Oreshura Jilid 1 Bab 7

On Senin, 17 Juli 2017 0 komentar

=========================================================
Bab yang sekarang ini lebih terfokus di unsur komedinya... Setelah beberapa bab sebelumnya banyak referensi dari Jojo yang diselipkan, dan sekarang referensinya mengarah ke seri Dragonball Z...
Toilet kompos adalah salah satu jenis toilet kering yang mempergunakan proses aerobik untuk mengolah kotoran manusia...
Hasil terjemahan seri ini di-posting di masing-masing fantranslation... Rilisan seri ini bisa terlebih dahulu dinikmati sehari lebih awal di Zhi-End Translation...
Selamat menikmati....
=========================================================


Bab 7 - Kehidupan Terdahulumu Adalah Sebuah Kekacauan


Dan begitulah, seminggu pun berlalu.

Bagiku, setiap harinya berjalan dengan lancar. Bagi Masuzu, setiap harinya terasa begitu membosankan. Bagi Chiwa, setiap harinya berlalu tanpa ada kemajuan.

Meski kami membuat berbagai rencana di setiap harinya, hanya ada beberapa kesempatan untuk menerapkannya ke adik Sakagami. Atau terkait soal itu, kami juga tidak mampu saling bekerja sama, sehingga ketika kegiatan klub berakhir, kami tidak menyelesaikan apa-apa.

Tapi itu tidak masalah buatku.

Ada waktu dua minggu sebelum dimulainya ujian akhir, dan aku tidak sabar ingin menjalani kehidupan yang tenang saat itu tiba.

Tapi segalanya tidak pernah berjalan seperti yang kuharapkan terhadap mereka.

Contohnya, hari Rabu sepulang sekolah—

Tuhan sepertinya tidak memperbolehkanku pulang ke rumah. Hujan mulai turun, dan aku tidak membawa payung, karena itu kuputuskan untuk menghabiskan waktu di klub sampai hujan berhenti. Dan kali ini,

"—bertarung langsung di hadapan musuh mungkin bisa menjadi strategi yang bagus."

Masuzu bergumam sendiri.

Chiwa sedikit memiringkan kepalanya lalu bertanya,

"Meong? Kenapa, meong? Kenapa kita harus bertarung, meong?"

Kemarin, mereka sepakat menambahkan meong saat bicara itu menggemaskan. Dan kembali kukatakan— itu sama sekali tidak menggemaskan, karena Chiwa berbicara sambil mengunyah roti kacang merah yang dibelinya dari kantin. Malah, pipiku terkena remahan isian kacang yang terbang.

Jangan bicara dengan mulut penuh begitu.

"Kenapa kita harus bertarung? ... ah, jangan-jangan itu."

Setelah sejenak termenung, Masuzu tiba-tiba terlihat seolah mengerti sesuatu dan menganggukkan kepalanya.

"Terlepas dari siapa yang kamu lawan, alasanmu untuk bertarung mungkin jauh lebih penting."

Sungguh di luar perkiraan, 'kan?

"Hmmm ... Ayo kita lakukan. Kita akan membuat sebuah setting yang luar biasa, di mana hidup mati sebuah negara dipertaruhkan."

"Setting ...?"

Orang bodoh ini bicara apa, sih?

"Nah, siapa yang akan kita lawan?"

"Eh?"

"Tentu saja harus ada musuh! Pertarungan itu harus memiliki sebuah sasaran! Orang tua atau guru, mungkin? Atau murid sekolah yang nakal?"

Masuzu menghela napas panjang.

"Cara berpikirmu sungguh kurang berimajinasi. Eita, yang kamu bisa hanya membuat daftar membosankan mengenai arti dari musuh .... Jangan-jangan kloset di rumahmu itu model lama yang tidak perlu disiram, ya?"

"Klosetku itu model barat!"

Bahkan dudukannya saja punya fungsi bidet.

Lagi pula, tidak seharusnya membahas kloset orang lain!

"Bicara soal musuh, tentunya itu adalah mereka yang memiliki kekuatan super dari dunia lain. Dengan kemampuan tidak terbayangkan, yang berasal dari tempat yang tidak diketahui— bukankah umat manusia akan bersinar amat terang ketika harus bertarung melawan musuh semacam itu?"

"Untuk apa kita ingin bersinar?"

"Kita akan jadi populer."

Apa, eh, jadi itu hasil yang mau dicapai?

"Mereka yang bertarung itu akan jadi populer." ... seperti biasa, sebuah gagasan melintas dari luar angkasa.

"Jadi, di mana kita bisa menemukan musuh semacam itu?"

Aku hanya bisa menyindir ide tidak realistis tersebut.

"Bukankah idemu itu terlalu di luar nalar dan tidak realistis? Kamu mengabaikan apa yang benar-benar mungkin bisa diraih di dunia nyata. Apa kamu mencampuradukkan anime dan manga dengan dunia nyata?"

"Yang kamu katakan itu sepenuhnya benar."

Kupikir dia akan membantahku dengan sengit, namun tidak kusangka kalau Masuzu akan mengakuinya.

"Di era modern di mana kloset siram begitu populer, fungsi bidet pun menjadi sangat umum. Namun, hal ini membuat toilet kompos menjadi langka dan berharga sebagai penanda status .... Karena itulah, aku tidak akan kaget jika murid-murid yang mempelajari pendidikan sosial luar ruang pergi ke rumah Eita dan membunyikan bel pintunya."

"Apa maksudmu?"

"Jadi, Toilet kompos-kun, siapa menurutmu yang sebaiknya kita lawan?"

"Sudah! Kumohon, ampuni aku!"

Jika nama panggilan itu menyebar, tamat sudah riwayatku!

"Eh, kenapa kamu tidak ingin bertarung? Pertarungan itu bisa jadi populer."

Chiwa menunjukkan rasa jijiknya. Separuh roti kacang merahnya masih belum dimakan, mungkin karena ada dua orang yang mengoceh soal toilet di sampingnya, dia pun jadi kehilangan selera makan.

"Karena aku sadar bahwa semangat bertarung itu adalah hal paling indah, yang diisi dengan konsep hidup atau mati. Perasaan cemas saat bertarung dengan musuh yang kuat ..., entah itu lelaki atau perempuan, cantik atau jelek, toilet kompos atau kloset siram, hanya mereka yang mengenal keadaan tersebutlah yang sanggup mengeluarkan aura dan kecemerlangannya.

"... memangnya harus sampai membuat toilet sebagai contoh?"

Tidak disangka, Natsukawa Masuzu rupanya wanita yang keras kepala.

"Seperti yang tadi dikatakan Harusaki-san, alasan bertarung itu sangat penting. Pastinya ada sebuah motif yang sangat besar untuk bertarung .... Contoh, demi membangun kembali negeri yang telah dimusnahkan, atau menghentikan evolusi toilet kompos."

"Sudah, cukup, kamu memang keras kepala! Bagaimana bisa hal-hal barusan dianggap hebat? ... yah, membangun kembali sebuah negeri memang terdengar hebat, sih, tapi ...."

*Plup*! Pipi Masuzu menggembung layaknya kue moci.

"Kamu terus saja membahas soal kenyataan sepanjang waktu .... Bukankah yang keras kepala itu kamu, Eita-kun? Karena kamu begitu menggilai kenyataan, kenapa tidak putus saja denganku lalu menikahinya?"



"Jangan mengatakan hal yang kekanakan!"

"Kalau begitu, mati saja sana!"

"Kalian sudah membicarakan soal pernikahan?!"

Wahai kenyataan, kurasa kamu baru saja menjadi janda.

Yah, aku tidak menikah, jadi aku tidak akan mati.

"Nah ..., mengenai hal ini, seperti apa penjabarannya dalam buku catatan?"

Chiwa terlihat sangat tertarik dan mencondongkan tubuhnya ke depan. Ternyata dia sangat menyukai topik tentang motif bertarung.

"Baiklah, sebaiknya aku memeriksanya."

Masuzu menarik buku catatan dari dalam tasnya, dan bersenandung saat membukanya.

... apa yang sudah kutulis?

Sejauh yang bisa kuingat, tidak satu pun yang mengarah ke sana.

Eh, yah, lagi pula, yang tertulis di buku itu hanyalah bermacam barang yang memungkinkan untuk dicoba. Mustahil kalau aku menulis sesuatu semacam membangun kembali sebuah negeri. Tidak peduli betapa polosnya aku saat SMP, seharusnya aku bisa tahu mana yang delusi dan mana yang kenyataan, Masuzu-kun.

"Hmm, ada sesuatu di sini."

Ada sesuatu?!

Konsep tentang diriku sebagai anak SMP langsung jatuh.

Padahal aku sudah percaya padanya ....

Masuzu pun mulai membaca buku tersebut.

"Petikan Sumpah dari Perayaan Kemenangan ke-47 ~Mengenai Jati Diriku~. Nama asliku adalah Kesatria Naga Suci dari Ufuk Timur <<Burning Fighting Fighter>>. Meski dengan level ZZZ <<Triple Zeta>> milikku yang lebih kuat dari iblis kelas S, namun aku sama sekali tidak punya minat untuk menunjukkan kekuatanku. Alhasil, aku berada di kelas D .... Karena itu, aku pun mampu membabat habis musuh-musuhku seorang diri. Jika tanpa sengaja aku mengerahkan seluruh kekuatanku, aku bisa melenyapkan seluruh galaksi ... seorang diri. Di kehidupanku terdahulu, aku adalah seekor Naga <<Dragon>>. Aku adalah Naga terakhir dari Klan Naga Suci <<Dragoon>>, dan seorang pangeran dari Bintang Naga Dewata <<Valhalla>>. Akan tetapi, aku dikalahkan oleh Klan Naga Iblis <<Wyvern>> dalam perang seratus hari <<Thousand Days>>, dan membuatku bereinkarnasi ke planet ini. Namun ketika Klan Naga Iblis <<Wyvern>> mengetahui reinkarnasiku, mereka pun membuka <<Gate>> dan mendatangi planet ini. Mereka menggunakan kamuflase optimal <<Illumination>> untuk menyembunyikan jejak aksi mereka. Tapi mereka tidak bisa menipu mataku. Karena kapan pun mereka mendekat, simbol di tanganku akan mulai berdenyut, memberitahuku tentang keberadaan mereka, gozaru. Jurus pamungkas, Api Hitam Kelam Sang Takdir, <<Fate's Dark Black Flame>>. Bagi mereka yang menyelamatkan diri ke planet ini, aku pasti akan mengumpulkan Tujuh Raja Langit Bintang Naga <<Sevens Dragons>>, dan aku pasti akan membangun kembali planetku suatu hari nanti—"

Sewaktu Masuzu membacanya, aku berguling-guling di lantai dengan kesakitan.

"Tidaaaaaaaaak—"

Jangan!

Hentikan!

Natsukawa Masuzu, punya dendam apa dia padaku?

Apa dia masih marah soal kemarin? Apa dia marah karena aku menuduhnya tidak memakai apa-apa?

Apakah kejahatanku sebegitu parahnya, sampai aku dipaksa menerima sindirannya itu?

Bohong, tidak mungkin seperti itu.

Sebuah dunia iblis di mana hukuman kejam diberikan untuk kejahatan semacam ini, apakah itu masih bisa dianggap dunia manusia?!

"Dia memang orang yang seperti itu.”

Masuzu menutup matanya dan memeluk erat buku tersebut di tangannya.

"Perbedaan skala antara menyelamatkan sebuah planet dan membangun kembali sebuah negeri, bisa dikatakan amat besar. Itu benar-benar membuatku merasa malu."

Bahkan Chiwa sampai membelalakkan matanya. Luar biasa! Mau dia teruskan sampai ke mana masalah ini?

"Oh, iya, apa maksudnya kamuflase optimal <<Illumination>> itu? Apa maksudnya itu mereka akan bersinar saat malam hari?"

"Saat pertama kali mendengarnya, aku mengartikannya secara harfiah, jadi itu seharusnya berarti semacam kamuflase yang sangat mahal."

Maaf. Sebenarnya itu salah ketik, yang seharusnya dibaca kamuflase optik. Aku menulis seperti itu karena ada sebuah film yang tayang di malam hari menampilkan monster seperti tadi. Karena kuanggap sangat keren, makanya aku menirunya.

"Selain itu, saat dia menambahkan, gozaru, itu maksudnya apa? Kenapa hanya frasa itu saja yang memakai gaya seorang samurai?"

"Itu pasti semacam kode rahasia. Salah satu Raja Langit Bintang Naga <<Sevens Dragons>> mungkin akan paham saat mengetahuinya."

Maaf ... itu hanya sesuatu yang kutulis dadakan?

"Aku lebih tertarik pada Api Hitam Kelam Sang Takdir <<Fate's Dark Black Flame>> yang juga disebutnya tadi."

"Walau aku tidak terlalu paham ..., itu pasti sejenis sihir kegelapan murni."

Maaf ....

"Lalu, di bagian <<Thousand Days>>, itu seharusnya Hundred, 'kan? Atau paling tidak, untuk Thousand itu seharusnya diartikan seribu. Iya, 'kan?"

"Segalanya pasti jadi kebalikan jika berada di Bintang Naga Dewata <<Valhalla>>."

"... aku sungguh minta maaf karena sudah dilahirkan ke dunia ini."

Aku ... tanpa sadar sudah bertekuk lutut.

Ibu, aku minta maaf.

Ayah, maafkan aku.

Bagaimanapun, mereka pernah mendedikasikan diri kepada anak mereka.

"Kenapa kamu terlihat putus asa begitu?"

Suara kebingungan Masuzu menarikku kembali ke dunia nyata.

"Biar kujelaskan dulu. Tolong jangan pikir kalau kamu bisa menyelesaikan ini dengan mudah. Pesiapkan mentalmu, karena selepas minggu kesepuluh, maka kami akan hentikan serialisasinya."

"Hidupku berada di tanganmu, wahai editor?"

"Hanya Penerbit Jump yang bisa melihat Kidou Eita-sensei bersujud di lantai."

"Kamu berniat membiarkan toko buku nasioal dan minimarket mendistribusikanya?"

Wanita ini sungguh menggunakan kata-kata yang parah.

Tapi apa ini sesuatu yang pantas untuk dikatakan pada pacarnya?

Awalnya kupikir Chiwa akan terperangah, tapi ternyata dia malah kembali menikmati roti kacang merahnya tanpa bersuara, seakan dia benar-benar sudah terbiasa dengan situasi ini.

"Tapi ... Masuzu."

"Ada apa, Orang yang Berlutut di Toilet Kompos Karena Dihentikan Serialisasinya?"

"Tolong biarkan aku menenangkan diri dulu ...."

Sabar, sabar, aku harus sabar.

"Itu hanya perkataan orang yang sedang berdelusi, 'kan? Tidak ada hubungannya dengan pertarungan, 'kan?"

"Kamu begitu dangkal, Eita-kun."

*Hmph!* Ada sebuah kesuraman di mata Masuzu.

"Kamu memang dangkal."

"Cukup!"

"Kamu itu satu level dengan Korosuke, ~nari"

"Aku tidak paham apa maksudmu!"

Lidah Masuzu tampak sedang dalam performa terbaiknya, ~nari.

"Bukankah musuh Harusaki-san yang telah digariskan itu sudah tergambar jelas di buku catatan?"

Sama seperti diriku, Chiwa pun membelalakkan matanya.

"Eh? Siapa?"

"Musuh dari kehidupan terdahulumu. Tidak akan masalah kalau hanya bertarung dengan musuh yang berasal dari kehidupan terdahulumu."

"Kehidupan terdahuluku?"

"Oh, apa kamu sudah lupa?"

"Orang normal biasanya tidak mau repot-repot mengingatnya!"

Masuzu memberi lirikan bernafsu dan berkata,

"Eita-kun yang malang .... Sepertinya Harusaki-san sudah melupakan hari-hari yang dia habiskan bersamamu."

"Eh? Jadi aku juga teman sedari kecil Chiwa di kehidupan terdahulu?"

"Bahkan sewaktu hujan turun, dia mengajakmu jalan-jalan, memberimu pakanan piaraan, dan juga mengurusi kotoranmu."

"Jadi kehidupan terdahuluku itu seekor anjing?"

"Tidak, kamu seorang manusia."

"...."

Itu bahkan lebih tragis.

Benar, kenapa Masuzu tahu tentang kehidupan terdahulu kami?

"Jika kamu tidak bisa mengingatnya, pilih saja secara acak. Harusaki-san, hewan apa yang kamu sukai?"

"Hmm .... Panda."

"Baiklah, kalau begitu kehidupan terdahulu Harusaki-san adalah seekor panda planaria."

"Hewan macam apa itu? Mana bisa planaria dan panda itu digabungkan!"

"Kalau begitu, ya, planaria saja."

"Menjijikkan!"

"Jangan pilih-pilih begitu, Harusaki-san."

"Kamu itu yang dari tadi seenaknya saja."

Mereka berdua mulai berbicara layaknya komedian.

Sepertinya Chiwa perlahan mulai terbiasa dengan kebiasaan Masuzu.

"Membahas soal hewan apa aku di kehidupan terdahulu, yang benar saja!"

"Kalau begitu apa yang benar?"

"Hmm ...," Chiwa sempat berpikir sejenak, lalu berkata,

"Meski ini tidak ada hubungannya dengan buku catatan, bagaimana kalau seorang putri dari sebuah kerajaan?"

"Kalau yang seperti itu .... Lahir di kalangan bangsawan memang erat dengan kehidupan terdahulu, sih."

"Dikelilingi oleh kasih sayang di seluruh penjuru negeri, aku tinggal di sebuah kastil putih. Kampung halamanku memiliki iklim sedang, dan laut yang jernih di tepiannya. Sangat mungkin untuk memetik buah yang manis dengan tangan sendiri,  dan makanan khas di sana adalah hidangan daging yang lezat."

Ujar Chiwa tanpa henti sambil memutar-mutar jarinya.

"Lalu suatu hari, ketika aku sangat kelaparan, seorang pangeran yang berasal dari Kobe datang dengan mengendarai kuda, memintaku untuk menikahinya. Dia bilang, Jika kamu menikahiku, aku akan membiarkanmu memakan semua daging sapi berkualitas tinggi sesuka hatimu!"

"Dan di mana letak tempat berwarna mawar itu?"

Sungguh dongeng yang liar.

Cara memandang dunia semacam itu adalah sebuah kekacauan.

Ini membuatku merasa ... sangat marah.

"Aku merasa bahagia di kehidupan terdahuluku, meski begitu, aku tidak punya musuh."

"Bukankah bagus jika dunia itu senantiasa damai?"

Aku jadi risau!

"Tapi jika perang pecah, banyak kejadian tragis yang akan terjadi .... Oleh karena itu, bagaimana kalau mereka menyelenggarakan kompetisi olahraga sebagai gantinya? Dan sebutan musuh pun akan berganti menjadi lawan."

Aku jadi gelisah!

"Ah, jika lawan mengajak duel dengan sang pangeran kerajaan, itu pasti keren! Dengan menggunakan daging segar berkualitas tinggi sebagai taruhannya, mereka berdua akan bertanding di final dan menyatakan cintanya .... Romantis sekali, ah ...."

*Brak*!

"Jangan main-main dengan kehidupan terdahulu!"

Kupukul meja dengan tinjuku.

"Dengar! Kehidupan terdahulumu itu tidak bisa digambarkan seperti Taman Berbunga! Kamu perlu merasakan perihnya terjerat dan memiliki persoalan dramatis yang terus mendera hingga hari ini! Apa maksudnya, Di kehidupan terdahuluku, aku tinggal di sebuah kastil dengan bahagia sebagai seorang putri, itu? Akan kamu jadikan seperti apa kehidupan terdahulumu itu? Identitas seorang putri itu palsu! Tidak nyata! Omong kosong! Nyatanya, tidak ada satu pun yang tahu, entah itu soal kesatria sang putri dan dewa iblis yang sedang bertarung! Atau paling tidak, katakan sesuatu seperti, Menjadi seorang <<Newtype>> yang ditahan di ruang bawah tanah sebuah kastil di mana purwarupa <<Mobile Suit>> disembunyikan!"

Suasana menjadi hening – Tidak ada satu pun suara di ruang klub ini.

Chiwa sampai terdiam, bahkan Masuzu pun mematung.

Aku mendadak kembali tersadar.

"... tidak, yang barusan itu ...."

Sial!

Aku menyerah terhadap panggilan darah lamaku.

Bagaimana menjelaskannya, ya? Aku punya sebuah aturan umum terhadap delusi.

Ketika kepercayaan diri berlebih berubah menjadi keangkuhan, berarti itu gawat.

Jika seseorang berada dalam situasi seperti sekarang ini, kisahnya akan tiba-tiba menjadi ketinggalan zaman, dan akan selalu terasa kurang romantis.

Waktu itu aku memiliki obsesi terhadap hal-hal semacam ini.

"Tepat seperti yang Eita-kun bilang!"

Mata Masuzu tampak berbinar.

"Memang benar, kehidupan terdahulu itu tidak boleh kehilangan elemen dramatis. Setiap orang akan tertarik pada perjuangan para prajurit dalam sebuah pertempuran rahasia demi menyelesaikan konflik berkepanjangan dari kehidupan terdahulu. Ini pasti akan membuat seseorang menjadi populer. Itu pasti!"

"Baiklah .... Tapi aku masih berpikir kalau pangeran kerajaan yang berasal dari Kobe itu juga bagus."

Meski Chiwa tidak ahli dalam menerima kritikan, ini sebenarnya adalah reaksi yang wajar.

"Yah, karena Eita-kun sudah mengatakannya, kenapa kita tidak mencobanya? Siapa yang ingin kamu ajak bertarung?"

"Pilih satu nama, ya ...."

Delusi tetaplah delusi. Mustahil bisa diterapkan di dunia nyata.

Contohnya, aku saja tidak benar-benar bertarung melawan Klan Naga Jahat <<Wyvern>>, 'kan? Tentunya ini sudah jelas sekali.

Meski begitu, Masuzu dengan semangat lanjut berkata,

"Tidak usah khawatir, kamu tidak perlu bertarung sungguhan."

"Eh?"

"Pura-pura saja. Pura-pura saja kalau kamu sedang bertarung dengan musuhmu."

Ini persis seperti saat membahas gitar tempo hari. Dengan terang-terangan, Masuzu berkata, 'ada manga aksi, bagian terbaiknya itu bukan sewaktu adegan pertarungan. Melainkan lebih ke inti cerita yang berasal dari drama sebelum pertarungan. Yang perlu kamu lakukan hanyalah menampilkan masing-masing sudut pandang dalam pasrahnya situasi hidup mati mereka dan menyingkap pesona seorang prajurit.

"Ternyata kamu memang menyukai manga dan anime."

"Jujur saja, aku sangat terobsesi dengan budaya Jepang, hampir sampai di ranah perbuatan mesum."

Jadi itu alasan yang sebenarnya.

"Akan kumanfaatkan pengalaman ini sebagai bahan penulisan skenario. Harusaki-san bisa mengikuti naskahnya selama pertunjukan. Dan untuk Eita-kun, tolong bantu kami."

Setelah Masuzu menghabiskan waktu semalaman untuk menulis skenario, kami pun mengikuti naskahnya dan berlatih selama dua hari. 

Rasanya seolah-olah kami sedang berlatih untuk festival budaya.

Dengan penuh keributan, kami akhirnya berhasil menyelesaikan latihannya .... Bisa dibilang kalau yang kami lakukan ini sepadan, soalnya Chiwa terlihat sangat bersemangat selama prosesnya.

Biarpun begitu, ketika perkembangan dari latihan tersebut sudah mencapai titik batasnya, aku pun tidak bisa berkomentar apa-apa.

Tantangan sebenarnya adalah pertunjukan langsung di hadapan seluruh penghuni kelas ....


XXX


Hari Sabtu sepulang sekolah.

Chiwa masuk ke kelas. Semua yang ada di dalam sedang asyik membicarakan rencana mereka untuk berakhir pekan.

Ketika dia membuka pintu, kata-kata pertama yang diucapkannya adalah,

"Gaia sedang merintih!"

Ini dia—

Aku selalu merasa kalau hal ini terlalu kejam.

"Aura yang begitu kuat .... Mereka tidak lagi menyembunyikan kekuatan penuhnya."

Dan dia sendiri tidak menyembunyikan kebodohannya ....

Sudahlah, lupakan. Ini sudah sesuai dengan naskah Masuzu.

"Ei-kun, apa kamu tidak merasakannya? Tiga belas kilometer di arah selatan kita, terasa sebuah aura yang mengancam. Begitu kuat .... Kisarannya lebih dari satu juta."

"Ti-tidak, aku tidak merasakannya."

"Ah, Ei-kun memang tidak bisa diandalkan untuk mengendalikan ras petarung."

Dia masih saja berbicara rasis ....

Kita berdua ini orang Jepang!

Debut Chiwa itu sampai menyelimuti seluruh ruang kelas dengan ketegangan yang luar biasa. Belajar dari kejadian tempo hari, tidak ada seorang pun yang berani mendekatinya dalam radius beberapa meter. Namun, juga tidak ada satu pun yang meninggalkan ruang kelas. Mungkin mereka semua merasa takut sekaligus terpesona di saat yang sama.

Adik Sakagami terdiam di kursinya, terengah-engah menyaksikan seiring situasi yang berubah.

Sementara Masuzu, dia menatap Chiwa dengan ekspresi, Wah, menakutkan. Meski dirinya memang selalu seperti ini ..., tapi dia benar-benar pemain sandiwara yang hebat.

"Aku merasakannya .... Ada dua aura yang kuat, lalu dua lagi yang lebih kuat, dan satu lagi yang lemah .... Ya-yang lemah tadi hampir menghilang .... Tidak! Tidak mungkin!"

"Ada apa ... Chiwa ...?"

Aku masih belum terlalu menghayati akting ini. Maaf.

"Percikan aura yang begitu terkendali ini tampaknya berasal dari kehidupan terdahuluku! Itu pasti milik sahabatku!"

"Kamu mendapatkan kembali ingatan tentang kehidupan terdahulumu?"

"Ya. Aku mengingat semuanya sekarang. Ingatan itu kembali padaku semalam, saat aku sedang membersihkan kerak di lantai kamar mandi!"

Tiba-tiba, semua penghuni kelas terlihat lebih bersemangat, itu mungkin dikarenakan usaha Masuzu dalam menghadirkan orisinalitas ke pertunjukan ini.

"Apa pun itu, sepertinya pilihan yang tersisa untukku hanyalah pergi ke sana ...."

Chiwa tersenyum kecil.

"Tunggu! Jangan pergi— kalau kamu ke sana, kamu bisa mati."

"Jangan hentikan aku, Ei-kun! Sebagai seorang prajurit, pasti ada kalanya aku harus pergi berperang. Aku mempertaruhkan nyawaku berjuang demi rakyat dan kehormatan negeri kita."

Sepertinya lidahnya jadi kelu.

Lagi pula, itu bukanlah kata-kata yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

"Aku tidak akan kalah!"

"A-apa?"

"Jika menggunakan alat itu, kamu akan bisa melihat kekuatan dari mesin dunia lain. Lihat baik-baik besarnya kekuatan itu!"

Meski terlihat bertele-tele, kata ganti orang pertama aku secara khusus diganti demi tujuan pengaturan pertunjukan.

Sambil mengepalkan tangannya dan sedikit membungkuk, urat nadi Chiwa tampak menyembul di pelipisnya. "Hahahaha!" geramnya. Mungkin ini adalah ritual untuk mengeluarkan semangat bertarungnya— tapi menurutku, tampaknya ada seseorang yang menahan semangat bertarung itu.

Singkatnya, aku mengikuti naskah tersebut, memakai kacamata hitam, dan berkata,

"Daya tempur, 10.000 ..., 12.000 .... Bagaimana mungkin? Itu masih terus meningkat!"

"Haaaaaaaaa—!"

"Ku-kuat sekali .... Dengan ingatanmu, kamu juga bisa mendapatkan kembali kekuatan dari kehidupan terdahulumu."

"Hiiiyyaaaaaaaaahhhhhh!"

~sya-la ...~

~hi-sya-la ...~

"Jiu-jiu-jiuuuu-jiu-jiuuuu-jiu-jiuuuu. Inilah kekuatanku yang sesungguhnya. Jiu-jiuuuu-jiu-jiuuuu."

Suara berisik jiu-jiuu ini sebagai penggambaran aura kekuatan yang membanjiri ruang kelas dan melindungi seluruh tubuh Chiwa.

"Syukurlah! Chiwa! Kalau seperti ini, kamu mungkin bisa menang!"

"Hiyaaaah, jiu-jiuuuu-jiu-jiuuu, biar kuberi tahu .... Jiu-jiuuu-jiu-jiuuuuu, aku masih bisa mengeluarkan lebih banyak lagi kekuatan lebih dari ini.... Jiu-jiuuuu-jiu-jiuuuu."

"Luar biasa! Terlalu keren! Nikahi aku!"

Aku terpaksa mengambil risiko dan mengatakan hal tersebut.

"Aku sudah mengingat kehidupan terdahuluku! Kita harus mempertahankan negeri kita! Besyuuh!"

Kata besyuuh yang terakhir itu tidak bermakna secara harfiah, namun merujuk pada efek suara meluncur ke langit.

Tentunya mustahil kalau dia bisa terbang, karena itu Chiwa berlari keluar dari ruang kelas.

Ini semua demi menyelamatkan hidup sahabatnya yang terkekang dari kehidupan terdahulu.

Aku menatap punggung Chiwa, dan berkata,

"Jangan mati, Chiwa!"

Aku lalu berbisik,

—akhir dari bagian pertama.

Sampai di sini, seisi kelas langsung bertepuk tangan.

Sorakan memenuhi ruangan, bahkan sampai menggetarkan kaca jendela.

Sejenak aku terpaku, mulutku menganga lebar,

"Eh? Apa? Kita jadi populer? Sungguh?"

Sebagian dari teman-teman sekelas kami bahkan memberi sambutan berdiri dan tersenyum.

Adik Sagami pun bertepuk tangan sambil mengatakan, "Gila! Mantap!"

"Kerja bagus, Kidou-kun!"

"Aku selalu mengira kalau kamu itu orang yang kaku dan formal. Aku tidak menyangka sisi dirimu yang satu ini!"

"Akting Chihuahua juga tampak sangat nyata! Pokoknya mantap! Aku melihat segalanya dalam nuansa yang berbeda!"

Semua orang memuji Chiwa.

"Eh, yang benar?"

Aku menanggapinya dengan senyum kaku, lalu adik Sakagami dengan polosnya bertanya,

"Iya, sketsa komedi tadi tujuannya untuk apa? Lalu nanti mau ditampilkan di mana?"

"... yah ...."

Aku tidak tahu bagaimana menanggapinya. Aku lalu memandang ke arah Masuzu.

Kupikir dia akan tertawa seperti saat kejadian gitar tempo hari, namun aku tidak menyangka kalau wajahnya akan tertunduk, dengan kedua tangan dan kakinya di atas lantai ....

"Sketsa komedi ...? Aku sudah berusaha keras menulis skenario dan menata koreografinya ..., tapi itu malah dianggap sketsa komedi ...?!"

Ah, dia benar-benar syok.

Padahal kupikir dia hanya mempermainkan Chiwa saja.

Nyatanya, bisa jadi dia memang berusaha begitu keras dan melakukan kegiatan klub dengan serius.

__________________________________________________________



Pachi Lemon Edisi Bulan April, Bimbingan Spesial Untuk Murid Baru.

Standar ukuran Popunis untuk gadis SMA!

Jawaban untuk murid bernama [Summer River].

T1: kamu bangun tidur di pagi hari dan menyapa diri di cermin, apa yang akan kamu katakan?
J1: Joseph Joestar, berengsek! Awas kamu!

T2: Doi menertawakan gaya rambutmu yang baru, apa yang akan kamu lakukan?
J2: Hah? Potongannya mirip Sazae-san, ya?

T3: Teman lelakimu bercerita tentang masalah percintaannya, bagaimana caramu menyemangatinya?
J3: Lemah! Dasar lemah!

T4: Kamu sedang kencan dengan pacarmu di sebuah restoran, apa yang kamu pesan?
J4: Saké! Aku tidak bisa berhenti meminumnya!

T5 : Kamu tidak sengaja kesiangan. Karena terburu-buru, rambutmu terus bergelombang dan tidak mau lurus~ (*Hiks*). Apa yang kamu lakukan?
J5 : Itu bisa diatasi dengan membungkus rambut tadi memakai handuk basah, setelah itu masukkan ke microwave.

Nilai Popunis-mu: Mustahil diberi nilai.

Editor Pachi Lemon: Sayang sekali, jawaban serius hanya ada di pertanyaan terakhir saja.


Read more ...»

SPS Jilid 1 Bab 14

On Rabu, 05 Juli 2017 0 komentar

=========================================================
Yang seperti ini namanya, twist atau kejutan ya...? Pokoknya segala yang sifatnya masih misterius sepanjang cerita, mulai terungkap dan memberi kejutan tersendiri...
Dan rasanya, dua seri berturut-turut yang ane edit ini isinya pada nge-FEEL pak...
Seperti biasa, seri yang dikerjakan bareng ini, bisa agan sekalian nikmati lebih awal satu hari di Hanami Translation...
Selamat menikmati....
=========================================================


Bab 14 - Dokter, Katalog Burung, Jawaban


"—Mafuyu?"

Tidak ada tanggapan yang kudengar, padahal aku sudah berteriak keras dari luar, itu sebabnya aku mulai mengetuk pintu. Tiba-tiba kudengar suara sesuatu yang jatuh. Gemuruh suara feedback bergema di dalam ruangan.

Kucoba membuka pintu dengan menekan keras gagangnya, tapi untuk sesaat, aku lupa caranya membuka kunci, dan hampir saja mendobrak pintunya. Akhirnya aku ingat kalau aku harus menekan gagang secara diagonal ke kanan bawah sebelum memutarnya. Sewaktu pintu terbuka, Mafuyu yang seharusnya bersandar pada pintu, justru ambruk ke tubuhku. Aku segera menopangnya. Punggung Mafuyu membentur basku, membuat amplifier mengeluarkan suara gaduh yang kencang.

Kulit Mafuyu yang sudah putih itu tampak menjadi lebih pucat.

"Kamu ... kenapa?"

Suaraku terdengar satu oktaf lebih tinggi karena gugup.

"... tidak apa-apa." 

"Apanya yang tidak apa-apa?! Kamu sanggup berdiri?" 

"Tidak, tapi ... aku tidak apa-apa."

Mafuyu menyingkirkan tanganku dan mencoba duduk. Akan tetapi, bahunya langsung hilang keseimbangan, dan kaki kanannya mendadak kram. Setelah melihat tubuhnya berputar ke posisi yang aneh, kubantu mengangkat tubuh bagian atasnya lalu menyandarkannya ke dinding.

"Kenapa jadi begini ...," Mafuyu mulai terisak. Ia memalingkan muka agar tidak menatapku, lalu bergumam, "Kenapa? Aku sudah berusaha sebisa mungkin untuk melupakan semuanya, lalu kenapa kamu membuatku mengingatnya lagi?"

Apa maksud ucapannya itu? Aku benar-benar tidak tahu.

Kusingsingkan bas ini dari bahuku. Sepertinya senar-senar basku mengenai sesuatu hingga membuat sebuah nada rendah bergema di seisi ruang kelas yang kecil ini. Tangan kiri Mafuyu sedikit bergetar.

"Berhenti! Hentikan! Jangan memainkan suara apa pun!"

Mafuyu yang tiba-tiba mendapat sejumlah kekuatan, menyambar bas tersebut dari tanganku lalu membantingnya ke lantai. Salah satu kenopnya terlepas dari tempatnya. Dan terdengar suara melengking yang mengerikan, mirip dengan suara sepasang cakar yang sedang menggores tembok.



Tubuh Mafuyu lalu roboh ke arah dekat bas dan gitar yang tergeletak di lantai, layaknya boneka yang benang pengendalinya telah dipotong. Amplifier terus mengeluarkan suara yang tidak enak didengar — mirip seperti suara ratapan — tapi aku tidak tahu bagaimana menghentikan suara itu. Bagaimana ini? Kenapa sampai jadi begini? Apa yang harus kulakukan? Pokoknya—

Sebaiknya aku pergi ke UKS terlebih dahulu, akhirnya aku pun mampu memikirkan itu di tengah suara feedback yang melengking.

"Akan kupanggilkan perawat sekolah." 

"Aku tidak mau—" 

Mafuyu mengerang. Apa yang si bodoh ini katakan di saat begini? Pokoknya aku langsung berlari kencang menuju gedung utama.



Sewaktu hendak bergegas masuk ke ruang UKS, aku hampir menabrak Kumiko-sensei yang bertugas sebagai perawat sekolah. Kumiko-sensei masih sangat muda, dan rumor mengatakan kalau beliau dulunya adalah berandalan yang sangat menakutkan. Dan benar, hal pertama yang dilakukannya adalah menarik kerahku lalu berteriak, "Jangan berlarian di lorong!" yang kemudian beliau melepaskan cengkeramannya karena menyadari sesuatu.

"Kamu dari kelas 1-3, 'kan? Sekelas dengan Ebisawa-san?"

Aku masih terengah-engah karena berlari tadi, alhasil, aku jadi sulit berbicara. Aku hanya bisa mengangguk sebagai jawaban.

"Apa kamu melihatnya di kelas? Dirinya ada jadwal ke rumah sakit hari ini, tapi pihak sana barusan menelepon kalau ia belum datang."

Ia harus ke rumah sakit hari ini?

Jumat. Satu-satunya hari di mana Mafuyu langsung pulang selepas pelajaran berakhir. Rumah sakit. Aku terkejut. Saat mencoba mengatur napas, aku pun terhenyak, "Mafuyu tadi ... pingsan."

"Di mana ia sekarang?" Kumiko-sensei masih bersikap tenang, namun ada perubahan pada ekspresi matanya.

"Di lapangan—" 

Kumiko-sensei langsung mengambil beberapa obat dari rak, lalu menggaet lenganku dan bergegas keluar dari ruang UKS. Sesampainya di lapangan, kami melihat Chiaki berjongkok di samping Mafuyu yang pingsan. Kenapa ... Chiaki ada di sini? Apa mungkin ia menunggu berakhirnya pertandingan kami?

"Aikawa-san, tolong minggir."

Beliau memberikan pertolongan pertama, lalu menelepon seseorang— kuamati tindakan Kumiko-sensei itu dengan tatapan kosong, sementara Chiaki menatapku tidak berdaya.

"Ada apa ini?"

Aku hanya bisa menggelengkan kepala menanggapi pertanyaan Chiaki.

"Apa yang kalian lakukan sampai jadi seperti ini ...," tanya Kumiko-sensei sambil melotot sewaktu beliau memeriksa denyut nadi Mafuyu.

"Kami hanya ... bermain gitar." 

"Hanya itu? Bagaimana mungkin? Harusnya tidak masalah baginya untuk memainkan alat musik."

Kumiko-sensei— apa beliau tahu tentang kondisi Mafuyu?

"Apa pun itu, aku tadi sudah meminta orang tuanya agar kemari. Beliau bilang akan segera datang."

Bahu kiri Mafuyu sedikit gemetar. Perlahan ia mencondongkan tubuhnya ke kaki Chiaki lalu mengangkat wajahnya, memperlihatkan ekspresi kesakitannya.

"Tidak ..., aku tidak mau." 

"Kamu ini bicara apa? Seharusnya hari ini kamu memeriksakan diri ke rumah sakit, 'kan? Apa kamu memang ada niat ingin mengobati penyakitmu? Kamu tidak boleh gegabah! Kondisi tubuhmu berbeda dengan orang biasa, jadi kita harus meminta tolong dokter yang bertanggung jawab atas kesehatanmu itu agar ikut datang ...." 

Mafuyu menggelengkan kepala sewaktu air matanya berlinang. 

"Tidak, aku tidak mau ... orang itu melihatku dalam kondisi seperti ini." 

Kumiko-sensei mengabaikan protesnya, lalu berbalik ke arahku dan berkata, "Jelaskan yang terjadi dengan lebih rinci. Aihara, tolong ambil alas duduk yang di sana itu, lalu letakkan di bawah Mafuyu."



Kulihat ada dua pria berjas berjalan ke arah kami dari tempat parkir. Aku memang pernah melihat Ebisawa Chisato hanya dari sampul CD saja, namun terlepas dari itu —walaupun aku berada dalam  jarak yang cukup jauh — aku langsung tahu kalau orang yang berjalan paling depan itu adalah ayah Mafuyu.

"Ada apa ini?"

Pertanyaan bodoh yang sama — yang pernah pula ditanyakan seseorang sebelumnya — juga datang dari mulut Ebisawa Chisato. Rambutnya disisir rapi dan dibuat kelimis, meski ada sedikit uban yang berbaur. Rautnya yang tegas dan jelas itu menampakkan amarahnya. Maki-sensei tiba di lapangan setelah mendapat telepon dari Kumiko-sensei. Setelah melihat kedatangannya, ayah Mafuyu mulai berteriak.

"Aku tidak mengira ini bisa terjadi padahal kamu ada di dekatnya! Bagaimana kalau ada apa-apa terhadap Mafuyu?!" 

"Anda tidak bisa mengharapkan saya selalu berada di sisinya, bukan?" jawab Maki-sensei dingin. Dokter paruh baya (orang itu pasti dokter, 'kan?), yang juga ikut berdiri di samping Ebichiri yang sedang marah, seolah berkata, Bawa nona muda itu ke dalam mobil, pada Kumiko-sensei lewat matanya. 

"Kenapa kamu tidak ke rumah sakit? Dengan siapa saja kamu bergaul?"

Aku memalingkan muka dan berpikir apa sebaiknya aku lari saja dari sana.

"Gitar? Kamu bilang gitar?! Kamu bercanda, siapa yang membolehkanmu memainkan benda semacam itu? Mafuyu, apa yang mau kamu lakukan dengan mempelajari gitar tanpa sepengetahuanku? Apa kamu tidak tahu pentingnya jari-jarimu itu? Kamu mungkin tidak akan pernah bisa bermain piano—" 

"Ebisawa-sensei! Tolong. Jangan sudutkan Mafuyu seperti itu!"

Maki-sensei memohon dengan suara sedih.

"Aku tidak memindahkannya ke SMA biasa supaya ia bisa memainkan benda semacam itu!"

Aku menggigit bibir sewaktu mendengarkan teriakan Ebichiri yang menusuk. Ayahnya dan sang dokter lalu memasukkan Mafuyu ke kursi belakang, seakan gadis tersebut adalah jenazah yang dibungkus kantung mayat. Tidak ada yang bisa kulakukan selain terdiam melihat semuanya. 

Tepat sebelum pintu mobil ditutup, Mafuyu dan aku saling melirik. Ekspresi di kedua matanya sama seperti dulu — tidak mampu menyuarakan apa pun, dan hanya bisa mencari sesuatu untuk diandalkan. Kedua mata itu tampak bagaikan langit sebelum turun hujan, dipenuhi awan mendung. Tidak, aku tidak bisa membiarkannya pergi seperti itu. Aku hampir bisa mendengar sebuah bisikan tepat di sampingku, namun aku tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun, atau bergerak satu langkah pun.



Aku tidak terlalu yakin dengan yang terjadi setelah itu. Mungkin aku dimarahi secara brutal oleh Maki-sensei atau Kumiko-sensei? Mungkin alasan kenapa aku tidak dapat mengingat detailnya adalah karena keduanya tidak mau menceritakan yang telah terjadi pada Mafuyu. Satu-satunya hal yang kuingat adalah bahwa aku tidak mengucapkan sepatah kata pun. Chiaki-lah yang menggantikanku menjawab hampir semua pertanyaan mereka.

Sudah pukul enam lewat sesampainya aku di rumah, dan pengeras suara di ruang tamu sedang memutar komposisi <Katalog Burung> gubahan Messiaen. Burung puyuh, burung bulbul dan bahkan burung sikatan hitam — hanya dengan piano tunggal saja sudah cukup untuk meniru suara dari berbagai jenis burung. Tetsurou berbaring menyamping di sofa, mendengarkan musik sambil menyeruput segelas wiski.

"Kamu sudah pulang, toh .... Ada apa? Kok kusut begitu? Apa ada sesuatu yang terjadi?"

Kugelengkan kepalaku pelan, lalu melepaskan bas dari bahu dan melemparnya ke karpet. Aku lalu merebahkan diri ke sofa.

Terlepas dari sikap Tetsurou yang sangat tidak peka, namun ada kalanya, beliau akan memahami perasaanku meski tanpa kata-kata. Pada saat itu, tindakan terbaik adalah tidak menggangguku dan membuat makan malamnya sendiri — persis seperti yang beliau lakukan saat ini.

Di meja makan ada semacam daging gosong, serta salad yang terlalu banyak diberi minyak. Yang kumakan hanyalah beberapa sendok sup miso yang tidak berasa.

"Hei .... Nao ...." 

"Hmm?" 

"Karena tidak ada keluhan, berarti makanan yang kumasak hari ini lumayan, ya?" 

"Tidak, jangan khawatir, rasanya tidak karuan seperti biasanya. Aku kenyang."

Tetsurou tampak sedih karena celetukanku, tapi aku mengabaikannya dan kembali ke ruang tamu. Aku membenamkan diriku di sofa dan lanjut mendengarkan kicauan burung-burung. Tiba-tiba aku ingin menangis.

Jadi saat itu Mafuyu sedang menungguku.

Seharusnya ia ke rumah sakit hari ini. Tapi karena hal-hal yang kukatakan kemarin ..., diriku yang tidak tahu apa-apa dan mengatakan hal-hal bodoh seperti, "Jumat, sepulang sekolah besok ayo bertanding!" karena itu, ia menungguku — dia memang menungguku.

Lagu tentang burung itu telah berakhir. Tetsurou melepas celemek dari tubuhnya lalu duduk di sofa menghadapku. Tanpa bersuara beliau tuangkan wiski ke gelasnya. Dalam situasi seperti ini, aku akan sangat bersyukur jika beliau tidak mengajukan pertanyaan apa pun tentang yang sudah terjadi. 

"Oh, iya, Tetsurou ...." 

"Hmm?" 

"Menurutku ..., itu harusnya sebuah konserto piano ... yang terdiri dari tiga bagian, dan bagian pertengahannya adalah sebuah mars. Apa kamu pernah mendengar komposisi seperti itu sebelumnya?"

Lalu kugumamkan komposisi yang dimainkan Mafuyu saat di tempat barang rongsokan dulu.

"—itu seharusnya konserto gubahan Ravel ...." Jawab Tetsurou lalu bergumam melanjutkan dari nadaku tadi.

Bulu kudukku langsung merinding.

"... gubahan yang mana?"

Maurice Ravel hanya menggubah dua konserto piano sepanjang hidupnya. Yang pertama adalah sebuah konserto piano pada G mayor, ditulis untuk permainannya sendiri. Dan yang satunya adalah—

"Yang pada D mayor," jawab Tetsurou. Dan itu adalah jawaban yang kulewatkan.

Konserto piano lainnya, pada D major, ditulis untuk seorang pianis Austria bernama Paul Wittgenstein. Paul kehilangan apa yang disebut sebagai "nyawanya pianis"— yaitu lengan kanannya — sewaktu Perang Dunia Pertama. Oleh karenanya, konserto piano yang didedikasikan untuknya itu juga dikenal sebagai—

"<Konserto Piano untuk Tangan Kiri>."

Kenapa aku bisa telat menyadarinya?

Tanda-tandanya sudah banyak terlihat — Mafuyu tidak pernah menggunakan sumpit dan tidak menyalin catatan selama pelajaran. Selama pelajaran kesenian ataupun pelajaran olahraga, ia tidak melakukan apa-apa. Ditambah, ia menggunakan pick gitar aneh dengan dua cincin yang disematkan pada jari telunjuk dan jari tengahnya. Bahkan untuk seseorang yang tidak sanggup menggenggam, bisa dengan mudah memegang pick tersebut di antara ujung jari-jarinya. 

Itulah alasan ia memilih gitar.

Jari-jari di tangan kanan Mafuyu ... mungkin saja tidak bisa digerakkan lagi. Baru sekarang akhirnya kusadari fakta tersebut. Sebuah takdir yang kejam telah merenggut karier piano Mafuyu, biarpun begitu, ia tidak bisa lari dari musik yang sangat dicintainya. Oleh karena itu, ia menggenggam gitar dengan sekuat tenaganya, seperti orang hendak tenggelam yang bersandar sekuat tenaga pada sepotong kayu yang mengapung.

Kenapa aku tidak menyadari itu sebelumnya? Bahkan meski tidak ada yang memerhatikan ..., seharusnya aku bisa menemukan jawabannya! 

Kenapa—

Kenapa ia tidak memberitahuku soal ini? Aku memang sama sekali tidak peka. Bahkan aku bertingkah seperti anak kecil, bersikeras menantang Mafuyu dalam pertandingan gitar. Aku memaksanya untuk menunggu, namun pada akhirnya, aku justru mencelakainya tanpa sadar.

Aku benar-benar tidak tahu, itu karena Mafuyu sama sekali tidak menceritakannya! Aku sungguh ingin menemukan orang dewasa yang bisa kujadikan tempat untuk mengadu, tapi Tetsurou dan sarung bas yang tergeletak di lantai itu hanya bisa terdiam. Aku pun lalu teringat <Variasi Heroik> yang kumainkan bersama Mafuyu, bersama dengan fugue yang terhenti di tengah permainan. Perasaan macam apa yang Mafuyu rasakan sewaktu mendengar ansambel yang tidak bisa dimainkannya lagi, sewaktu melihat orang lain memainkan melodi yang mewakili tangan kanannya yang tidak bergerak? 

Kenapa perasaan di lubuk hati ini selalu gagal kami utarakan dengan kata-kata?



Bulan Juni tiba seminggu kemudian. Mafuyu benar-benar telah menghilang. Ia tidak lagi datang ke sekolah.

Teman-teman sekelasku sedang mendiskusikan sesuatu, sesuatu yang tampaknya terjadi di hari Jumat sebelum libur. Biasanya mereka selalu mengabaikan perkataan orang, dan tidak memerhatikan suasana hati orang tersebut, tapi kali ini, mereka tidak bertanya apa-apa padaku. 

"Soalnya Nao terlihat sangat tertekan ...," ujar Chiaki dengan lembut sewaktu istirahat makan siang.

"Tertekan? Tidak," aku berbohong.

"Aku sampai bertanya pada Maki-sensei tentang hal itu."

Nafsu makan Chiaki mendadak turun; ia tidak mengambil apa pun dari bento-ku.

"Sepertinya ayah Ebisawa-san ingin kembali ke Amerika. Kurasa ada dokter spesialis di sana, jadi akan lebih mudah bagi mereka untuk melakukan pemeriksaan atau menjadwalkan operasi .... Aku tidak terlalu yakin rincinya, tapi sepertinya Ebisawa-san juga akan ikut pergi." 

"... begitu."

Jadi itu yang ia maksud dengan, Aku akan menghilang di bulan Juni?

Apa itu berarti, Mafuyu tidak akan pernah kembali lagi? Jadi karena itulah ia ingin kami melupakan semuanya .... 

Dan karena itu— aku tidak punya lagi kesempatan untuk meminta maaf padanya, ataupun kesempatan untuk tersenyum padanya. Aku tidak bisa lagi membuatnya marah, atau menakutinya dengan gambar zombie. Dan sebuah hal yang mustahil meminta bantuannya untuk menyetem basku.

Jika sejak awal aku tahu kalau ia benar-benar akan menghilang — jika aku tahu kalau yang dikatakannya itu akan menjadi kenyataan — maka aku akan melupakannya saja, dan akan sungguh kulakukan. 

Berdasarkan keterangan Chiaki, entah kenapa, Kagurazaka-senpai juga tidak masuk sekolah. Apa ia juga merasa bertanggung jawab atas yang terjadi pada Mafuyu? Itu tidak mungkin! 

"Apa ia akan kembali setelah pemeriksaan kesehatannya ...," gumam Chiaki. Aku mulai merasa itu sudah tidak penting lagi. Akulah yang benar-benar salah paham terhadap Mafuyu dan merusak segalanya. Aku selalu berpikir kalau suatu saat Mafuyu akan terbuka padaku, namun kenyataannya, ada sebuah dinding di antara kami, sebuah dinding yang lebih tebal dari pintu di ruang kelas praktik — yang suara pun sampai tidak bisa melaluinya. Dan aku hanya bisa mengagumi betapa indahnya musik itu — terlepas dari kami yang saling berjauhan, hanya dengan memainkan apa yang tertulis pada partitur, bisa kubayangkan kalau Mafuyu sedang berada persis di sampingku. Sungguh kuasa yang mengagumkan! Dan kini itu telah menghilang dari pandanganku.



Sesampainya di rumah, kubawa basku ke pusat daur ulang dan membuangnya di sana. Sepertinya saat Mafuyu membanting basku ke lantai, ada semacam aliran yang putus di suatu tempat. Bas itu tidak bisa lagi mengeluarkan suara apa pun. Kuputar kenopnya sampai maksimal, bahkan sampai kucoba membongkar lalu memasangnya kembali, tapi tidak ada yang berhasil. Dengan keahlian yang kupunya, masih ada kemungkinan untuk memperbaikinya, akan tetapi, jujur aku sedang tidak ada keinginan untuk melakukannya.

Setelah melihat pemandangan itu, Tetsurou pun sampai tidak melontarkan lelucon seperti, Anakku memang hebat, bisa menyerah dengan sangat cepat, atau, Jadilah perjaka seumur hidup, beliau bahkan sampai menyiapkan makan malam (yang sangat menjijikkan). Aku selalu mudah memberi tanggapan tidak berguna di situasi begini, namun aku tidak bisa mengutarakan perasaan penting yang ada dalam hatiku.

Sehabis makan malam, aku duduk sambil merangkul lututku, menghadap Tetsurou yang sedang mengerjakan artikelnya. Bisa kudengar pengeras suara yang sedang memainkan <Tarian Hungaria> dengan lembut di telingaku.

"... Tetsurou, apa kamu sudah dengar?" 

"Hmm? Oh, itu ...," jawab Tetsurou tanpa memindahkan pandangannya dari laptop, "Aku mendengar ada sebuah kabar dari paparazzi yang mengaku serba tahu dalam dunia musik. Apa kamu mau tahu tentang itu?"

"Apa itu tentang ... tangan kanan Mafuyu?" 

"Ternyata kamu sudah tahu!" 

"... aku tidak tahu!"

Aku baru menyadari semuanya setelah tidak ada satu pun yang bisa diperbaiki lagi. Tetsurou lalu menyingkirkan laptopnya ke samping. Beliau kemudian menatapku dan berkata,

"Mungkin sekitar tahun lalu? Sepertinya jari tangan kanannya mendadak tidak bisa bergerak sesaat sebelum ia memulai konser di Inggris. Konsernya pun dibatalkan. Mereka membawanya ke beberapa rumah sakit, tapi tidak bisa menemukan penyebabnya. Saat itu, ada beberapa yang mengatakan kalau itu mungkin saja dikarenakan gangguan obsesif-kompulsif."

Aku jadi teringat tatapan ketakutan di mata Mafuyu, dan tiba-tiba terpikir, mungkinkah itu berhubungan dengan ayahnya?

"Jadi itu alasan ia kembali ke Jepang. Mereka berpikir bahwa rehat sejenak dari piano, dan beberapa rehabilitasi, mungkin bisa membuatnya sembuh. Tapi keadaan tidak terlihat seoptimis itu, 'kan? Kondisinya semakin memburuk, dan ia harus pergi ke dokter untuk pemeriksaan rutin.”

Bisa kurasakan perih di dekat jantungku. Rupanya itulah yang sedang Mafuyu sembunyikan. Ia mengusir teman-teman sekelas yang berusaha mendekatinya, dan tidak mau mengakrabkan diri dengan yang lain. Ia cukup berhasil menjadi orang yang benar-benar menjengkelkan. Ditambah, semua yang berusaha mendekatinya itu adalah anak-anak bodoh, karena itu tidak satu pun yang menyadari ada hal ganjil pada jari-jemari tangan kanannya.

Bisakah kita tidak melakukan apa-apa tentang itu? 

Aku sungguh berharap ada yang berkata, Itu semua salahmu! atau, Ini sebenarnya bukan salahmu, langsung, tanpa ragu di hadapanku. Namun, setelah mendengar aku mengatakan itu, Tetsurou dengan dingin menjawab, 

"Memangnya aku bisa tahu? Pikirkan sendiri!"

Yang bisa kulakukan hanyalah menutupi kepalaku dalam keputusasaan.

"... Tetsurou, apa yang ada di pikiranmu saat menceritakan ini?"

Pertanyaan barusan sangat bodoh hingga aku sendiri pun menyesal mengatakannya. Itu sebabnya, setelah menanyakan itu, aku jadi tidak berani memandang Tetsurou.

"Tidak ada? Aku hanya merasa kalau itu sedikit disayangkan karena tidak bisa lagi mendengarkan ia bermain piano. Aku sungguh berharap setidaknya ia bisa membuat rekaman <Rangkaian Perancis> secara keseluruhan! Tapi bagiku, ia hanyalah satu dari sekian ribu pianis."

Kalau saja aku bisa berpikir sebagaimana halnya beliau — bukankah itu akan jauh lebih mudah buatku? 

"—soalnya itu memang tidak ada hubungannya denganmu, 'kan?" 

Aku pun mengangkat kepalaku untuk menatapnya. Tetsurou sekilas melirikku dan berkata, "Bodoh, kalau begitu kenapa tadi bertanya?" lalu mengarahkan kembali perhatiannya pada artikel yang dikerjakannya tadi.



Setelah masuk ke kamarku yang ada di lantai dua, aku langsung merebahkan diri ke ranjang tanpa mengganti pakaianku. Kupejamkan mata, dan berencana untuk melupakan semuanya, seperti yang diminta Mafuyu.

Harusnya itu mudah untuk dilakukan. Aku begitu yakin terhadap daya ingatku yang lemah, dan dalam beberapa bulan, aku pasti sudah lupa kalau seseorang yang bernama Mafuyu itu pernah ada. Dan aku tidak akan mengingat apa pun yang berhubungan dengan bas. Aku akan kembali ke kehidupan di mana kuhabiskan waktu dengan membenamkan diri dalam musik orang lain. 

Andai saja aku tidak menghiraukan suara orang yang mengetuk jendelaku dua hari kemudian ....


Read more ...»