SPS Jilid 1 Bab 2

On Minggu, 29 Desember 2013 0 komentar

==========================================================
Cukup lama gak di-update... Oh, pada rilisan SPS ini ane memakai honorifiks jadi penamaan karakter juga mengikuti format di Jepang sana, termasuk nama panggilan atau pengganti nama seseorang...
Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 2 - Padang Bunga, Ruang Musik yang Terlupakan


Di dunia ini terdapat sebuah jenis hubungan, yaitu tipe yang tidak mengenakkan. Dan begitulah jenis hubungan yang aku dan Aihara Chiaki miliki. Karena rumah kami saling berdekatan, tidak heran kalau kami bersekolah di tempat yang sama sejak SD hingga SMP. Meski begitu, kami berada di kelas yang sama selama sembilan tahun berturut-turut, bahkan kami pun sekolah di SMA yang sama. Mungkin bakal ada yang bilang kalau itu karena kepandaian kami yang tidak berbeda jauh, tapi masalahnya adalah, kami berdua sama-sama berada di kelas 1-3. Tidak ada yang bisa kukatakan, selain ikatan menjijikkan kami memang begitu dalam.

"Bukankah ini hebat? Aku payah dalam Matematika dan Bahasa Inggris, jadi aku bisa mencontek Nao. Nao sendiri tidak begitu pandai dalam Olahraga, Sedangkan aku jago dalam Olahraga. Mulai sekarang, ayo kita saling bantu," tidak lama setelah berakhirnya upacara pembukaan, Chiaki mengatakan hal itu sambil menepuk pundakku diselingi suara *papapa* dari kelas kami yang masih berbaun lilin. Ia memang jago dalam Olahraga, tapi bagaimana caranya ia membantuku dalam pelajaran itu?

"Anak ini hebat, lo. Kamu bisa melihat kumpulan CD yang menggunung saat membuka pintu rumahnya, dan semuanya akan jatuh berserakan."

"Wah, kok bisa begitu? Memangnya rumahnya itu semacam toko musik, ya?"

"Lalu kenapa kamu bisa ada di rumahnya?"

Dengan menggunakanku sebagai batu pijakkan, Chiaki begitu cepat membaur dengan para perempuan di kelas kami yang baru ditemuinya belum lama ini. Kami berdua adalah satu-satunya murid lulusan SMP kami terdahulu yang diterima di sekolah ini, itu sebabnya tidak ada satu anak pun yang kami kenal di sini. Kemampuan adaptasinya memang mengerikan.

"Hei, apa hubunganmu dengan perempuan itu?"

Seorang anak lelaki yang agak tertarik mencondongkan tubuhnya padaku dan bertanya sambil berbisik.

"Hah? Ah, bukan apa-apa, kami dulu cuma satu SMP."

"Tapi, bukankah
saat upacara pembukaan tadi kamu membantu mengikatkan dasinya?" anak lelaki lain tiba-tiba bertanya dari belakangku, sampai membuat wajahku memucat karena kaget. Jadi mereka sempat melihatnya, ya?

"Eng ..., yah, itu karena ...."

"Benarkah?! Sialan! Jadi kalian berdua itu suami istri?!"

"Bukankah hal itu terbalik? Harusnya si perempuan yang bantu si laki-laki!" mereka menggunakan situasi yang sulit dijelaskan itu sebagai topik pembicaraan. Sial, gara-gara itu aku jadi kesal pada Chiaki. Aku sudah mengajarinya berkali-kali
setidaknya ingatlah bagaimana cara mengikat dasi sendiri!

"Apa waktu SMP dulu kalian pernah pacaran?"

Kugelengkan kepala berkali-kali untuk menyangkalnya. Semua anak lelaki di sekelilingku pun menghela napas lega. Mereka menarikku menjauh dari para perempuan, dan kelompok kami pun bergeser ke pojok kelas. Mereka mulai bisik-bisik bicara.

"Aihara Chiaki adalah salah satu barang bagus di kelas kita! Itu hal yang luar biasa."

"Awalnya kupikir kalau aku suka gadis berambut panjang, tapi kini aku sadar ternyata itu salah."

Dengan ekspresi tercengang, kudengarkan penilaian dari para anak lelaki itu. Dan kulihat kembali diri Chiaki yang masih duduk di atas meja sambil berbincang di sisi lain ruang kelas. Gaya rambutnya dulu sangat pendek dan dibelah tengah, hingga membuatnya tampak begitu garang. Tetapi sejak ia meninggalkan klubnya saat musim gugur di tahun ketiga kami SMP, ia mulai memanjangkan rambutnya. Kini, rambut pendeknya terlihat lebih indah dan semakin feminin. Tapi tunggu, masalahnya adalah ....

"Gadis itu punya temperamen buruk layaknya seorang pemula dalam bela diri Judo. Bukankah kalian sebaiknya berpikir untuk menjaga jarak darinya?"

"Ia masuk ke Klub Judo? Aku ikut gabung saja enggak, ya?"

"Memangnya di sekolah ini ada Klub Judo?"

"Biar begitu, sebagian besar Klub Judo memisahkan anak lelaki dengan anak perempuan."

"Kenapa harus dipisah? Harusnya mereka memperbolehkan semuanya berlatih ne-waza bersama!"

Mereka ini dengar enggak, sih?

Namun karena tahun lalu punggungnya terus-menerus dilanda cedera, maka ia tidak pernah lagi berlatih Judo. Di saat yang hampir bersamaan ketika kami diterima masuk SMA, tanpa alasan yang jelas, ia mulai berlatih bermain drum. Padahal, dulu ia tidak pernah punya minat pada musik. Tidak mungkin ia mulai berlatih bermain drum karena keinginannya sendiri, ya 'kan? Sedangkan alasan kenapa ia mau menjadi seorang penabuh drum, inilah yang Chiaki katakan padaku—

"Di awal tahun kemarin, saat dokter bilang kalau aku tidak boleh lagi berlatih Judo, kuminum beberapa gelas saké karena putus asa ...," anak di bawah umur belum boleh meminum saké! "Saat aku jatuh tertidur dalam keadaan mabuk, Bonzo muncul dalam mimpiku."

Bonzo adalah penabuh drum Led Zeppelin, dan ia mati kehabisan napas karena menghirup muntahannya sendiri dalam keadaan mabuk. Hal yang tidak begitu enak didengar. Lagi pula, Chiaki tidak mungkin bisa melihat arwah Bonzo dalam keadaan hampir mati, 'kan?

"Lalu ia bilang padaku, Yang tersisa untukmu hanyalah drum. Karena Bonzo yang bilang begitu, maka aku tidak punya pilihan selain melakukannya, ya 'kan?”

"Apa itu benar-benar Bonzo?"

"Aku melihatnya melambaikan tangan terus-menerus padaku sambil berdiri di padang bunga dekat tepian sungai. Itu memang Bonzo, kok. Bahasa Jepangnya sungguh mengesankan, meski ia berbicara dengan dialek Tsuguru."

... bisa jadi itu arwah kakeknya yang meninggal tahun lalu.



Baru setelah memasuki SMA, akhirnya aku tahu alasan sebenarnya Chiaki mulai berlatih drum. Setiap hari sepulang sekolah, ia terus-menerus menggangguku agar bergabung dengan Klub Riset Musik Rakyat.

"Nao tidak punya keahlian selain dalam bidang musik, 'kan? Jadi, gabung saja sama kami."

"Kamu terlalu ikut campur. Lagi pula, Klub Riset-Was-Wes-Wos itu sebenarnya apa? Tidak ada klub semacam itu, 'kan?"

Aku coba mengingat lembaran brosur pengenalan klub-klub di sekolah yang kudapatkan saat upacara pembukaan, juga pawai orang-orang yang menunggu di gerbang sekolah agar mendapat murid baru sebagai anggota klub mereka. Aku tidak melihat ada klub dengan nama serumit itu. Dan bicara soal musik, aku cuma orang yang punya wawasan dalam hal mendengarkan saja ....

"Yang dimaksud musik rakyat di sini sebenarnya mengacu pada musik rock! Kalau kami menyebut band rock secara terang-terangan, para guru tidak akan menerimanya; lagi pula, hanya dengan Kagurazaka-senpai dan aku saja, tidak mungkin kami akan diterima. Jadi kumohon, bergabunglah dengan klub kami!"

Rupanya itu alasan yang membuat ia mati-matian memaksaku untuk bergabung ....

"Berhenti memaksaku masuk ke klub yang bahkan belum terbentuk! Terus siapa lagi Kagurazaka-senpai itu?"

"Seseorang yang luar biasa dan keren dari kelas 2 - 1."

Seusai sesi tanya jawab tadi, semua teka-teki akhirnya terpecahkan. Tampaknya Chiaki bertemu dengan Si Kagurazaka itu saat musim panas tahun lalu. Rekomendasi yang membuat ia masuk ke SMA ini, juga alasan ia mulai bermain drum, itu semua karena Si Kagurazaka itu. Lelucon murahan. Kuambil tasku lalu berjalan keluar kelas. Semua teman sekelas kami ternyata sudah memusatkan perhatian mereka selama kami berbicara tadi, dan itu rasanya sungguh memalukan. Chiaki mengejarku dan berkata, "Tunggu dulu! Apa salahnya bergabung dengan klub? Lagi pula, kamu juga tidak punya kerjaan, 'kan?"




"Aku tidak akan bergabung ke klub itu meski aku memang sedang tidak punya kerjaan."

"Kenapa?"

"Karena ... aku tidak akan bisa betah."

Sebenarnya aku ingin bilang, Kamu pernah memaksaku untuk ikut pelatihan Judo, dan akhirnya aku menyerah dalam waktu singkat, sekitar dua minggu
harusnya kamu juga tahu itu. Tapi, pada akhirnya aku tidak pernah mengatakannya.

"Benarkah? Terus apa yang mau kamu lakukan di masa SMA-mu?"

Belajar
tapi tentu saja aku tidak bisa membuat diriku berkata munafik selain memberi jawaban bernada politis semacam itu.

"Berarti hidupmu membosankan, dong?"

Jadi ia pikir, hidupnya itu menarik, begitu?

"Untuk apa kamu peduli dengan bosan atau tidaknya hidupku?" aku mengatakannya dengan spontan, dan Chiaki tiba-tiba berhenti. Saat aku menoleh ke belakang, kulihat Chiaki mengalihkan pandangannya dariku dan sedikit menundukkan kepalanya. Ada apa lagi sekarang?

Chiaki menolehkan wajahnya, lalu bertanya, "... kamu pikir untuk apa aku berbuat seperti ini?" aku jadi bingung harus menjawab seperti apa.

"Karena kamu juga tidak punya kerjaan, 'kan?"

Tangan Chiaki lalu menggapai kerah jaketku. Sebelum aku sempat berpikir, tubuhku sudah berputar di udara, kemudian punggungku membentur lantai lorong.

"... aduuuh!" mataku berkunang-kunang dan sesaat aku tidak bisa bernafas. Meski begitu, aku mencoba berdiri dengan bertumpu pada tanganku yang menempel di tembok.

"Jangan gunakan lemparan bahu seenakmu begitu, tahu?!"

"Itu bukan lemparan bahu. Yang tadi itu bantingan badan."

"Bukan itu masalahnya! Kamu mau membunuhku, ya?!"

"Bo-bodoh!"

Chiaki menginjak pahaku, berbalik, lalu pergi. Apa-apaan tadi itu?!


Alasanku tidak bergabung ke sebuah klub adalah karena suatu alasan yang sangat negatif seperti, Semua itu merepotkan. Meski begitu, ada alasan lain di samping hal tersebut yang bisa dianggap sebagai sesuatu yang positif ada yang bisa kukerjakan seusai sekolah.

Setelah menatap Chiaki yang pergi, aku turun ke lantai satu, lalu menuju sebuah lapangan kecil setelah berjalan keluar dari gerbang belakang sekolah. Di dekat pembakaran sampah yang sudah berkarat dan usang, berdiri sebuah gedung sempit. Gedung itu berbentuk persegi panjang sederhana yang terbuat dari semen, mirip dengan toilet umum di taman. Pada sisi-sisinya terdapat beberapa pintu. Karena sudah lama tidak ada yang pernah menggunakannya, tembok maupun pintu-pintunya telah diselimuti debu, yang membuatnya cukup kotor. Tanpa sebab atau alasan yang jelas, sekolah swasta ini semakin memperluas wilayahnya, ditambah lagi, jumlah murid yang masuk di sekolah ini semakin menurun — semua ini menyebabkan jumlah fasilitas maupun ruang kosong yang tidak digunakan semakin bertambah.

Di hari ketiga aku bersekolah, kutahu kalau ruangan yang terletak di sisi kiri gedung ini ternyata bisa dimasuki. Selama penelusuranku di sekitar lingkungan sekolah, kucoba memutar gagang pintu ruangan itu. Sambil mengeluarkan bunyi *kra kra*, pintu itu pun terbuka begitu saja. Kemudian, kusadari kalau menekan gagang pintu secara diagonal ke kanan bawah lalu memutarnya 45 derajat, kuncinya akan terbuka.

Di dalamnya, terdapat sebuah rak besi tinggi, sebuah loker dan sebuah meja belajar tua. Temboknya ditempeli dengan bahan penyerap suara, dengan banyak lubang bundar yang ukurannya hampir sama. Dilihat dari tanda yang tertinggal di lantai, dapat diketahui kalau tempat ini dulunya ruang piano. Lalu kini, satu-satunya yang bisa disebut perlengkapan sekolah hanyalah sistem audio mini yang terletak di samping meja.

Sebenarnya, SMA ini almamater ayahku. Aku pernah dengar dari beliau, kalau sekolah ini dulunya punya Klub Musik, tapi dibubarkan tidak lama setelah beliau lulus. Beliau sering bercerita dengan setengah bercanda, Murid-murid pada zaman Ayah dulu punya kelakuan yang buruk, itu sebabnya sekolah membubarkannya. Justru, mungkin memang seperti itulah yang terjadi.

Ada keuntungan dari tembok penyerap suara
aku bisa membawa setumpuk CD-ku ke ruangan ini dan mendengarkan lagu kesukaanku sekeras yang aku mau. Ini adalah cara yang bagus untuk menghabiskan waktu seusai sekolah. Kalau aku ada di rumah, ayahku pasti sudah memutar rekaman musik klasik keras-keras. Itulah yang membuatku tidak punya tempat untuk menikmati musikku ini dengan tenang.

Karena kondisi ruangan ini tidak terlalu bagus, kedap suaranya belumlah sempurna. Aku harus menyisipkan handuk di celah-celah sekitar pintu sebelum menyalakan sistem audio. Pada hari itu, CD pertama yang kudengarkan adalah album rekaman konser Bob Marley, yang membawaku ke suasana reggae. Mungkin aku sudah terpengaruh oleh kata-kata Chiaki.

Berarti hidupmu membosankan, dong?

Padahal aku tidak pernah sekalipun memikirkannya. Yang ada, hal tersebut cukup membuatku sakit kepala. Dan hanya karena aku tidak bergabung ke sebuah klub, hidupku malah dianggap membosankan. Begini saja kan enggak apa-apa
anggap saja kalau yang kulakukan ini kegiatan Klub Apresiasi Musik! Toh, aku juga tidak pernah merepotkan orang lain. Aku memang menggunakan ruangan ini tanpa izin terlebih dahulu, tapi karena ruang kelas ini sepertinya lama tidak pernah digunakan, ditambah fakta bahwa aku menjaga ruang kelas ini tetap bersih selama aku bisa memastikan kalau tidak ada orang luar yang bisa mendengar musik yang sedang kuputar, maka tidak jadi masalah, 'kan?

0 komentar:

Posting Komentar