SPS Jilid 1 Bab 13

On Kamis, 23 Februari 2017 0 komentar

=========================================================
Sewaktu mengedit bab ini, sumpah ane galau... bukan karena ceritanya, tapi karena seperti apa caranya agar bahasa-bahasa permusikan ini bisa akrab bagi para pembaca yang awam musik...
Kalau memang masih sukar dimengerti, tanyakan saja lewat kolom komentar... Bakal ane jawab...
Seperti biasa, seri yang dikerjakan bareng ini, bisa agan sekalian nikmati lebih awal satu hari di Hanami Translation...
Selamat menikmati....
=========================================================


Bab 13 - Eroica


Langit pada hari Jumat di penghujung bulan Mei dipenuhi oleh awan gelap. Aku tidak bisa tidur, jadi aku berangkat sekolah lebih pagi. Begitu masuk ke dalam kelas, aku segera dikelilingi oleh teman-teman sekelasku.

"Kudengar kalau kamu akan bertanding dengan hime-sama hari ini?"

"Apa? Apa maksudmu dengan bertanding? Bagaimana jika ia kalah?"

"Apa mungkin ia akan menjadi budaknya seumur hidup?" "Bukankah itu sama saja dengan yang sekarang?"

Wajahku berubah hijau setelah mendengar semua orang mengatakan hal-hal seperti itu.

"Eng ..., yah ..., kenapa ... semua orang tahu soal ini?"

"Bukankah kemarin kamu membicarakannya dengan Ebisawa-san di lapangan?"

"Kalian lihat?"

"Suasananya cukup bagus, tapi kamu tiba-tiba mengatakan sesuatu seperti mengajak bertanding. Para penonton benar-benar kecewa!"

Itu bukan berarti kami sedang menyelenggarakan sebuah pertunjukkan.

"Jadi, kapan kalian akan bertanding? Bertanding dalam hal apa? Yang menang dapat apa?"

Ah, rupanya mereka tidak mendengar bagian tentang bertanding setelah pulang sekolah, toh? Baguslah. Walau sudah berusaha untuk mengalihkan topik, tetap saja aku akhirnya mengatakan pada mereka segala sesuatu selain tempat dan waktu bertanding.

"Sebuah klub baru? Dengan Ebisawa-san? Dan Aihara-san? Beserta Kagurazaka-senpai juga?"

Kenapa mereka bersemangat sekali?

"Kagurazaka-senpai yang kamu maksud tadi itu anak kelas dua?"

"Betul, yang terlihat seperti pemimpin kelompok kunoichi."

Analogi macam apa itu? Aku tidak dapat memahaminya sama sekali! Terlebih, apa senpai seterkenal itu di sekolah?

"Membentuk band di ruangan sekecil itu bersama tiga orang gadis? Nao! Tidak bisa dimaafkan, kamu harus kalah!"

"Aku lebih suka kamu menang. lalu akan kuambil alih posisimu dalam band." "Ya, kamu harus menang, kemudian aku akan ikut bergabung." "Kamu tahu seluk beluk tentang alat musik, 'kan?" "Aku bisa bertanggung jawab memindahkan alat-alat musik." "Kalau begitu ..., aku akan bertanggung jawab untuk menyeka keringat mereka." "Entah kenapa, aku jadi merasa lebih termotivasi."

Dan mereka pun benar-benar mulai menyanyikan lagu sekolah kami— Aku merasa sebaiknya aku harus kabur dari kelas. Seketika mereka sedang mendiskusikan waktu bertanding, Chiaki berjalan ke dalam kelas. Semua orang terdiam. Aku selamat ....

"Apa kalian mengatakan hal-hal buruk tentangku?"

Beberapa anak menampilkan senyum canggung sebelum kembali ke tempat duduk mereka. Tampak semua orang akhirnya mengerti tentang etika dasar bermasyarakat: tidak menggosipkan orang yang sedang berada tepat di hadapannya.

Selama istirahat makan siang, mejaku penuh dengan roti lapis, yang dibeli teman-temanku dari toko — sepertinya mereka semua berdoa untuk kemenanganku. Tapi mana mungkin aku bisa memakan roti sebanyak ini!

"Nao, kamu tidak boleh kalah."

"Meski aku tidak terlalu yakin tentang yang terjadi, kamu harus menang!" Satu per satu, mereka menepuk bahuku dan menyemangatiku. Aku hanya bisa menatap kosong pada piramida roti lapis. Bukan berarti mustahil bagiku untuk memenuhi harapan mereka, tapi karena semua orang begitu bersemangat mengenai ini, jujur aku cukup merasa terganggu.



Setelah pulang sekolah, aku membawa basku ke atap. Senpai ingin aku pergi ke sana terlebih dahulu, sebelum pertandingan, tapi sesampainya di sana, aku tidak melihat ada dirinya di sekitar. Kemudian, aku ingat kalau ia sedang bekerja hari ini. Lalu aku melihat sesuatu di lantai, di dekat pagar di mana senpai biasanya duduk. Aku berjalan ke sana untuk memeriksanya. Rupanya itu album John Lennon yang bertajuk <Rock 'n Roll>. Lagu kedua dari CD itu berjudul <Stand by Me>. Aku mengambil pemutar CD-ku dan menempatkan CD tersebut ke dalamnya. Sewaktu kudengar suara serak dari John Lennon, aku memandang ke bawah melalui pagar dan menunggu. Aku mengambil sepotong roti lapis yang belum habis dimakan lalu melahapnya ke dalam mulutku.

Setelah separuh lagu berlalu, tiba-tiba aku ingat bahwa Mafuyu akan selalu langsung pulang ke rumahnya pada hari Jumat. Sial, aku benar-benar lupa tentang itu.

Tapi sesaat kemudian, punggung seorang gadis, beserta rambut berwarna merah marunnya, mulai terlihat. Aku merasa lega. Ada apa ini? Ia tidak perlu berbuat hal yang biasanya tidak perlu ia lakukan.

Aku terus membiarkan alunan lagu dari earphone-ku masuk ke dalam tubuh, bahkan di saat aku sedang melihat Mafuyu berjalan ke ruang latihan. Kugenggam erat pagar dan berdiri terpaku di sana, hingga suara John Lennon perlahan menghilang.

Kumatikan pemutar CD-ku lalu meraih basku.



Ketika sampai di ruang latihan, aku mendengar Mafuyu memainkan sedikit komposisi Beethoven di balik pintu. Aku menghentikan langkahku dan berpikir tentang bagaimana aku harus memasuki ruangan. Aku memikirkan berbagai ide bodoh, seperti menendang pintu agar terbuka lalu berteriak, "Maaf mengganggu!" tapi pada akhirnya, aku memutuskan untuk mengetuk pintu saja.

Komposisi itu tiba-tiba berhenti, seolah-olah terkejut.

Keheningan yang tidak nyaman ini bagai semburan udara dingin yang menusuk tulang, merembes melalui celah-celah kecil. Ini berlangsung selama beberapa saat.

"Anu ...," akulah yang pertama bicara, tapi aku tidak tahu harus berkata apa. "Aku ke sini untuk bertanding denganmu. Kemarin aku sudah mengatakannya, 'kan?"

Pintu pun terbuka.

Gitar tergantung di bahu Mafuyu. Ia menatapku, lalu menurunkan tatapannya.

"... kamu benar-benar datang."

Dari nada bicara Mafuyu, aku bisa merasakan sesuatu yang tidak beres. Entah bagaimana, ia berbeda dari biasanya.

"Sebagai perwakilan musik rock, aku di sini untuk membalas dendam pada supremasi musik klasik yang keras kepala."

"Dasar bodoh! Apa kamu serius tentang ini? Kamu bahkan tidak tahu bagaimana melakukan hammer-on beberapa hari lalu."

Jangan meremehkanku. Tunggu, kenapa ia sampai tahu hal seperti itu?

"Kamu mengintip aku berlatih?"

"Ti-tidak."

Dengan wajah memerah, Mafuyu membanting pintu dengan kedua tangannya.

"—Kenapa kamu harus berbuat begini? Apa kamu begitu ingin menggunakan ruangan ini?"

Kenapa aku terus berbuat begini? Ah, bahkan aku sendiri tidak tahu.

Senpai bilang kalau itu demi cinta dan revolusi.

Chiaki bertanya padaku sebelumnya, Kamu begitu peduli terhadap Ebisawa-san, 'kan?

Aku tidak tahu. Tapi aku tidak bisa membiarkan segalanya terus begini.

Mafuyu mengatakan dari balik pintu,

"Lakukan saja sesukamu di sana! Aku tidak peduli lagi."

Untuk kali ini, aku memilih untuk tetap diam.

Baiklah. Aku sudah tahu kalau segalanya akan jadi begini.

Aku mengambil basku, mencolokkan kabelnya, kemudian berjongkok di dekat pintu. Ada lubang di bawah engsel pintu di mana aku bisa langsung mencolokkan kabel ke dalamnya. Ini adalah hasil dari pekerjaanku selama lima belas menit kemarin — sebuah kabel yang diperpanjang dari amplifier ke pintu.

Ketika aku hendak membajak perangkat stereo, gerak tanganku terhenti. Untuk beberapa alasan yang tidak diketahui, tiba-tiba aku teringat bagian tertentu dari sejarah musik yang Tetsurou pernah ceritakan padaku, sambil setengah bercanda.

Bermula dari sebuah aliran sungai kecil di Jerman. Sungai itu mengalir ke perkebunan bit gula, kemudian menyebar ke seantero Eropa. Berbenturan dengan musik lokal, berakhir entah ditelan oleh musik, atau malah menelan musik itu sendiri. Lalu mengalir ke laut, dan menyebar ke seluruh dunia. Seperti itulah lahirnya beragam hal di dunia ini, dan musik rock adalah salah satunya.

Itu sebabnya, jika kita mencari sejarah invasi dan integrasi yang membentang selama tiga ratus tahun, kita akan menemukan bahwa segala sesuatu saling terkait satu sama lain.

Aku lalu memasang kabel ke dalam lubang.

Tepat di saat itu, derit tajam memekik keluar dari amplifier di balik pintu.

Hampir bisa kulihat wajah Mafuyu yang ketakutan.

"Apa yang sudah kamu lakukan?"

Dia menyadarinya. Sebagai jawaban, aku memutar volume pada basku hingga maksimal. Ruangan dipenuhi suara feedback.

"Hei, apa yang kamu laku—"

Supaya bisa meredam suaranya, aku memainkan nada pembuka sebuah komposisi. Allegretto vivace. Aku tidak boleh bermain terlalu cepat — seakan aku menginjak lantai dengan tenaga, namun di saat bersamaan, mencari pijakan untuk melangkah dengan ujung kakiku. Menggunakan nada rendah untuk menghentak batas-batas oktaf, kemudian mundur sedikit dengan langkah yang sedikit ragu.

Bisa kudengar Mafuyu yang terhenyak. Tentu saja, ia pasti tahu komposisi ini hanya dari delapan bar. Ia telah merilis album dengan komposisi ini di dalamnya dua tahun lalu di bulan Februari. Aku telah mendengarkan CD itu berkali-kali, hingga di titik CD itu hampir rusak.

Itu adalah <Variasi dan Fugue untuk Piano di E♭ mayor> gubahan Beethoven ke-35 — variasi yang kemudian digunakan dalam <Simfoni No. 3>. Ada judul lain untuk komposisi piano ini. <Variasi Heroik>.



Waktu itu—

Kagurazaka-senpai mengatakan padaku ada empat alasan untuk memilih komposisi tersebut.

"Kamu lihat sendiri, 'kan ...," senpai mulai menunjuk pada partitur saat ia menjelaskan. "Ini adalah bagian yang dimulai dengan melodi tunggal pada nada rendah. Hanya bas yang akan bermain di pembukaan 32 bar — ia pasti akan langsung mengenali ini sebagai <Eroica>. Dengan ini, kita akan lebih dulu melakukan rentetan tembakan dan menarik lawan ke dalam musik kita."

Dengan itu, senpai mengetuk tempo pada partitur dengan jarinya.

"Ini allegretto vivace, jadi jangan pernah bermain terlalu cepat. Salah satu senjata Ebisawa Mafuyu adalah kemampuannya untuk memetik gitar secara akurat pada kecepatan tinggi. Jika pertandingan berubah menjadi situasi di mana kecepatan akan memutuskan pemenang .... Shounen, kamu akan kehilangan semua peluang untuk menang. Namun, kamu dapat mengatur kecepatan seluruh bagian dengan pembukaan 32 bar — itulah alasan utama aku memilih bagian ini."

"Tapi ...," ada sedikit kegelisahan dalam suaraku. "pada bagian ini yang mengarah ke pembukaan, ada tempat di mana empat suara menyatu, dan melodi setelahnya akan dipimpin oleh Mafuyu! Jika ia mulai tergesa maka ...."

"Shounen, yang kamu pikirkan hanya keadaan di mana kamu mungkin bisa kalah ...."

Senpai menggeleng dan mendesah. Aku meringkukkan tubuhku. Maaf, tapi aku memang pecundang sejak lahir.

"Jangan khawatir. Ini adalah alasan kedua aku memilih bagian ini. Variasi ini ...."

Senpai memeriksa lembaran partitur dengan cepat. Sebuah variasi adalah bagian di mana tema utama yang singkat berulang kali dimainkan dengan mengubah gaya bermain, bahkan melodinya sendiri. Secara umum, bagian-bagian yang sama diulang untuk beberapa siklus.

"Hampir setiap variasi akan memiliki ritardando dan fermata di dalam bagian komposisi. Kamu sudah paham sekarang? Selalu ada jeda setelah jarak tetap tertentu. Tidak peduli seberapa cepat Ebisawa Mafuyu mempercepat tempo, fermata akan selalu mengganggu aliran permainan, dan dengan itu, kamu bisa kembali memainkan allegro-mu sendiri. Inilah yang membuat komposisi musik ini unik."

*Fiuh*— aku menghela napas hingga bersuara. Betul, semuanya jadi masuk akal sekarang. Aku yakin ini adalah satu-satunya komposisi yang mungkin kumainkan — jika memainkan komposisi ini, maka aku benar-benar bisa menang.

"Dan alasan ketiga ...," senpai tersenyum sinis. "Komposisi ini dimainkan dalam E♭ mayor."



Aku mengingat setiap kalimat yang sudah senpai katakan, dan berjalan dengan langkah berat seiring lagu pembuka. Pada akhir melodi bernada rendah yang kumainkan, terdapat jeda panjang. Gitar Mafuyu akhirnya mulai terdengar, dan suara gitar listriknya mengakhiri jeda.

Aku menahan napas saat kami memasuki pembukaan kedua; serangkaian melodi gitar sederhana namun ragu-ragu pun muncul. Aku merinding dalam sekejap. Penggunaan cerdik sinkopesasi bergerak dan menyatu hanya dalam dua nada yang berkejaran. Akan tetapi, semua musik yang kita tahu lahir dari perasaan memabukkan yang didapat ketika dua suara saling berkejaran.

Dalam pembukaan ketiga, aku memainkan sebuah baris melodi sederhana pada Mafuyu. Nada tinggi yang melengking dari suara gitar berubah menjadi suara rendah bas — tampak seakan langkah Mafuyu telah menapak melintasi air terjun yang deras.

Gitar Mafuyu memimpin pembukaan keempat dan mengambil alih tema utama. Seluruh melodi bergeser satu oktaf lebih tinggi, dan melewatkan oktaf tengah di bawahnya. Tempo mendadak bertambah cepat, dan meski terhempas oleh kekuatan besar, aku akhirnya berhasil mengambil celah di antara frasa melodi Mafuyu, dan memaksanya agar terbuka lebar dengan nada rendahku, yang berperan sebagai perantara di antara frasa-frasa. Aku akan tamat jika gagal di sini. Tidak akan ada lagi kesempatan bagiku untuk memulai dari awal. Kupergunakan rem untuk menahan Mafuyu.

Kami akhirnya mencapai tema utama, tapi aku mati-matian berusaha mengimbangi Mafuyu. Itu hanyalah akor iringan biasa, tapi jari-jariku gemetar tanpa henti. Aku sedemikian rupa berusaha menggunakan jeda pendek untuk kembali ke tempo asli, tapi Mafuyu tidak pernah melambat, meskipun memasuki variasi kedua pada kecepatan yang menggebu-gebu — Mafuyu terus bisa memainkan tiga nada sewaktu aku hanya bisa memainkan satu nada.

Aku menarik napas dalam-dalam sebelum memasuki variasi keempat. Ini akan menjadi krisis utama.

Saat jemariku dengan lancar memetik legato enam belas ketukan, kusadari kalau Mafuyu saat ini berada dalam posisi yang kurang menguntungkan — tema sederhana Mafuyu terdengar goyah di tengah naik turunnya nada yang kumainkan. Ia mungkin berpikir bahwa aku tidak tahu cara memainkan bagian itu. Aku menahan napas dan memfokuskan perhatianku pada bagian yang intens. Aku kemudian teringat kembali kata-kata Kagurazaka-senpai.



"E♭ mayor itu—"

Saat ia dengan lembut membelai bas yang terbaring di lututku dengan ujung jarinya, ia berkata,

"Kamu seharusnya tahu, 'kan? Itu salah satu nada yang paling sulit untuk dimainkan pada bas dan gitar."

Aku mengangguk.

Sederhananya, tangga nada yang mudah bagi gitar adalah yang tidak mengharuskan untuk menekan akor sebanyak mungkin saat bermain. Namun, E♭ — yang biasanya E♭ mayor — adalah nada yang lebih rendah dari nada terendah yang dapat dimainkan oleh gitar ataupun bas. Alhasil, gitaris perlu menekan pada ujung yang lebih tinggi dari akord sambil bermain, dan itu sesuatu yang agak sulit untuk dilakukan dalam hal pergerakan jari.

"Not E♭ mayor sama sulitnya untuk Ebisawa Mafuyu, terutama di mana ia harus memainkan not bernada tengah selama melodi bernada tinggi. Bahkan jika kecepatan adalah senjata terbesarnya, ia pasti akan sangat lemah dengan itu."

"Eng, tidak, tunggu ...."

Aku mengetuk basku sekali.

"Ini juga sama sulitnya bagiku untuk memainkannya, 'kan? Bukankah begitu?"

Senar bas dan senar gitar akan disetel pada nada yang sama, sehingga bagian itu akan sama-sama sulit bagi kedua belah pihak untuk dimainkan. Untuk mengatasi ini, senpai secara khusus telah menggeser nada sampai naik setengah dalam komposisinya, mengubahnya menjadi E mayor.

"Shounen ...," ekspresi mata senpai tidak lagi menunjukkan rasa jengkel — sebaliknya, kini telah berganti menjadi ekspresi kasihan. "Apa kamu masih ingat yang kukatakan saat itu? Aku bilang kalau kita akan melakukannya persis seperti yang Paganini lakukan, paham?"

"Eh ...?"

Aku ... ingat hal itu.

Itu adalah ... sesuatu yang terjadi pada hari senpai memilih komposisi itu dari tumpukan besar CD dan partitur. Setelah mendengar suara gitar Mafuyu, senpai menyebut nama Paganini secara tiba-tiba.

"... tapi, bagaimana penjelasannya?"

"<Konserto Violin No. 1> gubahan Paganini. Kamu harusnya tahu itu, 'kan?"

Aku memiringkan kepala dan mencoba mengingat lagu-lagu yang pernah kudengar sebelumnya. Aku kemudian teringat pengetahuan yang luas dari Tetsurou—

"... ah!"

Bas di lututku jatuh ke lantai dengan bunyi gedebuk.

<Konserto Violin No. 1> gubahan Paganini — pada E♭ mayor.

Aku mengerti, begitu rupanya.

"Apa akhirnya kamu mengerti?"

"Aku harus menurunkan setengah nada ketika menyetem basku?"

Kagurazaka-senpai tertawa dan membelai kepalaku dengan lembut.

E♭ mayor adalah tangga nada yang sulit bagi pemain biola, sama halnya untuk gitaris. Namun, permainan solo dalam konser yang dimainkan oleh Violin Iblis, Niccolo Paganini, ditulis dalam E♭ mayor. Oleh karena itu, ia menyetem biolanya lebih rendah setengah nada—

Aku hanya ... harus melakukan persis dengan yang ia lakukan.

Dengan menurunkan senar bas setengah nada, aku akan memaksa Mafuyu untuk mengambil not E♭ mayor yang sangat sulit, sementara aku memainkan not E mayor yang paling sederhana.

"... itu benar-benar licik ...."

Kalimat itu tidak sengaja keceplosan dari mulutku.

"Di mana liciknya?" Kagurazaka-senpai menonjok dahiku dengan pick. "Untuk mencapai kemenangan, melakukan semua sebisanya hingga saat terakhir sebelum bertempur itu diperlukan, bukan? Ini juga merupakan sebuah tindakan untuk menghormati musuhmu."

"Yah, bisa jadi ...."

"Alasan keempat, yakni kita akan melakukan fugue setelah variasi," senpai pun menyatakan alasan terakhirnya.

"Ebisawa Mafuyu pasti tidak akan lepas dari fugue. Oleh karena itu, kita hanya perlu membiarkan ia tahu bahwa komposisi musik ini bukanlah sesuatu yang dapat dimainkan oleh satu orang saja. Itulah berbagai alasanku kenapa memilih komposisi ini, <Variasi Heroik>. Komposisi ini ada untuk memenangkanmu dari Ebisawa Mafuyu, itu sebabnya—"

Senpai meletakkan tangannya di bahuku dan menatap langsung mataku saat dirinya berkata,

"—bulatkan tekadmu, dan beri ia pelajaran."



Setelah bermain melalui frasa yang berkelanjutan, aku menyenderkan punggungku dengan kuat pada pintu dan menarik napas dalam-dalam. Senar maupun setang bas telah menjadi licin karena keringatku. Variasi kelima akhirnya kembali ke dua suara melodi sederhana, tapi waktu untuk beristirahat itu usai dalam sekejap. Aku bergegas langsung ke variasi keenam dalam C minor tanpa mendapatkan kesempatan untuk memperlambat tempo. Itu adalah satu-satunya bagian di mana penurunan setengah nada pada bas tidak mampu memperlihatkan dampaknya. Seolah Mafuyu telah membelah frasa pembukaan dengan sebuah kapak. Melodi melengking menyeret tubuhku. Jariku mulai berputar, dan aku beberapa kali salah memainkan not. Aku hampir bisa melihat pertanyaan beruntun dari Mafuyu yang muncul di tempat yang telah kurencanakan untuk berhenti — sebagai tanggapan, aku menjawab dengan menggunakan nada serupa yang bercampur dengan desahanku.

Bahkan ketika kami memasuki kanon yang bagai mimpi itu, Mafuyu hampir tidak menunjukkan belas kasihan. Jika aku terlambat satu ketuk saja, ia akan segera menghancurkan baris melodiku yang berusaha memperkirakan langkahnya, dan memulai melodi lanjutan sendiri.

Aku kemudian bisa merasakan sedikit tekanan mendorong punggungku. Meski tidak bisa melihatnya, entah bagaimana, aku tahu ... bahwa Mafuyu bersandar di pintu, sama sepertiku. Aku hampir bisa mendengar detak jantung Mafuyu, walaupun bisa saja itu suara detak jantungku sendiri ataupun gema suara bas.

Saat rangkaian backbeat mempertahankan melodi variasi kesepuluh — melodi berbarengan dengan sekumpulan capung beterbangan di sekitar kami — Aku menjadi semakin bingung. Kenapa aku melakukan hal seperti ini di tempat begini?

Aku lupa kalau aku sudah terlalu memikirkan berbagai macam hal sewaktu melirik partitiur sebagai upaya untuk mengimbangi permainan gitar Mafuyu. Tips yang diberikan senpai padaku sudah hilang sepenuhnya dari otakku.

Yang tertinggal hanyalah jari-jariku yang bergerak dengan sendirinya.

Entah mana yang merupakan suara basku, dan mana yang merupakan suara gitar Mafuyu. Aku tidak tahu. Aria Pro II milikku yang telah dimodifikasi dan Stratocaster Mafuyu seperti kembaran yang berasal dari sepotong kayu yang sama — mereka berbaur satu sama lain dengan sempurna. Aku tidak bisa menjelaskan fenomena tersebut hanya dengan berkata basku dan gitar Mafuyu punya seteman yang sama sehingga kedua alat musik itu bisa berharmonisasi tanpa cela. Seolah kedua alat musik itu berjarak beberapa milimeter saja, pemotongan sirkuit, dan keseimbangan teliti dari nada tinggi dan rendah — keajaiban yang terjadi hanya setelah integrasi dari semua yang disebutkan di atas.

Mafuyu dan aku seperti tangan kanan dan kiri seorang manusia—

Bersama dengan itu, variasi akhir pun tiba. C minor. Itu mirip dengan luasnya laut di malam hari yang baru saja dilanda badai dahsyat.

Guntur perlahan-lahan tidak lagi menggelegar, namun masih bergema jauh di dalam awan.

Bisikan-bisikan dari dalam samudera.

Dengan tangan kananku, kupetik sebuah nada G rendah yang terdengar tanpa henti.

Kemudian, bersama dengan terbelahnya awan, aku akhirnya bisa melihat kedatangan fajar.

Dengan lemah kudengarkan gemuruh di perutku, dan melemaskan tangan kiriku. Kemudian, sekali lagi kucengkeram erat setang basku dengan telapak tangan yang berkeringat ini.

Bagian fugue. Akhirnya aku tiba di sini.

Setelah mengusir semua pikiran-pikiranku yang terbakar dalam api kegelapan, yang muncul di hadapanku adalah sesuatu yang penuh dengan kemungkinan tak terbatas —ansambel yang berpendar seperti kristal. Aku segera menarik keluar not pertama dari frasa awal. Empat suara sederhana — yang telah ada sejak awal perang — berbunyi, selagi melodi utama fugue yang mengikuti aba-aba dan memulai alirannya. Setelah empat bar, Mafuyu mulai mengejar — mengejar diriku. Di antara dua melodi yang tidak saling memotong dan yang tidak saling bersentuhan, terdengar melodi yang tampak seperti fatamorgana. Siapa sebenarnya yang memainkan itu? Jelas, itu adalah Mafuyu dan aku. Kami terus-menerus mengirimkan fragmen melodi, yang perlahan-lahan bergabung menjadi baris melodi yang jernih — rasanya terdengar seolah ada orang ketiga yang bermain bersama kami. Aku tidak begitu tahu yang kini sedang terjadi — yang kulakukan hanyalah memainkan semua yang tertulis dalam partitur buatan senpai. Mafuyu tampaknya telah menganalisis maksud nada ini dalam sekejap, dan terus membalasku. Itu adalah satu-satunya hal yang bisa kupahami. Namun, apa itu benar-benar mungkin? Tanpa menggunakan kata-kata, hanya menyampaikan perasaan kami melalui musik — bisakah keajaiban ini sungguh terjadi? Atau akankah keajaiban ini menghilang saat aku membuka mata—

... berangsur-angsur, hal tersebut pun menghilang.

Aku berhenti menggerakkan jari-jariku.

Melodi Mafuyu, yang seharusnya mengejarku, tiba-tiba menghilang.

Bayangan kehangatan dari Mafuyu, yang kurasakan di punggungku sejak tadi, juga ikut menghilang.

Aku berbalik. Sebuah suara *ngiiing* datang dari balik pintu. Itu suara samar yang dihasilkan oleh feedback dari gitar.

Aku punya firasat buruk tentang ini.

"... Mafuyu?"

Aku mencoba memanggil dirinya. Ia tidak menjawab.

Sebaliknya, aku mulai mendengar suara-suara tak menyenangkan dari erangan dan tangisan melalui celah-celah pintu.


Read more ...»

Oreshura Jilid 1 Bab 3

On Minggu, 19 Februari 2017 0 komentar

=========================================================
Dengan ini satu episode selesai... Mohon maaf, padahal ini bab yang pendek, tapi proses edit dari ane yang makan waktu lama...
Hasil terjemahan seri ini di-posting di masing-masing fantranslation... Rilisan seri ini bisa terlebih dahulu dinikmati sehari lebih awal di Zhi-End Translation...
Selamat menikmati....
=========================================================


Bab 3 - Pacar VS Teman Sedari Kecil = Sebuah Kekacauan


Di hari berikutnya, kabar tentang Natsukawa Masuzu menyebar ke seluruh sekolah tanpa ada yang menggembar-gemborkan. Sungguh kekuatan penyebaran yang sangat menakutkan, atau harus kusebut kejangkitan. Siapa dikaitkan dengan siapa, siapa dicampakkan oleh siapa, cerita semacam ini bisa terdengar hingga radius sepuluh mil segera setelah peristiwa terjadi. Bukan karena Natsukawa menyebarkan kata-kata manis di berbagai tempat, tapi karena semangat penganut romansa melebihi semangat penganut Katolik di abad pertengahan.

Omong-omong, mungkin Natsukawa punya campur tangan dalam hal ini. Lagi pula, jika rumor tidak bisa menyebar secara efektif, dari awal dia tidak perlu memulai pernyataan palsu itu untuk melindungi <<Barrier>> pemecah ombaknya.

Setiap waktu istirahat yang kami lalui, anak-anak dari kelas lain bergegas untuk mengamatiku. Jadi itu orangnya? Terlihat sangat biasa, Kita tidak akan bisa memahami selera ojou-sama. Hanya dari komentar-komentar kejam ini, aku sudah mulai memahami perasaan Natsukawa. Hal ini memang sangat sulit untuk dihadapi.

Yamamoto dari klub sepak bola meminta jabat tangan untuk yang kedua kalinya dalam bulan ini.

"Jika kamu tidak memberikan kebahagiaan pada Natsukawa, aku tidak akan pernah memaafkanmu, yo."

Oh, Yamamoto-kun. kamu terlalu menyilaukan.

Kalau aku bisa, aku akan sangat senang menawarkan padamu hak untuk membawakan kebahagiaan pada Natsukawa. Aku benar-benar akan melakukannya.

... Omong-omong, cepat dan bantu aku! Aku mohon padamu!


XXX


Di hari itu, saat pulang sekolah.

"Manusia seharusnya tahu kapan waktunya menyerah, Eita-kun."

Kata Masuzu di sebelahku dengan sikap seorang tuan putri.

"Seperti yang dikatakan teman sekelasmu Yamada, ayo kita bekerja sama demi kebahagiaanku."

"Hanya kamu saja yang bahagia!"

Oh, lagi pula, itu bukan Yamada, tapi Yamamoto. Bagaimanapun juga, ini sudah lepas dari topik pembahasan.

Kami tidak memilih jalan utama, melainkan rute yang lebih jauh yang jarang dilalui orang. Meski cenderung lebih jauh, pilihan kami terbatas. Itu relatif lebih baik daripada pulang dengan tatapan cemburu dan bisik-bisik yang mengganggu.

Masuzu menepukkan tangannya bersamaan.

"Omong-omong, Eita-kun,"

"Apa?"

"Mulai sekarang, karena kita akan cukup lama menghabiskan waktu bersama sepulang sekolah tiap harinya, tidakkah kamu berpikir kalau kita sebaiknya menghabiskan masa-masa ini dengan lebih baik?"

"... tentu, itu akan lebih berguna."

Jalur yang aku dan Masuzu ambil adalah jalur dari sekolah yang menuju ke minimarket di Jalan Ketiga. Jaraknya kira-kira 1,5 kilometer, dengan waktu tempuh sekitar dua puluh menit berjalan kaki.

"Berdebat selama dua puluh menit setiap hari begini sangatlah tidak efisien. Kita seharusnya berusaha membuat ini jadi lebih bermanfaat, tentunya dengan bekerja sama."

"Lalu? Apa yang mau kamu sarankan?"

"Yah, tentu saja seperti ... membeli sesuatu untuk dimakan, pergi ke suatu tempat untuk bermain sejenak."

"Sepertinya cukup menarik. Tapi menghabiskan hari seperti ini tampaknya sedikit .... Pokoknya, aku tidak ingin mengurangi waktu yang harusnya kuhabiskan untuk belajar, beserta tugas mencuci baju dan memasak makan malam. Karena itu, sebaiknya aku mengabiskan waktu dan uang yang sesedikit mungkin."

"Kalau begitu, kurasa kita hanya bisa mengobrol saja."

"Seperti obrolan mesra antara sepasang kekasih, begitu?"

"... obrolan mesra, ya?"

"... obrolan mesra."

Baik tangan Masuzu maupun tanganku keduanya sama-sama merinding.

"Tidak mungkin."

"Mustahil."

Aku meludah ke tanah.

Masuzu meluruskan rambutnya.

"Pikirkan baik-baik, kita tidak perlu saling berdekatan sambil mengobrol mesra seperti itu."

"Benar, lagi pula ini semua hanya pura-pura."

"Asalkan itu sesuatu yang bisa kita jadikan obrolan. Contoh, acara TV yang kita tonton kemarin, itu adalah topik yang umum."

"Aku mengerti. Kalau begitu, ayo kita mulai."

Masuzu berdeham.

"Eita-kun. Apa kemarin kamu menonton acara Hukuman Ekstrim Magure?"

Wah. Orang ini tahu bagaimana caranya membuat topik diksusi yang bagus. Magure adalah acara TV favoritku.

"Tentu saja. Oh, adegan terakhir itu sangat berkesan! Kamu tahu, adegan di mana rekannya ditembak oleh si buronan, lalu entah dari mana dia mengeluarkan rokok, dan berkata, Berengsek, apa kamu tidak tahu kalau aku sudah berhenti? kalimat itu benar-benar luar biasa! Hal itu benar-benar membuatmu menantikan lanjutan episodenya! Semacam perasaan bahwa dia telah melalui segala macam rasa sakit dalam kehidupan. Hanya sedikit drama yang seperti ini di zaman sekarang! Acara ini adalah mahakarya! Pertunjukan terbaik yang pernah ada!"

Masuzu dengan risih menundukan kepalanya.

"Itu .... Aku tidak pernah berencana membuat obrolan yang seintens tadi."

"... oh, begitu, ya?"

"Lagi pula, aku tidak pernah tertarik pada acara itu."

"Lalu kenapa kamu menanyakan soal itu?"

Dasar jalang ....

Kamu membuatku menyia-nyiakan semangatku.

"Niat awalku adalah menciptakan topik di mana Eita-kun tampak agak kekurangan bahan dan memulainya dengan acara TV populer."

"Yah, tampaknya kita memang sangat kekurangan bahan obrolan, maafkan aku!"

"Hidup yang tidak memadai bisa terbantu lewat makanan dan uang, tapi apa yang bisa membantu sebuah topik yang tidak memadai?"

Apa pun itu, aku tidak bisa meninggalkan kesan miskin topik dalam pandangannya.

Dengan tidak senang, aku berkata,

"Bagaimana kalau hobi atau hal-hal yang kita sukai?"

"Lalu apa hobi Eita-kun?"

"Hmm? Hmm ...."

Tiba-tiba langsung ditanyai langsung begini, rasanya jadi sulit menjawab.

Hobiku .... Apa, ya? Kurasa menjurus pada memasak?

"Sewaktu membuat daftarnya, tolong jangan sertakan mengintip rok dari bawah tangga dan mencuri celana dalam, keduanya itu—"

"Memangnya aku pernah punya kedua hobi itu?"

Masuzu mundur dua langkah ke belakang dengan ekspresi terkejut.

"Ja-jangan bilang kalau yang tadi itu bukan lagi hobi tapi jalan hidupmu?!"

"Sudah kubilang, tidak ada yang seperti itu!"

"Aku benar-benar minta maaf. Sepertinya aku telah melukai kesan polos Eita-kun terhadap celana dalam. Sebagai permintaan maaf, bagaimana kalau aku memperbolehkanmu melihat ...."

Masuzu menggigit bibirnya seolah-olah menyesal, kemudian mulai mengangkat roknya.

"Waaah—! Waaah—! Ahhh—!"

"Jangan teriak! Aku juga mau mengklarifikasi kecurigaanmu terhadapku soal yang tidak memakai apa-apa."

Sekelompok anak SD dan ibu rumah tangga yang sedang mengobrol memberikan tatapan dingin ke arahku.

... kenapa memandangku?!

Dasar orang-orang gila, kenapa aku yang jadi konspirator di sini?

"Celana dalam hari ini agak berani. Tidak hanya memiliki bunga di sisinya, di ujungnya, lebih tampak transparan .... Jika aku tahu kalau akan dilecehkan seperti ini, seharusnya aku memakai celana dalam yang lebih cocok untuk murid SMA."

"Berhentilah bicara seolah aku ini penjahat!"

"Sekadar informasi, warnanya hitam."

"Hitam, katamu?!"

Roknya perlahan terangkat, menunjukan kakinya yang jenjang.

Yang bisa kulakukan hanya mengeluarkan buih putih dari mulutku.

Kaki putihnya yang berkilau.

Kaki itu adalah milik seseorang yang jarang keluar rumah.

Halus sekaligus kokoh, ada sesuatu yang sedikit menarik perhatian, membuat orang-orang tanpa sadar menantikan yang akan muncul berikutnya. Di ujung sana, terlihat warna hitam—

Masuzu melepaskan pegangannya dan membuat roknya kembali tertutup.

Yang terlihat hanyalah lapisan dalamnya yang bersih, roknya dengan lembut jatuh, sekali lagi menutupi kakinya.

Masuzu menjulurkan lidahnya.

"Meski kamu adalah pacarku, kita baru dua hari pacaran. Sesuatu seperti itu belum ditetapkan dalam perjanjian kita."

"Aku tidak tahu soal itu .... Sungguh tidak senonoh ...."

Aku berlutut di trotoar, lemah dan tidak berdaya.

Aku sudah dibodohi ....

Emosi seorang murid SMA yang masih suci sudah dipermainkan ....

"Bangkitlah, Eita-kun. Masa-masa bahagia kita baru saja dimulai."

Tentu saja, kami bahkan belum sampai di separuh perjalanan.

Hanya saja, itu sudah menjadi mimpi buruk yang mengerikan.

"Berdirilah layaknya seorang pria, dan ayo berlanjut pada obrolan kita yang menyenangkan!"

"... kurasa begitu."

Aku mengusap air mataku.

Yah, mereka bilang semakin sering merasakan hal semacam ini, semakin kita memiliki pandangan yang optimis terhadap revolusi.

"Kalau begitu, ayo kita mulai topik lain~"

Masuzu berdeham,

"Eita-kun, apa kamu menonton Hukuman Ekstrim kemarin?"

"Ya, aku menontonnya."

"Bagaimana menurutmu?"

"Hmm — menurutku lumayan menarik."

"Kamu menonton acara seluar biasa itu dan hanya bisa berkomentar seperti tadi? Sungguh pria yang kasar!"

"Kamu— kamu, apa kamu mau main-main denganku—?!"

"Argh, pusing. Tidak peduli bahas apa, kita tidak akan pernah bisa punya obrolan yang bagus."

"Itu juga gara-gara kamu—!"

Dan tepat di saat itu ...,

"Ber-berpegangan tangan dan yang lainnya, itu tidak senonoh! Sungguh tidak senonoh!"

Chiwa menunjuk ke arah kami, wajahnya benar-benar merah.

Tasnya naik turun selaras dengan napasnya, aku berasumsi kalau dia berlari dengan kecepatan penuh dari sekolah hingga ke tempat kami kini berada.

Berpegangan tangan? Tidak, kami tidak melakukannya.

Ketika memikirkan hal itu, tanpa kusadari, Masuzu sudah merangkul erat lengan kiriku. Apa yang ada di pikiran gadis ini?

"Ei-kun, i-ini, apa-apaan semua ini?!"



Orang ini tampaknya mengejar kami karena rumor antara Masuzu dan diriku.

Chiwa benci saat ada sesuatu yang disembunyikan darinya. Jika itu adalah hal yang bagus maka dia akan marah dan bilang, Tidak disangka, jika itu adalah hal yang buruk maka dia akan marah berkata, Kenapa kamu tidak bilang padaku?.

Aku penasaran jika ini akan menjadi kategori yang bagus dari kategori yang buruk.

Kurasa secara keseluruhan ini adalah hal yang bagus?

Memiliki pacar adalah sesuatu yang layak untuk diberikan ucapan selamat?

Tapi tunggu, reaksinya itu—

"Lebih dulu populer sebelum aku, kamu jadi angkuh, Ei-kun—!"

Uh.

Kenapa aku selalu menjadi sasaran?

"Ohh, Eita-kun, siapa anak kecil yang di sana itu?"

Masuzu bertingkah seolah-olah baru menyadari keberadaan Chiwa beberapa saat lalu, dia bertanya sambil sedikit memiringkan kepala.

"A-aku bukan anak kecil! Kamu saja yang terlalu besar!"

"Oke, Oke, Oke. Kamu berasal dari SD mana?"

"Aku bukan murid SD! Lagi pula, aku memakai seragam yang sama denganmu!"

"Oh, begitu ya. Apa kamu penggemar Eita-kun?"

"Siapa yang sudi jadi penggemarnya?!"

"Berarti kamu anggota Komunitas Anti-Eita, ya?"

"Apa hanya dua hal ekstrim itu saja yang ada di kepalamu?"

"Lalu kamu itu sebenarnya siapa?"

Karena beberapa alasan, Chiwa menyatakannya dengan percaya diri,

"Aku. Adalah. Teman. Sedari. Kecil. Ei-kun. Harusaki Chiwa!"

"Hanya karena teman sedari kecilnya, kamu jadi merasa berhak bersikap kasar seperti itu?"

Masuzu mengedipkan matanya, seolah mencoba menusuk Chiwa hanya dengan tatapannya.

"Mencari celah di kencan romantis sepasang kekasih sepulang sekolah, apa kamu tidak merasa kalau itu patut dihukum berat?"

Oh, Masuzu-san, jadi ini kamu sebut kencan? Sebuah kencan menyenangkan di mana aku diceramahi sepanjang jalan sebagai pencuri celana dalam atau pria membosankan dan semacamnya ...?

"... Ei-kun! Kenapa tidak bilang kalau kamu punya pacar?"

Merasa kesusahan menghadapi musuhnya, Chiwa mengarahkan amarahnya padaku.

"Soal itu ..., aku minta maaf."

Aku meminta maaf dengan tulus.

Masuzu tiba-tiba ikut bergabung,

"Ya ampun, apa pacaran dengan Eita-kun butuh izin dari Harusaki-san?"

"Ya, jelaslah! Kami telah menghabiskan banyak waktu bersama, kami tumbuh layaknya kakak beradik! Gadis asing yang baru mengenal Ei-kun selama dua bulan, bagaimana mungkin mengerti soal dia!"

"Lalu apa yang Harusaki-san ketahui tentang Ei-kun?"

"Aku tahu semuanya tentang Ei-kun! Contohnya di saat kelas tiga SD, dia menaruh susu di dalam loker dan dengan sengaja membiarkannya basi, lalu memanggil Yoshioka yang merupakan guru kelas kami dengan panggilan mama, dan juga saat lomba maraton setelah menginjak kotoran, dia dijuluki buldoser kotoran, pokoknya segalanya tentang Ei-kun!"

"Ya ampun, sekarang aku jadi lebih tahu beberapa kejadian yang menarik!"

Masuzu mendengarkannya dengan mata berkilau, bahkan dia sampai mencatat ocehan Chiwa tadi.

Aku ... tiba-tiba merasa ingin bunuh diri.

"Karena itu, kamu harus melewatiku dulu sebelum berpacaran dengan Ei-kun!"

Masuzu menggenggam kedua ujung roknya lalu sedikit membungkuk, berbicara dengan elegan,

"Aku minta maaf karena tidak menyapa sebelumnya. Aku, Natsukawa Masuzu saat ini berpacaran dengan Kidou Eita-sama, jika kamu berbaik hati merestui kami berdua, kami mohon bimbingannya."

"...."

"Eita-kun, siap melanjutkan kencan kita?"

Masuzu menggandeng lengan kiriku dan bersiap pergi, kemudian tiba-tiba Chiwa ikut menggandeng lengan kananku.

Chiwa cemberut seperti seorang anak kecil yang kehilangan mainannya dan memelototi Masuzu dengan penuh kebencian.

"Apa masih ada lagi yang kamu inginkan?"

"Tidak ada!"

"Hmm?"

"Itu— tidak boleh! Aku tidak mau Ei-kun berpacaran dengan orang sepertimu!"

Lengan kananku ditarik, dengan kemungkinan copot yang sangat tinggi.

"Owowowowowo! Chiwa, lepaskan!"

"Baik, kuterima tantanganmu. kutantang dirimu untuk memadamkan cinta yang membara di antara kami ini!!"

"Sudah kubilang— aduh!"

Ini benar-benar bencana.

Baik Masuzu maupun Chiwa tidak ada yang mau menyerah. Masing-masing lenganku ditarik oleh mereka berdua, seperti lomba tarik tambang.

"Lihat, Eita-kun sampai berteriak kesakitan. Sebagai teman sedari kecilnya, kenapa kamu tidak melepasnya?"

"Tidak, kamulah yang seharusnya peduli pada pacarmu dan melepaskannya!"

Pada akhirnya, Masuzu tidak bisa mengalahkan tangan Chiwa yang telah terlatih dalam kendo. Masuzu kehilangan keseimbangan dan mendorongku. Itu sebabnya, aku tersandung penghalang yang ada di trotoar.

"Ahhh—!"

Aku terjatuh ke arah tumpukan sampah, sementara Chiwa dan Masuzu yang sebelumnya sudah melepaskanku, sepenuhnya aman dan tentram.

Licik sekali. Rasa sakit dan air mata selalu ditanggung lelaki!

"Eh—? Memangnya kenapa kalau kamu jatuh cinta? Akan kucari sendiri pacar yang tampan! Aku pasti akan jadi populer!"

Seperti anak kecil yang kalah dalam permainan dan hanya bisa memberikan ancaman lisan, Chiwa menghilang setelah mengucapkan kalimat tersebut.

Masuzu memberikan sebuah senyum bak seorang malaikat, memandang diriku yang jatuh di tumpukan sampah dari atas.

"Hohoho, Eita-kun ternyata cukup populer."

Aku sama sekali tidak mau peduli tentangmu!


XXX


Malam itu Chiwa tidak datang untuk makan malam. Padahal aku sudah membuat banyak hamburger kesukaannya. 

Aku mengirimkan SMS padanya dan segera menerima balasan yang berisi satu kata.

"Pengkhianat."

Pengkhianat, hore ....

__________________________________________________________




Kidou Eita.

Murid kelas 1 SMA. Sungguh membosankan. Kepribadiannya suka menceletuk.

Kutipan Favorit: "Di mana ada keinginan di situ ada jalan."


Read more ...»

Bokushinu Jilid 1 Bab 3

On Kamis, 16 Februari 2017 0 komentar

=========================================================
Awal baca, wah ini seri kayaknya horor nih... Bab selanjutnya, loh kok ada kesan supranatural sama mistisnya...? Lanjut ke bab berikutnya sampai dengan bab ini, wah ternyata ini memang bergenre keseharian anak remaja dengan selingan adegan-adegan yang cukup menghangatkan hati...
Autumn Moon itu adalah arti bahasa Inggris dari Akitsuki, yang berarti Bulan Musim Gugur...
Hasil terjemahan seri ini di-posting di masing-masing fantranslation... Rilisan seri ini bisa terlebih dahulu dinikmati sehari lebih awal di Sekki & Kyou Translation...
Selamat menikmati....
=========================================================


Bab 3 - Hari Ini, Sexy Dream Bertarung. Kamu Menjadi Pahlawan


Aku pernah bermimpi.

Mimpi sewaktu aku kecil, ketika masih duduk di bangku SD.

Aku yakin saat itu musim panas. Benar, musim panas.

Tepatnya di area perkemahan untuk keluarga. Semuanya sedang memanggang daging di pinggir sungai.

Selain kami, ada keluarga lain yang juga membawa anak-anaknya.

Tidak begitu lama, tanpa ada yang menyuruh, semua anak-anak berkumpul bersama, bermain bersama layaknya orang yang sudah berteman selama bertahun-tahun.

Di sana ada sebuah sungai, jadi kami para anak-anak tentu saja ingin bermain di sungai.

Tapi di sana selalu ada anak yang menyendiri.

Ada juga mereka yang tidak bisa berenang, atau mungkin juga takut dengan air.

Di seberang sungai dangkal itu ada gadis pemalu yang sedang menangis.

Dia bisa saja menyebrangi sungai jika seseorang membantunya.

Kedua mata gadis pemalu itu berlinangan air mata, gelisah dan ragu-ragu.

Permukaan air sungai merefleksikan gaun memesona yang dikenakannya, menegaskan ketidaksesuaiannya dengan perkemahan itu. 

Gadis itu memiliki rambut panjang nan halus, sambil memeluk boneka pandanya. Sungguh tampak kasihan. 

Aku hanya bisa mengingat gambaran kabur, dan semua yang kuingat hanyalah fakta bahwa dia gadis yang sangat manis. 

Dan di sana ada anak-anak lainnya yang menyendiri.

Beberapa dari mereka besikap sok keren, beberapa lainnya adalah anak-anak bodoh yang berkeliaran.

Dan di sanalah aku, bagian dari anak-anak bodoh itu.

"Putri Polaris! Tunggulah di sana, aku datang untuk menyelamatkanmu! Aku bersumpah atas nama Autumn Moon!"

Aku meniru pose transformasi yang ada di anime dan meneriakkan kalimat itu dengan bangga.

Putri Polaris adalah seorang tokoh wanita dari anime favoritku.

Untuk, Autumn Moon, yah, Autumn Moon itu .... Yah, seperti itulah latarnya.

Kita kesampingkan dulu topik ini.

Apa pun tujuannya, Autumn Moon adalah pahlawan gigih yang menolong semua orang yang berada dalam masalah.

Akan tetapi, aku justru berbuat hal bodoh.

Aku terpeleset, dan terseret arus tanpa perlawanan, aku tenggelam.

Bahkan hingga sekarang, pemandangan gadis dengan boneka panda yang melihatku hanyut itu masih jelas di ingatanku.

Aku akan mati.

Itulah yang ada di pikiranku saat kecil dulu.

Lalu, seorang gadis datang entah dari mana, bergegas ke pinggir sungai.

Ketika anak lainnya tampak terpaku, gadis itu melompat ke dalam air dengan agresif.

Dia menceburkan diri ke sungai, memegang tanganku erat, dan menarikku ke tepi.

Dia punya sepasang mata yang indah, rambut pendek yang memantulkan sinar matahari dan bando putih yang cantik.

Senyumnya sangat menawan dan sulit dilupakan.

Dan dia langsung mencuri hatiku lewat aksinya, termasuk dengan yang dia katakan selanjutnya.

"Aku pahlawan yang menyelamatkan nyawamu! Mulai sekarang dan seterusnya, kamu adalah pelayanku!"

Dia melanjutkan, "Ini sebuah janji! Ayo buat janji kelingking!" sambil mengangkat jari kelingkingnya. Aku kemudian mengikutinya dalam keadaan setengah sadar. Jarinya terasa begitu hangat.

Aku menjawab,

"Kan kubalas hutang budi ini. Saat kamu dalam bahaya, aku pasti akan menyelamatkanmu, itu janjiku."

Aku tidak pernah bisa lupa rasa kesepian yang kurasakan ketika jari kami berpisah.

Sudah sepuluh tahun berlalu sejak kejadian itu ....

"Arrghhhhhhh!"

Aku terbangun dan berteriak di akhir pekan.

Sial! Aku dipermainkan!


-

Autumn Moon?! (Hahahahahahaha)

-

Ini tertulis di buku catatan, dan di sana ada surat yang diletakkan di sebelahnya.

"Ah, sial .... Ini gawat .... Aku lupa menyembunyikannya ...!"

Dengan wajah pahit, aku lanjut membaca catatan harian.


-

Aku memeriksa di bawah kasur dan menemukan harta yang luar biasa! Sakamoto, kamu sungguh saling bertukar surat dengan seorang gadis. Manisnya~

-

"Itu sudah lama sekali! jangan suka ikut campur!"

Aku mengambil suratnya sambil mengomel.

Surat ini dari gadis yang kutemui di perkemahan saat acara memanggang daging dulu.

Dari seorang gadis berpotongan rambut pendek dengan bando yang menyelamatkanku dulu.

Dia dan aku akrab satu sama lain, jadi kami menghabiskan waktu bermain bersama di perkemahan sepanjang waktu. Aku sadar bahwa saling bertukar surat sudah ketinggalan zaman saat ini, tapi kami menggunakan metode suka duka ini untuk saling berhubungan.

Aku juga merasa bahwa Hikari Yumesaki pasti akan menertawakanku jika dia menemukan ini, itu sebabnya kusimpan surat tersebut di kardus dan menyembunyikannya di plafon. Namun, tampaknya aku mengambilnya lagi dan lupa menyimpan ke tempat semula. Sial .... Omong-omong, apa yang dicarinya di bawah  kasurku? Walau sebenarnya aku bisa mengira alasannya.


-

Karena ini sangat langka, aku menyalin seluruh tulisannya untukmu. 


Halo Akitsuki. Bagaimana kabarmu? 

Musim panas akan segera tiba. Ketika musim itu tiba, aku pasti mengingatmu.

Kenangan denganmu itu masih membekas. Kamu mau menjadi pahlawan, tapi gagal.

Waktu itu kamu sangat keren. Autumn Moon sang pahlawan!

Aku masih bisa mengingat janji saat itu. Tidak akan kulupakan, jadi jangan lupa dibalas, ya—




Hah, Autumn Moon?! (Hahahahahahaha)

Tidak buruk, Pahlawan (hahaha), walaupun kamu gagal. Sakamoto memang sangar. (Hahahahahahaha)

Jadi tolong dibalas, ya. (Mengintip dibelakang tembok)

-

Jangan menertawakan masa lalu orang! Semua orang punya masa-masa seperti itu!

"Ah- Sial .... Jalang itu menemukan hal yang tidak berguna ...."

Aku mendesah saat membuka suratnya. Duh, sampai memaksa masuk ke ingatan orang lain seperti itu.

Aku melihat pada baris akhir, sebuah kalimat bernada riang di buku catatan.


-

Ohoho, Autumn Moon? Aku mendapat cerita yang bagus!

-

Yah, terserahlah. Sebentar lagi dia juga akan bosan.

"... sudah cukup lama sejak surat terakhir yang dia kirim."

Seiring waktu, jarak antara setiap surat yang datang kian melebar, dan aku sudah lupa kapan terakhir kali kami bertukar surat. 

"... apa dia baik-baik saja sekarang?"

Akibat memicu ingatan masa lalu diriku, aku dilanda kesepian.

Bahkan aku tidak bisa mengira bagaimana penampilannya sekarang, gadis itu, yang bersinar layaknya matahari. 

Kenangan kabur ini tertimbun di sudut ingatanku. Bohong jika kukatakan kalau tidak merasa nostalgia.

Tapi mari lupakan itu, kini itu semua hanya masa lalu.

Aku menutup kotak kenanganku dan memasukkannya ke bagian terdalam dari meja laciku.

Hikari Yumesaki tidak membahas apa pun tentang surat itu setelahnya.

Aku tidak yakin jika ini saling berhubungan, tapi belakangan ini, dia memulai sebuah permainan tanpa sepengetahuanku.

Sebuah permainan di mana dirinya bermain sebagai pahlawan.


XXX



"Kenapa aku terbangun dengan otot-otot nyeri?"

"Kamu hanya bisa menyalahkan dirimu yang kemarin."

"Sepertinya diriku yang kemarin tidak melakukan itu."

"Hmm?"

"Bukan apa-apa, berikan aku kain basah."

"Biar aku yang menempelkannya ke tubuhmu, ayo lepas bajumu."

"Jangan mengatakannya sambil meletakkan tanganmu di sabukku!"

Menurut kalender, sekarang adalah hari selasa setelah Golden Week. Masih ada waktu sampai hari Sabtu, dan aku merasa sangat tertekan.

Bicara soal bulan Mei, hal pertama yang terlintas adalah sinar matahari yang menyilaukan. Apa Mei selalu panas? Rasanya seperti otakku terulang setiap tahun.

Kini aku berada di UKS, yang belakangan ini sering sekali kukunjungi.

Hikari Yumesaki telah menggunakan tubuhku dan ketika dia mau, dia berbuat seenaknya, dan sekarang aku disusahkan oleh nyeri otot kronis ini.


-

Akhirnya aku mendapat tubuh berandalan yang selalu kuimpikan! Kini aku tidak takut dengan apa pun!

-

Ini yang dia tulis di buku catatan beberapa hari lalu. 

Apa yang dia lakukan? Dia bahkan mendaftar kartu keanggotaan gym tanpa sepengetahuanku; juga ada dua luka baru di wajahku. Tolong, jangan berikan aku lebih banyak masalah. Ditambah, tekniknya dalam menggunakan perban lekat itu payah, tolong perhatikan sudut yang tepat sebelum memakainya.

"Tapi kamu hebat sekali kemarin. Aku sampai terkejut."

"Hmm, memangnya apa yang aku lakukan kemarin?"

Kata-kata Higumo mengusikku.

"Tubuh bagian bawahmu bisa bergerak dengan cepat. Sang berandalan memang cekatan."

"Eh? Tubuh bagian bawah?!"

"Gadis yang di atas ranjang pun sampai terkejut." 

"Ranjang—?!"

Tunggu, ini—

"Kamu berlari dengan cepat sepulang sekolah, aku bisa melihatnya dari sini, apa kamu terburu-buru?"

"Eh. Ah, yah ...."

Jadi itu maksudnya. Dia benar-benar menakutiku.

Sama seperti kelakuan Hikari Yumesaki sebelumnya, dan menjadi semakin bodoh setiap harinya. Hidup bersama sungguh membuatku menderita.

Ketika aku terbangun dua hari yang lalu, pamflet tentang hewan peliharaan berserakan di seluruh kamarku, beserta ancaman tidak masuk akal yang tertulis di buku catatan,


-

Jika kamu tidak mengizinkanku memelihara seekor, akan kuambil video tentang dirimu yang memakai telinga kucing dan mengunggahnya ke nico-nico.

-

Begitulah, tidak semua yang dia lakukan itu buruk. Adikku mulai memanggilku "kakak", ada kartu poin dari kafe maid di dompetku, dan omong-omong, modus siaga ponsel-ku bergambar foto diriku dengan seorang maid. Aku langsung menghapusnya, ingatanku tentang itu masih jelas di otakku. Dengan Hikari Yumesaki yang menghamburkan uangku di mana-mana, kamarku mulai penuh dengan berbagai macam barang, yang kemudian menjadi sumber masalahku. Sebagai contoh, rak yang diisi dengan Kaset blu-ray anime moe dan doujin. Jika aku membahas contoh lainnya, itu bagaikan sisi kosong pada potongan puzzle yang ditaruh di pojokan kamar, puzzle buatan sendiri di mana berbagai kata dan gambar bisa diisi di latar kosongnya.

Awalnya, dia berusaha menyelesaikannya sedikit demi sedikit, tapi setelah beberapa lama, dia mulai mengabaikannya, jadi aku melengkapinya untuk beberapa hari selanjutnya. Ternyata itu susah pada awalnya, tapi aku ketagihan setelah tahu betapa menariknya puzzle ini setelahnya, dan ketika aku menyelesaikannya, aku merasa senang, kegembiraan masa kecilku bangkit, aku bahagia. Hari selanjutnya ....


-

Jangan kamu selesaikan sendiri!

-

Yumesaki Hikari marah. Padahal dia yang tidak bisa menyelesaikannya sendiri.

Omong-omong, tidak peduli betapa banyaknya uang yang diberikan, aku tidak akan pernah khawatir soal uang. Masih ada uang pemberian adikku. 

Hmm? Kenapa Yukiko bisa punya begitu banyak uang?

Biar kuceritakan sesuatu yang mengejutkan! Adikku, Yukiko Sakamoto hanyalah seorang murid SMP, tapi dia dikontrak oleh penerbit sebagai penulis light novel!

Dia tidak memberitahuku apa yang dia tulis, tapi aku juga tidak terlalu akrab dengan hal itu, namun tampaknya novel karangannya laku di pasaran. Ada banyak uang yang dikirim ke adikku setiap bulan dalam jumlah besar, meski begitu dia tidak memiliki rekening bank pribadi, itu sebabnya selama ini dia menggunakan rekening milikku — untuk beberapa alasan, adikku tidak mau orang tua kami tahu bahwa dia seorang novelis, jadi aku berpura-pura sebagai orang dewasa yang menemaninya ketika dia menandatangani Kontrak dengan penerbit. Intinya, ada banyak masalah yang terjadi; kita akan bicarakan lebih rinci lain waktu ....

Demi berterima kasih padaku, adikku mengizinkanku menggunakan uang dari kemenangan suatu penghargaan novel yang ditulisnya. Tentu saja aku menolak. Tapi adikku bilang,

"Berkat kerja kerasmu di novel itu aku bisa berjuang dan memenangkan hadiah ini. Ini adalah caraku berterima kasih padamu, jadi tidak perlu khawatir!"

Itu memang terasa aneh, tapi karena aku punya uang sendiri untuk dipergunakan, jadi kenapa tidak? Lagi pula, membantu adikku mendapatkan ide untuk novelnya bukanlah hal buruk. Hmm? Mendapatkan ide? Yang kulakukan hanyalah mengenakan pakaian yang dipilihkannya, berpose sesuai arahannya dan memotretku di tempat tertentu. Jika penasaran dengan yang dia lakukan terhadap foto-foto itu, kemungkinan itu berhubungan dengan novelnya.

"Sebentar lagi pelajaran dimulai, aku kembali dulu. Dah."

"Silakan. Ah, Akitsuki."

"Aku tidak memotong rambutku."

"Cih."

Orang yang merepotkan.

"Omong-omong, apa kamu mengganti sampomu?"

"... dah."

Diriku yang besok memang menyusahkan.

Karena ulah seseorang, catatanku jadi berantakan. Aku telah mendesah pada catatanku sekitar sepuluh menit.

Bel pertanda akhir pelajaran pun bebunyi, dan teman-teman sekelasku mulai meninggalkan kursinya, berkembang ke dalam pembicaraan antar sesama mereka. Dan tentunya, tinggal diri sendiri bersama tanah tandus di sekitarku. Akan lebih baik jika semuanya bisa mengobrol denganku tanpa terganggu. Akan kulakukan apa saja asal mereka mau mengobrol denganku. Memberi mereka uang? Biaya pertemanan? Eh .... Ah, air mataku terus mengalir. Ada apa ini?

"Tampaknya dia sering mengunjungi gym."

"Gym? Untuk apa?"

"Kudengar dia akan menghadapi gerombolan geng ...."

"Bicara soal itu, dia memakai perban lekat, 'kan?"

"Seram ...."

Aku mengorek telingaku yang sensitif untuk menguping para gadis yang beranjak dari kursi mereka. Gerombolan geng? 

"Hei, tunggu! Tampaknya dia juga mengambil bubuk putih juga, 'kan?!"

"Wah, ga-gawat!"

Itu hanya obat sakit perut, ini semua gara-gara gadis itu hingga membuatku menderita. Kuharap dia tidak lagi memakan semangkuk ramen saat malam hari. Dia tidak pernah menghabiskannya, membuat ruangan menjadi bau. Ditambah, dia menghamburkan seluruh bungkus Koala March tiap harinya.

"... cih."

Tanpa sadar aku mengomel, membuat takut para gadis hingga meninggalkan kursinya.

Tanpa sengaja aku melihat ke arah mereka, dan mereka pun mulai gemetaran. Memangnya aku habis berbuat apa?

Aku mengeluarkan batuk kecil untuk meredakan sedikit kesedihanku lalu mengambil buku catatanku.

Berdasarkan laporan diriku yang kemarin, tidak ada hal besar yang terjadi.


-

Hahahaha. Kamu menikmatinya, 'kan? Moe!

-

Setelah pembukaan yang acak, kemungkinan dia membicarakan tentang drama di TV. Karena isinya tidak bagitu penting, aku langsung melangkahinya.

Tiba-tiba, tatapanku terhenti di kalimat terakhir. 


-

Hei, kenapa kamu tidak mencari teman?

-

"Memangnya itu harus?"

Kurasa Hikari Yumesaki tidak punya masalah dalam bergaul. Itu sebabnya dia menanyakan hal itu.

Omong-omong, ini bukan petama kali dia bertanya hal ini, ini yang keenam kalinya. 

Yang pertama,

Kenapa kamu tidak mencari teman? tapi kuabaikan, dia mungkin marah padaku.

Kenapa kamu tidak mencari teman? dia melanjutkannya lagi,

Jangan abaikan aku! Carilah teman! dan itu pun menjadi sebuah perintah.

Tunggu! Daripada mencari teman, apa kamu lebih suka membuat bayi? Dasar bejat! hingga menjadi seperti ini,

Bejat, bejat, bejat, bejat! Masih terlalu dini buatmu untuk membuat bayi! Carilah teman! dan akhirnya ditutup dengan kalimat tadi yang melebihi amukannya yang biasa. Dari kalimat tadi, bisa disimpulkan kalau dia sedang marah. Gadis ini mungkin hanya menggunakan kata, Hei, ketika suasana hatinya buruk. Bahkan hanya lewat kata-kata saja, isi pikirannya itu bisa dipahami.

Aku langsung berpikir kalau pertanyaan ini sebenarnya susah dijawab, bukan dikarenakan suatu alasan yang menarik.

Sejujurnya, aku bahkan merasa risih dengan suasana canggung ini setiap harinya. Yang kumau hanyalah teman untuk mengobrol, tidak perlu sahabat karib, meski begitu kenyataan sangatlah kejam.

"Andai ada kesempatan ...." 

Lagi pula, orang pasif sepertiku ini tidak akan berhasil. Aku tidak bisa mengakrabkan diri.

Aku mengalihkan tatapanku dari matahari yang tampaknya sedang menatapku, dan aku menutup buku catatanku tanpa menulis apa pun. 

"...."

Apa yang harus kulakukan? Gadis itu pasti akan melakukan hal berbahaya lagi. 

Selepas pelajaran berakhir, aku segera meninggalkan sekolah dan pulang ke rumah dengan perasaan waswas.

Tapi hari ini berbeda dari biasanya.

Ada seseorang yang mengikutiku.

Eh, tunggu, tunggu. Ada apa ini?

Kalau dia mau mencari gara-gara, tolong ampuni aku. Meski aku terlihat ganas, aku sebenarnya pengecut, dan aku sebenarnya tidak jago berkelahi. Ada suatu ketika aku sedang mandi, dan adikku langsung masuk sambil memberiku penyataan yang hampir membuatku pingsan. "Bilang kalau kamu sedang mandi!" kata adikku geram saat dia keluar kamar mandi, tapi saat itu aku justru masih memegangi kepalaku. Gadis itu mungkin mengatakan sesuatu yang aneh padanya.

Kembali ke topik. Ada seseorang yang menguntitku tepat setelah aku meninggalkan sekolah.

Orang itu langsung gelagapan sewaktu aku berhenti. Setiap kali aku berbelok di perempatan, aku bisa mendengar langkah kaki mengejarku. orang itu pasti kurang pengalaman dalam menguntit.

Aku bisa saja lari jika aku mau, tapi aku tidak puas sampai di situ.

Sudah waktunya untukku berbalik.

Tidak apa-apa, 'kan?

Kalau keadaannya jadi buruk, aku hanya perlu menunjukkan wajah garangku dan menakuti orang itu. Lagi pula wajahku seram. Hahaha. Aku tidak punya pilihan. 

Setelah menghibur diri dengan alasan menyedihkan, aku berbalik, berdiri tegak, dan menyiapkan diri.

Sudah kuduga, penguntit pemula yang memilihku sebagai target ini mulai mengejarku. Yak, ambil nafas dalam-dalam.

Tunggu waktu yang tepat—

"Kamu siapa! Apa mau kuhajar, hah?!"

"Kyaaa—?!"

Aku menunjukkan ekspresi ganasku yang biasanya dan suara paling menyeramkan yang bisa kukerahkan untuk mengintimidasi si penguntit.

Si penguntit menjerit seperti menelan bersin dan tersentak mundur. Tas si penguntit pun jatuh ke tanah, beberapa permen jeruk mulai berguling dari tas miliknya. 

Kemudian, aku menyaksikan sebuah momen terpenting. Identitas si penguntit ternyata ....



"Seorang gadis?"

Si penguntit adalah seorang gadis berpostur pendek.

Dan dia tampak tidak asing bagiku.

Gadis berkepang itu adalah teman sekelasku.

Dia begitu pendek hingga jika bukan karena seragam SMA yang dikenakannya, dia bisa saja menyamar sebagai anak SD. Gadis itu jatuh ke tanah, kepangnya yang terikat di kedua sisi rambutnya itu berayun tidak beraturan. Pupil matanya agak besar ketimbang wajah mungilnya, sembari matanya berkaca-kaca, kulit putih susu miliknya agak memerah. Bagi orang yang melintas, pemandangan macam itu akan terlihat seperti berandalan sedang menabrak anak SD. Bukti paling nyata barangkali tatapan dari wanita tua yang tadi lewat. Haruskah aku lari? Apa lari memang pilihan terbaik?

"Ah, kamu baik-baik saja?"

"Ah!"

Aku terkejut oleh jeritannya.

Baiklah, ayo lari. Nenek itu sedang menelepon sekarang. Ini gawat.

Oke, pertama-tama aku akan membantunya berdiri, mengembalikan tasnya. Setelah melakukan semua itu, aku berbalik, berniat untuk pergi—

"Eh?"

Namun tiba-tiba aku berhenti.

Aku merasakan perlawanan lemah dari pakaianku, dan ketika aku berbalik untuk memeriksanya, kulihat tangan putih menggenggam ujung bajuku. Tangan mungil itu menggenggam bajuku. 

Aku memandang lengan itu dan melihat gadis tersebut menengadah ke arahku, gemetaran.

"...."

Dia tidak berbicara, sebenarnya apa maunya?

Aku tidak bisa begitu saja lari, soalnya dia memegang pakaianku. Karena tidak ada pilihan lain, aku hanya bisa mengambil sapu tanganku untuk mengusap air mata gadis berkepang tersebut. Omong-omong, soal sapu tangan, aku jadi teringat yang ditulis Hikari Yumesaki.

Berandalan yang membawa sapu tangan itu memancarkan aura seorang pangeran.

Sikap kritis ini sudah di luar konteks. Apa kubilang? Memangnya itu akan berhasil? Gadis berkepang itu menunjukkan sedikit senyum, bahunya gemetaran— eh? Apa dia menahan tawa? Apa aku melakukan sesuatu yang bodoh?

"Hmm, kamu mau apa dariku?"

Aku bertanya dengan hati-hati padanya. Lagi pula, gadis ini sudah menguntitku dan malah menangis. Itu bukan salahku. 

Dan saat itu juga, gadis tersebut, menahan tawanya, tampak sangat tertekan lagi.

"Ah, yah, anu, bagaimana aku ... menjelaskannya ...."

"...."

"Yah, ke-kemarin ...."

Kemarin?

"Te-terima kasih vanyak!"

Uh! Lidahnya tergigit dengan keras! Tolong bicara yang benar!

Dan gadis manis nan menggemaskan yang menggigit lidahnya ini menurunkan wajahnya, tersipu.

Tapi aku lebih risau dengan kata kemarin yang disebutnya tadi.

Sayangnya, aku tidak tahu apa yang terjadi kemarin. 

Itu pasti bukan hal yang bagus. Gadis itu mungkin telah melakukan sesuatu.

"A-anu, Sexy Dream, 'kan?"

"Eh?"

Apa itu?

"Ini nama yang indah, Seperti kilat."

"Ki-kilat?"

"Sungguh keren .... Dream ...."

"Eh?"

Ini semakin konyol? Apa ada yang bisa menjelaskan padaku arti sebenarnya ini? Dream apa maksudnya ini?

"I-i-ini hadiah untukmu .... (1) oke?"

"(1)?"

"Yah, soalnya (2) dan (3) itu, aku masih SMA .... Aku belum ... siap lahir dan batin."

Tampaknya dia membahas soal bagaimana dia akan berterima kasih padaku.

Meski aku tidak begitu tahu tentang apa (1) dan (2) itu. 

"Omong-omong, (1) itu apa ...."

"Ya, apa boleh?"

Ini memang konyol.

Tepat saat aku memikirkan ini.

*Cup*

"————"

"Da-dadah."

Gadis itu berjinjit sebisa yang dia mampu, menciumku di bibir, lalu bergegas pergi.

Dia berlari .... 

Berlari .... 

...

"Wuuuuuuuuuuuuaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhh?!"

Apa pun itu, teriak saja.

Pokoknya, teriak saja sekeras mungkin.

Sambil sempoyongan dan kebingungan, aku berlari, berlari menuju rumahku sendiri.

I-ini gawat. Tunggu, Eh, tidak, hah, apa?!

Ba-ba-barusan itu apa?!

Ah, napas hangat apa yang menyentuh wajahku tadi?

Aroma seorang gadis.

Napas yang memabukkan dan menyerempet melewati wajahku.

Sentuhan yang lembut.

Manisnya jeruk yang merembes masuk.

Dan kehangatan lembab yang mengalir di—

"Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaarrrggghhh!"

Intinya, aku meraung saat melesat melewati jalanan, berlari menuju ke rumah. 

Dengan semangat ini, aku melakukan push-up kecepatan tinggi, lanjut meraungkan Nameko, Nameko, Nameko, Nameko, Nameko, Nameko, Nameko, diikuti German Suplex di atas bantal, melakukan semua jenis kegilaan yang merusak selama lebih dari sepuluh menit.

Aku kemudian bergumam pada diri sendiri saat membuka buku catatan.

"Apa yang sudah dilakukan diriku yang kemarin?!"

Normalnya, aku akan menulis kata-kataku dengan rapi di baris buku catatan, tapi untuk hari ini, aku tidak begitu peduli hingga mengambil spidol warna di sampingku, menulis semuanya seperti cakar ayam.

"Kamu pasti bercanda! Si bodoh itu! Itu konyol!"

Biar bagaimanapun, Hikari Yumesaki pasti meninggalkan pesan mendadak,


-

Aku mencoba membuktikan peluang seorang berandalan menabrak seorang gadis cantik lalu dicium.

-

Pesan yang ditinggalkan oleh diriku yang kemarin ini membuat sakit kepalaku begitu perih.

Pesan tersebut dimulai dengan pembukaan misterius yang sama sekali tidak kumengerti.


-

Guhahahaha. Kamu menikmatinya, 'kan? Dikuasai oleh moe, 'kan? 

-

Moe?

....

Tidak mungkin seperti itu!

"Si otak udang itu!"

Dan malamnya, insiden tentang permen jeruk sore tadi terus menghantui otakku. Gara-gara itu, aku jadi tersiksa secara mental, dan begitu lelah hingga tertidur lebih awal.

Saat aku bangun, rupanya sudah hari Kamis. Seperti biasa, aku kehilangan satu hari.

Secara perlahan kubuka buku catatan dengan kedua tangan, dan menatap ke pesan yang gadis itu tinggalkan. 


-

Dia dicegat oleh berandalan, jadi aku menyelamatkannya! Lalu kubilang kalau dia bisa berterima kasih padaku dengan pilihan:

(1) Ciuman

(2) Cumbuan

(3) Ehh?! Bibir di bawah sana?!

Sepertinya dia memilih (1) ya, 'kan? Moe banget, 'kan? Menggemaskan sekali, 'kan, wahai Tuan Perjaka? Kamu merasa kalau (3) lebih bagus, 'kan? Tapi maaf soal itu! Salah satu aturan Kediaman Yumesaki adalah hal tersebut hanya bisa dilakukan setelah berumur 18 tahun! dan aku tidak bisa melanggarnya!


Begitu rupanya.

Bahkan dia meninggalkan ilustrasi yang digambar memakai pulpen berwarna berupa seorang gadis berkepang dengan seorang berandalan di sampingnya, berpose seperti ulat daun, menyeringai sambil berliuran.

"Haaa .... Yang benar saja?"

Dengan pulpen merah di tangan, aku menulis di buku catatan secara serampangan, seakan-akan ingin mengoyaknya.

"Hal sepenting ini harusnya beri tahu aku dulu!"

Lalu, aku pun menambah aturan baru.


-

Aturan nomor 21: Dilarang ciuman. Jangan bawa-bawa pilihan semacam eroge ke dunia nyata!

-


Aturan-aturan itu ... terus saja bertambah jumlahnya.


XXX



Dan kini sudah hari Senin lagi. Aku tidak mau pergi sekolah.

Alasannya? Ini semua berawal dari hari Sabtu kemarin.

Ketika aku bangun, aku memulai rutinitasku dengan memeriksa buku catatan, dan di situ tertulis,


-

Aku berkata pada kasumi, "Kenapa tidak memilih (2)? Biasanya, siapa pun berharap memilih (2) sebagai bentuk terima kasihnya, 'kan? Apa kamu tahu betapa lamanya aku menanti untuk menikmati hal ini? Apa kamu tidak terpikir kalau ini menyulut imajinasiku sebagai seorang perjaka? Akan kutunggu di pagi pekan berikutnya, oke?" Yang pasti, itu hari Senin besok, 'kan? Tuliskan aku sebuah renungan (di kertas ukuran 42x34, tulis 80 sampai 130 lembar).

-


Begitulah. Sungguh rangkaian kata-kata bodoh yang telah dia tulis di situ. Apa dia memintaku menulis light Novel?  

Aku mencari nama Kasumi di daftar murid, dan kutemukan nama Kasumi Sanada. Ahh, ya, aku ingat nama ini. Tapi kesampingkan dulu hal itu, sepertinya Hikari Yumesaki itu berharap aku dikeluarkan atau semacamnya.

"Bocah ini pasti ditindas saat dia kecil dulu ...."

Dan lanjut tertulis di bawahnya,


-

Lagi pula, gadis ini sangat imut! Dadanya juga besar! Tidak apa-apa jika terperangkap, 'kan?

-


Aku meringis saat melihat kalimat ini dan dengan malas bersiap untuk berangkat.

Cuacanya bagus, begitu pula awan-awannya.

Sudah terlambat bagiku untuk berjalan santai dikarenakan kehabisan waktu, jadi aku tidak punya pilihan lagi selain berlari ke sekolah. Bukan karena aku akan terlambat, tapi aku hanya merasa kalau dia tidak pernah mengerjakan PR atau perbaikan apa pun, dan aku pasti menyesal jika tidak bergegas.

Sambil menahan napas, aku buru-buru menaiki anak tangga, tapi aku begitu penasaran apa Tuhan memang berniat menjahiliku hingga aku bertemu Kasumi saat dia berjalan menuruni tangga. Ah, rasanya canggung.

"Ah, pagi ...."

"Ah, anu, selamat paji ...."

Lidahnya tergigit lagi. Kurasa dia punya masalah dalam pengucapan. 

Gadis itu gelisah, pipinya memerah saat menarik napas dalam-dalam—

"Bisa kita la-la-lakukan sekarang—?"

"Eh? Se-sekarang?! Di sini?!"

"I-i-ya."

Tunggu, nomor (2)? Maksudnya itu nomor (2)?

Terlalu dini di pagi begini, apalagi di tempat seperti ini?

"Be-begini, yang sebelumnya itu ...."

"Tidak! Itu bohong, bercanda! Aku tidak serius waktu itu!"

Aku pasti akan menyesali ini di kemudian hari .... Kupikir, hal tidak berguna ini harus segera disampaikan.

Karena inilah tempat yang tepat.

"Eh? Bohong? Eh .... Eh?"

"Begini, yah, itu (2) ...."

"(2)?"

"Eh? Hah? Jadi bukan (2)?"

"A-apa itu?" 

Kasumi benar-benar benar bingung dengan sikap gelagapanku.

Sial. Aku telah terjebak. Gadis itu berbohong padaku.

Wajah kasumi memerah sampai dia menundukkan kepalanya karena malu. Dia mungkin mengingat apa arti (2) sambil bergumam, "itu mesum ...," moe sekali!

"Eng, aku sudah berusaha semampuku, tapi hanya ini yang bisa kulakukan .... karena itu, nih!"

Dia kemudian menyerahkan sebuah foto padaku.

Itu sebuah foto biasa yang tampak agak kasar, dan terlihat dipotret memakai ponsel lalu dicetak dengan printer rumahan. 

Rupanya itu sebuah foto swapotret, dan gadis di dalamnya menutup separuh wajahnya dengan tangan. 

Rambut hitam sebahu miliknya itu tampak kelimis, dan memberi kesan kalau dia baru saja mandi. 

Foto itu tampak mengarah kebawah, dan cara mata kanan yang tidak tertutupi itu membuatnya tampak menantang.

Tapi yang membuatku tidak yakin adalah—

"Piyama?"

Seorang gadis pendek sedang memakai piyama jingga.

Dan beberapa kancingnya tidak terpasang, jadi aku bisa melihat dada ranum yang putih dari piyama longgar itu, area yang terlihat hampir di ambang batas—

"Ah, jangan lihat yang itu, memalukan ...."

"Eh?! Ini kamu?!"

Aku panik, bahuku kaku, foto itu hampir jatuh dari tanganku.

Gaya rambutnya berubah, dan separuh wajahnya ditutup, membuatku tidak bisa mengenalinya. Jika dilihat lebih dekat, dari sudut mana pun, itu memang dia. Tidak pelak lagi soal ukuran dadanya. 

"Eh, bukankah kamu bilang, Aku mau fotomu yang hampir di ambang batas, Kasumi, ...."

"Ah, yah, itu ...."

Si bodoh itu!

"Bi-biar kuperjelas dulu. Biasanya aku tidak akan melakukan hal semacam ini. Ka-karena kamu sudah menyelamatkanku, makanya aku mau, Sakamoto. Tolong jangan tunjukkan ini pada siapa pun ...."

"Terlepas dari fakta bahwa kamu tadi berkata begitu, bahkan jika itu biasa kamu lakukan pun, jangan pernah mau jika dimintai begitu, paham?!"

"Tapi kupikir tidak apa-apa jika mengabulkan satu permintaan saja. Melakukan hal semacam itu, dan terlihat seperti ini ...."

Dan suaranya pun menjadi sangat pelan.

Yang bisa kukatakan di sini adalah gadis itu telah menindas gadis malang ini.

Lagi pula, ini bukan hal yang baik, 'kan?

Rasanya tidak pantas sampai membuat gadis ini berfoto mesum setelah menyelamatkan dirinya. Foto ini sungguh tidak senonoh.

"Eng ..., anu, cepat simpan ...."

"Ha! Ma-maaf!"

Ini gawat. Naluri lelaki memaksaku menatap ke foto ini.

Dengan tergesa-gesa kusimpan foto itu ke tasku. Aku akan kembali dan memikirkan tentang foto menantang ini nanti. Memikirkannya dengan perlahan.

"Ah, iya. Aku punya foto Sexy Dream yang kamu berikan sebagai modus siaga ponsel-ku. Ba-bagaimana menurutmu?"

"Sexy Dream?"

Samar-samar aku mengingat kalimat tersebut belakangan ini, dan selagi aku memeras otak untuk mengingatnya, dengan malu-malu dia memperlihatkan layar ponsel-nya.

Yang ditampilkan di layar ponsel-nya adalah aplikasi dasar di bagian depan layar, dan di baliknya ada gambar latar foto orang cabul mengenakan jas ketat modis dengan topeng kupu-kupu. orang itu menyunggingkan senyum berseri-seri dengan pose misterius, semuanya terlihat konyol.

Argh, apa si bodoh itu melakukan semua ini hanya untuk menjahiliku?

"Tidak disangka kalau waktu itu kamu seperti anak kecil, Sakamoto, berdiri menolongku ..., dan untuk beberapa alasan, kurasa itu cukup menggemaskan."

Kasumi menahan tawanya saat dia bolak balik melihat antara ponsel-nya dan wajahku.

"Ah, maaf. Kamu adalah Sexy Dream saat berkostum seperti itu, bukan Sakamoto."

Bilang saja Sakamoto. Biar dilihat bagaimanapun itu memang Sakamoto! Kamu sedang apa di sana, Sakamoto?!

Kedua tanganku berada di atas lutut, dan Kasumi melihatku selagi aku gelisah. Seketika matanya terbelalak, bel pun berbunyi.

"Ah, saatnya kembali ke kelas. A-aku pergi duluan, Dadah."

Dia melambaikan tangan kecilnya lalu berlari dengan kecepatan tinggi tepat di saat aku mau memanggilnya, "Ah ...," dengan perlahan aku mengikutinya.

Apa-apaan yang tadi itu?

Jika aku tidak segera bertindak, sesuatu akan terjadi.

Dengan ekspresi lesu yang terpampang di wajah ini, aku menuju ke arah kelas, murid-murid yang masih tersisa di lorong membuka jalan untukku.

Dan tidak lama setelah itu, aku dipenuhi oleh penyesalan.

Insiden terjadi selama jam istirahat makan siang.

"Keluar sekarang!"

Suara raungan hewan liar bergema di ruang kelas, dan teman-teman sekelasku yang sedang mengobrol, memandang terkejut selagi aku berbaring di meja, berpura-pura tidur untuk lari dari kenyataan.

"Jadi kini kamu terbiasa bersembunyi, hah, Sexy Dream?!"

Trio Berandalan menerobos ke dalam kelas dan membuat onar, dan yang berbicara tadi adalah si rambut mohawk yang terlihat seram, menatap semua penghuni kelas.

Wah~ sepertinya masalah datang mencariku. Aku tahu betul bagaimana penampilan berandal menjadi beban bagi semua orang. Aha.

Omong-omong, apa yang dikatakan orang itu tadi? 

"Ka-kalian, mau apa kalian di sini?"  

Gadis berambut pendek yang berada paling dekat dengan pintu bergegas mendekat ke arah si rambut mohawk, melampiaskan rasa jijiknya.

Dan para berandal itu menatap balik setelah mendengarkan ucapannya, lalu membalas,

"Orang yang bernama Sexy Dream itu mencari masalah dengan kami, dan dia ada di kelas ini! Keluar sekarang!"

"Sex-Sexy Dream?"

Gadis berambut pendek itu sangat ketakutan akan gertakan si rambut mohawk, tapi tidak ada yang bisa dilakukannya selain bertanya seperti tadi.

Yah itu reaksi yang wajar. "Kamu becanda?! Sexy Dream ada di kelas ini?" jika dia mengesankan kalau orang itu memang terkenal, aku mungkin akan terganggu dengan pikiran semacam itu. Padahal aku tidaklah seterkenal itu.  

"Bajingan itu selalu mengganggu upaya kami untuk merayu gadis-gadis! Kalau kamu memang punya nyali, maju ke sini dan jangan merengek bantuan."  

Begitu rupanya. Jadi itu alasan kenapa dia berlatih di gym belakangan ini. Kurasa bertambahnya jumlah luka di tubuhku juga karena alasan ini.

Dan saat memikirkan ini, aku merasakan sebuah tatapan yang menusuk, kemudian aku menoleh ke samping, melihat Kasumi sedang memandang penuh curiga, menatap tajam. Jangan pandangi aku! Jika biasanya yang terjadi adalah seorang berandalan pendiam tiba-tiba berdiri dan berkata, "Ah, sepertinya aku ketahuan. Tidak ada pilihan lagi selain mengakuinya! Aku adalah Sexy Dream!" pasti semua orang akan bingung, 'kan? Coba bayangkan adegan semacam itu. Atau mungkin tidak usah saja.

Terganggu oleh nama konyol itu, gadis berkucir kuda di sebelah si gadis berambut pendek tadi memprotes dengan tampang serius. 

Dan responnya, bajingan berambut mohawk mendesis,

"Sexy Dream sendiri yang bilang, Aku dari kelas 2-2 SMA Sakurahime! jika kalian mau balas dendam, datangi aku besok, tiga atau lima hari kemudian! masih mau menyangkal?"

Tidak, tidak, tidak. 

Apa gadis itu memang licik? Atau terlalu jujur? Yang pasti, mereka semua ini benar-benar tepat waktu.

Aku hanya bisa membayangkan para berandalan yang melingkari tanggal di kalender mereka lalu berencana balas dendam, dan berkebalikan denganku, suasana kelas langsung bertambah buruk.

Bajingan berambut mohawk itu benar-benar murka hingga menghentakkan kakinya di lantai, tapi tidak ada seorang pun yang mau menyerahkan diri. Yah, itu bisa dimaklumi.

Apa yang harus kulakukan sekarang? Apa aku perlu terlibat?

Buatku pribadi, ini sungguh merepotkan dan sangat memalukan, makanya aku berniat untuk tetap pura-pura bodoh saja. Walaupun begitu, si rambut mohawk tidak mau menyerah.

Ya, Tuhan, sepertinya aku tidak punya pilihan selain mengaku—

"Keluar kamu, Sexy Dream! Aku tahu kalau kamu merebut gadis itu dan membelainya semaumu!"

....

Si bodoh itu .... 

"Wah, orang itu mengerikan, bukankah dia hanya seorang maniak?"

"Sexy Dream itu sangat menjijikkan ...."

"Orang itu pasti tidak punya teman 'kan?"

"Aku tidak mau terlibat dengan orang itu. Dia mungkin lebih baik mati."

"Jika orang itu dari kelas kami, aku tidak akan mau tahu soal dia."

....

Yak, aku kehilangan kesempatan untuk mengaku.

"Kampret, cepat keluar— hmm?"

Si rambut mohawk melihat sekeliling kelas, dan tatapannya berhenti di satu tempat.

"Kamu gadis yang bersama Sexy Dream itu, 'kan?"

"A, Ah, ah ...." 

Pandangannya hanya tertuju pada Kasumi.

Kupikir dia akan menjadi seorang gadis pemberani sejak berani berbicara langsung padaku. Meski begitu, rupanya dia masih takut dengan berandalan, dan di titik ini, tubuhnya jadi meringkuk, matanya tidak berani menatap ke arah para berandalan. 

"Apa kamu tahu yang sudah Sexy Dream lakukan? Mengaku! Atau kuhajar dua kali!"

Setelah memberi ancaman konyol, bajingan berambut mohawk itu mendekati kasumi.

Gadis-gadis di sekitarnya berusaha mencegah, "Hah?!" namun setelah diintimidasi olehnya, mereka pun mundur. 

"Hei! Jawab aku! Kamu tahu yang Sexy Dream—"

Bajingan berambut mohawk itu mengangkat tangannya sambil mengancam, dan tepat di saat dia mau meletakkan tangannya ke bahu kasumi,

"—Jangan sentuh aku!"

Kasumi berteriak sembari melindungi bahunya.

Suara itu dipenuhi amarah.

Seluruh kelas hening, dan semua orang memandang ke arahnya.

Dan di tengah suasana tertekan ini, dengan bibirnya yang gemetaran dalam tangis, Kasumi berkata,

"Hanya satu orang yang boleh menyentuhku .... Sexy Dream seorang!"

Argh! Itu bahaya sekali!

Eh, apa, apa yang terjadi .... Eh? 

"A-a-apa?"

Dan Kasumi, yang tampak berusaha meluruskan kebingungan si rambut mohawk (termasuk aku) pun melanjutkan,

"Ka-karena, Sexy Dream telah menyelamatkanku, dan memelukku erat, lalu menyilakanku pergi setelah memilih (1), dan, dan ...."

Ruang kelas dipenuhi dengan suasana menekan.

Lalu?

"Dan dia bilang, kalau aku manis ...."

... ah, ini gawat.

Tidak akan berhasil.

Wajahnya tampak seperti gadis yang sedang Kasmaran.

si gadis bodoh itu ... sudah mempermaikan gadis lugu ini.

"U, uuu ... Sexy Dream ...!"

Spontan, si rambut mohawk yang berada di depan Kasumi itu hanya bisa mengerang penuh penyesalan. Yang jelas, tidak ada tekanan dalam kata-katanya, dan kurasa semua telah berakhir, bukan begitu?

Suasana canggung dan hening menyelimuti ruangan.

Dan yang menghancurkan suasana menekan ini adalah orang yang tidak terduga.

"Hei, Morishita. Apa anak ini pacar Sexy Dream?"

Yang berbicara tadi adalah berandalan yang berada di belakang bajingan berambut mohawk.

"Berarti, nomor ponsel Sexy Dream mungkin ada di ponsel gadis ini. Iya, 'kan?"

"Oh, begitu. Rupanya masih ada cara lain."

Si bajingan berambut mohawk menyeringai, mendekatkan wajahnya ke Kasumi, lalu berteriak,

"Oi, serahkan ponsel-mu! Aku mau menelepon Sexy Dream sekarang!"

"Eh, ah, ti-tidak mau!"

"Diam dan serahkan sekarang!"

Si rambut mohawk mengabaikan Kasumi yang menangis sambil menggelengkan kepala, memegang tasnya.

Kasumi mencoba melawan, tapi perbedaan kekuatan tangan mereka terlalu jauh. Lelaki itu dengan mudah merebut tas itu.

Eh. Yah, ini hal yang gawat, bukan?

"He-hei, hentikan! Bukankah Kasumi sudah bilang tidak mau?!"

"Kembalikan sekarang juga!"

Para gadis yang kebingungan berusaha menghentikan si rambut mohawk, tapi tentu saja, para berandalan itu tidak peduli.

Dia langsung membuka tas itu, dan membongkar isinya.

Ini gawat, ini gawat. Ini perkembangan yang buruk.

"Tung-tunggu, jangan! Aku belum memasukkan nomornya!"

"Hmm?! Aku tahu kalau kamu berbohong dari awal! Sampai jadi segelisah ini, pasti ada sesuatu di dalamnya!"

Bajingan berambut mohawk itu kemudian menggeledah isi dalam tas tersebut.

Ini gawat, gawat, gawat! Aku tidak tahu kalau dia punya nomorku, tapi gadis itu punya fotoku di modus siaga ponsel-nya! Ketahuan tidak, ya?

"Hei, hentikan, aku bilang, jangan ...!"

Kasumi menyela sambil menangis tersedu saat mengatakannya. 

Sekarang ini menjadi tambah buruk. Jika dia melihatku ada di ponsel-nya ....

"Ah, ketemu juga ponsel-nya!"

Ah ....

"Hetikan .... Uu ...."

Wah ....

"Hm, eng, bagaimana cara pakainya, ya?"

... kampret ....

"Morishita, dasar gaptek. Membukanya tinggal digeser saja."

... kenapa aku ....

"Oh, begitu. Aku hanya perlu membuka—"

... terlibat hal semacam ini?

"Beres. Sekarang—"

"Berhenti kalian!"

"...." "...?!"

Aku tiba-tiba berteriak tanpa sadar.



Aku berteriak.

Teman-teman sekelasku mulai panik, jauh lebih panik ketimbang saat trio berandalan itu masuk.

Luar biasa.

Bom waktu paling berbahaya di kelas 2-2, yang biasanya tetap diam, tiba-tiba meledak. Biarpun begitu, aku tidak punya pilihan selain berdiri. Aku tidak bisa membiarkan identitasku terbongkar.

"He-hei, kamu, bajingan berambut mohawk! Di-dia sudah bilang berhenti, 'kan, jadi ..., eng, ya hentikan, babi laknat! Jangan sentuh dia ... dengan tangan kotormu, be-bego!"  

"Hah? A-ada apa denganmu, berengsek?! Enyah—"

"Kalian yang harusnya enyah, dasar keparat! Akan kuhajar kalian semua jika tidak mau pergi!"

"Eh?! Be-beraninya kamu balik membentakku?"

"Ka-kamu mau berkelahi, hah?! Ma-ma-mau kubuat kepalamu melayang, hah?! Ayo sini!"

Aku tidak terbiasa menggunakan umpatan seperti itu hingga tergagap seperti tadi.

Tapi seketika aku berpikir sudah mengacaukannya, tampak kalau aku terlihat begitu murka di situasi bergejolak ini. Sungguh efektif.

"... maaf."

Si rambut mohawk, yang kini menjadi pusat perhatian semua orang, tiba-tiba meminta maaf.

Aku benar-benar membuat para berandalan gemetar. Sehebat itukah diriku? Kurasa memang begitu. Meski dalam konotasi negatif.

Meski saat ini perasaanku jadi campur aduk, tapi setelah merebut kembali ponsel itu, aku pun menghela napas dan mengeluarkan raungan terakhir.

"Jangan sampai aku melihat kalian lagi! Jika kalian berani mengganggu siapa pun di kelas kami, eng, ya .... Akan kusikat habis kalian!" 

"I-iya!"

Lalu, berandalan-berandalan itu pun enyah dari kelas.

Dan tatapan-tatapan dalam ruangan ini tertuju padaku.

Kemudian, teman-teman sekelasku hening.

Kemudian, kemudian ....

"... apa hari ini aku akan mati?"

Sambil meninggalkan kata-kata tersebut, aku bergegas lari keluar kelas.

Ini gawat, ini gawat.

Tidak ada jalan keluar dari situasi ini sekarang. Iya, 'kan? Suasana di kelas sangat canggung. Tamat riwayatku! Hidupku akan berakhir! Hiaha! Ah ...!

Menyerah akan pengecutnya diriku ini, aku hanya bisa melampiaskannya dengan kata-kata gila, "Yuhu! Bayam!" yang muncul di pikiran anehku dari dalam buku catatan. Dan dalam euforiaku, aku mulai memainkan game pertarungan dengan menggebu-gebu hingga akhirnya tertidur tanpa sadar.

Maaf, Hikari Yumesaki.

Ternyata zirah Sexy Dream begitu berat buatku.


XXX



Dua hari kemudian, hari itu tiba tanpa ampun. 

BGM jelek berbunyi, dan aku membuka mata dalam kemurungan, langsung menggerutu.

"Jangan ganti nada alarm seenaknya begitu ...."

Dan di saat yang sama, ingatan dua hari yang lalu bangkit di dalam diriku.

Aku sudah mengusir berandalan yang menerobos masuk dengan beringas, dan rangkaian kejadian ini membuat syok semua teman-teman sekelasku.

Memikirkannya sendiri membuat wajahku tersipu. Riwayatku benar-benar tamat, Wahahahaha. 

Aku ambruk di atas kasur, membenamkan wajahku di bantal, dan menarik selimut layaknya daun bawang putih yang layu. Kemudian aku menemukan ini.

"Sialan ...."

Buku catatan berdiri tepat diatas meja.

Dan pita tidak berguna terikat di sekelilingnya, bahkan ada tambahan bunga.

Hanya melihat ini saja sudah cukup untukku membayangkan seorang gadis tertawa kecil sambil menaruh buku ini.


-

Sakamoto wwwww Sakamoto wwwwwww Saakaamootoo wwwwwwwwwwwwwwwww

-

"Gadis jalang ini ...!"

Saat membuka buku, aku melihat kata-kata yang membuatku langsung menjadi khawatir.


-

Aku sudah dengar semuanya dari Kasumi, dan di internet terpampang cerita, "Ah, keluar juga~! Keluar juga sifat asli seorang berandalan yang dikucilkan teman sekelasnya!" yang kesemuanya sedang menunggu tanggapan!

-

Gadis jalang itu memperlihatkan betapa senang dirinya sekarang, bersama dengan semua kata-kata menyebalkannya. Karena merasa benar-benar marah, aku menutup buku itu dengan keras.

Kunyalakan komputer, dan mendapati kalau dia sungguh-sungguh memampang hal semacam tadi, dengan kata-kata mengejek dan menyebabkan diskusi menjadi intens. Hahaha, "Mana bosnya?" ada tanggapan semacam itu. Kutunggu saja, soalnya dia akan kembali besok.

"Tolonglah. Apa setiap hari hidupku akan terus bermasalah ...?" 

Aku penasaran dengan yang terjadi pada suasana canggung di kelas kemarin?

Melihat dari betapa gelisahnya dia, aku pasti terlibat dalam situasi yang membuat frustasi.

Selagi dalam perjalanan ke sekolah, kucoba menyemangati diri sendiri, berpikir dengan tenang, "Mungkin tidak ada yang peduli," atau, "Mungkin setelah lewat sehari, semuanya akan lupa," namun ketika sesampainya di sekolah,

"Berandalan itu hanya sampah!"

Aku mendapat kesimpulan itu, dan menuju ke kelas dengan perasaan kecewa. Yah, terserahlah. Lagi pula, selama ini aku juga sudah dikucilkan.

Aku merasa pintu kelas lebih berat dari biasanya, mungkin karena keadaan mentalku, dan aku menundukkan kepala saat menerobos masuk ke dalam kelas.

Kemudian, kata-kata tidak terduga bersuara di telingaku.

"Ah, se-selamat pagi, Sakamoto!"

"... eh?"

Aku mengeluarkan pekikan bodoh.

Tunggu, yang barusan itu apa?

Mulutku menganga lebar seakan rahang bawahku dislokasi, dan para gadis yang sedang mengobrol menyapaku satu-persatu.

"Selamat pagi, Sakamoto."

"Pa-pagi, Sakamoto!"

"Selamat pagi, Sakamoto, hehehe ...."

"Eh? Ah, Pa-pa ... gi ...."

Jawabku dengan tergagap.

Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi para gadis sedang tersenyum padaku.

I-ini?

Fakta menggemparkan bahwa ada yang menyapaku ini telah mengisi hampir semua memori internal otakku, meski begitu, aku masih berhasil sampai ke kursiku. Pokoknya, taruh tas dan duduk—

"Ah, Sakamoto. Itu bukan kursimu."

"Eh?"

Ujar lelaki yang duduk di sebelahku, dan kusadari setelah melihat dari dekat, ini memang bukan mejaku. Apa ada pergantian posisi tempat duduk?

"A-ayo sini, Sakamoto! Ada seseorang yang menunggumu." 

Gadis lain juga buru-buru ikut bersuara sambil menunjuk ke tengah kelas.

Yang berdiri di sana adalah—

"Se-selamat Paji."

Lidahnya kembali tergigit.

Kasumi menundukkan kepala, dan wajahnya sudah semakin memerah.

Kursi yang tepat berada di sebelah gadis itu sudah pasti untukku.

Tidak mungkin.

"Ayo, cepat dan duduklah. Kami sudah bertukar kursi kemarin, karena itu kamu duduk di sebelah Kasumi. fufufu."

Sebuah tanggapan berisi dukungan lainnya yang diisi dengan beberapa tawa dari bagian belakang kelas. 

Ada tawa kecil di seluruh ruangan, dan wajah Kasumi menjadi begitu merah hingga membuatku penasaran apa dia demam.

"Tapi kemarin kamu sangat mengagumkan, Sakamoto!"

"Betul, kamu berlari ke ruang guru, dan berteriak kepada para guru yang berada di dalam, Apa yang ada di pikiran kalian sampai membiarkan berandalan bebas di dalam sekolah? itu keren sekali."

"Walau ada guru yang membalas, Ya kamu itu berandalannya! hahaha."

"Ternyata kamu sungguh orang yang baik, Sakamoto. Ma-maaf karena sudah sempat takut padamu."

"Sungguh menarik sewaktu kita bertukar tempat duduk. Kamu mengatakan sesuatu seperti, ... harus duduk bersama Kasumi ..., hahaha, karena kamu sangat mengharapkannya, lebih baik kami mengiyakannya saja!"

"Karena kamu sudah menyatakan rasa sukamu sejelas itu, kami hanya bisa menyerahkan keputusannya pada dia. Bukan begitu~?"

Kemudian, segala macam pujian dan godaan di dalam kelas jadi tertuju padaku.

Eng ..., yah.

"Sakamoto ...?"

"Ya. Hmm?"

Ucap Kasumi yang bersuara dari belakang.

Seluruh penghuni kelas memandang kami, dan suasananya diisi oleh tekanan dan rasa ingin tahu.

Di suasana relatif canggung ini, Kasumi menatap wajahku, dan berkata,

"Te-terima kasih untuk kemarin lusa ...."

"Ah, tidak, aku yang seharusnya berterima kasih ..."

Tidak sengaja aku menundukkan kepala, membungkukkan badan.

"Ah, akan kubantu mengambilkan tasmu ...."

Dia mengambil tasku layaknya perlakuan yang hanya bisa digambarkan seperti seorang istri sewaktu menampakkan perhatiannya pada suami yang baru pulang bekerja. Akan tetapi, langkah kakinya tidak stabil, mungkin karena dia sangat gugup. Ah, dia tersandung ....

"Ah!"

"Awas!"

Hey! Sudah kubilang kalau itu berbahaya!

Kasumi tahu-tahu tersandung, bergerak seperti anak kikuk. Kemudian, secara tidak sengaja aku menangkap tubuhnya—

"Ah!"

"A-apa boleh aku berdiri?"

Sambil mendekap dirinya.

Lalu, mata kami saling menatap.

"Ah."

"Aaa ...."

Lalu, lalu—

"Kyaaaaahhhhh—!" "Kyaaaaahhhhh—!" "Kyaaaaahhhhh—!" "Kyaaaaahhhhh—!"

Para gadis di kelas langsung berteriak. Sial! Ini gawat!

"Wah! Kerja bagus, Kasumi! Lumayan!"

"Apa ini, apa ini? Hei, Kasumi? Apa kamu bersandar? Kamu menyandarkan dadamu ke dia, 'kan?"

"Kasumi! Misimu yang kemarin telah rampung!"

Dan para penonton di sekitar pun bersorak hore. Ah, sudah cukup! jangan lakukan ini pada kami!

"Bu-bukan maksudku! Aku hanya menangkapnya!"

"Bu-bu-bu-bu-bukan seperti itu ...! Kalian semua bicara apa! Ma-maaf, Sa-sakamoto!"

Suasana panas dalam kelas sedang meninggi, dan kami berdua hanya bisa berusaha membela diri semampunya!

"Su-sudah cukup! Ini hanya kesalahpahaman! Hanya sebuah kebetulan! Kalian salah mengira!" 

Kasumi, yang berusaha lepas dari dekapanku, hanya bisa dengan panik menjelaskan pada teman-teman sekelas kami bahwa itu hanya salah paham, dan aku menampakkan pandangan kosongku. Karena, yah, masih ada wangi seorang gadis belia yang tertinggal di dekapanku, yang membikin candu melebihi bayanganku ....

"Ma-ma-maaf, Sakamoto! A-aku sudah mengacaukan semuanya! Maaf!"

Dan kami berdua pun duduk saling bersebelahan di bagian tengah kelas, dengan sorak-sorai hangat dari teman-teman sekelas di sekeliling kami. Uh, ini sungguh memalukan .... Kenapa semuanya jadi begini .... Kasumi pasti merasa kesusahan sekarang. Iya, 'kan? Aku terus mengomel tanpa henti.

"... semua sesuai rencana .... Sekarang ... waktunya pura-pura ... bodoh ...."

"Hmm, a-apa? Kamu bilang apa tadi?"

"Hmm? Bu-bu-bukan apa-apa! Bukan apa-apa! Tidak perlu dipikirkan!"

Kemudian, Kasumi terus menggumamkan beberapa hal sepanjang hari, selalu berusaha untuk mengobrol padaku dengan lidah yang sering tergigit. Kapan pun dia mengobrol denganku, suasana di kelas manjadi ceria, tapi situasi ini sungguh membuatku lelah.

Yah, kurasa masih lebih baik ketimbang dibenci.

Jam pelajaran pun berakhir, dan sesampainya di rumah, kubuka buku catatan, lalu memeriksanya.

Aku memang sudah melihatnya tadi pagi, tapi rupanya ada pesan tertulis di bagian bawah buku catatan.


-

Kamu berhasil, Pahlawan.

-

"... astaga."

Aku hanya bisa menyelipkan suara terharu semacam itu.

Sambil menggigit bibirku untuk menahan senyum, aku berpura-pura batuk, lalu menulis di buku catatan.

"Aku berhasil, Pahlawan."

Besok adalah hari Kamis, dan saat aku bangun nanti adalah hari Jumat.

Untuk beberapa alasan, aku menantikan hari itu.


Read more ...»