Oregairu Bab 3 Bagian 5

On Selasa, 31 Desember 2013 0 komentar

==========================================================
Postingan pertama di awal tahun... Entah kenapa, ane merasa lucu sendiri sama kepolosannya Yui... Oiya, Namahage (生剥) adalah orang yang memakai kostum iblis guna menakut-nakuti anak-anak yang punya kelakuan buruk... Kalau begitu, saatnya membuat kue...
Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 3 - Berulang Kali, Yui Yuigahama Bersikap Gelisah

Bagian 5


Ruang PKK kini sudah dilputi oleh aroma vanili. Yukinoshita membuka lemari pendingin, seakan ia sudah tahu apa yang harus dilakukannya, lalu mengambil beberapa liter susu juga telur. Ia mengeluarkan timbangan dan sebuah mangkuk besar, kemudian menyiapkan beberapa butir telur, serta menggunakan bermacam peralatan memasak yang belum begitu kukenal.

Entah bagaimana, tampaknya manusia super sempurna ini juga sungguh hebat dalam hal memasak.

Setelah selesai dengan persiapan cepatnya tadi, ia kenakan celemeknya, seolah ingin menunjukkan kalau saat ini adalah waktunya memasak. Yuigahama pun ikut mengenakannya, namun sepertinya sudah kelihatan kalau ia belum pernah sekalipun mengenakan celemek; ia mengikat talinya dengan sembrono, sampai-sampai jadi kusut.

"Ikatan tali celemekmu kusut. Apa kau sungguh tak tahu caranya mengikat celemek?"

"Maaf. Terima kasih... eh, apa?! Kalau cuma mengikatnya saja, aku bisa, kok!"

"Kalau begitu, tolong ikat celemeknya dengan benar. Jika tidak, nanti kau bisa berakhir seperti anak itu
yang tak bisa kembali lagi ke titik balik hidupnya."

"Jangan menggunakanku sebagai contoh negatif. Memangnya aku ini Namahage?"

"Padahal ini pertama kalinya kau bisa tampak berguna bagi orang lain, harusnya kau sedikit senang... oh, tapi jangan cemas; meski kau membandingkan dirimu dengan Namahage, aku takkan mau macam-macam dengan kulit kepalamu, jadi tenang saja."

"Siapa juga yang cemas soal... hei, hentikan. Jangan pandang rambutku dengan senyum mencurigakan itu." Dengan maksud menghindar dari senyumnya
sebuah ekspresi yang biasanya tak pernah ia tunjukkan kulindungi rambut ini dengan tanganku.

Kudengar tawa cekikik dari Yuigahama. Dan sudah ditebak, ia masih berusaha mengikat celemeknya sembari menyaksikan perdebatanku dengan Yukinoshita dari kejauhan.

"Jadi kau masih belum mengikatnya? Atau jangan-jangan kau memang tak bisa? ...ya ampun, ayo sini. Kubantu kau mengikatnya." Yukinoshita tampak frustasi, sekilas memberi isyarat pada Yuigahama.

"...ah, enggak apa-apa, kok." Gumam Yuigahama, menampakkan sedikit keraguan, dan bolak-balik melihat ke arahku dan ke arah Yukinoshita. Ia tampak seperti anak kecil yang sedang tersesat dan gelisah.

"Cepat sini." Nada bicara Yukinoshita yang dingin seakan menyingkirkan keraguan Yuigahama. Aku tak tahu apakah ia sedang marah atau tidak, yang pasti ia terlihat sedikit menakutkan.

"Ma-ma-ma-maaf!" Jawab Yuigahama dengan suara terpekik, lalu berjalan mendekat pada Yukinoshita. Memangnya ia anak anjing, apa?

Yukinoshita lalu bergerak ke belakang Yuigahama dan segera mengikat ulang tali celemek perempuan itu.

"Yukinoshita... rasanya kau jadi seperti kakakku saja, ya?"

"Yang jelas adikku takkan jadi separah dirimu." Yukinoshita mendesah dan tampak tak senang, namun entah kenapa, aku sebenarnya setuju dengan pemikiran Yuigahama.

Kalau melihat Yukinoshita yang dewasa bersanding dengan Yuigahama yang kekanak-kanakan, rasanya memang seperti sedang melihat pasangan kakak-beradik. Kalau dilihat lagi, memang terasa ada semacam jalinan kekeluargaan di antara mereka.

Di sisi lain, jika kebanyakan pria setengah baya menganggap bahwa perempuan akan tampak bagus bila mengenakan celemek tanpa memakai apa-apa di baliknya, justru menurutku akan terlihat sangat bagus jika ada seragam sekolah di balik celemek tersebut.

Saat membayangkannya, hatiku terasa begitu hangat dan tanpa sadar aku menyengir sendiri.

"He-hei, Hikki..."

"A-apa?" Suaraku terbata. Sial. Mungkin tampang di wajahku sempat terlihat menjijikkan tadi. Dan tanpa sengaja, jawaban gugupku malah menambah betapa jijiknya hal tersebut.

"Ba-bagaimana pendapatmu terhadap perempuan yang pandai memasak?"

"Bukannya aku tidak suka, sih. Bukan pula seolah para lelaki menganggap itu hal menarik."

"Be-begitu, toh..." Setelah mendengarnya, Yuigahama tersenyum lega. "Baiklah! Kita mulai sekarang!" Ia gulung lengan bajunya, memecahkan telur dan mulai mengocoknya. Lalu ditambahkannya tepung terigu, kemudian gula, mentega dan sedikit perisa, termasuk aroma vanili di dalamnya.

Meski aku bukan orang yang ahli dalam seni memasak, tapi bisa kulihat dengan jelas kalau kemampuan Yuigahama masih jauh dari normal. Aku yakin, bagi dirinya, membuat kue kering adalah hal yang berada di luar jangkauan. Padahal itu hal yang sangat sederhana, jadi bukan hal sulit untuk mengetahui seberapa jauh kompetensi dirinya dari standar normal. Kemampuan Yuigahama yang sebenarnya, tanpa ditutup-tutupi, telah terpampang jelas.

Yang pertama, kocokan telur. Masih ada cangkang yang ikut tercampur di dalamnya. Yang kedua, perisanya masih menggumpal. Yang ketiga, menteganya masih keras. Bisa ditebak, ia keliru mengganti tepung dengan garam, dan berlebihan menuang susu beserta aroma vanilinya hingga tumpah dari mangkuk.

Ketika sekilas pandanganku tertuju ke Yukinoshita, bisa kulihat wajahnya yang pucat sembari menaruh tangan di dahinya. Bahkan untuk juru masak payah sepertiku saja, sampai merinding. Apalagi Yukinoshita yang memang hebat dalam memasak, hal ini pasti sebuah aib besar.

"Sekarang kita perlu..." Yuigahama terhenti dan mengambil bubuk kopi.

"Kopi? Kukira itu untuk diminum, atau mungkin lebih mudah dicerna kalau dijadikan makanan, kali ya? Ide yang hebat."

"Eh? Bukan begitu. Justru ini bahan rahasianya. Anak lelaki enggak suka makanan manis, 'kan?" Wajah Yuigahama memerah sembari melanjutkan perkerjaannya. Dengan pandangan terfokus pada tangannya, adonan hitam segera terbentuk di tengah-tengah mangkuknya.

"Pastinya itu tak lagi jadi bahan rahasia."

"Waduh!? Ih. Biar nanti kutambahkan tepung saja supaya jadi lebih bagus." Nyatanya, ia cuma mengganti adonan hitam itu menjadi adonan yang lebih putih. Kemudian, gelombang besar dari kocokan telur mulai menyapu adonan tersebut, yang seakan menggambarkan kejinya neraka.

Biar kusimpulkan. Kemampuan memasak Yuigahama memang payah. Ini bukan tentang masalah mampu atau tidaknya
untuk kemampuan dasar saja ia tak punya. Sikap plinplannya di luar kewajaran, bahkan untuk melakukan hal yang mudah saja, ia gagal. Ia adalah orang yang tak ingin kujadikan partner saat tugas di laboratorium. Yang ada, ia cukup plinplan untuk membuat dirinya sendiri terbunuh.

Akhirnya benda itu pun selesai dipanggang, dan keluarlah kue panas yang terlihat gosong. Dari baunya saja bisa kutebak kalau rasanya pahit.

"Ko-kok bisa?" Yuigahama terpaku ngeri saat melihat sebuah aib di hadapannya.



"Aku sungguh tak mengerti... bagaimana mungkin ada kesalahan yang bisa terjadi secara berturut-turut...?" Gumam Yukinoshita. Kurasa ia berkata pelan begitu agar tak didengar Yuigahama. Meski begitu, ia tadi terlihat keceplosan karena geregetan.

Yuigahama mengambil aib itu dan meletakkannya di atas piring. "Mungkin kelihatannya saja begini, tapi... mana kita tahu sebelum mencicipinya!"

"Kau benar. Di sini kita punya orang yang bertugas untuk itu."

Aku tertawa terbahak-bahak mendengarnya. "Yukinoshita. Benda aneh ini kausuruh aku... kalau yang begini, namanya pengujian racun."

"Kok racun, sih?! ...racun ...ya, mungkin saja ini memang beracun?" Dibandingkan sangkalan yang dipaksakannya di awal, Yuigahama kini malah tampak cemas sambil memiringkan kepalanya, seakan ingin bertanya, Bagaimana ini?

Hal tersebut sudah tak perlu dijawab lagi. Kupalingkan wajahku dari ekspresi Yuigahama yang seperti anak anjing itu dan coba menarik perhatian Yukinoshita.

"Hei, apa ini benar-benar harus kumakan? Ini sangat mirip dengan batu arang yang dijual di Joyful Honda."

"Karena kami tak memakai bahan-bahan yang tak layak konsumsi, mestinya kau akan baik-baik saja. Setidaknya begitu. Dan..." Yukinoshita terhenti sejenak, lalu mulai berbisik. "...aku juga akan memakannya, jadi kau tak perlu risau."

"Serius? Jangan-jangan kau ini memang orang baik, ya? Atau jangan-jangan kau memang suka padaku?"

"...setelah kupikir lagi, lebih baik kau makan semuanya dan mati sendiri saja sana."

"Maaf. Tadi aku sempat kaget, makanya aku jadi mengoceh tak jelas." Semua gara-gara kue kering ini... meski patut dipertanyakan, apakah aib yang ada di hadapan kami ini masih bisa disebut kue kering.

"Aku memintamu untuk mencicipinya, bukan justru mempersoalkannya. Terlebih, aku sudah terlanjur menyetujui permintaan Yuigahama. Setidaknya aku harus bertanggung jawab." Yukinoshita menarik piring itu ke sisinya. "Jika tak bisa menemukan akar permasalahannya, situasi seperti ini takkan berakhir. Walau itu tak bisa dianggap sebagai harga yang dibutuhkan untuk sebuah rasa ingin tahu."

Yukinoshita memandangku setelah mengambil satu dari aib berwarna hitam itu
yang mungkin akan salah dikira batu bara. Matanya tampak sedikit berkaca-kaca. "Kita takkan mati, 'kan?"

"Justru itu yang mau kutanyakan..." Kupandangi Yuigahama, yang juga sedang memandang kami, yang seolah juga ingin ikut bergabung.

...bagus. Alangkah baiknya jika ia saja yang memakan semuanya. Ia pun harus mengerti penderitaan orang lain.


Read more ...»

SPS Jilid 1 Bab 2

On Minggu, 29 Desember 2013 0 komentar

==========================================================
Cukup lama gak di-update... Oh, pada rilisan SPS ini ane memakai honorifiks jadi penamaan karakter juga mengikuti format di Jepang sana, termasuk nama panggilan atau pengganti nama seseorang...
Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 2 - Padang Bunga, Ruang Musik yang Terlupakan


Di dunia ini terdapat sebuah jenis hubungan, yaitu tipe yang tidak mengenakkan. Dan begitulah jenis hubungan yang aku dan Aihara Chiaki miliki. Karena rumah kami saling berdekatan, tidak heran kalau kami bersekolah di tempat yang sama sejak SD hingga SMP. Meski begitu, kami berada di kelas yang sama selama sembilan tahun berturut-turut, bahkan kami pun sekolah di SMA yang sama. Mungkin bakal ada yang bilang kalau itu karena kepandaian kami yang tidak berbeda jauh, tapi masalahnya adalah, kami berdua sama-sama berada di kelas 1-3. Tidak ada yang bisa kukatakan, selain ikatan menjijikkan kami memang begitu dalam.

"Bukankah ini hebat? Aku payah dalam Matematika dan Bahasa Inggris, jadi aku bisa mencontek Nao. Nao sendiri tidak begitu pandai dalam Olahraga, Sedangkan aku jago dalam Olahraga. Mulai sekarang, ayo kita saling bantu," tidak lama setelah berakhirnya upacara pembukaan, Chiaki mengatakan hal itu sambil menepuk pundakku diselingi suara *papapa* dari kelas kami yang masih berbaun lilin. Ia memang jago dalam Olahraga, tapi bagaimana caranya ia membantuku dalam pelajaran itu?

"Anak ini hebat, lo. Kamu bisa melihat kumpulan CD yang menggunung saat membuka pintu rumahnya, dan semuanya akan jatuh berserakan."

"Wah, kok bisa begitu? Memangnya rumahnya itu semacam toko musik, ya?"

"Lalu kenapa kamu bisa ada di rumahnya?"

Dengan menggunakanku sebagai batu pijakkan, Chiaki begitu cepat membaur dengan para perempuan di kelas kami yang baru ditemuinya belum lama ini. Kami berdua adalah satu-satunya murid lulusan SMP kami terdahulu yang diterima di sekolah ini, itu sebabnya tidak ada satu anak pun yang kami kenal di sini. Kemampuan adaptasinya memang mengerikan.

"Hei, apa hubunganmu dengan perempuan itu?"

Seorang anak lelaki yang agak tertarik mencondongkan tubuhnya padaku dan bertanya sambil berbisik.

"Hah? Ah, bukan apa-apa, kami dulu cuma satu SMP."

"Tapi, bukankah
saat upacara pembukaan tadi kamu membantu mengikatkan dasinya?" anak lelaki lain tiba-tiba bertanya dari belakangku, sampai membuat wajahku memucat karena kaget. Jadi mereka sempat melihatnya, ya?

"Eng ..., yah, itu karena ...."

"Benarkah?! Sialan! Jadi kalian berdua itu suami istri?!"

"Bukankah hal itu terbalik? Harusnya si perempuan yang bantu si laki-laki!" mereka menggunakan situasi yang sulit dijelaskan itu sebagai topik pembicaraan. Sial, gara-gara itu aku jadi kesal pada Chiaki. Aku sudah mengajarinya berkali-kali
setidaknya ingatlah bagaimana cara mengikat dasi sendiri!

"Apa waktu SMP dulu kalian pernah pacaran?"

Kugelengkan kepala berkali-kali untuk menyangkalnya. Semua anak lelaki di sekelilingku pun menghela napas lega. Mereka menarikku menjauh dari para perempuan, dan kelompok kami pun bergeser ke pojok kelas. Mereka mulai bisik-bisik bicara.

"Aihara Chiaki adalah salah satu barang bagus di kelas kita! Itu hal yang luar biasa."

"Awalnya kupikir kalau aku suka gadis berambut panjang, tapi kini aku sadar ternyata itu salah."

Dengan ekspresi tercengang, kudengarkan penilaian dari para anak lelaki itu. Dan kulihat kembali diri Chiaki yang masih duduk di atas meja sambil berbincang di sisi lain ruang kelas. Gaya rambutnya dulu sangat pendek dan dibelah tengah, hingga membuatnya tampak begitu garang. Tetapi sejak ia meninggalkan klubnya saat musim gugur di tahun ketiga kami SMP, ia mulai memanjangkan rambutnya. Kini, rambut pendeknya terlihat lebih indah dan semakin feminin. Tapi tunggu, masalahnya adalah ....

"Gadis itu punya temperamen buruk layaknya seorang pemula dalam bela diri Judo. Bukankah kalian sebaiknya berpikir untuk menjaga jarak darinya?"

"Ia masuk ke Klub Judo? Aku ikut gabung saja enggak, ya?"

"Memangnya di sekolah ini ada Klub Judo?"

"Biar begitu, sebagian besar Klub Judo memisahkan anak lelaki dengan anak perempuan."

"Kenapa harus dipisah? Harusnya mereka memperbolehkan semuanya berlatih ne-waza bersama!"

Mereka ini dengar enggak, sih?

Namun karena tahun lalu punggungnya terus-menerus dilanda cedera, maka ia tidak pernah lagi berlatih Judo. Di saat yang hampir bersamaan ketika kami diterima masuk SMA, tanpa alasan yang jelas, ia mulai berlatih bermain drum. Padahal, dulu ia tidak pernah punya minat pada musik. Tidak mungkin ia mulai berlatih bermain drum karena keinginannya sendiri, ya 'kan? Sedangkan alasan kenapa ia mau menjadi seorang penabuh drum, inilah yang Chiaki katakan padaku—

"Di awal tahun kemarin, saat dokter bilang kalau aku tidak boleh lagi berlatih Judo, kuminum beberapa gelas saké karena putus asa ...," anak di bawah umur belum boleh meminum saké! "Saat aku jatuh tertidur dalam keadaan mabuk, Bonzo muncul dalam mimpiku."

Bonzo adalah penabuh drum Led Zeppelin, dan ia mati kehabisan napas karena menghirup muntahannya sendiri dalam keadaan mabuk. Hal yang tidak begitu enak didengar. Lagi pula, Chiaki tidak mungkin bisa melihat arwah Bonzo dalam keadaan hampir mati, 'kan?

"Lalu ia bilang padaku, Yang tersisa untukmu hanyalah drum. Karena Bonzo yang bilang begitu, maka aku tidak punya pilihan selain melakukannya, ya 'kan?”

"Apa itu benar-benar Bonzo?"

"Aku melihatnya melambaikan tangan terus-menerus padaku sambil berdiri di padang bunga dekat tepian sungai. Itu memang Bonzo, kok. Bahasa Jepangnya sungguh mengesankan, meski ia berbicara dengan dialek Tsuguru."

... bisa jadi itu arwah kakeknya yang meninggal tahun lalu.



Baru setelah memasuki SMA, akhirnya aku tahu alasan sebenarnya Chiaki mulai berlatih drum. Setiap hari sepulang sekolah, ia terus-menerus menggangguku agar bergabung dengan Klub Riset Musik Rakyat.

"Nao tidak punya keahlian selain dalam bidang musik, 'kan? Jadi, gabung saja sama kami."

"Kamu terlalu ikut campur. Lagi pula, Klub Riset-Was-Wes-Wos itu sebenarnya apa? Tidak ada klub semacam itu, 'kan?"

Aku coba mengingat lembaran brosur pengenalan klub-klub di sekolah yang kudapatkan saat upacara pembukaan, juga pawai orang-orang yang menunggu di gerbang sekolah agar mendapat murid baru sebagai anggota klub mereka. Aku tidak melihat ada klub dengan nama serumit itu. Dan bicara soal musik, aku cuma orang yang punya wawasan dalam hal mendengarkan saja ....

"Yang dimaksud musik rakyat di sini sebenarnya mengacu pada musik rock! Kalau kami menyebut band rock secara terang-terangan, para guru tidak akan menerimanya; lagi pula, hanya dengan Kagurazaka-senpai dan aku saja, tidak mungkin kami akan diterima. Jadi kumohon, bergabunglah dengan klub kami!"

Rupanya itu alasan yang membuat ia mati-matian memaksaku untuk bergabung ....

"Berhenti memaksaku masuk ke klub yang bahkan belum terbentuk! Terus siapa lagi Kagurazaka-senpai itu?"

"Seseorang yang luar biasa dan keren dari kelas 2 - 1."

Seusai sesi tanya jawab tadi, semua teka-teki akhirnya terpecahkan. Tampaknya Chiaki bertemu dengan Si Kagurazaka itu saat musim panas tahun lalu. Rekomendasi yang membuat ia masuk ke SMA ini, juga alasan ia mulai bermain drum, itu semua karena Si Kagurazaka itu. Lelucon murahan. Kuambil tasku lalu berjalan keluar kelas. Semua teman sekelas kami ternyata sudah memusatkan perhatian mereka selama kami berbicara tadi, dan itu rasanya sungguh memalukan. Chiaki mengejarku dan berkata, "Tunggu dulu! Apa salahnya bergabung dengan klub? Lagi pula, kamu juga tidak punya kerjaan, 'kan?"




"Aku tidak akan bergabung ke klub itu meski aku memang sedang tidak punya kerjaan."

"Kenapa?"

"Karena ... aku tidak akan bisa betah."

Sebenarnya aku ingin bilang, Kamu pernah memaksaku untuk ikut pelatihan Judo, dan akhirnya aku menyerah dalam waktu singkat, sekitar dua minggu
harusnya kamu juga tahu itu. Tapi, pada akhirnya aku tidak pernah mengatakannya.

"Benarkah? Terus apa yang mau kamu lakukan di masa SMA-mu?"

Belajar
tapi tentu saja aku tidak bisa membuat diriku berkata munafik selain memberi jawaban bernada politis semacam itu.

"Berarti hidupmu membosankan, dong?"

Jadi ia pikir, hidupnya itu menarik, begitu?

"Untuk apa kamu peduli dengan bosan atau tidaknya hidupku?" aku mengatakannya dengan spontan, dan Chiaki tiba-tiba berhenti. Saat aku menoleh ke belakang, kulihat Chiaki mengalihkan pandangannya dariku dan sedikit menundukkan kepalanya. Ada apa lagi sekarang?

Chiaki menolehkan wajahnya, lalu bertanya, "... kamu pikir untuk apa aku berbuat seperti ini?" aku jadi bingung harus menjawab seperti apa.

"Karena kamu juga tidak punya kerjaan, 'kan?"

Tangan Chiaki lalu menggapai kerah jaketku. Sebelum aku sempat berpikir, tubuhku sudah berputar di udara, kemudian punggungku membentur lantai lorong.

"... aduuuh!" mataku berkunang-kunang dan sesaat aku tidak bisa bernafas. Meski begitu, aku mencoba berdiri dengan bertumpu pada tanganku yang menempel di tembok.

"Jangan gunakan lemparan bahu seenakmu begitu, tahu?!"

"Itu bukan lemparan bahu. Yang tadi itu bantingan badan."

"Bukan itu masalahnya! Kamu mau membunuhku, ya?!"

"Bo-bodoh!"

Chiaki menginjak pahaku, berbalik, lalu pergi. Apa-apaan tadi itu?!


Alasanku tidak bergabung ke sebuah klub adalah karena suatu alasan yang sangat negatif seperti, Semua itu merepotkan. Meski begitu, ada alasan lain di samping hal tersebut yang bisa dianggap sebagai sesuatu yang positif ada yang bisa kukerjakan seusai sekolah.

Setelah menatap Chiaki yang pergi, aku turun ke lantai satu, lalu menuju sebuah lapangan kecil setelah berjalan keluar dari gerbang belakang sekolah. Di dekat pembakaran sampah yang sudah berkarat dan usang, berdiri sebuah gedung sempit. Gedung itu berbentuk persegi panjang sederhana yang terbuat dari semen, mirip dengan toilet umum di taman. Pada sisi-sisinya terdapat beberapa pintu. Karena sudah lama tidak ada yang pernah menggunakannya, tembok maupun pintu-pintunya telah diselimuti debu, yang membuatnya cukup kotor. Tanpa sebab atau alasan yang jelas, sekolah swasta ini semakin memperluas wilayahnya, ditambah lagi, jumlah murid yang masuk di sekolah ini semakin menurun — semua ini menyebabkan jumlah fasilitas maupun ruang kosong yang tidak digunakan semakin bertambah.

Di hari ketiga aku bersekolah, kutahu kalau ruangan yang terletak di sisi kiri gedung ini ternyata bisa dimasuki. Selama penelusuranku di sekitar lingkungan sekolah, kucoba memutar gagang pintu ruangan itu. Sambil mengeluarkan bunyi *kra kra*, pintu itu pun terbuka begitu saja. Kemudian, kusadari kalau menekan gagang pintu secara diagonal ke kanan bawah lalu memutarnya 45 derajat, kuncinya akan terbuka.

Di dalamnya, terdapat sebuah rak besi tinggi, sebuah loker dan sebuah meja belajar tua. Temboknya ditempeli dengan bahan penyerap suara, dengan banyak lubang bundar yang ukurannya hampir sama. Dilihat dari tanda yang tertinggal di lantai, dapat diketahui kalau tempat ini dulunya ruang piano. Lalu kini, satu-satunya yang bisa disebut perlengkapan sekolah hanyalah sistem audio mini yang terletak di samping meja.

Sebenarnya, SMA ini almamater ayahku. Aku pernah dengar dari beliau, kalau sekolah ini dulunya punya Klub Musik, tapi dibubarkan tidak lama setelah beliau lulus. Beliau sering bercerita dengan setengah bercanda, Murid-murid pada zaman Ayah dulu punya kelakuan yang buruk, itu sebabnya sekolah membubarkannya. Justru, mungkin memang seperti itulah yang terjadi.

Ada keuntungan dari tembok penyerap suara
aku bisa membawa setumpuk CD-ku ke ruangan ini dan mendengarkan lagu kesukaanku sekeras yang aku mau. Ini adalah cara yang bagus untuk menghabiskan waktu seusai sekolah. Kalau aku ada di rumah, ayahku pasti sudah memutar rekaman musik klasik keras-keras. Itulah yang membuatku tidak punya tempat untuk menikmati musikku ini dengan tenang.

Karena kondisi ruangan ini tidak terlalu bagus, kedap suaranya belumlah sempurna. Aku harus menyisipkan handuk di celah-celah sekitar pintu sebelum menyalakan sistem audio. Pada hari itu, CD pertama yang kudengarkan adalah album rekaman konser Bob Marley, yang membawaku ke suasana reggae. Mungkin aku sudah terpengaruh oleh kata-kata Chiaki.

Berarti hidupmu membosankan, dong?

Padahal aku tidak pernah sekalipun memikirkannya. Yang ada, hal tersebut cukup membuatku sakit kepala. Dan hanya karena aku tidak bergabung ke sebuah klub, hidupku malah dianggap membosankan. Begini saja kan enggak apa-apa
anggap saja kalau yang kulakukan ini kegiatan Klub Apresiasi Musik! Toh, aku juga tidak pernah merepotkan orang lain. Aku memang menggunakan ruangan ini tanpa izin terlebih dahulu, tapi karena ruang kelas ini sepertinya lama tidak pernah digunakan, ditambah fakta bahwa aku menjaga ruang kelas ini tetap bersih selama aku bisa memastikan kalau tidak ada orang luar yang bisa mendengar musik yang sedang kuputar, maka tidak jadi masalah, 'kan?

Read more ...»

Oregairu Bab 3 Bagian 4

On Jumat, 27 Desember 2013 0 komentar

==========================================================
Kembali lagi...Oiya, kalau ada yang tanya Mari itu siapa, ane juga gak bisa jawab, karena di raw-nya (halaman 93 - 94) tertulis 真理 (まり)... Potongan kalimat lengkapnya seperti ini, 由美子(ゆみこ)と真理 (まり)...(Yumiko to Mari...) Dan sampai ane periksa di indeks karakter hingga di Jilid 8, nama Mari tetap gak muncul... Atau mungkin itu teman khayalan kali, ya... *Tehehe... Betewe, di Bagian ini Hachiman mendapat dua jenis 'ucapan terima kasih' yang berbeda...
Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 3 - Berulang Kali, Yui Yuigahama Bersikap Gelisah

Bagian 4


"Lambat sekali." Ucap Yukinoshita sambil merebut Yasai Seikatsu dari tanganku. Ia lalu menusuk minuman tersebut dengan sedotan dan mulai meminumnya. Hanya tinggal Sportop dan Otoko no Café au Lait saja yang tersisa.

Tampaknya Yuigahama sadar kalau Otoko no Café au Lait ini untuknya.

"...oh, iya." Katanya, sembari mengambil uang senilai Rp. 10.000 dari dalam dompetnya yang mirip kantung koin.

"Ah, enggak usah."

Maksudku, Yukinoshita saja tak mengganti uangku, lagi pula, aku membelinya atas dasar kemauanku sendiri. Walau mungkin cukup wajar jika aku menerima uang dari Yukinoshita, namun untuk Yuigahama, aku tak punya hak untuk menerima uang darinya. Jadi daripada aku mengambil uang Rp. 10.000 yang dipegangnya itu, lebih baik kuserahkan saja Otoko no Café au Lait ini langsung ke tangannya.

"Ta-tapi aku masih belum mengganti uangmu!" Yuigahama bersikeras menyodorkan uangnya padaku. Pasti akan terasa mengganggu bila terus memperdebatkan masalah tersebut, karena itu aku menjauh lalu duduk di dekat Yukinoshita.

Yuigahama tampak sedikit berat hati saat menaruh kembali uangnya.

"...terima kasih." Ucapnya dengan suara pelan, lalu tersenyum senang sambil malu-malu menggenggam Otoko no Café au Lait itu dengan kedua tangannya.

Tentu itu adalah ucapan terima kasih yang paling berkesan yang pernah kuterima sepanjang hidupku. Ucapan itu memang hanya bernilai Rp. 10.000; tapi bisa dibilang kalau ia membayarku lebih dengan senyum di wajahnya tadi.

"Pembicaraan kalian sudah selesai?" Dengan rasa puas, kucoba membuat Yukinoshita untuk ikut memberikan apresiasi yang semestinya kudapatkan.

"Sudah. Berkat tak adanya dirimu, pembicaraan kami bisa berjalan dengan lancar. Jadi, terima kasih."

Dan tentunya itu adalah ucapan terima kasih yang paling tak berkesan yang pernah kuterima sepanjang hidupku.

"...oh, baguslah. Jadi, apa yang mau kalian lakukan sekarang?"

"Kami mau ke ruang PKK. Kau juga harus ikut."

"Ruang PKK?"

Itu adalah ruang siksaan yang mengatasnamakan pelajaran Tata Boga, di mana setiap jam pelajarannya harus membentuk kelompok yang anggotanya dipilih sendiri oleh para murid. Itu memang ruang siksaan. Di tempat itu pun terdapat bermacam pisau juga tempat pembakaran. Ruang yang memang sangat berbahaya dan harusnya tak sembarang orang boleh masuk ke sana.

"Lalu, mau apa kita di sana?"

Selain pelajaran Olahraga dan karyawisata, pelajaran Tata Boga adalah satu dari tiga kegiatan sekolah yang dikenal paling bisa menimbulkan trauma. Tak mungkin ada penyendiri yang benar-benar bisa merasa senang akan tiga hal tersebut. Maksudku, bayangkanlah sekelompok orang-orang yang dengan senangnya mengobrol satu sama lain dan saling mengakrabkan diri di antara sesama mereka... lalu bayangkan keheningan yang mendadak muncul ketika aku mencoba bergabung di kelompok tersebut... ya, rasanya sungguh tak tertahankan.

"Kue kering... aku mau membuat kue kering."

"Hah? Kue kering?" Aku tak mengerti yang ia ucapkan, makanya aku hanya bisa menjawab seperti tadi.

"Rupanya Yuigahama ingin membuat kue kering buatannya sendiri untuk diberikan pada seseorang. Namun, karena tak percaya diri dengan kemampuannya, makanya ia meminta bantuan kita. Begitulah permintaannya." Jelas Yukinoshita, yang langsung menyingkirkan keraguanku.

"Kenapa kita juga harus ikut-ikutan bantu? ...minta saja bantuan sama teman-temanmu sana."

"Eng... ya-yah, soalnya... aku enggak mau jika mereka sampai tahu, bisa-bisa aku jadi bahan ejekan bila mereka tahu tentang hal ini... mana bisa mereka memaklumi hal yang serius begini..." Tatapan tajam Yuigahama terarah kepadaku saat ia menjawabnya.

Kuhela napas barang sebentar.

Jujur, yang namanya masalah asmara itu tak mudah untuk diatasi. Tak sekadar masalah siapa suka sama siapa, bagiku menghafal sebuah kosakata justru lebih bermanfaat. Semestinya, hal semacam membantu mengatasi masalah asmara seorang gadis bukanlah sesuatu yang wajar. Dan, yah, aku pun tak begitu tertarik dengan kisah asmara, apalagi memikirkannya.

Tapi kupikir-pikir lagi... tentang pembicaraan serius yang mereka perbincangkan sebelumnya... sudah pasti itu tentang masalah tadi...

Astaga.

Sejujurnya, bila ada orang yang sedang punya sesuatu mengenai masalah asmara, yang bisa kita lakukan hanyalah berkata, Jangan menyerah! Semua pasti akan berjalan lancar, kok! Dan jika akhirnya tak berjalan lancar, maka kita hanya tinggal berkata, Ternyata orang itu memang berengsek!

"Huh." Desahku saat menatap mata Yuigahama.

"Ah..." Yuigahama tertunduk, kehilangan kata-kata. Ia lalu menggenggam lipatan di pinggir roknya, bahunya sedikit gemetar.

"Ah... ahaha. Pa-pasti tampak aneh, ya? Orang sepertiku sampai mau coba membuat kue kering buatan sendiri... rasanya seperti ingin berusaha melakukan hal yang biasanya perempuan lakukan... maaf, ya, Yukinoshita. Enggak apa-apa, kok. Aku enggak memaksa."

"Yah, jika kau memang mau, aku tak keberatan... oh, aku tahu. Jika kau mencemaskan anak itu, maka tak perlu kaupikirkan. Ia sama sekali tak punya standar moral, karena itu akan kupaksa ia ikut serta."

Entah bagaimana, rasanya undang-undang negara ini tak berlaku untukku. Maksudku, kerja paksa macam apa ini?

"Bukan begitu, sungguh enggak apa-apa, kok! Maksudku, membuat kue kering memang enggak cocok buatku dan pasti terasa aneh... aku sudah pernah bertanya pada Yumiko dan Mari, tapi mereka bilang kalau itu sudah ketinggalan zaman." Sesekali Yuigahama melirik ke arahku.

"...ya. Aku juga tak akan menyangka jika perempuan yang penampilannya heboh sepertimu, sampai mau membuat kue kering." Ujar Yukinoshita, seakan ingin membuat terpuruk Yuigahama yang sebelumnya memang sudah terpuruk.

"Be-benar! Rasanya aneh, 'kan?!" Yuigahama tertawa gelisah seolah menunggu reaksi dari kami. Ia langsung menundukkan pandangannya ketika melihatku, seolah hendak menantangku. Rasanya ia seperti ingin memintaku supaya memberi tanggapan.

"...yah, aku tak bisa bilang kalau... yang mau kaulakukan itu aneh, tak cocok buatmu, atau itu bukan bagian dari dirimu. Sebenarnya, aku hanya tak bisa untuk pura-pura tak peduli. Itu saja."

"Yang kaukatakan itu malah lebih buruk!" Bentak Yuigahama. "Hikki, kau sudah keterlaluan! Kau benar-benar membuatku jengkel. Asal kau tahu, sebenarnya aku bisa kalau aku serius!"

"Malah kata-kata barusan itu tak layak untuk kaupakai. Kata-kata itu lebih pantas diucapkan oleh ibumu sambil berlinangan air mata. Ibu selalu mengira kalau kau pasti bisa asal mau serius... tapi nyatanya, kau memang tak bisa. Begitu, deh."

"Alah, paling-paling ibumu sendiri sudah angkat tangan!"

"Kesimpulan yang masuk akal." Yukinoshita segera mengangguk. Sementara, air mata Yuigahama sudah mulai berlinang.

Ah, biarkan saja. Meski bersikap pasrah rasanya juga menyakitkan...

Aku jadi merasa tak enak karena sudah merusak suasana hati Yuigahama, padahal ia sudah berterus terang menjelaskan keinginannya itu. Terlebih lagi, pertandingan antara diriku dengan Yukinoshita ini masih berlangsung.

"Yah, aku memang hanya bisa memasak kari, tapi aku tetap akan membantumu." Dengan setengah hati kutawarkan bantuanku.

"...te-terima kasih." Yuigahama lalu menghela napas lega.

"Kami memang tak berharap apa pun dari kemampuan memasakmu. Kami hanya ingin agar kau mencicipi kue keringnya dan memberi pendapat."

Jika Yukinoshita yang bilang begitu dan sudut pandang anak lelaki memang dibutuhkan, berarti sudah jelas kalau hal yang baru disinggung tadi bakal jadi tugasku. Ada banyak sekali anak lelaki yang tak suka memakan kue, jadi tugasku di sini adalah mencocokkan rasa kue tersebut dengan selera anak lelaki. Terlebih, kupikir sebagian besar makanan akan terasa nikmat andai saja aku bukan orang yang pemilih.

...kira-kira itu bakal membantu, enggak, ya?


Read more ...»

Oregairu Bab 3 Bagian 3

On Rabu, 25 Desember 2013 0 komentar

==========================================================
Paragraf-paragraf yang pendek tapi menurut ane cukup bermakna, setidaknya bagi (dompet) Hachiman...
Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 3 - Berulang Kali, Yui Yuigahama Bersikap Gelisah

Bagian 3


Tak butuh waktu sampai sepuluh menit untuk menuju lantai satu paviliun lalu kembali lagi ke lantai tiga. Bila aku berjalan dengan santai dan tak tergesa-gesa, mungkin pembicaraan mereka sudah selesai duluan sebelum aku datang.

Tak masalah seperti apa orangnya; yang jelas Yuigahama adalah klien pertama kami. Dengan kata lain, kedatangannya adalah tanda dimulainya pertandingan antara diriku dengan Yukinoshita.

Yah, aku juga tak begitu ingin menang, kok. Jadi bukan masalah kalau aku hanya berfokus pada meminimalkan luka saja.

Kantin sekolah punya mesin minuman mencurigakan yang berada di luar gedung. Mesin itu menjual beberapa minuman bersoda aneh dalam kemasan kotak yang jarang dijual di toko-toko pada umumnya. Tampilan minuman tersebut sangat bagus untuk ukuran minuman bermerek tiruan, itu sebabnya aku jadi tertarik.

Yang membuatku tertarik adalah minuman bersoda yang bermerek Sportop. Aromanya mirip seperti permen biasa dan komposisinya mengikuti tren yang sedang marak saat ini, nol kalori dan bebas gula. Rasanya pun cukup enak.

Saat kumasukkan dua koin bernilai Rp. 10.000 ke dalam mesin minuman, terdengar suara menderu layaknya sebuah kapal induk udara, yang kemudian menjatuhkan Yasai Seikatsu serta Sportop yang tadi kupilih. Setelahnya, kembali kumasukkan koin bernilai Rp. 10.000 dan menekan tombol Otoko no Café au Lait.

Pasti terasa aneh jika di antara tiga orang yang berkumpul, hanya dua orang saja yang menenggak minuman. Karena alasan itu, kuputuskan untuk membeli lagi minuman buat Yuigahama.

Biaya yang sudah kukeluarkan untuk minuman-minuman ini berjumlah Rp. 30.000, itu artinya, aku sudah menghabiskan separuh dari uang sanguku. Bangkrut, deh.


Read more ...»

SPS Jilid 1 Bab 1

On Selasa, 24 Desember 2013 0 komentar

==========================================================
SPS (Sayonara Piano Sonata), sewaktu ane baca LN ini, rasanya seperti Beck, Nodame Cantabile dan White Album 2 dikemas menjadi sebuah drama remaja yang begitu menarik untuk diikuti... Ane sampai kesengsem sendiri bacanya... Terima kasih pada agan Tony Yon, yang bersedia terjemahannya di-share ke blog ini... Kebetulan ane jadi penyunting di seri ini...
Lanjut ke catatan terjemahan ... Melodi dari Ah! Vous dirai-je, Maman (Ah! Haruskah kuceritakan, Bu) adalah melodi yang sama yang digunakan untuk lagu Twinkle, Twinkle, Little Star dan Alphabet Song...
Sekadar info, untuk Jilid 1 ini ane post per Bab, karena gak terlalu panjang amat dan di Jilid 1 ini ada 20 Bab (Bayangkan saja kalau dibuat per Bagian)...
Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 1 - Toko Swalayan di Akhir Dunia


Seiring jendela-jendela kereta yang hanya terbuka sekitar lima senti, semerbak aroma laut perlahan sudah merambat masuk.

Kala itu tepatnya Minggu saat tengah hari, dan tidak ada lagi penumpang selain diriku di kereta ini. Akan ada banyak pengunjung yang datang ke pantai ketika libur musim panas. Tapi di awal April seperti sekarang ini, masih ada cukup lama waktu hingga pantai kembali ramai didatangi. Karenanya, mungkin hanya anak SMP saja yang berlibur ke pantai di musim semi begini .... Termasuk diriku.

Kereta bergerbong dua ini berderu melewati tikungan lambat. Tembok dari pengunungan dan hutan bambu tiba-tiba lenyap dari pandanganku, lingkup pandangku meluas bersama dengan aroma laut yang semakin tajam. Rangkaian atap kereta serta pemandangan air laut bercorak tembaga tua itu menggelap di bawah langit yang mendung.

Kereta itu bergoyang lalu berhenti di sebuah stasiun kecil.

Kuambil ranselku dari rak bagasi. Saat berjalan ke peron terbuka, segera kulihat gundukan-gundukan kelabu di antara pegunungan hijau yang ada di kananku.

Aku tidak tahu kapan hal itu mulai ada, tetapi lembah yang di sana itu sudah berubah menjadi tempat pembuangan yang besar. Aku pun tidak tahu legal atau tidaknya tempat pembuangan tersebut, namun ada banyak truk dari berbagai penjuru yang datang untuk membuang alat-alat elektronik maupun mebel rongsokan ke sana. Sejenak waktu berlalu, tempat itu mendadak berubah sunyi. Begitu sunyi, hingga terasa seolah saat-saat itu merupakan lima belas menit sesudah akhir dunia
sebuah ruang yang terasingkan terbentuk karenanya. SMP tempatku bersekolah dulu berdekatan dengan pantai, lalu karena suatu hari secara tidak sengaja aku tersesat dan menemukan tempat ini, maka diam-diam kunamai tempat ini <Toko Swalayan Keinginan Hati>. Nama itu pernah muncul dalam sebuah novel, meski panjang dan sulit diucapkan, namun bukanlah masalah, karena toh, aku tidak berniat memberitahukannya pada siapa pun.


Ayahku memiliki pekerjaan aneh sebagai kritikus musik meski ini terdengar tidak sopan bagi kritikus lain, namun aku hanya mau menekankan alasan tentang tidak umumnya pekerjaan beliau bagiku. Karena hal tersebut, makanya rumahku dipenuhi dengan berbagai sound system, pita rekaman, CD, partitur musik, dan berbagai barang lainnya yang berhubungan dengan musik. Karena sudah tidak tahan, sepuluh tahun yang lalu ibuku lari dari rumah ini. Sedang aku, meski tidak memiliki rencana ataupun inspirasi kala itu, namun di malam saat aku berumur enam tahun tersebut, aku bersumpah pada diri sendiri kalau aku tidak akan pernah menjadi seorang kritikus musik.

Mari kesampingkan hal itu sejenak. Perlengkapan di rumah kami adalah barang-barang yang dipergunakan untuk bekerja, namun ayahku memperlakukannya dengan sembrono. Beliau merusak semuanya
baik pengeras suara, pemutar piringan maupun pemutar DVD. Karena jarang sekali ada yang membelikanku mainan saat masih kecil, jadi aku sering membongkari perlengkapan rusak tersebut, dan perlahan mempelajari cara memperbaiki serta merakitnya. Lalu kini, hal tersebut sudah jadi semacam setengah hobi bagiku.

Karena kebutuhan hobiku ini, maka setiap sekali dalam dua-tiga bulan aku mengunjungi <Toko Swalayan Keinginan Hati> yang berdekatan dengan pantai itu. Aku pergi menggunakan kereta bergoyang untuk mengumpulkan beberapa komponen berguna di sana. Saat berjalan sendirian di kumpulan rongsokan itu, aku merasa seolah-olah menjadi satu-satunya manusia yang tersisa di dunia ini, dan perasaan itu sendiri cukup menyenangkan.


Akan tetapi, bukan aku satu-satunya orang yang mengunjungi tempat pembuangan tersebut kala itu.

Saat berjalan melewati hutan dan menuju ke arah lembah, kulihat sebuah gunung yang terbentuk dari tumpukan lemari es dan mobil rongsokan yang akan terlihat meski dalam cuaca apa pun. Yang mengejutkan lagi, aku juga mendengar suara piano.

Pada awalnya, kukira kalau aku hanya asal dengar, tapi saat melangkah keluar dari hutan dan melihat ke timbunan rongsokan yang tepat di depan mataku ini, aku menyadari kalau suara piano itu bukan sekadar asal dengar. Paduan nada rendah dari bassoon terdengar seperti permukaan laut yang tenang .... Dan setelahnya, suara klarinet segera terdengar olehku.

Aku tidak tahu lagu apa itu, tapi kurasa aku pernah mendengarnya. Mungkin sebuah konserto piano abad kesembilan belas dari Negara Perancis. Tapi kenapa suara tersebut kudengar di tempat semacam ini?

Aku memanjat naik ke atap mobil bekas dan mulai mendaki timbunan rongsokan. Melodi piano itu berubah menjadi semacam sebuah musik mars. Pada awalnya, kupikir suara piano itu berasal dari radio yang masih menyala, tapi pemikiran itu pun lenyap dalam hitungan detik. Kedalaman suaranya tidak sama, itu pasti suara piano yang dimainkan secara langsung.

Aku melihat ke bawah sesampainya di puncak timbunan tersebut, dan pemandangan yang menyambutku begitu mengejutkan hingga membuat napasku tertahan.

Sebuah grand piano besar terkubur di antara rak piring dan ranjang yang rusak. Tutupnya memantulkan kilauan hitam seolah dicelupkan ke dalam air dan tersingkap keluar bagaikan sayap seekor burung. Di sisi sebelah piano, uraian rambut berwarna merah tua berayun seiring dengan keindahan suara instrumen itu.

Ternyata itu seorang gadis.

Gadis itu duduk di depan papan tuts yang miring disertai pandangan terpaku pada tangannya, alis panjangnya sedikit tertarik ke belakang. Bunyi melengking nan elok yang dimainkannya seolah bagai tetesan air hujan di penghujung musim dingin yang terpercik tetes demi tetes dari dalam piano.




Entah bagaimana aku mengenali wajahnya.

Wajah tegas dan kulitnya yang putih pucat itu bukan sesuatu yang umum di dunia ini, begitu cantik, hingga aku tidak bisa mengalihkan pandanganku darinya; rambut merah tuanya berkerlap-kerlip bagai batu amber yang meleleh di bawah sinar mentari.

Aku pernah melihatnya di suatu tempat, tapi ... kenapa?

Aku tidak bisa mengingat namanya. Begitu pula dengan lagu yang dimainkannya.

Tidak ada orang lain lagi di sekitar sini, jadi harusnya yang kudengar hanyalah suara piano yang diiringi deburan ombak yang tersaring melewati hutan, lalu kenapa? Kenapa aku mendengar suara orkestra?

Langsung kusadari bahwa piano yang ada di bawahku ini mengeluarkan getaran dan sedikit suara setiap kali dipaksa memainkan nada rendah. Tidak hanya itu, sepeda yang terkubur di dalam reruntuhan di sana, peti kemas yang berkarat, layar LCD yang rusak, semuanya
semua saling beresonansi bersama piano itu.

Rongsokan yang terkubur di dalam lembah sampai ikut bernyanyi.

Namun gema musik tersebut menggerakkan ingatan-ingatanku akan orkestra yang diwakili nada-nada ini.

Mungkin itu hanyalah halusinasi pendengaranku, namun itu terasa begitu nyata.

Entah bagaimana aku tahu potongan musik yang dimainkannya, tapi sebenarnya lagu apa itu?

Kenapa
kenapa musik itu begitu menyentuh hatiku?

Barisan allegro terdengar bagai langkah tergesa yang mengalir ke muara luas di hadapan senja, di mana musik perlahan masuk ke adagio. Gelembung-gelembung not kecil dari dasar laut yang tidak terhitung jumlahnya menyeruak ke permukaan dan berangsur-angsur tersebar ke luar. Setelahnya, gemuruh orkestra kembali terdengar dari kejauhan, dan kali ini suara tersebut akan tetap lanjut beriringan—

Akan tetapi, musik itu mendadak terhenti.

Aku menahan napasku, dan menatap turun ke arah piano sembari terpaku di puncak timbunan rongsokan ini layaknya seekor kerang.

Gadis itu berhenti memainkan pianonya dan menatapku dengan pandangan tidak ramah.

Suara Orkestra yang tersamar, suara piano yang menggema, bahkan suara desiran angin yang melalui pepohonan
semuanya telah menghilang, membuatku sejenak berpikir bahwa kiamat benar-benar datang.

"... sudah berapa lama kamu berdiri di sana?"

Ia akhirnya bicara. Suaranya jernih seperti gelas anggur yang jatuh pecah ke lantai. Ia terlihat marah. Aku kehilangan pijakan, lalu terpeleset dari lemari es tempatku berdiri.

"Aku bertanya padamu, sudah berapa lama kamu berdiri di sana?"

"Eng, yah ...."

Aku akhirnya bisa bernapas setelah memaksa keluar suaraku.

"... mungkin sewaktu cadenza."

"Cadenza di awal?"

Dengan cepat ia berdiri. Rambut halus berwarna merah tuanya menjuntai dari bahunya. Saat itulah kusadari bahwa ternyata ia mengenakan gaun terusan berwarna putih.

"Jadi kamu mendengarnya dari awal?"

Mau bagaimana lagi! Terus, ia mau suruh aku apa? Melakukan tari suku Indian sambil berteriak-teriak agar bisa ia tonton? Perlahan kutenangkan diri ini sembari melihat wajah memerah dan rambutnya yang terkibar. Aku tidak berbuat salah, 'kan? Hanya saja, ia sudah datang lebih dulu daripada aku.

"Dasar cabul! Maniak!"

"Bukan, tunggu sebentar!" kenapa aku dituduh seperti itu?

"Kamu benar-benar menguntitku sampai ke sini!"

"Menguntit .... Oi! Aku ke sini hanya untuk mengumpulkan beberapa rongsokan!"

Segera seusai ia menutup tutup piano itu, ada sesuatu yang beresonansi bersamanya. Lalu, lemari es tempat aku berdiri bergetar hebat. Lemari es tersebut sedikit miring, kemudian meluncur ke bawah dengan membawa diriku.

Aku terguling menjauh dari lemari es yang miring dan kap mobil rusak itu, dan tertuju ke dasar lembah tempat piano berada. Bahuku menabrak kaki piano.

"... aduh!"

Tepat saat aku mulai berdiri, kusadari kalau wajahnya sudah tepat di depanku, dan mata biru lautnya menatapku serius. Aku terkejut dan tidak bisa bergerak. Aku hanya bisa menatap bibirnya yang bergetar lembut bagai kelopak bunga kamelia.

"Kalau bukan untuk menguntitku, lalu kenapa kamu bisa ada di sini?"

"Eh? Ah, tidak, begini ...."

Ia mengerutkan keningnya. Kekuatan sihir misterius yang mengikatku agaknya sedikit melemah. Aku akhirnya bisa mengendalikan diriku, dan mulai mundur ke belakang sambil tetap duduk di tanah.

"Aku bilang, aku ke sini untuk mengambil beberapa komponen audio! Terkadang aku memang sering datang ke sini. Bukan mau menguntitmu."

"... sungguh?"

Kenapa juga aku harus berbohong? Lalu, apa gadis ini merasa kalau ia mungkin sedang diikuti seseorang?

"Pokoknya, segera pergi dari tempat ini, dan jangan bilang pada siapa-siapa kalau aku ada di sini. Kamu juga harus menghapus ingatan tentang musik yang kamudengar barusan."

"Bagaimana caranya ...."

"Kamu benar-benar ... tidak boleh ... mengatakannya!"

Matanya tampak berkaca-kaca, seolah bintang-bintang sedang berjatuhan dari langit. Saat melihatnya, aku pun jadi tidak bisa berkata apa-apa lagi."

"Aku mengerti, aku akan pergi, kamu puas?"

Kuangkat ranselku ke bahu dan mulai memanjat timbunan rongsokan. Kemudian suara aneh sebuah mesin mendadak terdengar dari belakangku, dan yang mengikutinya adalah teriakan, "Ah! Yah!"

Saat kutolehkan pandanganku, kulihat sebuah tape recorder seukuran genggaman tangan ada di atas piano, dan benda itu mengeluarkan bunyi aneh. Mungkinkah selama ini ia merekamnya ...? Kaset di dalam tape recorder itu sepertinya berputar bolak-balik. Aku tidak tahan melihat wajah cemasnya saat ia terus menggenggam tape recorder itu. Aku berjalan mendekatinya lalu kucoba menekan salah satu tombolnya.

"... apa ..., apa ini rusak?"

Ia bertanya dengan suara tersedu-sedu sambil membuka tape recorder itu dengan hati-hati. Ia memperlakukannya seperti telur yang hampir menetas.

"Ah, jangan begitu. Kamu tidak boleh langsung membukanya seperti itu."

Ia segera berhenti membuka penutupnya. Aku meletakkan ranselku di piano, dan mengambil obeng. Matanya terbelalak melihat hal itu.

"... kamu mau membongkarnya?"

"Jangan khawatir. Akan kuperbaiki dengan hati-hati."

Saat kuambil tape recorder itu dari tangannya, kusadari kalau itu bukan tape recorder biasa, melainkan tape recorder dua sisi untuk merekam dan memutar kaset. Tidak hanya dapat memutar sisi A dan B secara bersamaan, tetapi juga dapat merekam secara bersamaan. Meski begitu, label yang tertulis di tape recorder tersebut memakai bahasa yang belum pernah kulihat sebelumnya, sudah pasti itu bukan bahasa Inggris.

"Bahasa apa ini?"

"Bahasa Hunggaria," jawabnya lirih. Ternyata itu buatan Eropa. Bisa kuperbaiki enggak, ya?

Setelah kulepas sekrup dan membuka casing luarnya, yang tampak di hadapanku adalah bagian dalam yang terbuat dari komponen-komponen yang kukenali. Standar Internasional benar-benar bermanfaat.

"Apa itu masih bisa ... diperbaiki?"

"Mungkin."

Kuturunkan penutup piano lalu menggunakannya sebagai meja kerja, kemudian perlahan kubongkar tape recorder itu. Seperti yang kukira, pita magnetiknya tertarik keluar dari kaset. Pita itu mencuat keluar dan mengumpul membentuk sebuah gulungan kusut, seperti halnya timun laut yang memuntahkan organnya. Karenanya aku membutuhkan waktu cukup lama untuk melepas kaset itu.

"... maaf, apa tape recorder ini sejak awal memang sudah rusak?"

"Eh? Ah, eng ..., kasetnya tidak akan berhenti berputar meski sudah selesai, jadi pitanya akan kusut kalau tombol stop tidak segera ditekan."

Jadi begitu, penghenti otomatisnya memang sudah tidak berfungsi.

"Ka-karena kamu tiba-tiba muncul, aku jadi lupa menekannya."

Jadi, lagi-lagi ini salahku? Mending beli baru saja sana.

"Apa tape recorder ini penting bagimu?" aku berkata begitu, karena ia masih menggunakannya meski sudah rusak.

"Eh?" ia menatapku dengan terkejut, lalu menundukkan kepalanya dan berkata, "Eng ...."

Hungaria, ya. Berarti gadis ini bukan orang Jepang, ya 'kan? Dari bentuk wajahnya, menurutku ia sepertinya orang keturunan campuran. Sembari memikirkannya, aku menggali timbunan rongsokan untuk mencari beberapa komponen, hingga akhirnya operasi bedah tape recorder ini selesai setelah komponen-komponen yang dibutuhkan itu ketemu. Tape recorder itu tidak akan lepas kendali lagi, baik saat memutar ulang maupun mempercepat kasetnya.

"Yak, selesai sudah."

"Eh ..., ah, eng," wajahnya menunjukkan rasa tidak percaya.

Aku hampir menekan tombol putar untuk memastikan tape recorder itu bekerja dengan normal, namun tiba-tiba ia merenggutnya dari tanganku.

"Ka-kamu tidak boleh mendengarnya."

Ia ubah volume suaranya sampai ke yang paling kecil, lalu menekan tombol putar untuk memastikannya bekerja dengan baik.

"... te-terima kasih."

Ia peluk tape recorder itu erat-erat, dan berterima kasih padaku dengan suara lemah sambil menundukkan kepalanya disertai wajah memerah. Entah kenapa, aku juga jadi merasa malu, karena itu aku berpaling dan mengangguk.

Saat semua peralatan selesai kubereskan dan memasukkannya ke dalam ransel, tiba-tiba ia bertanya,

"Kenapa banyak sekali macam-macam barang yang kamu bawa?"

"Sudah kubilang, aku suka mengutak-atik mesin, itu sebabnya aku mencari berbagai komponen di tempat ini!"

"Memangnya ... itu menyenangkan?"

Pertanyaannya yang tiba-tiba itu membuatku bingung untuk menjawabnya.

"Hmm ..., aku tidak begitu yakin kalau memperbaiki mesin yang rusak adalah sesuatu yang bisa membuatmu merasa senang. Akan tetapi, semua orang tampak begitu bahagia ketika mereka mendapatkan kembali sesuatu yang mereka anggap sudah hilang."

Saat kami saling bertukar pandang, wajahnya kembali memerah, karena itu ia segera berpaling. Saat menatap wajahnya dari samping, muncul sebuah desakan untuk menghujaninya dengan berbagai pertanyaan. Kenapa kamu ada di sini? Atau yang lebih penting ..., Kamu siapa? Apa judul lagu yang kamu mainkan tadi? Lalu, Aku ingin dengar seperti apa musik yang sudah kamu rekam itu? Munginkah orkestra yang kudengar tadi bukan sekadar halusinasiku saja? Aku memikirkan semua hal tersebut, tapi mungkin ia akan kembali marah kalau aku benar-benar menyodorkan pertanyaan-pertanyaan itu padanya.

Ia meletakkan kembali tape recorder itu ke piano, lalu menggunakan rak sebagai pengganti tempat duduk dan mengarahkan pandangan pada kakinya. Aku ingin tetap berbincang dengannya, namun suasananya sudah tidak pas, dan aku tidak punya kesempatan berbicara. Lupakan saja, rasanya ia juga menganggapku sebagai seorang pengganggu. Mending pulang saja, deh.

Mungkin ketika nanti aku kembali ke tempat ini, aku tidak akan lagi bisa bertemu dengannya, ya 'kan? Atau mungkin ia kemari karena tidak ada piano di rumahnya? Aku memikirkan hal-hal tersebut sembari bersiap mendaki timbunan rongsokan. Tepat pada saat itu, suaranya datang dari belakangku,

"Eng—"

Aku menoleh.

Dari samping piano ia terlihat sedang gelisah. Kali ini ia tidak tampak marah, namun wajahnya memerah karena malu.

"Apa rumahmu dekat dari sini?"

Kumiringkan kepalaku.

"... enggak. Kira-kira dari sini empat jam jika memakai kereta."

"Jadi kamu mau ke stasiun sekarang?"

Ia langsung tampak lega saat kuanggukan kepala ini. Digantungkannya tape recorder itu di dekat pinggang, dan mulai mendaki lereng yang terbentuk dari rongsokan berukuran besar sembari mengikutiku.

"Jadi kamu juga mau pulang? Kalau begitu, aku tetap di sini saja, ya?"

"Tidak boleh! Jangan berhenti, tetap jalan!"

Apa-apaan itu ....

Dengan rasa kesal kuhindari timbunan rongsokan yang bergelombang itu, dan perlahan berjalan kembali ke hutan dekat lembah. Ia terus mengeluhkan tentang kakinya yang sakit dan bagaimana sewaktu ia hampir terjatuh, namun masih saja ia mau mengikutiku.

"Sebentar ...."

Kutolehkan pandanganku dan memanggilnya. Ia terkejut, dan terlihat gelisah dari jarak tiga meter di belakangku.

"A-ada apa?"

"Jangan-jangan kamu lupa jalan pulang, ya?"

Karena kulitnya lebih cerah daripada orang Jepang pada umumnya, terlihat sangat jelas ketika wajahnya memerah. Meski ia menggelengkan kepalanya kuat-kuat, sepertinya tebakanku tepat. Mau tidak mau aku hanya bisa menghela napas,

"Yah, aku juga tersesat saat pertama kali ke sini."

Satu langkah keliru saat berjalan dari pinggir laut ke arah stasiun cukup untuk membuat seseorang tersesat.

"Ini bukan yang pertama. Mungkin ini sudah ketiga kalinya bagiku."

"Jadi kamu masih tidak bisa mengingat jalurnya meski sudah tiga kali ke sini ...."

"Sudah kubilang bukan begitu!"

"Kalau begitu, ya pulang saja sendiri."

"Uh ...."

Ia menggertakkan giginya dan menatap tajam ke arahku. Aku tidak punya pilihan selain berhenti berdebat dengannya dan berjalan keluar dari hutan tanpa berbicara. Saat dalam perjalanan, aku melihat truk berwarna ungu melewati kami, mungkin truk itu hendak ke sana untuk membuang rongsokan. Hutan kembali sunyi setelah truk itu pergi menjauh. Samar suara truk seiring gesekan ranting pohon, mengingatkanku akan keanekaragaman ensembel dari konserto piano kala itu.

Benar-benar sebuah pengalaman mengejutkan yang membuatku kehilangan napas. Akan tetapi, keajaiban tersebut mungkin tidak akan terjadi andai gadis ini tidak memainkan piano di tempat tidak biasa semacam itu. Aku meliriknya sambil terus berjalan ke depan.

Terus, kapan aku pernah melihatnya, ya? Mungkinkah ia teman yang tanpa sadar telah kulupakan? Kenapa juga ia tanpa malu bersikap seperti itu di depanku?

Tidak mungkin juga, 'kan?

Andai aku mengenal seorang gadis yang meninggalkan kesan mendalam seperti itu padaku, tidak mungkin aku bisa melupakannya.


Usai berjalan menuju kota kecil di antara gunung dan laut yang dipenuhi lereng serta jalur melandai, mendadak terlihat pemandangan rumah-rumah yang berjejer bersamaan dengan stasiun kereta. Hampir semua lampu penghias di jalur melengkung pertokoan sudah tidak lagi menyala, sementara, bangunan bertingkat empat yang merupakan peninggalan zaman Shouwa, sudah terpajang papan iklan Glico di atapnya. Terasa begitu nostalgia. Di kiri, rambu dengan logo JR beserta nama stasiun digantung di atas tempat yang tampak seperti rumah percetakan. Tidak ada lagi makhluk bergerak selain kami berdua, juga beberapa ekor kucing yang sedang mengais sisa-sisa makanan di depan pintu toko soba ini.

"Kita sampai."

"Aku sudah tahu."

Hanya itu yang dikatakannya sebelum menyerbu masuk pintu stasiun.

Aku berdiri terdiam di tempat, memikirkan kembali apa yang seharusnya kulakukan setelah ini, bahkan aku pun tidak bisa memanggil namanya. Apa boleh buat. Ini adalah perjumpaan pertamaku dengan dirinya, dan ia juga memintaku melupakan semua hal tentangnya.

Sebaiknya aku kembali saja mengumpulkan beberapa rongsokan.

Aku berpaling darinya, dan saat hampir pergi, seseorang berkata,

"Hei, yang di sana."

Suara itu berasal dari seorang polisi paruh baya yang berjalan keluar dari sebuah pos polisi kecil di seberang bundaran bus. Sepertinya yang dimaksud bukan diriku, deh. Gadis itu membatu, dan menoleh takut-takut. Polisi itu berjalan ke arahnya dan bertanya,

"Maaf, Anda ini Ebisawa-san, bukan?"

"... eh? Eng, yah ...."

Wajahnya memucat karena terkejut.

"Ah, benar. Bahkan pakaian Anda cocok dengan yang dideskripsikan. Keluarga Anda juga sedang mencari, 'kan? Tampaknya saat terakhir kali kabur dari rumah, Anda juga pergi ke suatu tempat di sekitar sini. Pokoknya, ikut dengan saya. Saya akan hubungi keluarga Anda."

Seorang gadis yang kabur dari rumah, toh .... Dan ternyata ini juga bukan yang pertama kali baginya, yah, lebih baik aku jangan ikut campur, deh. Saat kembali berjalan dan melewati polisi itu, aku merasakan ia sedang menatapku seperti hendak memohon pertolongan. Sial, ujung-ujungnya aku malah tetap menghiraukannya.

Tatapan berkaca-kaca dan penuh harap itu seolah berkata, Seumur hidup aku akan membencimu jika kamu tidak menolongku.

Tubuhku, berhentilah. Abaikan saja dirinya.

Namun sudah terlambat. Aku bukan manusia kalau memilih diam dan menghindar setelah melihat tatapannya itu.

"Eng ...."

Sambil bercucuran keringat kutatap polisi itu, dan hendak mulai bicara. Ia hampir membawa gadis itu ke pos polisi, dan saat menoleh, ekspresi di wajahnya seperti menunjukkan kalau ia baru saja menyadari keberadaanku.

"Saya rasa bapak salah orang. Gadis ini sedang dalam perjalanan bersama saya."

"Hah?"

Ekspresi polisi itu menjadi terlihat aneh, seolah tanpa sengaja ia mengunyah bekicot atau semacamnya.

"Cepat lepaskan. Nanti kami bakal menunggu lebih lama lagi kalau melewatkan kereta yang sebentar lagi datang."

"Ah, uh .... Hmm."

Ia segera pergi menjauh saat aku mengangguk pada pak polisi itu, lalu kami berdua dengan cepat berjalan menuju stasiun kereta. Aku tidak tahu apakah ia paham yang barusan kukatakan, tapi tidak ada artinya jika terus berada di sana.

Setelah membeli tiket dan melewati gerbang, kami melirik ke arah bundaran bus.

"Berhasil enggak, ya .... Omong-omong, andai kita tertangkap, kamu akan bekerjasama denganku, 'kan?"

"A-aku ...," gadis itu memegang tiketnya kuat-kuat, dan mengalihkan pandangannya dari wajahku. "Aku tidak minta pertolonganmu!"

"Baiklah kalau begitu, akan kutemui pak polisi tadi. Berbohong itu enggak baik."

Wajah gadis itu berubah merah dan terdiam tanpa kata. Meski begitu, ia memukul punggungku berkali-kali.

"Lain kali kalau kabur dari rumah, pilih tempat yang tidak bisa ditemukan oleh orang tuamu!"

"Bukan begitu! Ini bukan seperti yang kamu pikirkan ...."

Jadi sepertinya akulah yang sok ikut campur urusan orang di sini. Apa mungkin ia sebenarnya membenciku? Hei, aku sudah menawarinya pertolongan!

Ia menahan kemarahannya, dan menatap tajam ke arahku, lalu berjalan menuju peron yang terhubung ke jalur Kudari. Ternyata arah pulangnya berlawanan denganku. Aku merasa sedikit lega, namun di saat bersamaan juga sedikit menyayangkannya.

Pada saat itu, stasiun memainkan musik yang menandakan kedatangan kereta. Musik yang sangat kukenal
<Dua Belas Variasi pada 'Ah! Haruskah kuceritakan, Bu'> gubahan Mozart.

"Ah ...."

Lampu bohlam di kepalaku tiba-tiba menyala. Aku ingat! Aku ingat siapa dirinya. Benar, bukankah pak polisi tadi bilang kalau marganya Ebisawa?

"Ebisawa ... Mafuyu?"

Ia sudah hampir dua langkah naik ke tangga, namun ia begitu tekejut hingga terdiam di tempat. Saat ia menoleh, wajahnya sudah memerah, dan kedua matanya terlihat bagai langit kelam berawan yang seolah segera menumpahkan hujan lebat.

Pantas saja ia tidak terasa asing bagiku
aku pernah melihatnya di sampul CD maupun di TV sebelum ini. Ia merupakan pemain piano berbakat yang menjadi pemenang termuda Kompetisi Piano Internasional yang dihelat di Eropa Timur saat masih berumur dua belas tahun. Penampilan perdananya kala itu juga mendapat tepuk tangan dari semua yang hadir. Ebisawa Mafuyu.

Gadis misterius ini telah merilis sejumlah album mulai dua setengah tahun lalu, namun ia menghilang dari dunia permusikan saat menginjak umur lima belas.

Dan sekarang, tokoh misterius itu berada tepat di depanku, memegang pagar pengaman dengan ekspresi hampir menangis.

"... kamu ... tahu siapa aku ...?"

Suaranya yang tergagap nyaris tenggelam oleh suara di persimpangan jalur kereta, namun tetap kuanggukan kepalaku sedikit. Bukan hanya tahu identitasnya, bahkan aku bisa mengingat semua judul lagu yang dirilis olehnya.

"Ya, aku tahu. Karena aku punya semua CD-mu, dan ...."

"Lupakan semuanya!"

"Eh?"

"Pokoknya, lupakan semuanya!"

Aku ingin mengatakan sesuatu, namun aku hanya bisa menatapnya berlari menaiki tangga, rambutnya yang merah tua terkibar di belakangnya. Tepat saat itu, suara *ding ding ding* yang merupakan tanda diturunkannya pembatas rel di persimpangan mulai terdengar di telingaku. Sejenak, aku hanya bisa berdiri terdiam dalam keadaan linglung.

"—Hei!"

Sebuah suara terdengar di sampingku. Aku menoleh, dan melihat sebuah siluet putih dari peron yang berlawanan. Kami bertukar pandang sejenak, lalu ia, Ebisawa Mafuyu, mengayunkan tangannya dan melemparkan sesuatu padaku.

Sebuah benda berwarna merah terlempar melewati jalur kereta. Kuangkat tangan ini dan berusaha menangkapnya, tapi benda itu mengenai pergelangan tanganku lalu jatuh dekat kakiku. Ternyata itu sekaleng cola.

Sebuah kereta kemudian melaju di antara kami.

Ia lalu masuk ke dalam, dan kereta itu meninggalkan stasiun setelah pintunya tertutup, meninggalkanku sendiri di peron. Kaleng cola itu menggelinding di lantai dan hampir terjatuh ke jalur kereta, tapi segera kuambil sebelum terlambat. Masih terasa dingin, mungkin ia membelinya dari mesin penjual otomatis di sana. Apa jangan-jangan ia membelikanku cola ini sebagai semacam tanda terima kasih?

Ebisawa Mafuyu.

Aku sudah mendengar semua CD-nya, meski tentu saja bukan aku yang membelinya. Semuanya diberikan pada ayahku secara gratis, karena beliau seorang kritikus musik. Setiap bulan koleksi musiknya bertambah sekitar beberapa ratus keping, tapi karya milik Ebisawa merupakan satu-satunya yang tidak pernah membuatku bosan saat mendengarkannya. Bahkan, urutan lagunya pun meninggalkan kesan yang dalam padaku. Kunikmati saat-saat menelusuri kilasan yang tidak disengaja dari ritme hangat di tengah melodinya yang jelas, mantap, dan tidak bernyawa itu.

Lalu kuingat kembali lagu yang dimainkannya saat di tempat pembuangan, harusnya lagu itu tidak ada di dalam CD-nya, 'kan? Jika lagu itu pernah kudengar dari CD, sudah pasti aku mengingatnya.

Sebenarnya apa yang sudah ia hadapi dan temui selama ini?

Ia bukan seseorang yang memainkan lagu segalau itu.

Kata-katanya terus terngiang di telingaku, Pokoknya, lupakan semuanya!

Kuambil kaleng cola itu, lalu duduk di bangku. Konserto piano yang membuat penasaran juga suara Ebisawa itu terus bergema di kepala hingga keretaku tiba.



Itulah yang terjadi padaku saat libur musim semi sebelum mulai masuk SMA, sebuah kebetulan yang sulit dipercaya.

Sesampainya di rumah, aku terus mengulang <Dua Belas Variasi pada '
Ah! Haruskah kuceritakan, Bu'> yang direkam oleh Mafuyu di CD-nya. Saat mendengarkannya, aku jadi teringat kembali kejadian saat itu, dan aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menganggap semua itu hanyalah mimpi. Sebab tidak mungkin rongsokan-rongsokan itu bisa beresonansi dengan sebuah piano, dan tidak mungkin pula benda-benda itu mengeluarkan suara layaknya sebuah orkestra.

Satu-satunya hal yang bisa membuktikan kalau semua itu nyata adalah cola yang ia berikan padaku, yang kemudian menyembur mengenaiku saat kubuka tutupnya. Ya ampun, minuman berkarbonisasi itu benar-benar tidak boleh dikocok maupun dilempar. Seusai kulap lantai ini dengan kain sampai bersih, rasanya seolah sisa-sisa kepekaanku terhadap dunia juga ikut lenyap.

Meski ia menyuruhku untuk melupakan semuanya, tanpa disuruh pun pasti akan kulupakan. Aku ini orang yang sibuk, bahkan aku tidak bisa mengingat mimpi-mimpi yang kualami kemarin lusa.

Pada saat itu, jelas aku tidak menyangka bakal bertemu Mafuyu kembali di situasi semacam tadi.



Read more ...»

Oregairu Bab 3 Bagian 2

On Senin, 23 Desember 2013 0 komentar

==========================================================
ビッチ (bitchi), kata serapan dari Bahasa Inggris yaitu 'bitch'. Tapi untuk kata tersebut, di Jepang konotasinya berbeda dengan arti kata sebenarnya dari Bahasa Inggris (yang berarti semacam pekerja seks komersial), dan lebih condong kepada perempuan yang gampang untuk diajak berhubungan seks dengan lawan jenis. Di sini sengaja memilih istilah 'bispak' (bisa dipakai), karena memang pengertiannya serupa, juga untuk pelokalan istilah... Dan クッキー (kukkii), kata serapan dari Bahasa Inggris 'cookie' (kue kering), dan terdengar seperti 空気 (kuuki) yang berarti udara...
Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 3 - Berulang Kali, Yui Yuigahama Bersikap Gelisah

Bagian 2


Seperti biasa, Yukinoshita sedang asyik membaca bukunya.

Setelah saling bertukar salam, aku bergerak sedikit menjauh, kutarik sebuah kursi, kemudian duduk. Lalu kuambil sebuah buku dari dalam tasku.

Yang ada sekarang, Klub Layanan Sosial sudah berubah menjadi Klub Membaca Untuk Kawula Muda. Tapi kesampingkan dulu leluconnya... memangnya kegiatan apa yang pernah dilakukan klub ini? Lalu sebenarnya bagaimana kelanjutan dari pertandingan yang harus kami ikuti tempo hari?

Tak disangka, suara ketukan pintu menjawab pertanyaanku. Yukinoshita tertahan sewaktu membalik lembar bukunya, dengan sigap ia menaruh pembatas ke dalamnya.

"Silakan masuk." Jawabnya seraya mengahadap pintu.

"Per-permisi." Suara itu terdengar sedikit gelisah... gugup, mungkin? Pintu hanya bergeser sedikit, lalu seorang perempuan menyelipkan tubuhnya melalui celah kecil itu. Pasti ia tak mau jika sampai ada orang yang melihatnya masuk ke tempat ini.

Rambut coklatnya yang ikal dan sepanjang bahu itu berayun ketika ia berjalan. Tatapannya cemas menjelajahi sekitar ruangan. Lalu ketika pandangannya tertuju padaku, ia terhenyak.

...memangnya aku ini apa? Monster?

"Ko-kok ada Hikki di sini?!"

"...sebenarnya aku bagian dari klub ini."

Atau harusnya aku bilang saja, Kenapa kau memanggilku Hikki? Lalu yang terpenting, perempuan ini siapa?

Jujur, aku sungguh tak tahu, namun dari penampilannya, ia tampak seperti perempuan gaul kebanyakan — perempuan norak yang heboh di masa remajanya. Aku sering melihat perempuan sejenis ini. Rok pendek, tiga kancing blus yang terbuka, rambut yang disemir, dan kilauan kalung dengan liontin hati yang sengaja ia perlihatkan di sekitar dadanya. Penampilan tersebut benar-benar melanggar aturan sekolah.

Aku tak punya urusan dengan perempuan semacam itu. Nyatanya, aku memang tak punya urusan dengan perempuan mana pun.

Meski begitu, sikapnya menunjukkan seolah ia ada di lingkungan yang mengenalku. Aku ragu apakah tak apa jika kubilang, Maaf, kau ini siapa, ya?

Aku juga menyadari kalau pita yang tergantung di dadanya itu ternyata berwarna merah. Di sekolah kami, setiap angkatan dapat dikenali lewat warna pitanya. Pita berwarna merah menandakan kalau ia duduk di kelas 2 sama sepertiku.

...bukan berarti aku menyadari itu karena aku menatap dadanya. Soalnya jalur pandangku saat itu sedang tertuju ke sana... lagi pula, dadanya juga cukup besar, sih...

"Baiklah, untuk sementara duduk saja dulu." Dengan santai kutarik sebuah kursi dan mempersilakannya duduk. Perlakuan sopanku ini bukan bermaksud untuk menutupi rasa bersalah tadi. Wajar jika aku ingin memberi kesan baik padanya lewat sikap tulusku. Aku ini lelaki terhormat. Itu semua sudah tampak dari cara berpakaianku.

"Te-terima kasih..." Ia tampak kebingungan saat menanggapi tawaranku dan perlahan mulai duduk.

Yukinoshita yang duduk di hadapannya, mulai melakukan pendekatan. "Yui Yuigahama, bukan?"

"Ka-kau mengenalku?"

Si Yui Yuigahama ini langsung merasa senang, seakan-akan ada status tersendiri bagi orang-orang yang dikenali Yukinoshita.

"Kau pasti banyak tahu, ya... jangan-jangan kau tahu nama semua orang di sekolah ini?" Tanyaku.

"Tidak juga. Aku tak tahu kalau kau sekolah di sini."

"Begitu, toh..."

"Jangan berkecil hati; itu salahku. Akulah yang tak menyadari lemahnya hawa keberadaanmu, lagi pula, tak ada niat bagiku untuk berharap agar perhatianku tak tertuju padamu. Itu semua hanya karena lemahnya pikiranku saja."

"Jadi maksud dari kata-kata tadi hanya untuk membesarkan hatiku, begitu? Cara menghibur yang payah. Ujung-ujungnya, kau juga memberi kesimpulan kalau semua itu salahku."

"Aku tak bermaksud menghiburmu. Aku memang sedang menyindirmu." Ucap Yukinoshita sambil berpaling seraya mengibaskan rambutnya ke belakang.

"Kelihatannya... klub ini menyenangkan." Ujar Yuigahama dengan tatapan berbinar yang tertuju ke arah kami berdua.

Perempuan ini... pikirannya pasti hanya dipenuhi padang bunga matahari dan aster saja.

"Komentar barusan sama sekali tak mengenakkan... di sisi lain, kesalahpahamanmu itu benar-benar mengganggu." Tatapan dingin Yukinoshita membuat gugup Yuigahama.

"Oh, bukan, bagaimana bilangnya, ya?" Ia mengibaskan tangannya tanda menyangkal. "Aku hanya berpikir sikap kalian berdua begitu alami! Eng, maksudku, Hikki jadi berbeda sekali dengan yang di kelas. Ternyata ia bisa bicara panjang lebar."

"Jelas aku bisa bicara. Dasar kau ini..." Memangnya aku tampak seperti orang yang punya keterbatasan dalam berkomunikasi, apa?

"Oh, iya benar. Yuigahama juga duduk di kelas F."

"Hah, yang benar?" Tanyaku.

"Jangan-jangan kau memang tak pernah tahu, ya?" Yukinoshita balik bertanya.

Yuigahama tampak terkejut oleh ucapan Yukinoshita.

Sial.

Tak ada yang paham bagaimana sakitnya tak dikenali oleh teman sekelas lebih dari aku. Karenanya, sebelum ia ikut merasakan sakit yang sama, kucoba untuk menutupi salah paham tadi.

"Ten-tentu saja aku tahu."

"...lalu kenapa kau memalingkan mata?" Tanya Yukinoshita.

Yuigahama kemudian menatapku dengan pandangan sinis. "Bukannya karena itu kau jadi enggak punya teman, Hikki? Habisnya, tingkahmu itu aneh dan rasanya menjijikkan."

Kini aku ingat perempuan sinis ini. Tentu saja, para perempuan lain di kelasku juga memandang hina diriku. Pasti ia salah satu dari kelompok yang sering bergerombol di sekitar Klub Sepak Bola.

Apa-apaan itu? Berarti ia salah satu musuhku, dong? Percuma saja tadi aku bersikap baik padanya.

"...dasar bispak." Tanpa sengaja aku mengumpat.

"Apa? Siapa yang kausebut bispak?!" Yuigahama spontan berseru. "Aku ini masih pera— aaahhh! Lupakan!" Wajahnya langsung memerah dan ia bolak-balik mengibaskan tangan, seakan ingin berusaha menarik kembali kata-katanya. Dasar plinplan.


Yukinoshita mulai bicara, seolah ingin meredakan kepanikan Yuigahama. "Itu bukan hal yang memalukan. Di usia kita ini, jika masih pera—"

"A-aaahhh, berhenti! Kau ini bicara apa?! Untuk ukuran anak kelas 2 SMA, itu jelas memalukan! Yukinoshita, di mana sisi kewanitaanmu?!"

"...hal yang tak penting."

Buset. Entah bagaimana, tapi Yukinoshita baru saja meningkatkan tingkat kesinisannya beratus kali lipat.

"Biar kau bilang begitu, kata kewanitaan justru semakin terdengar bispak bagiku." Tambahku.

"Kau berkata begitu lagi! Mengatai orang lain bispak itu enggak sopan, tahu! Hikki, kau menjijikkan!" Yuigahama lalu menampakkan wajah geram mengejek dan melihatku dengan mata berkaca-kaca.

"Mengataimu bispak tak ada hubungannya dengan menjijikkannya diriku. Dan jangan memanggilku Hikki."

Soalnya panggilan itu terdengar seperti hikikomori, 'kan? ...oh, pasti ia juga bermaksud menyindirku. Itu pasti semacam nama ejekan buatku yang beredar di kelas.

Kejam sekali, 'kan? Sampai-sampai aku ingin menangis mendengarnya.

Bergosip di belakang orang itu enggak baik.

Itu sebabnya aku langsung berkata blakblakan dengan suara lantang. Jika suaraku tak terdengar, maka perkataanku ini tak ada efeknya!

"Dasar bispak."

"Ka-kau! Menjengkelkan! Benar-benar menjijikkan! Kenapa enggak mati saja sana?!"

Padahal sudah bersikap sopan, yang ada, aku malah jadi bersikap keras begini, bahkan aku terpaksa bungkam setelah mendengar ucapannya.

Di dunia ini ada banyak kata yang harusnya tak boleh diucapkan begitu saja, terutama yang menyangkut nyawa manusia. Jika belum siap memikul tanggung jawab atas nyawa, maka seseorang tak ada hak untuk berkata demikian.

Sejenak keheningan berlalu, dengan maksud menegurnya, kulontarkan tanggapan serius dengan nada menggebu-gebu.

"Sekali lagi kaubilang mati saja atau kubunuh kau seenak udelmu, 'kan kucincang kau."

"Ah... ma-maaf, bukan maksud... eh, apa?! Kau barusan bilang begitu! Kau barusan sungguh-sungguh berkata ingin membunuhku!"

Yuigahama mungkin terlambat sadar, ternyata ia memang orang yang plinplan. Meski begitu, aku sempat terkejut. Ia terlihat seperti perempuan yang bisa meminta maaf dengan sopan.

Ia tampak berbeda dari penampilan yang dikesankannya. Aku sempat yakin kalau ia sama saja dengan para gadis di kelompoknya, para lelaki di Klub Sepak Bola dan semua orang di sekitarnya. Awalnya kupikir, di kepalanya itu hanya berisi hal-hal seperti yang ada di dalam novel karya Ryuu Murakami, yang selalu dipenuhi seks, narkoba dan hal bejat lainnya.

Yuigahama lalu menghela napas. Bersikap terlalu aktif pasti membuatnya capek.

"Eng, begini. tadi aku sempat mendengarnya dari Bu Hiratsuka, tapi... katanya klub ini bisa mengabulkan keinginan para murid, ya?" Yuigahama memecah keheningan sesaat.

"Masa, sih?" Aku malah yakin kalau ini hanya klub membaca yang tak ada habisnya.

Yukinoshita benar-benar mengabaikan pertanyaanku dan justru menjawab pertanyaan Yuigahama.

"Tidak juga. Hakikatnya, tujuan klub ini terletak pada cara memberi pertolongan bagi orang lain. Terkabul atau tidaknya keinginanmu tergantung dari dirimu sendiri." Tanggapan Yukinoshita tampak dingin dan penuh penyangkalan.

"Bedanya di mana?" Tanya Yuigahama dengan wajah penuh ragu. Sebenarnya itulah yang ingin kutanyakan tadi.

"Apakah kau akan memberi ikan pada orang kelaparan atau mengajarinya cara menangkap ikan? Di situlah letak perbedaannya. Intinya, seorang sukarelawan tak memberi hasil melainkan menyediakan cara. Kurasa, mendorong seseorang untuk mandiri adalah jawaban yang paling tepat."

Pidatonya barusan persis seperti yang termuat pada buku nilai moral, sebuah prinsip tanpa arti yang sering digaungkan di berbagai sekolah — Kegiatan klub akan memberi kesempatan pada para murid untuk mempertunjukkan kemampuannya dalam hal kemandirian sebagaimana murid lainnya. Begitulah pemahaman baruku mengenai sebuah kegiatan klub. Dan, yah, Bu Hiratsuka juga sempat bicara mengenai pekerjaan, itu artinya, klub pun ikut berjuang demi kepentingan murid.

"Wah, hebat banget!" Seru Yuigahama dengan tatapan yang seakan berkata, Kau sudah membuka mataku, aku jadi mengerti sekarang! Aku sedikit cemas kalau di masa depan nanti otaknya mungkin bakal dicuci oleh sekte pemuja setan.

Penjelasan Yukinoshita tadi tak punya dasar ilmiah, apalagi untuk perempuan berdada besar seperti Yuigahama ini, pastinya sulit untuk paham... setidaknya itu anggapan yang berkembang di masyarakat, namun jika ditanya, dengan yakin akan kujawab kalau perempuan ini adalah salah satu buktinya.

Di sisi lain... Yukinoshita punya kecerdasan mumpuni, akal sehat yang tak tertandingi, juga dada yang rata seperti tembok.

"Aku tak bisa menjanjikan kalau keinginanmu dapat terkabul, tapi sebisa mungkin aku akan membantumu."

Yuigahama lalu mulai bicara seakan baru teringat tujuannya datang ke tempat ini.

"Eng, begini! Aku mau coba membuat kue kering..." Ujar Yuigahama sembari menatapku.

Aku ini bukan kue kering, tahu. Sebenarnya aku tahu kalau anak-anak di kelas memperlakukanku layaknya angin lalu, meski terdengar sama, namun artinya berbeda.

"Hikigaya." Yukinoshita lalu mengarahkan wajahnya ke lorong sambil menggerakkan mulutnya tanpa bersuara. Pergi sana. Padahal ia bisa saja berkata baik-baik. Seperti, Kau mengganggu pemandangan, jadi bisa tidak, kau pergi dari sini? Aku akan menghargainya andai kau tak pernah kembali lagi kemari.

Jika ia sedang ingin berbicang mengenai masalah perempuan, maka apa boleh buat. Memang ada hal tertentu di dunia ini yang hanya bisa diperbincangkan antar sesama perempuan saja. Ambil contoh saat mata pelajaran Penjaskes, yang di dalamnya ada hal-hal seperti, Lelaki dilarang masuk, Ruang kelas sedang digunakan untuk mata pelajaran khusus perempuan. Jumlah contohnya pun cukup banyak.

Kira-kira itu mata pelajaran yang seperti apa, sih? Hal-hal yang begitu itu masih mengusik pikiranku sampai sekarang.

"...aku mau beli Sportop dulu."

Aku harus menunjukkan kalau aku orang yang sangat pengertian, bisa membaca situasi dan bertindak tanpa perlu pamer. Andai aku seorang perempuan, pasti aku sudah jatuh cinta dengan diriku sendiri.

Seraya tanganku menempel ke pintu untuk pergi keluar, Yukinoshita memanggilku. Mungkinkah ia punya perasaan yang ingin disampaikannya padaku?

"Aku titip Yasai Seikatsu 100 Strawberry Mix, ya."

Ternyata ia sudah terbiasa menyuruh orang seenak dengkulnya... dasar Yukinoshita. Perempuan ini memang sulit ditebak.


Lanjut
Read more ...»