Bokushinu Jilid 1 Prolog

On Minggu, 23 Oktober 2016 0 komentar

=========================================================
Oke, postingan ini adalah tanda dari kebangkitan blog ini... Tanpa tangung-tanggung, menggandeng salah satu fantranslation teman untuk bekerja sama dalam menggarap seri ini... Diterjemahkan oleh agan Hiiro-sama dari Sekki & Kyou Translation dan ane sebagai penyuntingnya...
Semoga kerja sama proyek  seri ini bisa berjalan lancar sampai selesai... Amin...
Sekadar info, walau kami memampang hasil terjemahan seri ini di fantranslation masing-masing, tapi seri ini bisa agan sekalian baca satu hari lebih cepat di Sekki & Kyou Translation...
Selamat menikmati....
=========================================================


Prolog


Pendarahannya tidak berhenti.

Di hari itu, seorang gadis meninggal di hadapanku.

Hujan turun selagi tubuh itu — yang dibasahi oleh keruhnya air hujan — akhirnya berhenti berdetak.

Tragedi kecil ini — yang terjadi di sebuah tempat tidak dikenal dalam dunia ini — menyedot perhatian orang-orang yang sedang menjalani keseharian mereka.

Kerumunan orang-orang — yang dipenuhi oleh hawa penasaran — menyaksikan adegan itu selagi gelapnya hujan di atas ambulans dengan samar-samar merefleksikan siluet sebuah mobil polisi.

Suara dari sirine menutupi riuhnya keadaan sekitar, begitu agresifnya hingga sebanding dengan membuat riak pada laut yang dalam.

Tidak lama setelahnya, hujan yang tanpa henti itu membilas habis segalanya.

Satu-satunya jejak yang tertinggal dari sang gadis adalah darahnya yang tercecer.

Hanya bekas darah itu saja yang tidak menghilang, seolah telah mengering.

Aku — yang tidak akan pernah kembali pada kehidupan normalku — mengambil sebuah buku kecil yang jatuh di dekat kakiku.

Buku kecil itu benar-benar basah, terendam dalam cairan merah.

Foto-foto di dalamnya sudah rusak hingga tidak mungkin melihat seperti apa gambarnya. Hanya sebuah nama yang masih bisa diuraikan.

Hikari Yumesaki.

Nama seorang gadis yang sudah meninggalkan dunia ini.

Ini adalah nama yang diberikan untuk seseorang yang bercita-cita meraih cahaya mimpi dan masa depannya.

Masa depan yang tidak akan pernah datang padanya.

Sebuah cerita yang telah berakhir yang tidak dapat lagi berlanjut.

Karena dia—

"Aku akan mengambil separuh masa hidupmu."

Kuangkat kepalaku, dan sebuah ketidaknyamanan mulai kurasakan.

Sesuatu itu muncul di sisi jalan gelap di hadapanku.

Sebuah sosok mencurigakan, dengan pakaian serba hitam dari kepala sampai kaki, sedang berdiri di sana.

Sosok itu, bahkan tanpa memegang payung, dia tetap kering di bawah guyuran hujan.

Akan tetapi, tampak seperti pohon mati yang membusuk ....

"Gunakan separuh masa hidupmu untuk menyelamatkannya."

... ucap sosok tersebut dengan dengan nada seseorang yang sedang menahan tawa.

Lalu, aku pun menjawab,

"Ayo, berengsek."

Ada sesuatu yang ingin kutanyakan pada gadis ini.

Saat-saat dia meninggalkan dunia ini ..., apa pendapatnya mengenai dunia yang kejam ini.



Read more ...»

SPS Jilid 1 Bab 10

On Rabu, 12 Oktober 2016 0 komentar

=========================================================
Dan... Postingan setelah ini adalah postingan kebangkitan dari blog ini... Yang ditandai dengan proyek kerjasama antar fantranslation untuk seri ini...
Passion adalah suatu komposisi musik yang disusun untuk memperingati penderitaan dan kematian Kristus berdasarkan keempat Injil...

Sekali lagi ane tawarkan, kalau ada yang suka dengan seri Chuunibyou dan ingin menjadi kontributor penerjemah dalam proyek ane di seri tersebut, silakan PM ke e-mail ane atau PM ke FP blog ini di FB...
(Ngotot banget sih...)

Selamat menikmati....
=========================================================


Bab 10 - Sang Burung Api, Mancanegara, Tas Obat


Malamnya, setelah selesai makan malam seorang diri, aku mulai berlatih bas. Di tengah latihan, kudengar suara nyaring dari benda-benda yang berjatuhan dari arah pintu utama.

"Oh .... Sebuah anugerah tiada tara bisa mati terkubur dalam tumpukan mahakarya musik dari berbagai zaman ...."

Di dekat pintu, Tetsurou yang mengenakan jas — sebuah pemandangan langka — sedang tertimbun oleh tumpukan CD yang berjatuhan. Beliau menatap langit-langit sambil bergumam sendiri.

"Sebelum kamu mati, tinggalkan dulu uang yang cukup supaya aku bisa tenang menjalani hidup."

Bicara soal itu, seingatku, aku sudah merapikan CD-CD ini, 'kan? Sesering apapun aku merapikannya, CD itu pasti akan ditumpuk sampai setinggi-tingginya — percuma kalau ditegur. Aku mengeluh sambil menggali tumpukan CD yang menimpa Tetsurou.

"Kalau aku mati, kamu harus menaruh partitur <Sang Burung Api> gubahan Stravinsky di dalam petiku. Jangan mainkan <Misa Massal pada D minor> atau semacamnya, mainkan saja <Passion Santo Matius>! Setelah itu aku akan menimpa catatan yang dipegang Yesus Kristus lalu bangkit kembali dalam dua hari."

"Itu tidak perlu. Pergi saja ke neraka dan jangan kembali! Bukankah sudah kuberi tahu kalau mau minum alkohol harus bilang dulu padaku?"

"Ah, hmm. Sudah lama aku tidak bertemu teman sekelasku dari sekolah musik .... Hoek ...."

Mahakarya musik dari berbagai zaman, bersama dengan satu-satunya jas mahal milik Tetsurou, menjadi kotor karena cairan berbau asam. Orang tua ini sudah hampir mati karena mabuk.

"Ahhhh. Ini harus dicuci."

Setelah muntah di toilet, Tetsurou kembali dengan wajah pucat. Bahkan setelah melihat betapa joroknya jas yang beliau kotori itu, beliau beralasan kalau itu bukan karena beliau. Hanya ada satu alasan kenapa Tetsurou berpakaian serapi ini. Yaitu konser. Mungkin karena bawaan dari pekerjaannya, makanya beliau sering menghadiri sebuah konser, meski begitu, beliau hanya punya satu setel jas. Harus bagaimana aku menghadapi kelakuannya itu? Yang penting, aku harus memberinya secangkir jus lemon hangat dulu biar beliau tidak mabuk lagi.

"Uuuuh, aku hidup kembali. Aku memang pria yang beruntung. Istriku pergi meninggalkanku, tapi Tuhan memberikanku seorang anak yang sangat peduli padaku."

Kenapa ibuku tidak berusaha keras memperjuangkan hak asuhku?

"Aku sudah tidak mau lagi berurusan dengan wanita. Lima teman sekelasku tidak memiliki pasangan, dan tiga di antaranya sudah bercerai!"

Tetsurou tiba-tiba dengan liriknya sendiri, menyanyikan aria <Sang Wanita yang Lincah> dari opera Rigoletto. Kututupi wajahnya dengan kantong sampah supaya diam. Harusnya beliau tahu kalau kita ini bertetangga dan jangan membuat keributan!

"Sama sepertimu yang mencoba berurusan dengan gadis itu, 'kan? Kamu sudah menyerah berlatih gitar atau apalah namanya itu, 'kan?"

"Aku masih memainkannya! Dan berhentilah memperlakukanku seperti orang bodoh!" aku menunjuk basku yang tergeletak di sofa.

"Tapi permainanmu payah, 'kan?"

"Yah, aku minta maaf kalau soal itu!" berarti suaranya terdengar sampai keluar, ya? Untuk kedepannya, kurasa aku tidak akan memakai amplifier lagi saat berlatih di rumah.

"Wah, kok bisa? Apa gadis itu sebegitu hebatnya? Ah, Ebisawa Mafuyu, kan? Tempo hari kamu sempat menyinggungya. Gadis itu lumayan juga. Tahu tidak? Ada semacam pembicaraan di komunitas kami .... Coba perhatikan, pada sampul depan musisi perempuan, foto yang digunakan biasanya foto yang diambil dari samping — terutama pianis. Kalau ia cukup manis, maka foto wajahnya sedikit dimiringkan, dan kalau ia menawan, foto wajahnya diambil langsung dari depan. Aku sudah menjalani profesi ini selama 15 tahun, dan Mafuyu adalah perempuan pertama yang kuketahui difoto dari bawah — eh? Kenapa, ya, Nao-chan? Kenapa harus sampai difoto dari bawah?

"Berisik."

Kusimburkan segelas air ke wajah Tetsurou

"Kamu ini kenapa .... Belakangan ini sikap Nao-chan dingin sekali. Jangan-jangan kamu membenciku, ya?"

"Hei, Tetsurou ...."

"Hmm?"

"Apa kamu benci dengan yang namanya PPN"

"Eh? Kenapa tiba-tiba bertanya begitu?"

"Jawab saja."

"Hmm, kalau ditanya benci atau tidak .... Kurasa hal itu tidak perlu ada dalam hidupku, jadi mungkin jawabannya adalah benci. Tapi aku sejak dari dulu sudah membayar PPN, jadi aku sudah lupa rasa bencinya itu."

"Hmm, jujur, begitulah perasaanku yang sebenarnya padamu."

"... apa aku boleh menangis?"

"Kalau mau menangis, di luar saja, sana!"

Tetsurou mengapit botol wiskinya di ketiaknya dan tampak seperti memang hendak keluar. Jika melihat betapa beliau bisa mengganggu tetangga yang lain, aku harus segera menghentikannya. Semoga beliau sadar dengan umurnya dan cepat tidur!

"Namun rasanya kamu tidak mungkin punya peluang pada Ebisawa Mafuyu. Soalnya .... Yah, kamu tahu sendiri, kamu ini anak seorang kritikus musik, dan ia juga tahu soal itu. Sebenarnya tadi aku baru kembali dari konser Ebichiri yang kebetulan diadakan di Jepang. Dan sebenarnya aku tadi juga sempat mengajaknya minum, tapi ia bilang kalau ia akan tampil secara langsung di TV, jadi sudah bisa ditebak kalau ia pasti menolaknya. Biarpun begitu, kami sempat saling mengobrol saat acara jamuan makan malam. Sepertinya untuk sebulan ini ia akan menetap di Jepang, setelah itu ia akan pergi jauh saat bulan Juni nanti. Mungkin ia akan balik ke Amerika."

"Sudah kubilang, kamu itu salah paham .... Eh?"

Ebichiri — ayah Mafuyu — berada di Jepang?

Dan ia akan kembali ke Amerika bulan Juni nanti. Kalau begitu, Juni yang Mafuyu katakan waktu itu ..., maksudnya itu?

"... lalu, soal Mafuyu? Apa ada yang kamu dengar tentangnya?"

"Hah?"

"Bukan apa-apa. Jadi ..., apa nanti ia akan ikut balik ke Amerika?"

Sekitar tahun-tahun terakhir ini, Mafuyu mungkin bepergian bersama ayahnya ke negara-negara di Eropa dan Amerika untuk tur internasional. Ia tidak perlu melakukan hal percuma seperti pindah ke sekolah kami hanya untuk satu bulan, 'kan?

"Ia mungkin tidak akan bermain piano lagi. Aku baru saja mendengar mengenai hal itu tadi, tapi tampaknya para kritikus sudah menulis ulasan-ulasan kejam tentang dirinya. Ia bahkan sampai pernah mengikuti kompetisi yang tidak ada hubungannya dengan Ebichiri, dan memenangkannya. Meski begitu, ia tetap saja dihubung-hubungkan dengan nama besar ayahnya.

"Ah ...."

Aku jadi ingat kejadian saat Mafuyu menatapku penuh dengan kebencian tempo hari. 
Keberadaan kritikus itu sendiri yang mengganggu. Mereka selalu saja menulis omong kosong, aku yakin kalau ia mengatakan itu.

"Gaya permainannya seakan mengundang kritikan itu sendiri. Contohnya, sikapnya yang tidak bersemangat; permainannya yang terlalu tenang; penyampaian terhadap bagian-bagian dalam sebuah komposisi yang buruk; musik yang terasa bagaikan serangga yang merayap; atau gaya bermain yang terlalu bergantung pada teknik .... Bahkan aku sendiri bisa langsung memikirkan kritikan kejam sewaktu ia bermain. Dan kalau aku mau, aku mungkin bisa menulis ulasan tentang permainannya hingga tiga puluh halaman. Tapi akan terasa bodoh kalau aku sampai melakukannya — ini bukan soal memainkan komposisi dengan bagus tapi soal memainkannya dengan cemerlang."

"Jadi itu alasan Mafuyu tidak bermain piano lagi?"

"Entahlah. Para kritikus lain tampaknya juga menulis tentang kehidupan pribadinya, meski itu tidak ada hubungannya dengan musik, yah, mungkin karena ia anak Ebichiri. Tahu sendiri, kalau ibunya itu orang Hungaria dan mereka sudah bercerai."

"Ah .... Jadi ia memang anak blasteran, toh."

Mendadak aku teringat kejadian saat aku memperbaiki tape recorder-nya dulu. Hongaria.

"Ah— jadi kamu tidak tahu? Yah, sebaiknya itu tidak usah dibahas lagi. Aku merasa seperti paparazzi yang sedang memburu berita."

Tetsurou membuka tutup botol wiskinya dan langsung meminumnya. Aku sudah tidak punya tenaga lagi untuk menahannya.

Saat aku menjalani kehidupan santaiku sebagai murid SMP di Jepang, Mafuyu sudah melanglang buana ke mancanegara. Di bawah tatapan keingintahuan dan benci dari sekelilingnya, ia menjalani hidup dengan rasa takut yang menggentayangi ketika memainkan piano. Kehidupan macam apa itu? Aku tidak sanggup membayangkan itu semua.

Meski begitu, aku pun kembali ke permasalahan utama. Kalau ia memang sudah tidak ingin lagi bermain piano, kenapa kini ia bermain gitar?


Keesokan harinya, saat aku berjalan menuju kelas, kudengar teman-temanku sedang berbincang soal sebuah acara di TV.

"Acaranya ditayangkan langsung?"

"Ya, sepertinya ia sudah kembali ke Jepang."

"Mereka membahas apa saja?"

"Aku bingung dengan yang mereka perbincangkan. Yah, walau tidak sebingung saat aku mendengarkan musik klasik, sih."

"Apa mereka berdua ada kemiripan?"

"Tidak sedikit pun. Hime-sama lebih mirip ibunya?"

Setelah mendengar sedikit pembicaraan mereka, aku jadi tahu kalau mereka sedang membicarakan Ebichiri. Sekilas aku melirik ke kursi Mafuyu yang kosong.

"Pembawa acaranya juga menanyakan soal hime-sama."

"Hubungan antara ayah dan anak itu tidak terlalu harmonis, 'kan?"

Sejenak aku berpikir — mereka tahu kalau Mafuyu sebentar lagi akan datang, tapi kenapa mereka masih bergosip tentang dirinya dengan suara keras?

"Nao, ayahmu itu dulunya teman sekelas Ebichiri, 'kan?"

"... kamu tahu dari mana?"

"Maki-chan yang bilang! Beliau juga bilang, saat Ebichiri masih mengajar dulu, ayahmu selalu menggoda gadis-gadis."

Maki-sensei .... Semoga beliau tidak selalu berlebihan sewaktu bercerita pada mereka.

"Eh, jadi Nao tidak tahu tentang hime-sama sebelumnya?"

"Tapi dari yang kulihat kemarin, Ebichiri selalu mengalihkan topik setiap kali pembawa acara bertanya tentang anaknya. Apa kamu tahu alasannya?"

"Eng, begini ...."

Kulepaskan basku dari bahu lalu kurebahkan ke meja. Setelah mengumpulkan keberanian, aku pun berkata,

"Berhenti menanyakan hal-hal yang berhubungan dengan dirinya, paham?"

Seluruh kelas melihat ke arahku dengan tatapan kaget. Aku berpura-pura merapikan bukuku, dan lanjut berkata,

"Jangan ganggu dirinya lagi. Ia itu bagaikan anak kucing liar yang sedang terluka — kalau kalian mendekat, ia mungkin akan langsung mencakar; tapi kalau kalian membiarkannya sendiri, ia tidak akan mengganggu. Gadis itu sudah punya sejumlah masalah sewaktu tur internasional di Amerika, itu sebabnya—"

Saat aku menjelaskannya, semua perhatian murid-murid di sekitarku langsung tertuju padaku. Bisa kurasakan sensasi menusuk pada belakang pundakku. Aku membalikkan badan, dan melihat Mafuyu sudah berdiri di depan pintu kelas. Rona merah tampak dari balik kulit cerahnya. Apa itu bawaan lahir dari ibunya yang merupakan orang Hongaria? Mata besarnya menatap ke arahku — sepertinya itu bukanlah tatapan marah, tapi lebih seperti terkejut.

"... ah, begini, aku tidak ...."

Aku tidak yakin kalau aku kini sedang merangkai kata untuk membuat alasan.

"Kamu memang ahli dalam menyebarkan berita, ya."

Gumam dirinya sambil berjalan ke arah kursinya. Sekelilingku pun sudah berpencar ke segala arah.

"Ini tidak seperti yang kamu pikirkan."

"Tolong jangan bicara padaku."

Suara Mafuyu bagaikan sepasang bilah gunting yang memotong jarak di antara kami berdua. Aku hanya bisa terdiam. Mereka yang sudah tidak di sekitarku tadi mengedip-ngedipkan mata tanda prihatin.

Chiaki yang tergesa-gesa masuk ke kelas segera setelah bel berbunyi, melintasi diriku dan Mafuyu. Ia menyadari suasana berbahaya ini.

"Ada apa ini?" ia menoleh padaku, lalu ke Mafuyu, "Kalian bertengkar lagi?"

"Aku tidak pernah bertengkar dengan anak ini, jadi jangan pakai kata lagi"

Ucap Mafuyu sambil membuang mukanya.

Chiaki hampir ingin mengatakan sesuatu, tapi aku menarik lengannya dan memohon agar jangan mengatakan apa-apa lagi.


Jangankan berbicara, bahkan Mafuyu sejak tadi tidak sekali pun menoleh ke arahku. Ia langsung bergegas keluar kelas setelah bel istirahat berbunyi.

"Ia marah ...."

"Hime-sama marah ...."

Seluruh penghuni kelas bergumam penuh penyesalan, bersama dengan tatapan-tatapan mereka yang tertuju padaku. Kali ini memang benar-benar salahku, jadi tidak ada pilihan lagi bagiku selain berdiri dan keluar kelas.

Aku berjalan ke arah lapangan menuju ruang latihan di gedung musik tua. Tidak ada gembok yang terpasang di pintu, dan pintu itu pun dibiarkan sedikit terbuka. Diam-diam kuintip ke dalam ruangan, rupanya tidak ada siapa-siapa. Ada apa ini?

Aku masuk ke dalam ruangan dan melihat gitar yang sudah tersambung pada amplifier; sebuah pick tergeletak sembrono di meja. Sepertinya ada seseorang yang baru saja masuk kemudian langsung bergegas keluar dari ruangan ini. Itu berarti, harusnya tidak apa-apa kalau aku menunggunya di sini, 'kan? Aku pun tersadar kalau aku masih belum memikirkan cara untuk meminta maaf padanya. Kenapa Mafuyu sampai semarah itu padaku?

Aku duduk di alas empuk yang diletakkan di atas meja sambil berpikir bagaimana caranya meminta maaf. Tidak sengaja kujatuhkan pick tadi ke lantai saat mengibaskan tanganku. Mungkin itu pick milik Mafuyu. Aku pun menyadari sesuatu saat aku mengambilnya — bentuknya agak aneh.

Bicara soal itu, pick adalah sepotong plastik tipis yang berbentuk segitiga atau seperti onigiri. Walau begitu, pick Mafuyu ini punya semacam cincin plastik yang menempel di kedua belah sisinya.

Kucoba untuk menyelipkan jempol dan jari telunjukku pada cincin plastik tersebut, dan posisi jariku sekarang seperti sedang memegang pick pada umumnya. Biarpun begitu, belum pernah kulihat pick yang semacam ini. Aku pernah lihat pick khusus telunjuk atau pick khusus jempol yang aman untuk jari-jemari tersebut, tapi pick dengan dua cincin plastik ....

"Jangan sentuh!"

Sebuah suara datang dari arah pintu, membuatku hampir menjatuhkan pick tersebut. Mafuyu mendorong pintu tersebut dengan pundaknya. Kukembalikan pick itu ke posisi semula kemudian menjauh dari meja.

"Anu, begini .... Aku minta maaf."

Aku menunduk dan melihatnya sedang menggenggam kantung plastik kecil berwarna putih di tangan kirinya .... Apa itu tas obat?

"Apa kamu sedang tidak enak badan?"

Mafuyu kaget mendengar pertanyaanku, dan berkata, "Bukan apa-apa," ia lalu menaruh tas obat itu di bawah bantal. Apa ia baru kembali dari UKS?

"Kamu mau apa?"

Sambil berdesah, Mafuyu menanyakan itu padaku. Ini tidak seperti caranya yang biasa ia pakai untuk mengusirku. Justru lebih menakutkan jika ia bersikap seperti ini.

Tanpa basa basi kukatakan, "Aku ke sini untuk meminta maaf padamu," di saat aku hendak memikirkan kalimat selanjutnya, Mafuyu berkata,

"Kenapa? Kamu meminta maaf untuk apa? Ceritakan saja soal diriku ke semua orang! Aku sama sekali tidak peduli."

"Hei, biar aku jelaskan, jadi dengarkan aku dulu," kataku sambil menahan emosi. "Kemarin, Tetsurou, yang juga ayahku, pulang ke rumah dalam keadaan mabuk dan bercerita soal gosip yang didengarnya dari para kritikus lain. Beliau bilang kalau ada beberapa kritikus di Amerika yang menulis hal-hal buruk tentangmu. Meski begitu, beliau tidak pernah mengatakan apa pun secara rinci, itu sebabnya—"

"Itu sebabnya kamu tidak usah meminta maaf padaku!"

Bisa kurasakan emosi yang seketika membakar wajahku.

"Berhenti menyela omongan orang lain!"

"Apa, jadi kamu ke sini untuk melampiaskan kekesalanmu padaku?"

"Bukan begitu ...." kutahan ucapanku sambil berusaha sebisa mungkin menjaga emosi. "Baiklah, aku mengerti. Aku ke sini untuk meminta maaf atas nama para kritikus yang selalu saja menulis omong kosong."

Kebiasaanku yang sering mengatakan omong kosong muncul kembali. Mafuyu mengedip-ngedipkan matanya karena kaget, yang kemudian diikuti dengan ekspresi terkejut.

"Tapi kamu bukan seorang kritikus, 'kan? Yang kutahu itu ayahmu."

"Aku termasuk di antaranya."

Mafuyu memiringkan kepalanya. Tatapannya penuh dengan kebingungan.

"Ya, itu benar. Aku sudah menulis artikel mengatasnamakan Tetsurou hingga sekitar empat atau lima kali, dan artikel itu rupanya terbit di majalah musik. Itu sebabnya, aku harusnya wajib untuk meminta maaf padamu, 'kan?"

Mafuyu lalu menggigit bibirnya. Setelah itu, ia melihat lantai kemudian menggelengkan kepala.

"Aku tidak mengerti apa sebenarnya yang mau kamu katakan. Kamu sebenarnya mau mengatakan apa?"

Tiba-tiba ia berkata dengan suara yang agak bergetar.

"Kenapa? Kenapa kamu meminta maaf padaku? Padahal aku sudah sering berlaku kejam padamu."

"Jadi kamu sebenarnya sadar, ya?"

"Dasar bodoh."

Mafuyu mengangkat kepalanya. Matanya dipenuhi warna suram layaknya langit yang mendung — persis seperti saat pertama kali aku bertemu dengannya. Terasa lembab seakan sebentar lagi turun hujan.

"Aku tidak peduli dengan hal-hal kejam itu. Terserah bagaimana mereka menulis tentangku atau apa yang mereka tulis tentangku, aku tidak peduli. Aku tidak seperti itu .... Tidak seperti itu ...."

Samar-samar kudengar suara Mafuyu yang beriak dari kejauhan, dan perlahan terasa sulit untukku bernapas. Aku jadi berpikir — ada di mana sebenarnya dirinya itu? Gadis yang susah dipahami ini, dengan aura ungu suram yang mengelilinginya, harusnya ia berada tepat di depanku — tapi kenyataannya, seberapa jauh jarakku dengan dirinya? Kenapa ... suara dan tanganku tidak mampu menggapainya?

"Kenapa kamu peduli denganku? Ini sama seperti yang dulu. Kenapa kamu menolongku? Kumohon, tidak usah pedulikan aku lagi. Karena aku pun akan segera menghilang."

Mafuyu menyandarkan gitarnya lalu duduk di atas meja, ia rangkul lututnya hingga menyentuh dada dan membenamkan wajahnya pada kedua lengan. Kesuraman dari derasnya hujan terasa di sini, namun hujan tersebut hanya turun pada dirinya.


Aku berjalan keluar dari ruangan, tapi aku masih bisa mendengar suara samar dari hujan yang masih turun. Meski begitu, langit pada bulan Mei ini justru cerah dengan satu atau dua awan di atas gedung.

Aku berpikir dalam benakku — aku pasti melupakan sesuatu; aku pasti melewatkan sesuatu yang penting tentang Mafuyu. Meski begitu, aku tidak tahu apa itu. Hingga saat ini, aku merasa kalau aku mulai memahami sebuah hal, namun perasaan tersebut ditelan semua oleh awan mendung khayalan yang berada di dekat gadis itu. Kupaksa tubuhku untuk bergerak, serasa basah kuyup, aku pun berjalan kembali menuju kelas.


Read more ...»

SPS Jilid 1 Bab 9

On Rabu, 05 Oktober 2016 0 komentar

=========================================================
Postingan persiapan sebelum bangkit (memangnya dari kubur?)...
Untuk Bab 9 dan 10, yang menjadi penerjemahnya adalah agan Cievielsan...
Untuk 'International' Keenam, pada teks aslinya tertulis "第六インターナショナル" (Dairoku International), di mana インターナショナル (International) merujuk pada sebuah organisasi, partai politik atau gerakan aktivis lintas negara...
Oiya, kalau ada yang suka dengan seri Chuunibyou dan ingin menjadi kontributor penerjemah dalam proyek ane di seri tersebut, silakan PM ke e-mail ane atau PM ke FP blog ini di FB...
Selamat menikmati....
=========================================================


Bab 9 - Paus, Paganini, Pejuang


"Kalau Ebisawa-san tidak suka bermain gitar, kenapa ia masih memainkannya?"

Chiaki menyambungkan pemutar musik miliknya dengan pengeras suara mini, terdengar alunan komposisi <Rangkaian Inggris> untuk iringan sarabande. Ia bertanya padaku sambil mengetuk lututnya dengan jari mengikuti irama komposisi itu.

"Dia mahir sekali bermain piano. Bahkan sewaktu ia bermain gitar, semua bagian yang dimainkannya itu komposisi untuk piano, 'kan?"

"Mungkin dia belum tahu banyak soal gitar."

Kagurazaka-senpai menyebar banyak partitur ke lantai, dan dengan serius mengamatinya sambil menjawab pertanyaan Chiaki.

Karena Klub Riset Musik Rakyat masih belum resmi diakui, aktivitas klub ini sering dilakukan di atas atap. Meski aku bukan salah satu anggotanya, senpai selalu saja mengajakku ke atas atap sepulang sekolah — Aku curiga kalau secara perlahan ia berencana menjeratku untuk bergabung dalam klub. Karena ada rapat anggota klub, makanya Chiaki juga di sini.

"Jadi, apa pendapatmu setelah mendengarkan CD mafuyu?"

Kemarin, sekitar lima hari yang lalu sejak aku berlatih sesuai intruksi senpai, ia pernah bilang padaku.

"Besok tolong bawakan semua CD dan partitur yang Mafuyu mainkan. Karena kamu tinggal dengan seorang kritikus musik, pasti di rumahmu menyimpan seluruh koleksi karyanya, 'kan?"

Partitur dan CD itu sudah pasti ada di rumahku, tapi yang jadi masalahnya adalah untuk mencari kesemuanya. Kuhabiskan waktu semalaman untuk mencari partiturnya di perpustakaan Tetsurou yang berantakan itu, dan alhasil, aku hampir telat datang ke sekolah. Senpai tampak senang sewaktu melihat partitur-partitur yang kubawa. Yang kutahu, senpai kini sedang mencocokkan partitur sambil mendengarkan permainan Mafuyu.

"Rupanya permainan Ebisawa Mafuyu berkutat pada gubahan Bach; tapi tidak mungkin ia memainkan fugue dengan gitar — secara logika itu mustahil, 'kan?"

"Bisa jadi," aku mengangkat bahu.

Fugue merupakan istilah dalam bahasa Italia yang berarti melarikan diri. Gaya komposisi ini berkembang di awal era musik modern — tepatnya era Baroque — yang kemudian disempurnakan oleh Bach. Gaya ini memanfaatkan berbagai suara yang masuk pada waktu yang berbeda dan saling berkejaran dengan melodi awal — karena itu, biasanya istilah itu juga disebut nada yang berlarian.

Artinya, karena gitar biasanya hanya memainkan satu melodi saja, maka sangat sulit bagi Mafuyu jika ingin memainkan fugue.

"Nah, kalau kamu ingin menantangnya, kamu harus bisa memainkan pada bagian 'fugue'-nya ...."

"Begitu .... Eh? Apa Senpai bilang?"

Seketika tanganku berhenti memetik bas.

"Jadi yang katanya ada rapat angota itu ternyata untuk ini?"

"Memangnya kamu kira untuk apa?" ucap senpai kaget. "Shounen, Kupikir sekarang waktunya kamu untuk sadar, perbedaan kemampuanmu dengan Ebisawa Mafuyu diibaratkan seperti semut putih dengan paus biru. Mustahil menang bagimu jika tidak memikirkan strategi."

"Aku tahu, tapi apa tidak bisa kasih perumpamaan yang sedikit halus?"

"Bagaimana kalau apel dengan bumi?" sambung Chiaki.

Itu lebih buruk!

"Biar bagaimanapun, kamu tidak punya kesempatan jika melawannya dengan komposisi Bach," tandas senpai.

"Eh, tunggu, jadi aku harus memainkan musik klasik?"

Senpai menengadahkan pandangannya dari partitur dan tampak lebih terkejut.

"Memangnya apa lagi? Apa kamu punya rencana lain untuk memberi pelajaran padanya?"

"... eng, ya ...." sejujurnya aku tidak pernah memikirkan hal ini. "Aku memang masih belum yakin, tapi kurasa jika sesuatu seperti aku memainkan semacam musik rock padanya, mungkin saja ia bisa sedikit kagum padaku?"

"Kamu pikir, orang yang punya teknik tinggi dalam bermain gitar seperti dirinya bakal terguncang karena permainan yang mau kamu tampikan itu, hah? Ingat — aku yang susah kalau kamu sampai melupakan ini — aku ingin Ebisawa Mafuyu masuk ke Klub Riset Musik Rakyat. Yang berarti, aku menginginkan dirinya sebagai salah satu anggota band."

"Eh?"

Lalu?

"Jadi, nantinya kita harus bisa memainkan sebuah komposisi bersama dengan Ebisawa-san, 'kan" sambil membalikkan partitur yang di lantai, Chiaki lanjut berkata, "Itu berarti, kita harus memainkan komposisi yang Ebisawa-san tahu."

Kagurazaka-senpai lalu mengelus kepala Chiaki dengan lembut. Begitu, jadi karena itu kita akan memakai fugue. Bagian yang Mafuyu sukai, tapi tidak bisa ia mainkan sendiri.

Basku sudah dimodifikasi agar sesuai dengan timbre gitar Mafuyu, yang berarti .... Untuk inikah tujuannya? Tapi ..., eh? Jadi aku yang bergabung ke klub juga termasuk dalam rencananya? Jadi semua itu sudah dipikirkan oleh senpai? Padahal sudah jelas kukatakan kalau aku hanya menginginkan ruangan itu, dan bukan untuk bergabung ke dalam klub.

"Bagaimanapun juga, ia tidak akan langsung suka dengan permainan kita, bahkan jika kita sudah hati-hati memilih salah satu fugue dari Bach .... Selain itu, meski kita berhasil menyeretnya ke dalam pertarungan ini, keahlian Shounen tidak bisa mengimbangi gadis itu hingga saat-saat terakhir, bahkan mungkin bisa langsung selesai begitu saja," senpai mengigit bibir bagian bawahnya sambil melempar partitur yang ia pegang. "Meski begitu, kita masih punya kesempatan jika Shounen di pihakku dan menjalani latihan bertahun-tahun, tapi hal semacam itu butuh banyak waktu."

Aku juga tidak ingin latihan yang semacam itu! Rasanya hidupku sudah tidak akan sama lagi jika menjalani latihan semacam itu.

"... hei, Nao. Bukankah Ebisawa-san pernah bilang kalau ia akan menghilang di bulan Juni?"

Setelah mendengar perkataan Chiaki tadi, aku lalu menatap ke atas langit dan perlahan mulai mengingat kata-kata itu. Seingatku, Mafuyu mengatakan itu di hadapan seluruh penghuni kelas di hari ia baru pindah ke sekolah kami. Karena berbagai hal tidak menyenangkan yang ia lakukan setelahnya, aku jadi benar-benar lupa soal ucapannya tersebut.

Kata-katanya itu — apa yang sebenarnya ingin ia sampaikan?

Senpai lalu bertanya pada Chiaki, "Menghilang di bulan Juni? Apa setelah itu ada lagi yang dikatakannya?"

Chiaki menekan bibir bagian bawahnya dengan jari sambil berpikir sejenak sebelum menggelengkan kepala.

"Aku akan menghilang di bulan Juni, jadi kumohon, lupakan saja aku, itu saja yang dikatakannya. Apa maksudnya? Apa ia akan pindah sekolah lagi? Atau ia akan belajar di SMA yang berafiliasi dengan sekolah musik?"

"Kalau begitu, gawat," senpai melipat kedua tangannya lalu lanjut berkata, "Kalau kita bisa mengajaknya bergabung ke klub, aku bisa memakai pesonaku untuk mengikatnya. Biarpun begitu, semua akan berantakan kalau ia keburu menghilang sebelum itu terjadi."

"Senpai, Undang-Undang Kesusilaan itu ada. Senpai tahu sendiri, 'kan? Senpai tidak bisa seenaknya bertindak di luar batas kewajaran."

"Jangan khawatir. Aku bisa membuatnya terpesona padaku tanpa melanggar tindakan asusila."

Lalu apa maksud dari perilaku penuh hasratnya tadi?

"Jadi ..., Shounen, kalau kamu tidak punya ketetapan hati untuk mati demi cinta dan revolusiku .... Oh!"

Tiba-tiba Senpai mematikan dicsman-nya.

"... ada apa?"

"Ebisawa Mafuyu datang."

Aku melirik ke bawah melalui pagar dan melihat punggungnya. Dengan rambut panjangnya yang berwarna merah tua itu, seketika ia langsung lenyap ke dalam gedung musik lama. Aku yakin senpai tidak melihatnya, tapi dari mana ia tau kalau Mafuyu datang? Apa ia seekor hewan buas?

Perlahan bersama-sama kami merebahkan tubuh ke lantai dan dengan sabar menunggu. Beberapa detik kemudian, terdengar suara gitar. Eh? Komposisi apa ini? Rasanya aku pernah mendengar ini sebelumnya, tapi aku tidak bisa mengingatnya. Petunjuk yang kudapat adalah kalau ia memainkan gubahan Liszt.

"—Ini Paganini."

Ucap senpai di telingaku. Aku jadi ingat.

Niccolò Paganini, seorang violinis yang dijuluki sang Iblis dikarenakan teknik permainannya yang begitu mumpuni. Ia juga cukup berbakat sebagai komposer, tapi karena tidak percaya diri, ia tidak pernah merilis komposisinya itu. Karenanya, semua karya-karyanya itu sudah hilang entah ke mana.

konserto dan capriccio'violinnya — bersama dengan 'etude' piano yang digubah Franz Liszt berdasarkan capriccio-nya — mungkin satu-satunya karya yang ditinggalkannya pada era musik modern.

Yang Mafuyu mainkan sekarang adalah etude gubahan Liszt.

Serasa seperti tulang di dalam tubuhku akan retak oleh getaran seintens itu jika aku mendengarnya lebih lama. Chiaki pun merasa ngeri mendengarnya. Permainan yang penuh amarah.

"... begitu ..., Paganini, ya."

Lagi-lagi senpai bergumam. Aku berbalik arah, dan melihat ia sedang mencari-cari dalam tumpukan CD Mafuyu dengan tampang serius; tangan kirinya pun ikut dipakai memeriksa partitur. Ada apa ini?

Akhirnya, senpai menemukan CD dan partitur yang ia cari.

"Ketemu."

"Semua itu mau dibuat apa?"

"Shounen, apa aku boleh meminjam ini?"

"Ya, boleh saja ...."

"Kalau begitu, aku pulang duluan, ya. Ada lagu yang ingin kugubah."

"Maksudnya, lagu yang tadi?"

"Yak, Shounen — Paganini. Kita akan lakukan persis seperti yang Paganini lakukan dulu. Kita bisa menang dengan ini."

Wajah senpai dipenuhi oleh semacam energi, walau aku sendiri masih bingung. Maksudnya itu apa? Semua yang dibawanya tadi bukanlah gubahan Paganini—

"Itu sudah pasti. Orang yang bisa mengajari Beethoven hanyalah Beethoven seorang, 'kan?"

Sekejap Senpai mengedipkan matanya dengan manis sebelum turun ke bawah sambil membawa partitur dan CD. Seperti biasanya, ia selalu mengatakan yang orang lain tidak mengerti. Yang Paganini lakukan dulu?

Meski sekeras apa pun memikirkannya, aku masih saja tidak mengerti. Jadi kurebahkan basku ini di paha.

"Senpai tampak senang sekali—"

Chiaki bergumam sendiri sambil menatap Senpai yang meninggalkan kami berdua. Yah, perempuan itu memang selalu terlihat senang, 'kan?

"Aku tidak menyangka kalau senpai begitu menyukai Nao."

"Yang diinginkannya itu Mafuyu, bukan aku. Aku ini hanya jembatan penghubung antara kedua orang itu."

Chiaki menyipitkan matanya lalu menatapku, sepertinya ia merasa tidak puas terhadap sesuatu.

"... apa?"

"Hmm— tidak apa-apa."

Tiba-tiba Chiaki berdiri lalu duduk tepat di belakangku, punggungnya bersandar di punggungku. Karena terkejut, aku sedikit memajukan posisi dudukku, tapi karena ia menyandarkan punggungnya kembali, aku jadi tidak bisa bergerak.



"Senpai bilang kalau kita ini seorang pejuang."

Tiba-tiba terdengar suara Chiaki.

"... pejuang?"

"Iya. Kamu belum pernah dengar? Klub Riset Musik Rakyat ini hanyalah sebuah garda untuk menipu Dunia. Sebenarnya, kita ini adalah pasukan revolusi."

"Tidak, sama sekali tidak," sebuah garda untuk menipu dunia? Senpai bilang begitu? Ayolah!

"... apalagi, ya? Senpai juga pernah bilang, International Keenam atau Partai Garda Depan atau apalah itu."

Bukankah hal semacam itu bisa menyesatkan murid-murid mengenai pergerakan yang terjadi pada sebuah era? Lagi pula, apa maksudnya yang keenam? Memangnya yang kelima sudah ada?

"Aku tidak tahu mana di antara kata-katanya yang memang sebuah kebenaran dan mana yang hanya sebuah candaan."

"Bisa jadi semua perkataanya tadi itu ternyata benar, 'kan?" Chiaki tertawa, "Tapi bagaimana kalau memang hanya sebuah candaan? Tidak mungkin juga kamu bisa memahami kebenaran dari kata-kata candaan yang senpai buat. Ya, 'kan?"

"Oh— kurasa bisa juga seperti itu."

"Saat kompetisi musim panas lalu, ingat tidak, sewaktu aku cedera karena kesalahanku sendiri? Saat itu, dokter bilang kalau aku selamanya tidak bisa lagi untuk berlatih judo."

"Lo, bukannya dokter bilang kalau itu hanya sebulan saja?"

"Hmm— aku bohong padamu. Waktu itu Nao sangat khawatir, karena itu aku tidak bisa mengatakan yang sebenarnya."

Jadi semua perkataan dokter waktu itu juga bohong?! Aku merasa bersyukur sewaktu melihat dirinya yang baik-baik saja setelah mengalami cedera, tapi setelah kuingat lagi, rupanya saat itu aku memang bodoh sekali.

"Aku benar-benar merasa depresi, tahu? Dari ekspresimu saja sudah bisa terbaca — kamu pasti berpikir kalau cederaku ini sangat serius. Aku tidak sanggup mengatakan yang sebenarnya karena hal tersebut sudah lama berlalu."

"Aku ... tidak pernah menyangka kalau sampai seserius itu."

"Ya, sebenarnya memang seserius itu."

Chiaki lalu membenturkan belakang kepalanya ke kepalaku.

"Seandainya aku tidak pernah bertemu Kagurazaka-senpai, mungkin selamanya aku akan merahasiakan ini darimu."

Ia mampu berhenti dari judo karena sekarang ia bermain drum — apa itu yang sebenarnya mau ia katakan? Tapi apa Chiaki memang sepeka itu?

"Dulu aku sering kabur dari rumah saat larut malam, berkeliling sendirian di sekitar stasiun. Banyak orang yang datang mau mencari gara-gara denganku. Karena aku sering dikira laki-laki — ditambah, aku tidak bisa menggunakan kekuatanku karena cedera — aku jadi sering melalui masa-masa sulit. Biarpun begitu, aku masih bisa meladeninya asal tidak lebih dari tiga orang."

Justru yang benar itu jangan diladeni!

"Saat itu aku pernah dikejar, dan aku berlari hingga ke lantai dasar sebuah gedung. Setelah itu aku tersadar kalau aku sedang berada di kelab pertunjukan musik, dan tiba-tiba senpai menghadang mereka yang sedang mengejarku. Senpai sungguh keren — senpai pun membelikanku minuman dan menyuruh mereka untuk membayar tiket masuk.

... itu dibilang keren?

"Ah, tapi senpai juga menyuruhku untuk membayar tiket masuk."

"Sudah kuduga."

"Karena saat itu aku tidak bawa uang, aku hanya bisa membayarnya dengan tubuhku ini."

Rasanya saat ini juga aku ingin memukul kepalanya dengan kipas kertas seperti acara lawak di TV, tapi kuurungkan.

"Jadi, maksudnya pejuang tadi itu apa?"

Sebutan itu terdengar seperti istilah yang menggambarkan suara dengkuran dalam film-film.

"Yak, senpai pernah menjelaskan soal itu, untuk melakukan sebuah revolusi, setidaknya senpai membutuhkan tiga orang lagi. Ketua, bendahara dan semacam komandan pasukan. Dengan bergabungnya Nao, berarti tinggal Ebisawa-san saja."

"Tunggu, aku belum bilang setuju untuk bergabung, 'kan?"

Tiba-tiba sandaran punggung Chiaki tidak kurasakan lagi. Aku jatuh mengenai lantai dan kepalaku membentur dengan cukup keras — rasa sakitnya menyebar sampai ke rahang.

"Uh ...."

Setelah aku membuka mata, kulihat wajah Chiaki dalam pandangan terbalik, menatapku dari dekat. Aku menelan ludah karena terkejut.

"Tidak ada lagi alasan bagimu untuk menolak, tahu? Lagi pula kamu juga sudah membeli bas."

"Soalnya itu—"

Chiaki memegang kepalaku di kedua sisi dengan kedua tangannya. Aku tidak bisa lagi bergerak.

"... apa karena Ebisawa-san?"

Karena Ebisawa-san — itu sedikit berbeda dari yang hendak kukatakan, meski begitu, aku menganggukkan kepalaku tanpa sadar.

“Kenapa? Kenapa semua ini karena dirinya? Kamu tidak harus sampai memaksa diri demi dirinya, 'kan? Dan lagi, belakangan ini kamu sudah sering berlatih tanpa henti, teknik permainanmu juga semakin berkembang. Kamu tahu? Aku sendiri terkejut dengan dirimu yang sekarang."

Aku tidak tahu bagaimana menjawabnya jika ia menanyakan hal itu lagi padaku.

"Semua itu kulakukan demi mendapatkan kembali ruanganku," jawaban itu mungkin terdengar seperti alasan yang dibuat-buat.

Soalnya, jika aku memakai alasan karena ingin mendengarkan CD-CD-ku dengan tenang sepulang sekolah, pasti akan muncul saran yang berupa cara -cara alternatif dalam mendengarkan CD-CD tersebut.

Kalau begitu, apa ini demi reputasi musik rock? Atau demi harga diriku sendiri? Sehebat apa pun aku menjelaskan, semuanya tidak akan terasa benar. Biar bagaimanapun, aku tetap harus menantang dirinya.

Untuk beberapa saat, aku memikirkan hal tersebut di otakku. Chiaki lalu melepaskan pegangannya dan membantuku mengangkat tubuh bagian atasku.

"Bagaimana caranya kalian berdua bisa saling kenal?"

Chiaki kembali duduk dan bersandar di punggungku lalu menanyakan hal tersebut.

"Kenapa kita malah membahas soal itu?"

Sulit untuk menjelaskan soal yang terjadi saat itu, itu sebabnya aku tidak punya keinginan membicarakan hal tersebut.

"Tadi aku sudah bercerita tentang perkenalanku dengan senpai. Sekarang giliranmu."

Aku tidak mampu memikirkan alasan yang bagus untuk menolaknya — Chiaki pun kembali membenturkan kepalanya ke belakang kepalaku — membuatku mulai mengingat kejadian waktu itu. Aku pun bercerita tentang toko yang penuh dengan sampah layaknya akhir dunia, begitu pula tentang Mafuyu yang memainkan sonata piano.

Ada satu bagian yang tidak kuceritakan, yaitu bagian di mana rongsokan-rongsokan di sana mengeluarkan suara seperti orkestra.

Kemungkinan ia tidak akan percaya — dan untuk beberapa alasan, lebih baik hal tersebut tetap kurahasiakan, bahkan untuk orang seperti Chiaki.

"Tempat itu sepertinya menarik. Kapan-kapan aku mau ke sana, ah."

"Jangan, tempat itu tidak menarik sama sekali."

Tumpukan sampah yang sangat besar layaknya sisa-sisa tulang-belulang korban hasil perang itu dibiarkan membusuk dari waktu ke waktu — di antara tumpukan tersebut, berdiri sebuah piano. Semua terasa sunyi seolah gambaran akhir dunia terpapar di tempat itu — Mafuyu mungkin satu-satunya orang yang masih bisa hidup di tempat tersebut.

Aku mencoba untuk mengingatnya lagi, mengingat alunan melodi dari sonata piano yang dimainkan Mafuyu saat itu. Melodi yang terbentuk dari rangkaian arpeggio, seperti gelombang di permukaan laut yang bergerak secara perlahan. Apa itu gubahan Debussy ..., eh, tunggu, apa mungkin Prokofiev, ya? Aku masih tidak bisa mengingat komposisi yang dimainkannya kala itu.

Ditambah, itu rasanya seperti sesuatu yang tidak bisa disentuh. Waktu itu Mafuyu bilang padaku kalau ia ingin agar aku melupakan komposisi yang dimainkannya itu.

Kalau begitu, komposisi tersebut pasti menyimpan sebuah cerita. Bagi Mafuyu, komposisi tersebut bisa mengarah pada suatu rahasia yang dipendamnya.

Dan aku pun tersadar kalau aku benar-benar tidak mengerti tentang Mafuyu.

"Intinya ...."

Suara Chiaki tiba-tiba terdengar dan membuyarkan lamunanku.

Tanpa kusadari, Chiaki sudah berjongkok di depanku sambil menatap mataku.

"Kamu begitu peduli terhadap Ebisawa-san, 'kan?"

"Hmm ..., hmm?" samar-samar kujawab, "Eh ..., apa? Kamu ini bicara apa?"

"Tidak usah pura-pura bodoh."

Chiaki menyunggingkan senyum yang tampak dibuat-buat sambil menepuk dahiku. Setelahnya, ia pun berdiri.

"Baiklah, aku mau pulang dulu. Panggil saja aku jika kamu butuh teman latihan. Yah, tapi sepertinya itu tidak perlu."

Chiaki lalu berjalan masuk ke dalam gedung tanpa menoleh ke arahku. Kini tinggal aku sendiri di atas atap yang luas ini dengan ditemani oleh alunan melodi kesepian yang Mafuyu mainkan di gedung bawah.

Kenapa semua perempuan di sekitarku ini punya pribadi yang rumit? Kugelengkan kepala sembari tanganku kembali mengambil bas.

Tiba-tiba aku teringat kejadian saat Mafuyu naik ke atap sini tempo hari.

Setelah semua yang kulalui hari ini, aku mulai kembali berlatih seusai menyetem basku.


Keesokan harinya, setelah ia datang ke kelas, Mafuyu menyerahkan sebuah benda persegi berwarna abu-abu yang dikeluarkan dari tasnya padaku. Benda itu dibungkus dengan rapi — apa ini?

"Nih ...."

"Eh? Apa?"

Dia menyodorkan benda itu ke tanganku. Kuperhatikan benda tersebut dari segala sisi.

"Itu, itu untuk menebus ... kesalahanku. Aku membelikannya untukmu."

Sekarang aku jadi bingung. Mafuyu membelikanku sesuatu? Apa ini cuma gurauan?

"Tapi awas saja kalau kamu membukanya di sini!"

Aku mengangguk walau pikiranku sendiri masih kebingungan. Meski begitu, teman-teman sekelasku yang tidak mau mendengar penjelasan orang lain ini mulai mengerumuniku — heboh seperti biasanya. Dan salah seorang anak lelaki merebut benda itu dari tanganku.

"Apa ini? Hadiah dari hime-sama? Oi, oi, yang benar, nih?"

"CD, ya? Nao, apa boleh kubuka?"

"Eh, ah, tunggu ...."

Bungkusan yang menutupi benda itu pun dirobek sebelum aku dan Mafuyu sempat menghentikannya. Ternyata itu sebuah CD. Dan di bagian sampul CD itu terlihat zombie membawa kapak berlumuran darah di tangannya sambil berseringai. CD itu bertuliskan IRON MAIDEN - Killers.

"Bukannya sudah kubilang kalau jangan dibuka?! Jangan perlihatkan benda itu padaku, menjijikan!"

Mafuyu berbalik dan terdengar seperti hampir menangis.

"Mafuyu lagi-lagi bilang kalau aku menjijikan. Satu-satunya alasanku untuk hidup telah sirna."

"Jangan khawatir, dia bukan mengataimu." "Tapi zombie ini sedikit mirip denganmu, tahu?"

Teman-teman sekelasku kembali mengatakan hal-hal bodoh. Kurebut kembali CD itu dari mereka.

"Eng ..., kamu membelikanku CD ini hanya karena sampulnya?"

Aku sudah membuang sampul CD yang kutemukan di belakang kabinet kemarin gara-gara Mafuyu yang sudah menyemprotkan pembasmi serangga di benda itu. Mafuyu mengangguk sambil membelakangiku kemudian bergumam, "Buruan, singkirkan!"

Itu hanya sebuah sampul, kenapa ia sampai sebegitunya? Aku membayangkan tentang Mafuyu yang merasa jijik harena karena gambar zombie, kemudian membayangkan ia ke toko musik lalu masuk ke bagian heavy metal dan membolak-balik CD-CD di sana — sampul CD-CD tersebut semuanya mengandung gambar yang ekstrim — dan dengan susah payah mencari CD Iron Maiden. Entah apa lagi yang harus kukatakan padanya.

Terlebih—

"Ada apa?"

Mafuyu melirik ke arahku seakan tahu jika ada yang mau kukatakan.

"Eng, tidak .... Bukan apa-apa."

"Katakan!"

"Hmm .... Mungkin aku kurang pantas mengatakan ini, apalagi setelah kamu membelikan ini untukku. Tapi yang kamu beli ini adalah album kedua. Sampul yang rusak di ruangan itu sebenarnya dari album pertama."

Aku tidak bisa menyalahkannya karena kedua album itu memiliki sampul yang hampir sama. Setelah mendengarnya, wajah Mafuyu langsung memerah. Ah, sial.

*Brak* — Mafuyu membanting tangannya ke meja lalu berdiri.

"Biar kubeli sekarang."

"Jangan, pelajaran akan dimulai."

"Biarkan saja!"

"Kebetulan sampul album kedua milikku juga sudah jelek, jadi aku sungguh berterima kasih karena kamu sudah membelikanku CD ini."

Sewaktu aku mencoba membesarkan hati Mafuyu, bel sekolah pun berbunyi. Dan karena guru sudah datang ke kelas lebih awal dari biasanya, Mafuyu pun tidak jadi merealisasikan idenya tadi. Aku memang benar-benar tidak paham soal perempuan!


Read more ...»