Oregairu Bab 3 Bagian 9

On Rabu, 15 Januari 2014 0 komentar

==========================================================
Akhirnya selesai juga Episode 1, eh Bab 3... Selambat-lambatnya penerjemahan ane, biasanya 1 episode anime mungkin cuma makan waktu kira-kira 7 jam, tapi untuk LN ini, untuk sampai selesai di Bab 3 (yang adapatasi anime-nya sampai di Episode 1) bisa makan waktu sampai 7 bulan pengerjaan... Ckckck...
Jadi dengan ini, ane umumkan kalau ane mau hiatus dulu bareng sebentar (gak lama, kok)... Yah, mungkin karena penat, kesibukan di RL, dan bermacam faktor lain...
Betewe, ilustrasi Bab 3 sudah ane tambahkan dan sudah diterjemahkan (silakan lihat di posting-an Jilid 1 Bab 3), terima kasih buat agan Kemslei atas typeset-nya... Dan ane baru ingat kalau pojok komentar blog ini belum ane bebaskan... Jadi sekarang anon bisa ikutan nimbrung komen... (tapi setidaknya, walau anon, pakai tambahkan nama gitu...)
Karena ini post terakhir sebelum ane hiatus... Jadi silakan agan sekalian kasih pendapat (mengenai segala tetek bengek yang ada di blog ini), entah itu pendapat baik atau buruk, pasti ane terima, dan sesegera mungkin akan ane tanggapi... Yah itu bisa termasuk saran, kritik, keluhan maupun keberatan... Tak terkecuali request proyek dan pengajuan diri menjadi staff (Ge'er)...
Siapa tahu dengan adanya pendapat dari agan sekalian, nantinya setelah ane balik dari hiatus, ane bisa kembali dengan pemikiran yang lebih segar, pengerjaan yang lebih rapi, hasil yang lebih baik, dan mungkin dengan membawa proyek LN yang baru...
Apa pun itu, terima kasih bagi agan sekalian yang sudah mengikuti blog ini dari awal...
Akhir kata... (Karena sudah tl;dr)
Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 3 - Berulang Kali, Yui Yuigahama Bersikap Gelisah

Bagian 9


Akhirnya aku mengerti seperti apa inti dari kegiatan Klub Layanan Sosial. Singkatnya, ini adalah klub yang memberi saran serta membantu para murid untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Meski begitu, keberadaan klub ini masih jarang diketahui. Bahkan, aku sendiri sempat tak tahu kalau klub ini ada. Tapi itu bukan berarti kalau aku tak mengenal sekolahku sendiri.

Jika dilihat dari sikap Yuigahama yang seolah tak menyadari keberadaan klub ini sebelumnya, maka harusnya ada orang yang bertindak sebagai perantara dan mengarahkan orang-orang yang membutuhkan saran tersebut agar datang ke tempat ini. Perantara itu pastilah Bu Hiratsuka.

Terkadang, beliau harus mengarahkan murid-murid yang memiliki kesulitan juga masalah supaya datang kemari. Tepatnya ke ruang isolasi ini.

Di dalam ruang karantina ini, yang selalu kulakukan hanyalah membaca buku. Soalnya, meminta nasihat sama artinya seperti membeberkan masalah pribadi. Jika hal itu didiskusikan dengan teman sebaya, yang ada, itu justru jadi penghalang bagi para murid yang berperasaan sensitif.

Semenjak kedatangan Yuigahama yang kemari atas anjuran Bu Hiratsuka, sudah tak pernah lagi ada orang yang datang ke tempat ini. Meski saat ini tak ada pengunjung yang datang, tapi kegiatan klub masih berjalan seperti biasanya. Aku maupun Yukinoshita seolah tak keberatan dengan kesunyian semacam ini, menghabiskan waktu dengan membaca buku begini, rasanya begitu damai.

Itu sebabnya, ketika ada yang mengetuk pintu, suara ketukannya terdengar menggema.

"Yahhalo!" Terdengar sebuah salam konyol dan tak bermutu seiring Yuigahama yang menggeser pintu masuk. Saat kualihkan pandangan dari paha mulusnya yang cuma sedikit tertutupi rok mini itu, mataku sekarang tertuju pada blusnya yang terbuka lebar di bagian dada. Sudah kuduga, ia memang perempuan yang dipenuhi oleh aura bispak.

Yukinoshita berdesah sembari memejamkan matanya. "...mau apa lagi?"

"Hah? Apa aku enggak begitu diterima di sini? ...jangan-jangan, kau... membenciku, ya, Yukinoshita?" Bahu Yuigahama gemetar usai ia mendengar gumaman Yukinoshita.

Yukinoshita menghela napasnya sembari berpikir sejenak. Ia lalu menjawab dengan suara datar. "Aku tak membencimu... hanya saja, kurasa akan merepotkan bila berurusan denganmu..."

"Bagi perempuan, itu sama saja kalau kau membenciku!"

Yah, tampaknya tak ada seorang pun di dunia ini yang ingin dirinya dibenci. Dilihat dari luar, Yuigahama memang terlihat seperti perempuan bispak kebanyakan, tapi melihat tanggapannya tadi, ia malah lebih seperti perempuan biasa pada umumnya.

"Jadi, ada perlu apa kemari?"

"Eng, kau tahu, enggak, kalau belakangan ini aku mulai serius dalam memasak?"

"Tidak tahu. Baru kali ini aku mendengarnya."

"Yah, pokoknya begitu, deh. Aku berterima kasih atas bantuanmu tempo hari. Oh, iya, aku juga sudah membuatkan beberapa kue kering, lo..."

Seketika itu juga wajah Yukinoshita memucat. Jika memikirkan seperti apa kue buatan Yuigahama, hal yang pertama terlintas adalah sekumpulan batu bara hitam pekat yang sempat ia buat sebelumnya.

Bahkan, hanya dengan mengingatnya saja, kerongkongan juga otakku langsung mengering.

"Saat ini aku tak sedang begitu berselera, jadi terima kasih. Kuterima niat tulusmu itu dengan senang hati." Yukinoshita mungkin jadi hilang selera karena ucapan Yuigahama yang menyebutkan kalau ia sudah membuatkan kue kering untuknya. Karena Yukinoshita orang yang baik, makanya ia tak mengatakannya dengan blakblakan.

Tanpa menghiraukan penolakan sopan yang dilakukan Yukinoshita, Yuigahama malah bersenandung seolah tak mendengar sewaktu ia mengeluarkan sebuah kemasan plastik dari dalam tasnya. Jelas terlihat kalau itu adalah kue kering berwarna hitam pekat yang dibungkus dalam kemasan cantik.

"Ternyata terasa menyenangkan sewaktu membuatnya. Kapan-kapan aku mau coba buat bekal makan siang juga, deh! Nah, kalau begitu, kita makan siang bareng yuk, Yukinon."

"Tidak, aku lebih senang kalau makan sendirian, jadi aku menolak... dan tolong jangan memanggilku Yukinon. Terdengar kurang enak di telinga."

"Serius?! Kau enggak merasa kesepian? Yukinon, kau makan siang di mana?"

"Di ruang klub... hei, kau ini tidak mendengarku, ya?"

"Baiklah, karena aku juga enggak punya kegiatan sepulang sekolah, jadi aku akan bantu-bantu di klub ini. Yah, anggap saja ini semacam... balas budi. Jadi jangan terlalu dipikirkan."

"...kau ini memang tidak dengar, ya?" Yukinoshita benar-benar telah hilang terbawa oleh arus pembicaraan Yuigahama. Ia terus menatapku seolah ingin berkata, Lakukan sesuatu padanya!

Memangnya aku bersedia membantunya, apa? Selama ini ucapannya selalu menyakitiku dan ia pun belum membayar Yasai Seikatsu yang kubeli tempo hari... lagi pula, Yuigahama itu kan temannya.

Kalau boleh jujur, sebenarnya Yukinoshita sudah setulus hati mau mengatasi permasalahan Yuigahama, jadi kupikir, itulah alasan yang membuat Yuigahama sampai bersikeras mau membalas budi padanya. Maka dari itu, Yukinoshita sesungguhnya punya hak serta kewajiban untuk menerima pemberiannya.

Rasanya tak sopan kalau aku ikut campur, jadi kututup saja buku bacaanku dan langsung beranjak dari kursi. "Sampai ketemu besok." Kalimat perpisahan itu kugumamkan pelan-pelan agar tak didengar oleh mereka. Setelahnya, aku lalu bersiap pergi.

"Ah, Hikki!"

Saat aku berbalik, benda hitam pekat melayang terbang ke arah wajahku. Dengan spontan kutangkap benda tersebut.

"Karena kau sudah ikut membantu, kurasa aku juga perlu berterima kasih padamu."

Benda hitam pekat itu dicetak dalam bentuk hati. Mencurigakan sekali. Yah, walau mencurigakan, tapi karena ia mau berterima kasih padaku, jadi kuterima saja.

Oh, dan berhenti memanggilku Hikki.


— II —


Read more ...»

SPS Jilid 1 Bab 3

On 0 komentar

==========================================================
Mungkin kalau diadaptasi jadi anime, Bab ini jadi penutup episode 1...
Betewe... Mito Koumon adalah serial drama dari Jepang yang berkisah seputar sosok kehidupan Mito Mitsukuni, mantan wakil shogun dan daimyo kedua wilayah Mito... Dalam serial tersebut Mitsukuni menyamar sebagai seorang pensiunan pedagang jajanan, dengan memakai nama Mitsuemon... Dan goinkyo, ご隠居 (ごいんきょ) adalah sebutan bagi orang yang telah pensiun dalam masa kerja... Namun terkadang sebutan tersebut bisa disematkan untuk orang yang ditetuakan, biasanya dalam suatu instansi... Pasti terasa aneh, ya... Cuma di seri ini ane memang berusaha mau melakukan pendekatan dengan istilah Jepangnya... Karena ane menggunakan honorifiks, ya, jadi mau gak mau harus konsisten...

Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 3 - Kebohongan, Bento, Partita


Di pagi hari, sewaktu homeroom, ketika wali kelas kami yang dijuluki goinkyo (karena beliau terlihat seperti Mito Koumon) — membawa serta seorang gadis masuk ke dalam kelas, seketika itu juga suasana kelas langsung membeku. Aku tidak menyadari perubahan suasana yang terjadi, karena saat itu aku merasa mengantuk sembari mendengarkan discman-ku.

Baru setelah Chiaki, yang duduk di depanku, berbalik dan mendorong bahuku, dengan cepat kulepas earphone yang menempel di telingaku. Tidak peduli ada atau tidaknya homeroom, ruang kelas ini selalu dipenuhi percakapan di tiap paginya. Meski begitu, aku masih bisa mendengar beberapa teman sekelas yang berbisik kala itu.

"Hei, gadis ini ...."

"Yak, sepertinya begitu."

"Ebisawa—"

"Eh~? Serius? Padahal kata orang, keberadaannya kini belum diketahui, 'kan?"

Pandanganku tertuju ke podium pengajar, dan discman-ku hampir saja jatuh ke lantai. Gadis di podium itu menata rambutnya ke belakang. Karena gaya rambut itu sama persis dengan yang ada di iklan, maka semua orang langsung mengenalinya. Ia memang Ebisawa Mafuyu. Ia mengenakan seragam sekolah kami, tapi itu terasa seolah seseorang telah mengerjai kami. Apa-apaan ini? Aku tidak mengerti apa yang goinkyo katakan, dan untuk sesaat aku tidak bisa memahami fakta kalau ia pindah ke sekolah kami.

"Dipersilakan bagi Ebisawa-san untuk memperkenalkan diri," kata goinkyo dengan santai sambil menyerahkan sebatang kapur kepada gadis itu.

Mafuyu memegang kapur itu dengan ibu jari dan telunjuknya saja. Setelah memandang tidak nyaman pada kapur tersebut disertai wajah memucat, ia berputar menghadap papan tulis. Saat itu juga, kapur yang dipegangnya terselip dari jari-jarinya, dan suara patahan tiba-tiba memecah keheningan ruang kelas.

Kesunyian yang lebih senyap mengikuti setelahnya. Yang dilakukan Mafuyu hanyalah terdiam menatap pada kapur (yang mungkin sudah hancur). Goinkyo hanya bisa mengelus pelan-pelan jenggot kebanggaannya, sedangkan bagi kami, para murid yang baru masuk sekitar satu bulan, tahu bahwa gelagat sensei yang semacam itu adalah pertanda jika beliau tidak percaya dengan apa yang terjadi.

"Hmm, yah ...," ujar sensei dengan suara lemah, dan sesudah mengambil kapur yang terpecah jadi dua itu, beliau memberikannya pada Mafuyu. Akan tetapi, saat Mafuyu mengambil kapur tersebut, jari-jarinya jelas tampak gemetaran.

Pada akhirnya, Mafuyu menatap ke lantai dan menggelengkan kepalanya. Ia lalu meletakkan kapur itu pada tempatnya.

"Saya tidak mau menulis nama."

Setelah ia mengatakan hal tersebut, udara di dalam kelas terasa seolah dialiri arus listrik. Tunggu, apa yang sebenarnya dara muda itu katakan?

"Cuma nama saja harusnya tidak apa-apa, 'kan?" kata goinkyo. Beliau berkata dengan nada rendah dan pelan, namun jelas terlihat kebingungan yang beliau tampakkan dari gerakan tangan di sekitar pahanya.

"Saya tidak mau."

"Hmm .... Kenapa?"

"Saya tidak suka nama marga saya."

Efek perkataan Mafuyu terasa bagai sedang menuangkan nitrogen cair pada ruang kelas yang sudah membeku. Kusadari pula ekpresi Mafuyu sewaktu ia menggigit bagian bawah bibirnya. Itu adalah ekspresi yang sama seperti yang ditunjukkannya hari itu — hari di mana kami pertama kali bertemu, ekspresi yang ditunjukkannya ketika kami berpisah.

Tapi tentu saja, aku tidak berbicara sepatah kata pun. Yang menjadi penyelamat kala itu adalah anak perempuan yang duduk di kursi depan.

"Tidak apa-apa, Sensei. Kami semua sudah tahu namanya, kok."

"Benar. Namanya Ebisawa Mafuyu, 'kan?"

"Yak—"

Suasana kelas berubah jadi begitu aneh. Bisik-bisik seperti, "Bukannya ia pianis yang itu ...," dan "Aku pernah melihatnya di iklan", saling bersahutan. Kusadari kaki ramping Mafuyu sedikit gemetar akibat reaksi yang ditunjukkan teman sekelas kami. Mungkin aku satu-satunya orang yang menyadari tanda bahaya itu.

"Ah, hmm, kalau begitu ...," goinkyo melihat ke arah Mafuyu, dan berkata dengan tenang. "Ebisawa-san, apa ada yang ingin kamu sampaikan pada teman-teman sekelasmu?"

Seorang gadis tiba-tiba mengangkat tangannya dan bertanya. "Boleh tahu kapan kamu akan mengeluarkan album berikutnya?"

Aku tidak begitu ingat namanya, tapi aku ingat kalau gadis itu memang banyak bicara. Pertanyaan itu adalah ujung tombak dari rentetan pertanyaan berikutnya.

"Bukankah kamu pernah bilang akan belajar ke Sekolah Musik?"

"Tidak ada lagi iklan baru yang menyertakanmu. Kenapa begitu?"

Beberapa anak laki-laki yang masih bingung tentang situasi ini bertanya. "Iklan apa?" "Itu, lo ..., iklan asuransi. Masa enggak tahu?" "Oh, iklan itu. Aku tahu." "Hmm? Yang benar?" Suasana ruang kelas tiba-tiba menjadi ramai.

Mafuyu menatap langit-langit dengan pandangan tegang, dan saat itulah ia tiba-tiba berkata dengan suara nyaring dan melengking.

"Tolong lupakan semuanya."

Kesunyian yang meliputi ruang kelas tampak bagai permukaan danau yang membeku.

Suara tegang Mafuyu terus bergema di ruang kelas
sama seperti waktu itu.

"... aku akan menghilang di bulan Juni, jadi kumohon, lupakan saja aku."

Tidak seorang pun berbicara setelah mendengar Mafuyu berkata begitu, dan tidak seorang pun tahu harus seperti apa lagi berkata-kata. Hal yang menyelamatkan kami dari ketidaktahuan ini adalah bunyi bel yang menandakan akhir homeroom.

"Ah, be-begitukah? Kalau begitu ..., Ebisawa-san, silakan duduk di kursi yang ada di sana."

Goinkyo menunjuk ke belakang kelas. Saat aku tersadar, kusadari kalau ternyata ada satu kursi kosong di samping kiriku.

"Di sini yang menjabat ketua kelas adalah Terada-san, jadi silakan bertanya padanya apa yang belum kamu pahami."

Terada-san adalah anak yang pertama kali bertanya pada Mafuyu. Goinkyo lalu menjepit daftar hadir dan catatan pelajaran yang sudah terbundel di bawah lengannya, dan dengan cepat berjalan keluar dari kelas.

Mafuyu lalu meneguk air liurnya dan sedikit mengatur pernapasan. Sesekali ia meninjau ruang kelas dengan pandangan tidak ramah dan penuh waspada, sebelum melangkah turun dari podium pengajar tanpa bersuara. Ruang kelas pun sunyi senyap. Semuanya menatap pada setiap gerakannya saat ia berjalan di antara deretan meja dan tempat duduk. Mungkinkah Mafuyu memang akan menghilang andai kami sekejap saja melepaskan pandangan darinya? Ah, itu kedengarannya sangat bodoh
mustahil, namun akhirnya aku tetap mengikuti perbuatan mereka. Mungkin dikarenakan semua tatapan tersebut, hingga Mafuyu sengaja menutupi wajahnya saat melewati kursiku. Suara langkah kaki tiba-tiba berhenti di sampingku—

"—ah!"

Ia menyadarinya. Mafuyu menunjuk ke arahku dengan jarinya yang sedikit gemetar, dan berteriak sambil terkejut. "Ke-ke-kenapa kamu ada di sini?"

Kulingkari kepalaku dengan kedua lengan, lalu menempelkannya ke meja. Kusadari kalau semua anak di kelas ini sedang memandangiku. Sudahlah, jangan ganggu aku.

"Apa? Jadi kalian berdua saling kenal?" Chiaki menatap Mafuyu, lalu menatapku. Aku menggelengkan kepalaku berkali-kali, seakan hendak mengelap meja dengan dahiku hingga bersih.

"Enggak, enggak, enggak, aku enggak kenal sama anak ini. Ia pasti salah orang."

Namun Mafuyu lalu berkata. "Kenapa kamu berbohong!?"

"Bukannya kamu sendiri yang memintaku untuk melupakanmu?"

"Nah, itu kamu ingat! Kamu ingat kalau aku yang dulu memintamu untuk melupakanku!"

Ahhhh ..., aku enggak tahu lagi, deh.

"Hmm, makanya tadi kubilang kalau aku sudah lupa semuanya. Lagi pula, kamu ini siapa?"

"Dasar pembohong!"

Kurasa percakapan kami tadi pasti terdengar sangat bodoh. Obrolan antar teman sekelas kami pun menjadi semakin keras, sementara tatap mata penasaran Chiaki bahkan terasa lebih menusuk. Jam kedua adalah mata pelajaran Sastra Lama yang paling kubenci, namun di saat yang sama, sosok guru bahasa yang sudah tua itu terlihat seperti sang penyelamat di mataku.


Meski aku mempertimbangkan wajah cantik jelita dan status selebritinya, Mafuyu adalah tipe gadis yang sengaja tidak ingin kudekati. Sejak hari kepindahannya di sekolah ini, dirinya terus dikelilingi sekelompok gadis yang ingin tahu dan ingin bertanya berbagai hal padanya. Namun kadang, selain berkata, "Enggak tahu" dan "Aku tidak mau jawab", ia sulit sekali memberi jawaban atas berbagai pertanyaan tersebut.

"Kenapa di saat yang kurang pas begini, ia malah pindah ke sekolah ini?"

Saat istirahat makan siang, Chiaki menatap ke arah kerumunan orang itu dan pelan-pelan bertanya.

"Padahal sekolah kita cuma SMA biasa, lalu ia mengambil Seni Rupa sebagai mata pelajaran pilihan. Kenapa begitu, ya?"

Di sekolah ini, kami harus memilih antara Musik, Seni Rupa atau Kaligrafi sebagai mata pelajaran seni pilihan. Sejujurnya, rasanya agak aneh seorang pianis tidak memilih bidang yang lebih ia kuasai.

"Kalau mau tahu, tanya langsung sama orangnya sana."

Chiaki melambaikan tangannya dan berkata. "Aku enggak bisa menerobos tembok manusia yang mengelilinginya," ia lalu mengambil beberapa potong makanan dari bento-ku dan memakannya dalam gigitan besar. Akhir-akhir ini, aku menyiapkan lebih banyak makanan di bento-ku, mengantisipasi kalau-kalau ia mengambil sebagiannya.

"Terus, kapan dan di mana kamu bertemu dengannya?"

"... di dalam mimpi?"

"Kamu mau kulempar ke UKS, ya?"

"Enggak, enggak. Duh, susah menjelaskannya."

"Masih ada banyak waktu sebelum istirahat makan siang selesai, jadi kamu bisa menjelaskannya dari awal," tatapan Chiaki menunjukkan tampang seolah tidak ingin dibantah, walau kini ia sedang tersenyum. Saat aku berusaha menghindari topik itu, tahu-tahu ia sudah menghabiskan bento-ku dengan begitu cepatnya.

Mafuyu terus menunjukkan perilaku antisosial selama pelajaran berlangsung tanpa sedikit pun ada rasa peduli — ia tidak mencatat, dan buku pelajarannya sering jatuh ke lantai. Meskipun statusnya masih murid pindahan, tapi ada beberapa guru yang tidak memberinya perlakuan khusus, dan segera memintanya naik ke podium pengajar; namun ia bersikeras tetap duduk di kursinya dengan menjawab, "Saya tidak mau," jujur, kupikir sikapnya itu tampak begitu keren, karena tidak mungkin aku mampu berbuat begitu meski aku ada keinginan untuk melakukannya. Dari yang Chiaki katakan padaku, yang ia lakukan saat pelajaran Olahraga hanyalah duduk dan mengamati dari pinggir lapangan.

Saat istirahat makan siang di hari kedua kepindahannya ke sekolah ini, sepertinya Mafuyu menganggap situasi yang dikelilingi gadis-gadis penasaran itu membuatnya sedikit geregetan, dan beberapa kali seolah meminta bantuanku dengan menatap penuh harap pada diriku melalui celah tembok manusia. Yah, aku tidak bisa membantunya meski ia mengharapkannya.

Sebagian besar pertanyaan yang ditanyakan para gadis itu adalah hal-hal tidak penting berupa, seperti apa studio itu; selebriti mana yang ada di perusahaan penyiaran, dan apakah ia kenal dengan mereka. Saat aku akan memundurkan kursiku dan berlari menjauh dari kerumunan tersebut, tiba-tiba kudengar suara *bam*, yang menandakan ada seseorang yang menggebrak meja. Aku menoleh, dan melihat Mafuyu berdiri di tengah kerumunan para gadis, dan menunjukku melalui celah tembok manusia. Dia berkata sambil berlinang air mata. "Tanya anak itu. Maniak itu punya semua albumku, dan harusnya ia tahu banyak tentangku."

Hah? Apa?

Mafuyu menendang jatuh kursinya, dan berlari melewatiku lalu keluar dari ruang kelas dalam sekejap.

Tatapan yang tidak terhitung jumlahnya terarah padaku, dan Ketua Kelas Terada-san yang pertama bicara.


"... apa hubungan antara maniak ini dengan Ebisawa-san?" kok aku dipanggil maniak!?

"Dari percakapanmu dengannya, kedengaran seperti kamu sudah mengenalnya."

"Ya, ya."

Gadis sialan, ia benar-benar mengatakan hal yang tidak bertanggung jawab cuma untuk melarikan diri dari mereka ....

Seorang anak lelaki berkata. "Anak pesolek ini mungkin tahu, karena ayahnya kritikus musik.”

"Musik klasik, ya ...."

"Jadi kamu sudah mengenalnya?"

"Ayahmu pasti tahu banyak tentangnya, 'kan?"

"Tanyakan beberapa pertanyaan saat kamu pulang nanti! Seperti alasan Ebisawa-san memilih belajar di sekolah ini. Ebisawa-san menolak bicara apa pun mengenai dirinya."

Mana mungkin aku tahu soal yang begitu, ya 'kan? Mereka pikir dunia musik klasik itu kecil? Meski aku jadi kepikiran, dengan ambigu, kuanggukan saja kepalaku agar bisa kabur dari situ.

Padahal sudah diperlakukan dingin begitu, namun ia masih saja ingin berbicara pada Mafuyu. Apa ketua kelas memang bermaksud ingin berusaha agar Mafuyu dapat bergaul dengan seisi kelas, atau itu karena kesabaran tingkat tingginya yang lahir dari sebuah rasa ingin tahu? Aku enggak tahu, deh. Mungkin sebagian kecil dari keduanya.


Hari itu, sekembalinya ke rumah, akhirnya kusadari betapa kecil dunia ini sesungguhnya.

"Tetsurou, kamu masih ingat Ebisawa Mafuyu?"

Kutanyakan hal itu pada ayahku sewaktu aku mempersiapkan makan malam, yang kala itu juga berada di ruang makan. Aku sudah lupa sejak kapan aku mulai memanggil ayahku dengan nama depannya — apa mungkin sesaat setelah ibuku pergi dari rumah? Aku tidak tahu kenapa, tapi aku tidak bisa lagi menganggapnya sebagai seorang ayah setelah kejadian itu.

Tetsurou duduk jongkok di atas kursi dengan mengenakan jersey-nya. Beliau menggunakan mangkok dan sumpitnya untuk bermain drum dengan irama waltz gubahan Tcaikovsky, yang terdengar nyaring lewat pengeras suara. Beliau terus meneriakkan. "Makan malamnya belum siap?" memangnya seperti itukah pria berumur empat puluh tahunan
yang juga telah memiliki anak lelaki — berperilaku?

Tetsurou menoleh, tapi tangannya masih bermain drum dengan mangkok. Kemarahan yang tiba-tiba, mulai berkembang dalam diriku. Aku merebut sumpitnya, lalu mematikan pengeras suara. Yang dilakukan Tetsurou cuma merengut seperti anak kecil.

"Aku tanya, apa kamu masih ingat orang yang bernama Ebisawa Mafuyu?"

"Hmm? Ya, aku ingat. Ebisawa Mafuyu, ya, Bach masih yang paling cocok untuknya. Ada beberapa bagian yang tidak mengalir dengan lembut di dekat semua partita-nya, tapi di situlah letak pesonanya. Terkadang, muncul beberapa anak muda yang bisa memainkan musik Bach dengan sangat baik. Contohnya ...."

"Cukup, aku tidak mau dengar pandanganmu mengenai hal itu."

Lupakan saja, deh. Di mata Tetsurou, gadis itu mungkin cuma salah satu dari sekian banyak pianis yang ada, jadi bisa dimaklumi kalau beliau hanya bicara hal-hal mengenai musik saja. Saat aku akan berjalan kembali ke dapur sambil memikirkan hal tersebut, Tetsurou lanjut berbicara.

"Tapi Ayah dengar ia pindah ke sekolahmu?"

"Bagaimana kamu bisa tahu?"

Aku berbalik karena terkejut, dan hampir terjatuh setelah tidak sengaja menendang pot.

"Ebichiri dan Ayah dulunya pernah jadi teman sekelas di sekolahmu. Karena Ebichiri adalah direktur di sekolah itu, sudah pasti ia akan memaksa anaknya untuk belajar di sana."

"Ah ..., benar juga, gadis itu kan putrinya."

Ebisawa Chisato
atau lebih sering dipanggil Ebichiri adalah salah satu dari sedikit konduktor terkenal. Ia pernah mengabdikan penuh dirinya untuk Orkestra Simfoni Boston dan Chicago, dan ia juga merupakan salah satu musisi terkenal dunia. Kebetulan, Tetsurou-lah yang memberinya nama panggilan tersebut kritikus memang orang-orang mengerikan.

Salah satu topik yang sering diperbincangkan ketika Mafuyu memulai debut adalah; ternyata ia anak dari 'Ebichiri yang namanya dikenal di seluruh dunia'. Pasti ada beberapa orang yang ingin coba memasangkan ayah dan anak tersebut untuk tampil dalam satu panggung, namun Mafuyu lebih dulu menghilang dari dunia musik sebelum hal itu menjadi kenyataan.

"Masalahnya, sekolah kami tidak lagi punya Musik sebagai mata pelajaran utama, kok ia masih mau saja pindah ke sekolah itu?"

"Ayah dengar itu karena putrinya yang terus-menerus mengeluh. Padahal sudah dipastikan kalau ia akan dimasukkan ke Sekolah Musik, tapi putrinya bilang kalau ia tidak mau. Ebichiri tidak punya pilihan selain mengizinkannya belajar di SMA biasa, makanya gadis tersebut pindah ke sekolahmu. Ia tidak lagi bermain piano, 'kan? Saat pertama kali mendengar permainan pianonya, Ayah merasa kalau ia salah satu tipe pianis yang bersifat merusak. Melodi balasannya terdengar seperti pertengkaran antar anggota keluarga."

Hmm? Tapi ....

Hari itu aku mendengarnya bermain piano saat di <Toko Swalayan Keinginan Hati>.

Jadi ia ... tidak lagi bermain piano? Kenapa?

"Oi, makan malamnya belum siap?"

"Makan malamnya~belum~siap?" Tetsurou mulai menyanyikan kata-kata itu dengan nada pada bagian <Engkau tidak 'kan pergi lagi> dari <Pernikahan Figaro>. Berisik, tahu. Kunyah saja rekaman atau apalah sana!

Kalau ia benar-benar meninggalkan piano karena suatu alasan, dan akhirnya memilih belajar di sekolah kami daripada di Sekolah Musik, maka masuk akal jika ia pindah di waktu yang kurang pas begini. Meski begitu, kenapa ia sampai meninggalkan piano?

Aku menggelengkan kepalaku dan tidak ingin lebih jauh memikirkan hal tersebut. Kalau anak-anak di kelasku mendengar hal yang barusan dikatakan ayahku, mereka mungkin akan berpikir kalau aku memang banyak tahu tentang Mafuyu. Kami cuma teman sekelas yang duduk bersebelahan, dan tampaknya ia memiliki sesuatu yang tidak ingin diketahui oleh orang lain. Karena tidak mungkin ia mengganggu hidupku atas kemauannya sendiri, satu-satunya yang bisa kulakukan hanyalah mengabaikannya saja, ya 'kan?

Tapi tetap saja, Mafuyu datang mengganggu hidupku di hari berikutnya—

—dengan cara yang sama sekali tidak terduga.


Read more ...»

Oregairu Bab 3 Bagian 8

On Senin, 13 Januari 2014 0 komentar

==========================================================
Ane senang banget cerita di Bagian ini... Walau bukan penutup Bab, tapi filosofinya dah berhamburan... Lalu penjelasan untuk acara yang dimaksud Yui yaitu, Ai no Epuron (愛のエプロン), yang di mana saat acara tersebut akan berakhir, sang pembawa acara menutupnya dengan kalimat, "Memasak adalah sebuah bentuk cinta, asal ada cinta, cinta saja tak masalah."... Kemudian untuk nama Narsisgaya yang ditujukan sebagai nama sindiran Hachiman, pada novel aslinya tertulis Narugaya (ナルが谷)... Naru (ナル) di sini adalah sebuah plesetan yang berarti: Bersikap narsis... Kebetulan cocok dengan kata 'gaya'...
Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 3 - Berulang Kali, Yui Yuigahama Bersikap Gelisah

Bagian 8


"Hikigaya, aku tak yakin dengan yang hendak kaulakukan ini. Apa ada maksud lain dari leluconmu tadi?" Yukinoshita menatapku risih.

"Ada sebuah kutipan yang berbunyi... Asal ada cinta, cinta saja tak masalah!!" Kusunggingkan senyum bangga sambil mengacungkan jempol.

"Acara itu kan jadul banget." Tanggap Yuigahama dengan suara pelan. Yah, itu memang acara yang disiarkan waktu aku SD dulu. Yukinoshita pun sepertinya tak mengerti maksud ucapanku dan memiringkan kepalanya karena kebingungan.

"Ibarat lomba lari halang rintang, fokus kalian hanya tertuju pada melompati rintangannya saja." Tanpa sadar aku tersenyum. Wah, perasaan superior apa ini? Seakan hanya aku saja yang tahu jawaban yang benar. Bikin aku geregetan saja.

"Begini... tujuan utama lari halang rintang bukanlah melompati rintangannya, tapi untuk sampai ke garis finis dengan waktu secepat mungkin. Tak ada aturan yang mengatakan kalau rintangan tersebut wajib dilompati. Da-dan tak per
" Tanpa sengaja bicaraku mulai terbata.

"Cukup, aku sudah paham maksudmu."
 

lu cemas soal menabrak, menggulingkan atau menghancurkan rintangannya. Itulah yang akan kukatakan andai Yukinoshita tak memotong ucapanku.

"Jadi kau mau bilang kalau kami sudah mencampuradukkan maksud dan tujuan kami yang sebenarnya, begitu?"

...aku tak begitu paham yang barusan ia katakan. Namun, aku yakin kalau ia mau mengatakan hal yang sama, karena itu aku mengangguk dan lanjut berbicara.

"Inti sesungguhnya dari hal tersebut yaitu pada seberapa kerasnya usaha kalian saat membuat kue kering. Jika kalian tak mengalami stres saat membuatnya, maka semua itu akan terasa hambar. Bagaimana orang bisa senang kalau rasanya sama saja seperti beli dari toko. Bahkan boleh dibilang, kue kering yang dibuat sendiri itu masih lebih baik walau rasanya kurang enak."

"Kurang enak?" Tanya Yukinoshita sambil menampakkan wajah kebingungan.

"Kalau kalian bisa membuat orang yang menerimanya berpikir. Yah, meski hasilnya kurang bagus tapi ia sudah berusaha semampunya. Maka orang tersebut akan salah sangka dan berpikir dengan wajah penuh harap, Ternyata ia sudah susah payah membuat kue kering ini demi aku..."

"Aku yakin tak sesederhana itu..."

Yuigahama melihatku curiga, seolah menyiratkan, Perjaka ini sebenarnya mau apa, sih?

Apa boleh buat. Mungkin harusnya kutambahkan saja sesuatu yang lebih menarik.

"...ini cerita tentang temannya temanku... ini cerita ketika ia baru memasuki masa SMA. Karena masih di awal semester, maka ketika itu adalah saat diadakannya pemilihan ketua kelas. Seperti yang sudah diduga, semua anak lelaki kala itu sedang di masa-masa gelisahnya, jadi mereka bakal menolak kalau ditunjuk menjadi ketua kelas. Tentu saja, mereka akhirnya memilih seseorang secara acak. Lalu, secara kebetulan temannya temanku itu pun terpilih. Guru lalu menyerahkan wewenang kepada anak tersebut dan memberinya tugas untuk memilih wakil perempuan. Itu merupakan beban berat bagi seorang anak pemalu, penakut dan pendiam seperti dirinya."

"Penjelasanmu terlalu bertele-tele. Cerita pembukamu juga terlalu panjang."

"Diam dan dengarkan saja dulu. Pada saat itu, dipilihlah salah seorang anak perempuan. Perempuan itu punya wajah yang manis. Dan dengan demikian, maka pasangan ketua kelas yang baru pun diresmikan. Sang wakil perempuan kemudian tersenyum senang sambil berkata, Mohon kerja samanya untuk satu tahun ke depan. Setelah itu, ia mulai membicarakan berbagai hal dengan temannya temanku ini. Jadi, si temannya temanku ini mulai berpikir, Wah, apa ia suka padaku, ya? Mungkin ia sengaja agar terpilih karena aku juga ikut terpilih. Ia begitu akrab saat bicara denganku, maka sudah jelas kalau ia memang suka padaku! Dan tak makan waktu lama baginya untuk meyakinkan hal tersebut. Yah, kira-kira satu minggu."

"Wah! Cepat banget." Yuigahama menaikkan volume suaranya sembari menganggukkan kepala.

"Ya iya, lah. Kau tak boleh berlama-lama jika menyangkut soal asmara. Jadi, seusai jam pelajaran, saat mereka sedang mengambil fotokopi materi yang diminta guru, temannya temanku ini mencoba mengutarakan perasaannya:

He-hei, apa sudah ada anak yang kautaksir?

Ha-hah? Tak ada, kok!

Jawabanmu tadi malah menunjukkan kalau itu memang ada! Jadi siapa?

...menurutmu siapa?

Mana aku tahu. Kasih petunjuk, dong! Petunjuk!

Ah, tak mau, ah...

Kalau begitu kasih inisial namanya saja. Inisial nama atau marga juga tak apa-apa, kok. Ayolah!

Eng... kurasa itu tak jadi masalah.

Serius?! Sip! Jadi, apa inisialnya?

...H.

Eh... jangan-jangan itu... aku, ya?

Hah? Kau ini bicara apa? Jelas tak mungkin! Menjijikkan banget. Sudah, tak usah dibahas lagi.

Ah... haha... iya, iya. Aku cuma bercanda.

Eng... soalnya tadi kau tampak serius, sih... baiklah, karena sudah selesai, aku pulang dulu.

O-oke.


Lalu setelahnya, hanya tinggal diriku saja yang ada di dalam kelas, kutatap matahari yang terbenam sambil berlinangan air mata. Tapi yang lebih mengejutkan, keesokan harinya saat di sekolah, semua teman-teman sekelasku sudah tahu akan hal tersebut."

"Oh, ternyata itu cerita tentang dirimu..." Gumam Yuigahama, sambil bersikap canggung saat mengalihkan tatapannya.

"Eh, apa? Ya bukan, lah. Aku tak cerita tentang diriku, kok. Kalau yang barusan itu, yah, cuma berandai-andai kalau misal itu aku."

Tanpa memerhatikan penjelasanku, Yukinoshita pun berdesah karena merasa jengkel. "Dari awal ketika kaubilang kalau itu cerita temannya temanku, aku sudah bisa menebaknya. Karena setahuku, kau itu tak punya teman."

"Apa kaubilang?!"

"Terlepas dari pengalaman traumatismu, sebenarnya apa tujuanmu menceritakan hal barusan?"

Sudah pasti ini ujung-ujungnya bakal buruk. Soalnya, kejadian itu adalah penyebab para anak perempuan mulai semakin membenciku. Para anak lelaki bahkan memberi julukan Narsisgaya padaku dan... yah, aku rasa itu bukan masalah besar. Kucoba untuk bersikap tegar dan lanjut berbicara.

"Yang ingin kusampaikan adalah, anak lelaki itu makhluk yang sederhana. Mereka bakal salah paham hanya karena kalian bicara dengan mereka, dan mereka akan kegirangan hanya karena diberi kue kering. Jadi..." Aku berhenti sementara untuk melihat Yuigahama. "...kue kering ini bukanlah sesuatu yang istimewa... meski di beberapa bagian agak keras saat dikunyah, tapi sejujurnya tak masalah asal itu tak menjijikkan."

"Be-berisik!" Wajah Yuigahama memerah karena marah. Beberapa kantong plastik dan kertas kedap minyak dilemparkannya ke arahku. Meski itu mengenaiku, nyatanya ia memilih melempar benda yang takkan menyakitiku, itu tandanya kalau ia memang orang yang baik. Eh... apa mungkin ia menyukaiku, ya? Atau itu hanya sekadar main-main? Yah, jangan sampai kejadian waktu itu terulang lagi, deh.

"Kurang ajar kau, Hikki! Kau membuatku jengkel. Aku pergi saja!" Yuigahama menatap tajam ke arahku, sambil menenteng tasnya, ia lalu berdiri. Ia menuju ke pintu sambil berucap, Huh! Sembari berjalan keluar. Kedua bahunya tampak gemetaran.

Cih. Mungkin bicaraku sudah kelewatan... kini aku malah jadi kepikiran karena sudah berbicara seenaknya. Karena itu kucoba lanjut bicara dengan bahasa yang lebih baik.

"Yah, asal kautahu saja... jika kau memberi kesan kalau kau sudah berusaha keras saat membuat kue kering ini, bukankah itu bisa membuat hati anak lelaki tersentuh?"

Yuigahama yang sudah berada di depan pintu langsung menoleh ke belakang. Aku tak bisa melihat ekspresi wajahnya karena silau oleh sinar matahari senja.

"...Hikki, memangnya kue kering itu membuatmu tersentuh?"

"Hah? Tentu saja aku sangat tersentuh! Maksudku, hanya dengan kau bersikap baik padaku saja, aku sudah ada di situasi di mana aku bakal jatuh cinta padamu. Dan berhentilah memanggilku Hikki." Tanggapku langsung ke intinya.

"Oh... baiklah." Jawab Yuigahama dengan santai sebelum ia langsung memalingkan kembali wajahnya ke arah pintu. Lalu sewaktu tangannya sudah di gagang pintu, Yukinoshita memanggilnya.

"Yuigahama, bagaimana dengan permintaanmu?"

"Oh, enggak usah cemas, sudah bukan masalah lagi, kok. Lain kali, akan kucoba dengan caraku sendiri. Terima kasih, ya, Yukinoshita." Yuigahama lalu berbalik menghadap Yukinoshita sambil tersenyum. "Sampai ketemu besok." Ia pun beranjak sambil melambaikan tangan, kemudian berlalu pergi dengan celemek yang masih terpasang di seragamnya.

"...apa kira-kira yang tadi itu sudah cukup untuknya?" Bisik Yukinoshita, sambil menatap ke arah pintu. "Menurutku, agar bisa berkembang, orang-orang harus berusaha keras hingga mencapai batas kemampuan mereka. Karena pada akhirnya semua itu juga akan bermanfaat bagi mereka."

"Yah, itu memang benar. Usaha keras takkan pernah mengkhianatimu. Walau itu mungkin akan mengkhianati mimpi-mimpimu."

"Apa bedanya?" Angin lalu membelai wajah Yukinoshita sewaktu ia menoleh ke arahku. Rambutnya pun berayun lembut mengikuti hembusan angin.

"Meski kau sudah berusaha keras, tak berarti mimpi-mimpimu akan jadi kenyataan. Faktanya, masih ada banyak kejadian yang berujung ke arah itu. Namun setidaknya, kau bisa mendapat kepuasan atas usaha kerasmu tadi."

"Itu hanya sekadar pemuasan diri."

"Yah, paling tidak itu tak mengkhianati dirimu sendiri."

"Menghibur diri sendiri, rupanya... membuatku jijik saja."

"Orang-orang, termasuk kau di dalamnya, sudah bersikap terlalu kejam padaku. Harusnya kau bisa sedikit membiarkanku untuk menghibur diriku sendiri. Dan kurasa orang-orang mestinya juga harus bersikap lebih lembut pada diri mereka sendiri. Jika semua orang nantinya jadi putus asa, maka dunia ini sudah takkan lagi punya harapan."

"Ini pertama kalinya aku bertemu seorang idealis yang punya pandangan sepesimis itu... jika pemikiranmu tadi diterapkan oleh orang-orang, maka dunia bisa jatuh dalam kehancuran." Tandas Yukinoshita dengan ekspresi terkejut, tapi aku justru senang dengan pemikiranku ini.

Pada akhirnya, para pengangguran ingin mendirikan sebuah negara yang dibangun khusus untuk golongan mereka sendiri. Yang diberi nama: Penganggurantopia... dan mungkin akan runtuh hanya dalam kurun waktu tiga hari.




Mundur
Lanjut
Read more ...»

Oregairu Bab 3 Bagian 7

On Kamis, 09 Januari 2014 0 komentar

==========================================================
Wah, ternyata cukup lama juga gak update... Bab 3 ini memang banyak kosakata memasaknya, sampai bikin ane cari-cari referensi dari buku resep...
Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 3 - Berulang Kali, Yui Yuigahama Bersikap Gelisah

Bagian 7


Yuigahama menirukan pengerjaan maupun tindakannya, seolah ia setengah berhasil menyalin apa yang Yukinoshita lakukan. Begitulah, karena ia cuma mengulang pembuatan kue keringnya, jadi itu terasa seperti memutar-mutar kata saja. Aku yakin kue kering yang sudah jadi nanti bakal tak enak dimakan. Dan yang kulakukan kini hanyalah memutar-mutar kata yang tak ada juntrungnya.

Biarpun begitu...

"Yuigahama, bukan begitu caranya. Saat kau mengayak tepungnya, cobalah untuk mengayaknya dalam pola lingkaran. Lingkaran, kubilang, lingkaran. Kau paham, tidak? Apa sewaktu SD kau tak diajari tentang lingkaran?"

"Sewaktu mencampur bahan-bahannya, pastikan kau memegang mangkuknya dengan benar. Kau justru memutar-mutar mangkuknya, bahan-bahannya jadi tak tercampur sama sekali. Jangan diaduk, gulung mengikuti campuran bahannya."

"Tidak, tidak, yang kaulakukan itu keliru. Kau tak perlu menambahkannya walau itu untuk menguatkan rasa. Bahan seperti persik kalengan tak perlu ditambahkan sekarang. Lagi pula, bahan tersebut mengandung banyak air, adonannya bisa hancur. Dan itu tak bisa diperbaiki lagi."

Yukinoshita
Sang Yukino Yukinoshita benar-benar pusing dibuatnya. Ia tampak sungguh tertekan.

Ketika Yukinoshita selesai memasukkan adonannya ke dalam oven, ia menarik napas. Sikap galaknya perlahan menghilang, dan setetes keringat mengalir di dahinya.

Saat Yuigahama membuka ovennya, aroma yang sedap menyeruak; ini hampir mirip seperti kue kering yang dibuat Yukinoshita sebelumnya. Akan tetapi...

"Kue keringnya kelihatan beda..." Putus asa, bahu Yuigahama pun terturun.

Setelah mencicipinya, aku bisa bilang kalau kue keringnya jelas berbeda dengan buatan Yukinoshita. Meski begitu, buatan Yuigahama ini masih layak disebut kue kering. Dibandingkan dengan batu arang yang ia buat sebelumnya, ini jauh lebih baik. Jujur, aku tak keberatan memakannya.

"...harus kuajari seperti apa lagi supaya kau bisa paham?" Kebingungan, Yukinoshita pun memiringkan kepalanya seolah sedang berpikir.

Sewaktu menyaksikannya tadi, kusadari sebuah alasan yang jelas: Ia memang payah dalam hal menjelaskan sesuatu.

Kalau boleh jujur, Yukinoshita memang orang yang genius, dan karena hal itu, ia jadi tak mau memahami perasaan orang biasa. Ia hanya tak dapat menerima alasan di balik kegagalan mereka.

Sebagai contoh, penerapan yang tepat untuk sebuah resep mirip seperti sebuah rumus dalam matematika. Orang-orang yang payah dalam matematika pasti tak mengerti cara kerja sebuah rumus hingga bisa menghasilkan sebuah jawaban. Mereka bahkan tak paham kenapa rumus itu perlu untuk digunakan.

Yukinoshita hanya tak bisa mengerti alasan kenapa Yuigahama masih belum bisa paham. Bila aku berkata begitu padanya, itu malah terdengar seolah aku yang menyalahkan dirinya. Padahal bukan. Yukinoshita sudah berusaha semampunya; masalahnya ada pada Yuigahama.

"Kenapa masih belum benar juga? ...padahal aku sudah membuatnya sesuai yang kauajarkan." Yuigahama menundukkan kepalanya, tertegun sembari mengambil kue keringnya.

Jika ada orang yang percaya kalau seseorang yang benar-benar pandai harusnya juga bakal pandai dalam mengajari orang lain, tak peduli betapa bodohnya yang diajari, maka orang tersebut salah. Tak peduli bagaimanapun cara mengajarinya, sekali bodoh tetaplah bodoh, itu sebabnya orang bodoh sulit untuk mengerti. Biar berkali-kali pun diajari, satu pun mungkin tak ada yang menyangkut.

"Hmm... ini beda sekali dengan buatanmu, Yukinoshita." Yuigahama sudah tampak patah semangat, dan Yukinoshita telah membenamkan kepala dalam dekapan tangannya sendiri.

Sewaktu kusaksikan sulitnya keadaan mereka, kukunyah kembali salah satu kue kering tadi. "Hei, eng... aku jadi berpikir, kenapa kalian sampai sebegitunya ingin membuat kue kering yang enak?"

"Apa?" Ekspresi Yuigahama tampak seolah ingin berkata, Bicara apa kau, dasar perjaka? Ekspresi yang begitu melecehkan, hingga membuatku sedikit geram.

"Se-bispak itukah dirimu sampai enggak tahu apa-apa? Kau ini bodoh kali, ya?"

"Sudah kubilang, berhenti memanggilku bispak!"

"Soalnya kau memang enggak mengerti cara pikir anak lelaki."

"Ya jelaslah! Aku kan enggak pernah sekalipun pacaran! Maksudku, teman-temanku banyak yang sudah punya pacar... jadi aku cuma mengikuti apa yang pernah mereka lakukan dulu dan seperti inilah jadinya..." Suara yuigahama perlahan-lahan semakin mengecil, hingga akhirnya tak dapat kudengar lagi.

Kalau bicara itu yang jelas, tahu? Jangan bilang kalau ia mau meniru tingkahku sewaktu aku dicibir guru di kelas.

"Ini tak ada hubungannya dengan tubuh bagian bawah Yuigahama. Jadi apa maksudmu bicara begitu, Hikigaya?"

Tunggu dulu, apa maksudnya dengan tubuh bagian bawah? Padahal, tak pernah lagi kulihat ada poster yang memamerkan hal tersebut di dalam kereta. Berapa sebenarnya umur perempuan ini?

Aku terdiam sejenak untuk memberi kesan dramatis sebelum tertawa terbahak-bahak, seolah aku sudah menguasai keadaan. "Huh. Tampaknya kalian berdua tak pernah tahu bagaimana nikmatnya memakan kue kering buatan sendiri. Kembalilah sepuluh menit lagi. Akan kuhidangkan rasa sesungguhnya dari kue kering buatan sendiri."

"Kau ini mengoceh apa... ini bukan main-main. Aku ini serius, tahu!" Mungkin ia merasa tersinggung atas penolakan kue kering buatannya itu, namun meski ia berkata demikian, ia malah mengajak Yukinoshita untuk keluar dari ruangan dan menuju koridor.

Nah, kalau begitu, sekarang adalah giliranku untuk mengambil langkah di pertandingan ini. Dengan kata lain, kini waktunya membeberkan solusi pamungkas dan jitu untuk masalah ini.

Segera setelah itu, ruang PKK telah terselimuti oleh hawa yang tak mengenakkan.

"Inikah kue buatan sendiri sesungguhnya, yang sempat kausebut tadi? Teksturnya tak merata dan gosong di sana-sini. Kalau yang begini ini..." Tatap Yukinoshita penuh keraguan pada benda yang ada di hadapannya.

Tiba-tiba Yuigahama melongok dari samping. "Yah, padahal tadi kau sudah bicara sehebat itu, tapi ternyata ini enggak ada istimewanya. Bikin ketawa saja! Dimakan saja rasanya kurang layak!" Tiba-tiba saja ia tertawa mengejek... atau boleh kubilang, tawa yang menggelegar. Kurang ajar... awas saja, ya.

"Sebelum komentar, cicipi dulu, dong." Ujarku sambil tersenyum santai dengan ekspresi datar. Dengan senyum itu, aku berlagak seolah persiapanku ini telah sempurna, seolah tak ada yang tahu tentang strategiku ini, seolah aku sudah memastikan kemenanganku ini.

"Yah, kalau kau memang sudah berusaha sekeras itu..." Sambil malu-malu Yuigahama memasukkan kue kering itu ke mulutnya. Tanpa bicara apa-apa, Yukinoshita pun ikut mengambilnya sepotong.

Setelah berakhirnya suara kunyahan dari mereka, kesunyian pun segera meliputi ruangan ini. Tak diragukan lagi, inilah yang disebut ketenangan sebelum badai.

"E-eh, ini!" Mata Yuigahama terbelalak. Sambil mengingat-ingat kembali dengan indera pengecapnya, ia seakan sedang mencari kata-kata yang tepat untuk mengekspresikan tanggapannya. "Ini memang enggak ada istimewanya, maksudku, ada yang begitu keras di beberapa bagian! Jujur, ini enggak begitu enak!" Emosi Yuigahama berubah 360 derajat dari terkejut menjadi menggebu-gebu. Aku tak begitu yakin kalau rasa kue tersebut sampai bisa mengubah emosinya, meski begitu, tatapan Yuigahama sedang tertuju ke arahku.

Yukinoshita tak berkata apa-apa; yang ada, ia justru melihatku dengan curiga. Entah kenapa, sepertinya ia menyadari sesuatu.

Seusai memerhatikan ekspresi mereka masing-masing, perlahan kutundukkan pandanganku.

"Begitu, ya. Jadi, kue keringnya enggak enak... padahal sudah susah payah membuatnya."

"
ah... maaf." Yuigahama jadi salah tingkah, lalu menundukkan pandangannya di hadapan diriku yang sedang termenung.

"Lebih baik kue keringnya kubuang saja." Kataku sambil menyambar piring yang berisi kue kering tersebut dari dirinya, kemudian berbalik dan pergi menjauh.

"Tu-tunggu sebentar."

"...mau apa lagi?"

Yuigahama lalu memegang tanganku ini untuk mencegahku pergi. Tanpa membiarkanku beranjak, ia mengambil sepotong kue kering tersebut dan segera memakannya. Wajahnya berubah muram, dan ia pun menggertakkan giginya.

"Kau enggak perlu membuangnya. Rasanya enggak buruk-buruk amat, kok... dan rasanya enggak semenjijikkan seperti yang kubuat sebelumnya."

"...oh. Jadi kau sudah cukup puas dengan kue kering ini?" Kusunggingkan sebuah senyuman, dan Yuigahama menganggukkan kepalanya tanpa bersuara, lalu memalingkan pandangannya. Diikuti sinar senja yang memancar dari jendela, bisa kulihat kalau wajahnya kini sedang tersipu.

"Sejujurnya, ini adalah kue kering yang kaubuat sebelumnya, Yuigahama." Ucapku jujur dengan santai, tanpa terbata-bata. Aku tak pernah bilang kalau aku yang membuatnya, jadi aku tak berbohong.

"...hah?" Matanya terbelalak dan mulutnya menganga. Bisa dibilang, ia memang orang yang plinplan. "A-apa?" Mata Yuigahama berkedip-kedip. Yukinoshita dan aku saling bertukar pandang. Rupanya Yuigahama sama sekali tak mengerti apa yang sedang terjadi.


Read more ...»

Oregairu Bab 3 Bagian 6

On Minggu, 05 Januari 2014 0 komentar

==========================================================
Yukino oh Yukino... Pedas amat kata-katamu... Ane senang banget sama Bagian ini, terutama saat wejangan-wejangannya Yukino terlontar... Betewe, pâtissier adalah chef yang ahli dalam membuat hidangan berupa kue...
Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 3 - Berulang Kali, Yui Yuigahama Bersikap Gelisah

Bagian 6


Kami pun selesai mencicipi kue kering buatan Yuigahama. Jika ini di dalam manga, riwayat kami pasti bakal tamat, kami akan jatuh sakit lalu tak sadarkan diri setelah memakannya. Kalau boleh bilang, saking buruknya benda tersebut, sampai-sampai kita akan merasa senang andai cuma jatuh pingsan saja. Kalau aku, lebih baik memilih jatuh sakit daripada harus memakannya lagi.

Lalu sebuah pikiran terlintas di benakku. Apa ia memasukkan jeroan sebagai bahan di kue keringnya ini, ya? Tapi kurasa takkan sampai seburuk itu, setidaknya itu tak langsung membunuh kami semua. Namun, jika dipikir lebih dalam lagi, bukan hal mustahil kalau itu lambat laun akan memicu sel-sel kanker.

"Ih... sudah pahit, menjijikkan pula..." Ujar Yuigahama sambil mengunyah kue keringnya dengan air mata yang berlinang. Yukinoshita langsung menyodorkan cangkir teh padanya.

"Akan lebih baik jika itu disterilkan dulu dan sebisa mungkin jangan mengunyahnya. Berhati-hatilah untuk tidak membiarkan lidahmu tersentuh olehnya. Kue kering itu memang seperti racun mematikan."

Hei, jangan seenaknya saja berkata hal-hal mengerikan begitu.

Yukinoshita lalu menuangkan air panas dari ceret pemanas dan menyeduh seteko teh hitam. Seusai ia menuangkannya ke cangkir kami masing-masing, teh itu segera kami minum supaya rasa yang tak enak pada lidah kami ini bisa segera hilang. Paling tidak, semuanya sudah kembali normal, dan aku pun bisa bernapas lega.

Kemudian, Yukinoshita segera membuka mulutnya, seakan ia ingin mengganggu suasana santai yang kini tengah kami nikmati. "Nah sekarang, ayo pikirkan cara untuk membuat ini jadi lebih baik."

"Bagaimana kalau Yuigahama tak usah memasak lagi?"

"Kau memang enggak mau memberiku kesempatan, ya?!"

"Hikigaya, yang tadi itu adalah usaha terakhir kita."

"Usaha terakhir? Jadi semua ini akan berakhir begitu saja?!" Ekspresi Yuigahama yang terkejut segera berubah jadi putus asa. Tampak murung, bahunya terturun dan ia menghela napas panjang. "Kurasa, memasak memang enggak cocok buatku... orang-orang menyebut itu sebagai bakat, 'kan? Nyatanya, aku memang enggak punya bakat."

Yukinoshita spontan sedikit berdesah. "...begitu, ya. Kurasa aku punya solusi"

"Solusi apa?" Tandasku.

"Berusaha lebih keras." Jawab Yukinoshita dengan tenang.

"Kausebut itu solusi?" Sejauh yang kuamati, itu justru jadi solusi paling buruk. Di titik ini, memang tak ada lagi yang bisa dilakukan selain memaksanya untuk lebih serius, sebab cuma itu pilihan yang tersisa.

Tapi jujur saja, hal tersebut akan selalu jadi percobaan yang sia-sia.

Pasti akan lebih mudah jika ia tinggal bilang, Hentikanlah, tak perlu berharap lagi. Mencoba begitu keras dan berusaha tanpa arti pada hal semacam ini, akan berakhir sia-sia. Jika Yukinoshita memang ingin menyerah terhadap Yuigahama, maka ia bisa memanfaatkan waktunya itu untuk bekerja keras pada hal lain. Pastinya itu akan lebih efisien.

"Berusaha keras adalah solusi paling tepat. Jika kita melakukannya dengan benar, hal tersebut akan berhasil." Tanggap Yukinoshita yang seakan sudah membaca pikiranku. Apa ia punya indra keenam, ya? "Yuigahama, tadi kaubilang kalau kau tak punya bakat, bukan?"

"Hah? Ah, iya, tadi aku bilang begitu."

"Tolong singkirkan pemikiran semacam tadi. Mereka yang tak pernah berjerih payah tak pantas iri pada mereka yang berbakat. Mereka yang gagal sampai berpikir seperti itu, karena mereka tak bisa membayangkan perihnya kerja keras yang dilakukan oleh mereka yang berhasil." Kata-kata Yukinoshita terasa begitu dingin. Tak terbantahkan jika kata-kata itu memang benar, hingga tak menyisakan ruang untuk mengelak.

Yuigahama kehilangan kata-kata. Pasti tak seorang pun pernah melontarkan kenyataan seperti itu padanya. Ekspresi panik dan kebingungan terlintas di wajahnya, hingga ia menutupinya dengan sebuah cengiran.

"Ta-tapi, eng... zaman sekarang sudah enggak ada lagi orang yang melakukan hal begini... sudah pasti itu enggak cocok buatku."

Seiring tawa malu-malu Yuigahama yang berangsur tersamar, terdengar suara berdenting dari cangkir yang diletakkan ke atas meja. Suaranya begitu tenang, terdengar pelan, dan masih bergemerincing pada lapisan kristalnya, yang secara tak sadar memaksa pandangan kami untuk tertuju ke arahnya. Ialah Yukinoshita, yang memancarkan hawa dingin ini, dan menghimpun aura di sekitarnya.

"...tolong berhenti untuk selalu menyesuaikan diri dengan sekelilingmu. Sungguh tak enak didengar. Apa kau tak malu membebankan sikap plinplan, ketidakmampuan serta kebodohan yang kaumiliki itu kepada orang lain?" Ujar Yukinoshita dengan nada keras. Ia jelas terlihat jengkel, sampai-sampai aku pun tersentak, hingga mau berseru, Wu-wuah...

Yuigahama yang tak berdaya, jatuh dalam keheningan. Ia menundukkan kepala hingga tak bisa lagi kulihat wajahnya, namun tangannya menggenggam erat ujung roknya seolah sedang menyingkap emosinya.

Pastinya ia orang yang cakap dalam berkomunikasi. Lagi pula, untuk dapat bergaul dengan anak-anak populer, penampilan menarik saja tidaklah cukup; kita harus bisa bersikap baik pada orang-orang. Dengan kata lain, perempuan ini memang pandai dalam menyesuaikan diri dengan orang lain. Yang juga berarti, ia tak punya cukup keberanian untuk menjadi dirinya sendiri, karena itu sangat beresiko baginya.

Akan tetapi, sementara Yuigahama menyesuaikan diri dengan sekelilingnya, Yukinoshita justru berusaha melangkah di jalannya sendiri. Ia memang orang yang keras kepala.

Mengingat kecenderungan mereka menjadi seorang penyendiri, mereka adalah dua tipe perempuan yang sangat berbeda. Jika kita membahas siapa yang lebih kuat, sudah jelas kalau itu Yukinoshita. Dari argumennya saja sudah terlihat.

Mata Yuigahama sudah berkaca-kaca.

"Lu-lu..."

Kurasa ia mau bilang, Lupakan saja kue keringnya. Suaranya yang parau dan terbata terdengar seperti sedang menangis. Karena bahunya yang gemetar, suaranya pun ikut gemetar.

"Luar biasa..."

"Hah?!" Tanggapku dan Yukinoshita dalam satu harmoni. Bicara apa perempuan ini? Tanpa sengaja kami pun saling bertukar pandang.

"Kau langsung berkata apa adanya... dan itu rasanya, sungguh... sangat keren..." Yuigahama menatap ke arah Yukinoshita dengan ekspresi menggebu-gebu. Wajah Yukinoshita menegang seiring ia mundur dua langkah ke belakang.

"Bi-bicara apa kau... apa kau tak dengar yang kukatakan tadi? Aku cukup yakin kalau kata-kataku tadi terdengar kasar."

"Enggak, kok! Sama sekali enggak! Yah, maksudku, kata-katamu memang kasar... dan jujur. Aku pun sempat tersentak."

Ya, itu memang benar. Sesungguhnya tak kusangka Yukinoshita akan mengatakan hal semacam itu ke sesama perempuan. Kata-kata yang diucapkannya lebih dari sekadar kasar, bahkan sempat membuatku tersentak. Meski aku yakin, yang dialami Yuigahama lebih dari sekadar tersentak.

"Biarpun begitu, aku sungguh berpikir kalau kau cuma ingin bersikap jujur padaku. Maksudku, bahkan ketika kau berbicara pada Hikki. Kalian memang saling melontar kata-kata pedas, namun kalian berbicara satu sama lain dengan begitu wajar. Yang selama ini kulakukan hanyalah berusaha mencocokkan diri dan berkata sesuai dengan pikiran orang-orang terhadapku, jadi ini hal baru bagiku..."

Yuigahama masih melanjutkan. "Aku minta maaf. Akan kulakukan lagi dengan benar." Ketika ia meminta maaf, tatapannya kembali tertuju ke Yukinoshita.

"..." Tak disangka, kali ini yang kehilangan kata-kata justru Yukinoshita. Mungkin ini pertama kalinya ia mengalami hal semacam ini. Ternyata masih ada segelintir orang yang setelah dicecar dengan sebuah kebenaran, tapi malah meminta maaf. Biasanya, wajah kita akan memerah dan jadi benar-benar marah karena itu.

Tiba-tiba Yukinoshita memalingkan kepalanya ke samping dan mengibaskan rambut dengan tangannya. Gelagatnya seakan sedang mencari-cari sesuatu tapi masih belum bisa menemukannya. Astaga... ia benar-benar payah saat memberi tanggapan spontan.

"...sudah, ajari saja ia cara yang benar. Dan kau, Yuigahama, pastikan kau sungguh-sungguh menuruti apa yang dikatakannya." Sesaat kucoba memecah kesunyian di antara mereka, Yukinoshita sedikit berdesah dan mengangguk setuju.

"Aku akan mencontohkannya padamu, jadi kau bisa mencoba dan membuatnya persis seperti yang kubuat." Yukinoshita lalu berdiri dan memulai persiapan. Ia gulung lengan bajunya ke atas, memecahkan beberapa telur ke dalam mangkuk, kemudian mengocoknya. Ia ayak sejumlah tepung terigu dalam takaran tepat dan mencampurnya hingga tak menggumpal. Lalu ia tambahkan gula, mentega, perisa, dan aroma vanili secukupnya.

Keahliannya membuat kecil hati Yuigahama. Ia bisa membuat adonan kue kering dalam sekejap mata dan mencetaknya dalam bentuk lingkaran, bintang, maupun hati. Kertas panggangan pun sudah siap di atas loyang pemanggang. Dengan hati-hati ia tempatkan adonan yang telah dicetak itu pada loyang, dan memasukkannya ke dalam oven yang telah dipanaskan.

Beberapa saat kemudian, aroma sedap tak tertahankan telah memenuhi ruangan. Mudah untuk menyimpulkan bahwa persiapan yang diselesaikan dengan tepat akan memberi hasil yang bagus. Dan sesuai dugaan, kue kering yang baru matang ini segera memanjakan mataku yang sempat perih sebelumnya. Yukinoshita lalu meletakkannya ke atas piring dan segera menyajikannya.

Benda itu terpanggang dalam balutan warna coklat muda yang sedap dipandang mata dan sudah jelas kalau itu bisa disebut kue kering. Kue itu dibuat dengan baik, mirip seperti yang dibuat bibiku. Itu sebabnya, kue kering tersebut kuterima dengan senang hati.

Saat kuambil salah satunya dan coba memakannya, tanpa sadar wajahku tersenyum.

"Enak sekali! Kau ini seorang pâtissier, ya?" Kubiarkan pujianku terlontar padanya. Aku tak bisa menahan diri untuk tak memakannya lagi. Soalnya itu sangat enak. Mungkin takkan ada lagi gadis yang membuatkanku kue buatannya sendiri, karena itu kuambil kesempatan ini untuk memakannya sekali lagi. Buatan Yuigahama tadi tak bisa disebut kue kering, makanya itu tak kuhitung.

"Rasanya benar-benar enak... Yukinoshita, kau luar biasa."

"Terima kasih." Yukinoshita tersenyum tanpa menyisipkan sarkasme di dalamnya. "Perlu kau tahu, aku hanya mengikuti apa kata resep. Maka dari itu, mestinya kau mampu membuat seperti apa yang kubuat ini. Jika masih belum berhasil, mungkin saja ada semacam kekeliruan."

"Boleh kue kering ini kupakai sebagai contoh?"

"Tak masalah. Kalau begitu, mari sama-sama berusaha, Yuigahama."

"Ba-baik... menurutmu, apa aku bisa membuatnya? Maksudku, membuat seperti yang kaubuat itu?"

"Tentu saja. Itu jika kau mengikuti apa kata resep." Yukinoshita tak lupa mengingatkannya. Dengan demikian, dimulailah percobaan Yuigahama yang kedua.


Read more ...»