empat alasan kenapa aku memilih komposisi ini."

Harusnya Senpai bilang dari awal! pikiran itu melintas dalam benakku untuk sesaat. Selama beberapa hari terakhir, aku telah bertanya pada diri sendiri sewaktu berlatih, Kenapa komposisi ini? namun, setelah mendengarkan penjelasan panjang senpai, aku hanya bisa menjawab dengan desahan.

"—jadi, kamu mulai percaya bahwa kamu punya kesempatan untuk memenangkan ini?"

"Hmm .... Sedikit."

Aku menjawab jujur. Kesempatan menangku telah meningkat beberapa kali lipat — sekitar 0,2% sekarang! Itu mungkin yang kurasakan sekarang. Senpai menyenggolkan bahunya padaku sambil tertawa.

"Lumayan juga! Hanya kamu yang akan tahu bagaimana berlangsungnya pertempuranmu. Aku hanya tahu hasil pertempuranku sendiri karena aku tidak akan ikut serta dalam pertempuran kalian berdua."

"Jika kamu menggantikanku, kamu bisa menang .... Apa itu yang Senpai mau katakan?"

Tanyaku lirih. Senpai menjawabku dengan suara sedikit marah.

"Memangnya aku bisa menang?"

Aku menatap wajah senpai dengan terkejut.

"Bukankah sudah pernah kubilang? Itu harus dirimu."

Aku tidak bisa menjawabnya, karena itu aku kembali menundukkan kepala.

Senpai tiba-tiba mengambil secarik kertas dan menggunakannya untuk menyodok ujung hidungku.

"Kalau begitu, ini adalah persiapan akhir. Tanda tangani ini dulu supaya kamu siap secara mental. Salinannya untuk Ebisawa Mafuyu."

Aku menengadahkan kepala untuk melihatnya. Itu adalah formulir pendaftaran untuk bergabung dalam klub, dicetak pada kertas kuarsa — terdiri dua lembar. Di masing-masing lembar, kata-kata "Klub Riset Musik Rakyat" ditulis rapi — menggunakan pena — di dalam kotak di mana pemohon seharusnya memberikan nama klub yang ingin diikuti.

Aku mengalihkan pandanganku dan mencoba mengalihkan topik.

"Hmm ..., kurasa aku akan ... menyimpan formulir ini untuk sementara."

"Kenapa? Aku sudah mengajarimu begitu banyak tentang bas. Jangan-jangan ... kamu memang membenciku? Apa begitu?"

Jangan menatapku dengan ekspresi sedih. Jelas itu pura-pura.

"Hmm, bagaimana menjelaskannya, ya?"

Kuangkat bas dari lututku.

"Rasanya aku tidak memenuhi syarat. Standar Senpai dan Chiaki terlalu tinggi bagiku."

"Aku sudah bilang sebelumnya, 'kan? Aku tidak memintamu untuk mengikuti kami. Kamilah yang akan mengikutimu."

Karena bas adalah jantungnya. Aku tahu itu, tapi tetap saja ....

"Tetap saja, aku tidak bisa memutuskan akan bergabung atau tidak. Setidaknya bukan sekarang. Itu sebabnya ...."

Kuangkat basku dan menatap senarnya.

"Itu sebabnya, jika aku berhasil menang melawan Mafuyu dan membuatnya bergabung dalam klub ...."

"Jika kamu bisa mengalahkannya, kamu akan ikut bergabung juga?"

Aku mengangguk sebagai jawaban.

Jika tidak begitu, aku pasti akan menyesal. Entah kenapa, rasanya seperti aku tidak memberikan pendapatku pada segala hal yang dihadapakan padaku.

"Lalu ..., apa yang akan kamu lakukan jika kamu kalah?" kalimat dari senpai itu membuatku terhenyak karena terkejut. Aku belum memikirkan itu.

Walaupun begitu, aku harus membuat keputusan sekarang.

"... jika aku kalah, aku akan terus bermain bas — namun, aku tidak akan bergabung dalam klub. Senpai telah membantuku selama ini, jadi aku tidak bisa mengatakan hal semacam ..., Izinkan aku bergabung dalam klub walau aku kalah."

Setelah hening sesaat, bisa kudengar Senpai mendesah lembut di sebelahku.

"Aku baru memahaminya akhir-akhir ini, ternyata kamu adalah pria yang punya harga diri tinggi."

Ia menyimpulkan sebuah senyuman lembut. Aku hampir tidak bisa menjaga pandanganku, dan mengalihkan mataku setelah sekilas menatap wajahnya.

"Kita akan anggap ini sebagai janji di antara kita berdua, untuk saat yang akan datang. Ya, ayo kita anggap seperti itu."

Senpai lalu mengambil obeng dari tasku — tanpa izin — dan melepas penutup belakang basku. Ia lipat dua formulir pendaftaran dan memasukkannya ke dalam ruang kosong di antara kabel-kabel. Ia kemudian menutup kembali penutup basku.

"... kenapa Senpai letakkan formulirnya di tempat seperti itu?"

"Coba dengarkan. Seharusnya ada suara samar dari kertas yang saling bergesekan."

Aku letakkan kembali bas ke lututku. Kemudian, senpai memetik senarnya. Suara kertas yang saling bergesekan—

"Tidak, aku tidak dengar apa-apa?"

"Tapi aku bisa mendengarnya!" itu berarti telinganya setara dengan kucing, "Dan mungkin saja Ebisawa Mafuyu bisa mendengarnya juga. Ia benar-benar sensitif terhadap suara kertas yang saling bergesekan, bukan? Suara kecil ini dapat memengaruhinya tanpa sadar, menyebabkan ia menjadi gelisah dan frustrasi."

Apa ada sebuah logika di balik itu?

"Jika kamu ingin menjadi sedikit lebih klenik, ini adalah semacam mantra. Sama halnya dengan samurai yang menjahit jimat pelindung pada pakaian mereka."

Senpai menepuk basku.

"Janji kita akan terpatri di dirimu sepanjang waktu. Jadi jangan lupakan itu."

Setelah sejenak meragu, aku pun mengangguk.

"Semoga sukses."


Aku kebetulan bertemu Maki-sensei dalam perjalanan pulang. Setelah masuk ke dalam kereta biasa, yang berhenti di setiap stasiun, beliau bertanya,

"Belakangan ini tampaknya kamu sering mengobrol dengan Mafuyu-chan?"

Aku menundukkan kepala saat berpegangan pada gagang menggantung. Aku tertangkap oleh orang yang merepotkan.

"Tidak, itu tidak bisa dianggap mengobrol."

"Terus terang dan katakan saja padanya kalau kamu ingin berbagi ruangan. Kenapa anak lelaki itu suka merepotkan diri?"

Memangnya aku bisa mengatakan itu? Aku? Pada Mafuyu?

"Dan juga, akhir-akhir ini kamu melakukan apa saja? Sepertinya kamu sering bersama dengan anak kelas dua yang bernama Kagurazaka-san itu, ya?"

"Oh, itu ...."

Dengan jari-jarinya mencengkeram bagian belakang kerahku, aku tidak punya pilihan selain mengatakan yang sebenarnya.

"Sebuah pertandingan gitar?"

Maki-sensei tiba-tiba mengeluarkan suara aneh hingga para penumpang lainnya mengarahkan perhatian mereka pada kami.

"Haruskah kubilang kalau kamu itu bodoh, atau sama saja dengan Kagurazaka-san ...."

Maki-sensei mendesah sambil menyuarakan pikirannya. Apa Kagurazaka-senpai juga terkenal di kalangan guru? Ia tampaknya sering tidak mengikuti pelajaran, jadi bisa saja, ia salah satu orang yang disebut "murid bermasalah" atau semacamnya?

"Memangnya Mafuyu-chan tidak keberatan dengan tantangan itu? Bagaimana bisa?"

"Tidak, ia hanya tertegun."

"Ya, itu lebih masuk akal! Lalu apa yang akan kamu lakukan? Apa kamu benar-benar mau melakukannya?"

"Huh, ada banyak alasan di balik ini .... tapi saya akan melakukan yang terbaik."

Jawabku samar. Aku tidak mungkin memberitahu Maki-sensei tentang berbagai hal yang kami lakukan untuk membuat Mafuyu berpartisipasi dalam pertandingan.

Maki-sensei sejenak mengernyitkan alis matanya yang indah itu lalu menekan jarinya pada pelipis.

"Dengar ..., Sensei sangat berterima kasih atas interaksimu padamu Mafuyu-chan, tapi jangan terlalu sering memprovokasinya. Ia gadis yang benar-benar peka."

"Oh."

Bahkan jika beliau berkata begitu ..., untuk beberapa alasan yang tidak diketahui, aku tidak kuasa menahan marah saat beliau ingin aku bersikap lembut terhadap Mafuyu. Gadis itu telah banyak berkata buruk kepadaku, tahu?

"Hmm ...." Maki-sensei menyilangkan tangan di depan dadanya. Ekspresinya menunjukkan bahwa beliau tidak tahu harus berkata apa. "Kupikir, sebagian besar masalahnya itu karena hal psikologis yang ia miliki. Itu sebabnya—"

"... maksudnya? Hal psikologis apa yang Sensei maksud?"

Maki-sensei menatapku tanpa mengatakan sepatah kata pun. Beliau kemudian bergumam sendiri dengan suara serak, "Jika itu Nao-kun, mungkin tidak apa-apa kalau Sensei beri tahu ...," namun beliau langsung menggeleng dan membatalkan pikirannya.

"Sensei bukan orang yang berhak memberitahukanmu soal itu. Akan lebih baik jika Mafuyu sendiri yang menceritakannya padamu."

Hal psikologis. Aku ingat Mafuyu pernah memegang erat sebuah tas obat di tangannya dulu.

Jadi Mafuyu benar-benar sakit? Aku tidak bisa menebaknya dari luar, tapi kalau

"Hmm, Maki-sensei ...." aku memikirkan hal lain dan memutuskan untuk bertanya soal itu. "Mafuyu .... Aku dengar ia akan segera pindah sekolah. Apa itu benar?"

"Pindah? Kenapa?"

"... ah, tidak apa-apa."

Ia akan menghilang di bulan Juni. Tapi .... Apa sebenarnya yang ia maksud? Aku tidak jadi mengatakannya, dan kembali tenggelam dalam pikiranku sendiri. Biar bagaimanapun, Mafuyu sama sekali tidak mengatakan apa-apa padaku.

"Sebuah pertandingan gitar, ya .... Seperti itulah masa muda! Mungkin saja itu merupakan hal baik."

Maki-sensei tersenyum sambil menatap ke kejauhan.

"Mafuyu-chan memang tidak punya niat untuk berteman. Walau mungkin terasa sedikit tidak masuk akal untuk mendukungnya, namun ide yang cukup bagus untuk memaksanya bergabung dalam klub. Dan jika dia bergabung, Sensei akan menjadi guru pembimbing klub kalian!"

"Jadi Sensei pikir ... saya bisa menang?"

"Tidak, sama sekali tidak."

Jawab Maki-sensei seketika. Kucengkeram erat gagang menggantung dan menundukkan kepala dalam kekecewaan.

"Biarpun begitu, Sensei dengar kalau ia baru mulai bermain gitar sejak setengah tahun yang lalu."

"Yang benar?" ia mampu mencapai keahlian seperti itu hanya dalam setengah tahun? Tuhan benar-benar tidak adil.

"Tetap saja, semua orang akan mengalami hal-hal seperti ini. Iya, 'kan? Ada saat-saat ketika kamu hanya perlu melakukan hal-hal yang memang perlu dilakukan. Berikan yang terbaik, Nak. Tapi jika kamu membuat Mafuyu menangis, Sensei tidak akan begitu saja melepaskanmu."

Saat mengatakannya, Maki-sensei memberiku tamparan keras di punggung.


Malam itu, Tetsurou tidak ada di rumah. Aku menerima SMS darinya melalui ponsel, 「Ayah sedang minum-minum bareng teman, jadi Ayah mungkin tidak akan pulang malam ini,」 aku berencana menanyakan beberapa hal tentang Mafuyu, tapi pria itu tidak pernah ada di saat-saat penting begini.

Aku kembali ke kamarku dan duduk di kasur. Setelah meletakkan bas di pahaku, jari-jariku tanpa sengaja mulai memetik senar. Aku kemudian sadar kalau sedang memainkan konserto piano yang tidak kukenal dengan basku ini.

Itu adalah bagian yang Mafuyu mainkan ketika di tempat pembuangan sewaktu hari pertama kami bertemu.

Aku pergi ke kamar Tetsurou dan mulai menyusun CD dari berbagai konserto piano dari era romantisisme terkini, kemudian membawa semuanya ke ruang tamu. Aku menghabiskan sepanjang malam dengan mendengarkan CD tanpa jeda, bahkan sampai di titik di mana aku melewatkan makan malam. Namun, aku tidak berhasil menemukan komposisi itu dalam memoriku. Itu tidak mengherankan, karena di situ ada ribuan konserto piano.

Aku mematikan pengeras suara dan menyerah mencarinya.

Tiba-tiba aku teringat pernyataanku pada Mafuyu saat menyetem basku. Dan jika aku kalah, aku tidak akan pernah mendekatimu lagi, kalimat itu tiba-tiba terlintas dalam pikiranku. Aku ini sudah bicara apa? Padahal aku bermaksud untuk tidak pernah lagi mendekati ruangan itu, dengan begitu aku tidak akan pernah mendekati Mafuyu. Juga karena kursi kami tepat bersebelahan, maka mustahil bagiku untuk tidak mendekatinya. Pada akhirnya, aku pun tidak berhenti mencoba menjelaskan masalah ini dalam benakku sendiri.

Bagaimana jika aku kalah? Aku terus memikirkan itu.

Alasanku untuk berbicara dengan Mafuyu juga akan ikut menghilang, 'kan?

Dan aku sudah bilang kalau tidak akan bergabung dalam Klub Riset Musik Rakyat jika kalah. Itu karena aku tidak memiliki keyakinan dalam memulai sebuah band bersama senpai dan Chiaki.

Aku teringat lagu yang kami mainkan di ruang rekaman hari itu — <Kashmir>. Itu adalah pengalaman yang amat manis yang membuatku terengah-engah. Tubuhku rasanya seperti terbakar dalam api.

Tidak ada kerugian apa pun jika kalah — itu adalah sebuah kebohongan besar.

Tanpa kusadari, ada banyak hal-hal di sekitarku yang mungkin saja akan hilang, hal-hal yang tidak ingin kulepaskan.

Jika aku kalah—

Kugelengkan kepala dan membuang pikiran itu keluar dari otakku. Tidak ada gunanya memikirkan semua itu sekarang.

Besok— yang bisa kulakukan hanyalah memberikan yang terbaik dan beraksi!


0 komentar:

Posting Komentar