Oregairu 2 Bab 1 Bagian 4

On Senin, 30 November 2015 0 komentar

==========================================================
Ini salah satu bagian yang kocak yang pernah ane baca di LN Oregairu, dan sudah ane buat senatural mungkin percakapannya agar bisa terasa kelucuannya... Mudahan agan sekalian bisa ngakak bacanya... Amin...
Lanjut ke catatan penerjemahan...
Game Shanghai Mahjong adalah game mencocokkan dua keping mahyong yang sama dari kumpulan kepingan yang tersusun secara acak, permainan selesai manakala seluruh keping telah dicocokkan... Kalau penasaran seperti apa, cek saja di game bawaan windows, ada, kok... Yang membedakan dengan Strip Mahjong adalah terdapat gambar latar di balik susunan kepingan, yang akan terlihat utuh jika seluruh keping selesai dicocokkan, dan gambar yang digunakan adalah gambar dengan konten dewasa...
Dan memang, sangat berbeda sekali dengan cara bermain mahyong yang asli...
Untuk referensi Devilman, bisa dilihat di sini...
Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 1 - Begitulah, Yui Yuigahama Memutuskan Untuk Belajar

Bagian 4


Lantai empat paviliun, sisi sebelah timur jika ingin melihat pemandangan di bawah, di sana ada sebuah ruang yang menyediakan hal tersebut.

Suara-suara dari masa remaja terdengar dari luar jendela yang terbuka. Suara-suara dari anak-anak rajin di tengah kegiatan klub mereka menggema ke luar ruangan, bercampur dengan bunyi dentangan pemukul besi dan lengkingan peluit seiring alunan klarinet dan terompet dari orkestra simfoni.

Di tengah musik latar dari masa remaja tersebut, apa yang sedang kami lakukan di Klub Layanan Sosial? Sama sekali tak ada. Aku sedang membaca shoujo manga yang kupinjam dari adikku, Yukinoshita telah tenggelam dalam buku bacaan seukuran saku yang bersampul kulit miliknya, dan Yuigahama mengutak-atik ponsel-nya dengan tak semangat.

Seperti biasanya, ketika seharusnya menjalani masa remaja dengan sebaik-baiknya, kami malah melakukan hal tak berguna.

Klub payah macam apa yang kegiatannya malah menghabiskan waktu begini? Ini seperti Klub Rugbi yang diubah menjadi Klub Mahyong. Kudengar mereka memainkan separuh permainan sebelum dan sesudah latihan. Itu sebabnya, bisa selalu terlihat koin dari Klub Rugbi (mata uang yang digunakan bukanlah uang sungguhan, tetapi hampir mirip dengan koin mata uang yen) berserakan di ruang klub dan di lorong keesokan harinya. Yah, menurutku itu memanglah mahyong. Tapi bagi mereka, itu adalah bentuk komunikasi kekinian dan lembaran masa remaja yang berkilauan.

Kira-kira ada berapa anak yang ikut bermain yang memang tahu cara memainkan mahyong?

Tak banyak yang memainkan game Shanghai Mahjong ataupun Strip Mahjong di Pusat Permainan Tsudanuma seperti diriku. Aku cukup yakin mereka hanya memelajari cara bermain mahyong agar mereka bisa berbaur dengan sesamanya. Kebetulan, cara bermain mahyong sungguh berbeda dengan game Shanghai Mahjong meski menggunakan keping yang sama. Jadi intinya, hanya ada satu alasan kenapa seseorang ingin memelajari game Strip Mahjong. Energi akan benar-benar terkumpul saat ada payudara di bidang pandangnya.

Memiliki hal-hal mendasar yang sudah umum merupakan sesuatu yang sangat diperlukan jika ingin menjalin pertemanan. Seperti itulah yang dimiliki oleh anak semacam Yui Yuigahama.

Pemikiran itu terlintas di benakku sewaktu aku selesai memeriksa apakah tokoh-tokohnya telah melakukan perbuatan mesum di dalam shoujo manga yang kini sedang kubaca. Ketika selesai, kualihkan pandanganku ke arah Yuigahama. Ia sedang menggenggam ponsel di salah satu tangannya sambil menyunggingkan senyum tipis. Tapi ia berdesah panjang begitu lembut hingga hampir tak terdengar. Tak bisa kudengar jelas desahannya, tapi aku sadar betapa panjang ia menghela napas. Itu terlihat dari rongga dadanya yang mengempis.

"Ada apa?"

Yang bertanya bukan diriku melainkan Yukinoshita. Tampaknya ia sadar akan perilaku Yuigahama yang tak biasanya itu meski tanpa melepas pandangannya dari buku. Mungkin karena ia mendengar desahan tadi. Devilman memang sakti, yang pendengaran iblisnya merupakan pendengaran neraka.

"Oh, eng ..., bukan apa-apa, sih," ujar Yuigahama. "Cuma ada SMS aneh saja. Makanya aku jadi kaget begitu."

"Hikigaya, kalau tak ingin dilaporkan ke polisi, sebaiknya segera kauhentikan mengirim SMS tak senonoh itu."

Ia langsung berasumsi kalau itu SMS cabul dan aku pengirimnya.

"Bukan aku, kok ...," belaku. "Mana buktinya? Ayo coba, mana ...?"

Sambil tersenyum sinis, Yukinoshita mengibaskan rambutnya melewati bahu. "Kau baru saja membuktikannya. Seperti itulah ucapan seorang kriminal. Mana buktinya? Kesimpulan yang hebat; Kenapa kau tak menjadi novelis saja? Tak mungkin aku satu ruangan dengan pembunuh."

"Yang terakhir tadi malah terdengar seperti ucapan sang korban ...," kataku. Ini terasa seperti pertanda kematian.

Yukinoshita mengangguk saat mendengar perkataanku. "Mungkin kau benar," jawabnya sembari membalik halaman bukunya. Tampaknya ia sedang membaca novel misteri atau semacamnya. 

"Enggak, Aku enggak merasa Hikki pelakunya, kok," ucap Yuigahama setelah jeda satu setengah menit.

Tangan Yukinoshita terhenti di tengah-tengah saat membalik halaman. Tatapannya sendiri seolah berkata, Mana buktinya? Ya ampun, apa sebegitunya ia menginginkan diriku menjadi sosok kriminal.

"Hmm ..., yah, soalnya isi SMS ini mengenai kelasku. Itu tandanya, Hikki enggak terlibat."

"Tapi aku sekelas denganmu ...," kataku.

"Masuk akal," ucap Yukinoshita. "Dengan begitu, Hikigaya tak bisa dijadikan tersangka."

"Jadi itu bisa dianggap sebagai bukti ...?"

Halo semuanya, di sini Hachiman Hikigaya dari kelas II-F.

Aku jadi dongkol sendiri karena tanpa sadar memperkenalkan diri dalam hati. Biarpun begitu, aku lolos dari tuduhan kriminal. Jadi mungkin itu ada bagusnya.

"Yah, kurasa yang seperti ini juga kadang-kadang terjadi," ucap Yuigahama serius sambil menutup ponsel-nya dengan keras. "Aku juga enggak begitu ambil pusing," ia berkata seperti dari pengalaman pribadi.

Kadang-kadang katanya, tapi asal ia tahu, aku tak pernah mendapat SMS itu.

... yang bagusnya, aku tak punya teman!

Tapi memang, orang yang punya banyak teman mau tak mau juga harus berurusan dengan banyak hal tak mengenakkan. Layaknya pekerjaan yang berat. Maka dari itu, aku telah terbebas dari hal yang amat memalukan yang sudah melumuri teman-teman sekelasku. Dengan seluruh pemikiran mendalamku, aku telah mencapai kesempurnaan Buddhisme. Aku memang hebat.

Setelahnya, Yuigahama enggan menyentuh kembali ponsel-nya.

Jelas aku tak mau mengira-ngira apa isi SMS-nya, kemungkinan itu bukan hal baik. Yuigahama memang bodoh karena bicara setengah-setengah, dan ia tipe orang bodoh yang perasaannya gampang dibaca. Ia begitu sentimentil karena selalu cemas sendiri akan diriku maupun Yukinoshita, dan mungkin ia juga memiliki sisi yang kadang berkecil hati akan beberapa hal.

Seakan memaksa untuk menekan rasa depresinya, Yuigahama bersandar di kursi lalu merenggangkan tubuh.

"... enggak ada yang bisa dilakukan."
Read more ...»

Oregairu 2 Bab 1 Bagian 3

On Kamis, 26 November 2015 0 komentar

==========================================================
Oke, memang sudah keterlaluan lamanya rentang waktu untuk posting Bagian ini...
Pas ane buka, ternyata malah ada juga yang tanya-tanya soal detail jilid kemarin...
Bagi yang bersangkutan, silakan ke TKP , di situ sudah ane jawab...
Nah, karena ane sempat bareng teman ngerjain yang kemarin itu, entah kenapa niat mau lanjutin muncul kembal
Untuk "teman yang kaubutuhkan hanyalah cinta dan keberanian", itu moto dari seri Anpanman... Dan semua yang pernah menonton Captain Tsubasa, pasti gak asing mendengar moto, "bola adalah teman"...
Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 1 - Begitulah, Yui Yuigahama Memutuskan Untuk Belajar

Bagian 3


"Hei, sadarkah kau betapa kejamnya reaksimu tadi?" tegasku ke Yuigahama. "Kau tak sadar, 'kan? Pekalah sedikit!"

"... oh," alih Yuigahama. "Aku cuma, eng ..., enggak bisa bayangkan kau bersama perempuan, Hikki ...," ia lalu mengambil ponsel yang terjatuh tadi sambil tersenyum malu.

"Perempuan bodoh," kataku. "Aku ini memang hebat. Biar kuberi tahu betapa hebatnya diriku. Dulu, sewaktu hari pertama di kelas yang baru, semua anak saling bertukar nomor telepon satu sama lain. Saat itu aku begitu populer, jadi kukeluarkan ponsel-ku dan menoleh ke kanan dan ke kiri hingga seorang gadis menyapaku dan berkata, Oh, ya sudah, ayo tukaran nomor."

"Ya, sudah, katanya? Sikap baik itu memang kejam," senyum senang tampak di wajah Yukinoshita.

"Tak usah menyindir begitu! Kami memang saling kirim SMS setelahnya."

Pandangan Yuigahama tertuju ke arah ponsel. "Anaknya kayak apa?" tanyanya cuek. Yang cukup aneh, kecepatan pergerakan jemarinya itu tetap terjaga.

"Kuingat-ingat dulu ...," kataku. "Ia perempuan yang kalem dan sehat. Kenapa kubilang sehat? Soalnya aku mengirim SMS padanya jam tujuh malam lalu ia membalas keesokan paginya dengan jawaban, Maaf, aku ketiduran, ~sampai ketemu di sekolah, ya~, ia pun begitu sopan dan berhati-hati karena berbicara denganku bisa membuatnya malu."

Yuigahama menutupi mulutnya dengan tangan. "Kejamnya ...," ia terisak sambil meneteskan air matanya.

Padahal ia tak perlu membuat diriku menjelaskan betapa menyedihkannya aku dulu. Ia benar-benar sudah menyadarinya sendiri.

"Itu artinya ia mengabaikan SMS-mu dengan berpura-pura tidur. Hikigaya, jangan berpaling dari keadaan yang sebenarnya. Hadapi kenyataan."

Seorang Yukinoshita menasihatiku? Sampai-sampai ia memandang iba begitu? Yukinoshita sialan!

"... aku sudah tahu segalanya soal memahami kenyataan. Begitu pahamnya, sampai-sampai bisa kubuatkan Hikipedia."

Fiuh ..., hahaha! Sungguh membuatku mengingatnya lagi. Saat itu aku masih lugu. Tak kusangka perempuan itu meminta nomorku karena kasihan dan membalas SMS-ku karena merasa sungkan. Aku pun akhirnya tersadar setelah dua minggu kemudian, saat ia tak lagi membalas satu pun SMS-ku, dan aku pun menyerah.

Hingga suatu hari aku mendengar obrolan para perempuan di kelasku.

"Si Hikigaya itu masih mengirimiku SMS. Kapan berhentinya, sih? Menakutkan."

"Anak itu pasti menyukaimu, Kaori ...!"


"Ih, menjijikkan!"


Rasanya aku ingin jatuh dan mati di tempat saja. Dan aku memang ..., memang benaran menyukainya!

Kini aku merasa prihatin akan diriku yang dulu berusaha keras, yang selalu menyertakan emoticon di setiap SMS. Karena menurutku menggunakan simbol hati dianggap menjijikkan, makanya kugunakan saja simbol bintang dan senyuman juga not musik. Hanya dengan memikirkannya bisa membuatku merinding. Ampun, deh.

"Hikigaya ...," sahut Bu Hiratsuka sambil bergerak maju. "Ka-kalau begitu, tukaran nomor dengan Ibu, yuk? Ibu janji akan membalas SMS-mu. Ibu juga tak akan pura-pura ketiduran," beliau pun langsung menyambar ponselku yang berada di tangan Yuigahama lalu mulai memasukkan nomornya di ponselku. Rasa kasihan beliau terhadap diriku sudah melampaui kewajaran.

"Eng ..., Ibu tak perlu bersikap sebaik itu padaku ...."

Soalnya, mendapat SMS dari guru sendiri itu rasanya menyedihkan. Tak ada bedanya seperti mendapat cokelat tiap tahun dari ibu sendiri di Hari Valentine. Rasa kasihan macam apa itu? Rasanya masih lebih baik jika tak diacuhkan oleh Yukinoshita saja.

Akhirnya kedua orang tersebut menyimpan nomorku di ponsel mereka masing-masing lalu menyerahkan kembali ponselku. Itu hanya penambahan sedikit data pada ponsel mereka, jadi bukan berarti ada yang benar-benar berubah. Tapi entah kenapa rasanya seperti ada beban di balik tindakan mereka tadi. Jadi ini yang namanya beban dari sebuah ikatan?

... hal yang begitu rapuh. Menggelikan betapa masa laluku sendiri akan sangat melekat pada beberapa kilobyte data. Sewaktu aku memikirkan tentang tak bergunanya mengenang hal tersebut saat ini, kubuka daftar kontakku. Dan di situ tertulis.

☆★YUI★☆

Ya ampun, memangnya yang seperti itu bisa dimasukkan ke kontak? Huruf pertamanya saja bukan abjad. Ditambah, dari sudut pandang manapun itu terlihat seperti alamat spam. Cocok sekali dengan bispak-nya Yuigahama. Kututup ponsel-ku tanpa melihat isinya lebih jauh.

Dikarenakan aku cukup hebat dalam melakukan pekerjaan yang tak biasa, hanya tinggal beberapa lembar saja yang tersisa. Aku mulai meletakkan tumpukkan lembaran itu segera.

Bu Hiratsuka dengan kentara berdeham sambil melirik ke arahku. "Hikigaya, cukup. Terima kasih bantuannya. Kau boleh pergi sekarang," ucap beliau sembari menyalakan rokok di mulutnya tanpa melihat.

Mungkin saja luapan rasa iba atas kejadian sebelumnya punya dampak yang mendalam pada diri beliau. Bu Hiratsuka menjadi sangat baik. Atau lebih tepatnya tergantung kepada siapa beliau berhadapan, dan beliau tidak bersikap lebih baik dibanding orang kebanyakan.

"Sip. Saatnya lanjut ke kegiatan klub," kuambil tas sekolahku dari atas karpet, lalu menentengnya di bahu kananku. Di dalamnya ada kumpulan buku pelajaran untuk bahan UTS dan beberapa manga yang rencananya akan kubaca saat di ruang klub.

Mungkin itu akan menjadi kebiasaan lain dari menghabiskan waktu ketika tak ada yang datang meminta bantuan ke klub.

Aku lalu pergi disusul oleh Yuigahama. Kuharap ia bergegas dan langsung pulang ke rumah. Jangan sampai ia mengikutiku .... Tepat saat di penghujung pintu, kudengar suara dari belakangku, "Oh, iya. Hikigaya. Ibu lupa bilang. Kau harus membentuk kelompok berisi tiga orang untuk Tur Lapangan Kerja-mu nanti. Kau bisa memilih kelompokmu sendiri. Pikirkan dengan bijak, ya."

Aku tak percaya akan pendengaranku.

Seketika mendengarnya, tubuhku melemas. Bahuku sampai terturun. 

"... waduh. Saya tak mau teman sekelas sampai datang ke rumah, Bu."

"Jadi kau benar-benar akan melakukan Tur Lapangan Kerja di rumah ...?" Bu Hiratsuka bergidik saat melihat wajahku yang penuh keyakinan.

"Saya sungguh menganggap konyol ide soal membentuk kelompok," terangku.

"Eh? Bagaimana bisa ada anak seperti di"

Aku langsung menoleh, mengibaskan rambutku di waktu bersamaan. Kemudian sesaat aku membuka mata, kutatap Bu Hiratsuka dengan seluruh intensitas yang terhimpun di kedua bola mataku. Gigi-gigiku pun ikut berkelip.

"Menjadi penyendiri bukan hal yang menyakitkan, kok! Saya sudah terbiasa!"

"Menyedihkan ...."

"Da-dasar bodoh. Pahlawan super selalu sendirian, tahu. Dan juga keren. Dengan kata lain, penyendiri itu keren."

"Benar juga. Soalnya ada pahlawan yang berkata bahwa teman yang kaubutuhkan hanyalah cinta dan keberanian," ujar Yukinoshita.

"Ya, 'kan? Wah, rupanya kau tahu juga moto itu."

"Ya, aku memang tertarik soal ini. Aku penasaran, sewaktu kau masih kecil, kapan kausadar kalau kau tak punya cinta, keberanian ataupun teman?"

"Ketertarikan yang menyimpang ...."

Tapi, yah, Yukinoshita ada benarnya. Aku memang tak punya cinta, keberanian ataupun teman. Di dalam kata-kata manis nan indah tersebut tersembunyi kebohongan dan kepalsuan yang menghibur. Di dalam hati orang-orang, itu tak lebih dari kata-kata pemenuh harapan dan pemuas diri. Karena itu aku tak punya teman. Bahkan bola pun bukanlah temanku.

Sikap baik, rasa kasihan, keberanian, teman benar, bahkan bola aku tak butuh itu semua.
Read more ...»