SPS Jilid 1 Bab 5

On Sabtu, 15 Maret 2014 0 komentar

==========================================================
Oh, akhirnya muncul juga, Kurugaya... Eh, Kagurazaka...
Karakter favorit di seri ini akhirnya menampakkan diri...
Selamat menikmati....
==========================================================


Bab 5 - Toccata, Gembok, Revolusi


Sejujurnya, ada yang tidak sempat kuberitahukan kepada Mafuyu — sebuah persoalan besar yang ada di ruang kelas itu, yaitu celah di sekitar pintu. Peredam suara di ruang kelas tersebut tidaklah sempurna, jadi suara masih akan terdengar keluar dari ruangan. Karenanya, beberapa hari kemudian, sebuah rumor tentang permainan mengagumkan dari gitar solo yang bisa terdengar dari lapangan seusai jam pelajaran pun menyebar ke seluruh sekolah.

"Lagu yang mana? Apa itu <Charari ~Susu Keluar Dari Hidung~>?"

"Aku juga pernah mendengarnya. Kepalaku pun jadi pusing kalau lama-lama mendengarnya."

Sebenarnya itu <Toccata dan Fugue di D minor, BWV 565> gubahan Bach. Anak itu memang benar-benar menyukai Bach, ya? Homeroom masih belum dimulai, jadi dengan setengah hati kudengarkan saja gosip pagi yang disebarkan para gadis, selagi aku mengingat-ingat lagu yang Mafuyu mainkan kala itu.

"Kemarin ia juga memainkan <Perpisahan>. Permainannya begitu cepat. Pada awalnya aku tidak tahu lagu apa itu."

"Ah, jadi itu <Perpisahan>?"

Aku juga sudah pernah mendengar <Perpisahan> dalam versi gitar. Awalnya Chopin menggubah lagu itu untuk dimainkan dalam tempo yang cepat — kira-kira empat kali lebih cepat dari tafsiran sekarang — jadi pada pengartian tertentu, permainan Mafuyu itu sesungguhnya adalah versi yang benar. Aku ingin mengatakan itu, tapi semuanya pasti akan menjulukiku kritikus maniak atau penguntit, makanya aku memilih tetap diam. Tunggu, ada apa ini? Apa gen kritikus dari Tetsurou melakukan sesuatu yang aneh pada tubuhku? Cepat hentikan!

Guru kami membuka pintu kelas sebelum bel sekolah selesai berbunyi, yang kemudian diikuti Mafuyu dari belakang. Seluruh kelas tiba-tiba tenggelam dalam kesunyian. Semuanya saling bertukar pandang sejenak sebelum kembali ke kursi masing-masing, seolah tidak sedang terjadi apa-apa — satu-satunya yang tidak sadar dengan situasi ini adalah perempuan itu sendiri. Meski begitu, tampaknya Mafuyu sempat merasa kalau ada sesuatu yang sedang terjadi. Saat ia berjalan menuju kursinya, ia menatap semuanya dengan pandangan bingung.

"Pulang sekolah nanti, mau coba mendengarkannya, enggak?"

"Kalau begitu, nanti kucoba mendengarnya sebelum kegiatan klub dimulai—"

Kudengarkan orang-orang yang berbisik demikian dan menyadari ada beberapa anak lelaki yang melirik Mafuyu sambil menyeringai lebar. Belum ada seminggu Mafuyu pindah ke sekolah ini, tapi jumlah gadis yang berniat mengobrol dengannya sudah turun hingga mendekati nol — ia mungkin diperlakukan sebagai makhluk langka oleh semua orang.

Akan tetapi, hal itu juga jadi masalah buatku. Tempat itu sebenarnya ruang istirahatku, dan sekarang, sudah ditempati oleh orang lain. Sepertinya aku harus merebut kembali ruang kelas itu dari tangan Mafuyu.


Aku menemukan sebuah cara yang sangat licik untuk mengunci diriku sendiri di ruang itu dan membuat Mafuyu tidak bisa masuk ke dalamnya. Saat jam pelajaran Matematika — yang merupakan jam keenam di hari itu — berakhir, segera kuambil tasku lalu berlari keluar kelas seusai membungkuk tanda berpisah kepada guru.

Akan tetapi, aku tercengang sesampainya di kompleks bangunan musik tua yang ada di belakang gedung. Di sana sudah tergantung gembok yang mengunci pintu ruang kelas. Sial, berani-beraninya ia melakukan ini pada ruangan (yang kuakui) milikku ini!

Saat menatap gembok yang ada di depanku, aku jadi ingat penjepit kertas dan obeng yang kusimpan dalam tasku. Jangan remehkan kemampuan yang kudapat dari memodifikasi sistem audio semenjak kecil, ya — hanya butuh seutas kawat panjang dan tipis untuk bisa membuka gembok murahan ini. Tunggu, ini bisa dianggap tindak kejahatan, 'kan? Bicara soal itu, bisa-bisa aku bakal game over kalau ada yang melihatku sedang berusaha membuka gembok ini. Namun, kalau aku melakukannya dengan cepat, mungkin ini bisa selesai kurang dari satu menit ....

"Sedang apa kamu?"

Sebuah suara tiba-tiba terdengar dari belakangku. Aku hampir saja melompat setinggi tiga meter karena ketakutan. Saat aku menoleh—

Ternyata itu Mafuyu. Ia benar-benar marah, dan rambut merah tuanya terlihat seolah berdiri di atas kepalanya.

"Dasar kriminal, kamu pasti berniat mencongkel gemboknya, 'kan? Tolong jangan pernah lagi dekat-dekat denganku."

Memang mestinya begitu, tapi atas dasar apa ia punya hak membentakku?

"Kenapa kamu selalu saja mengikutiku?"

Lancang sekali. Jadi ia juga memperlakukanku seperti seorang penguntit? Menguntit itu tindak kejahatan, tahu! Dan aku bisa kena masalah kalau ia benar-benar menuntutku. Tampaknya hidupku kini berada dalam situasi yang buruk.

"Bukan begitu, asal kamu tahu ..., aku selalu menggunakan ruang kelas ini sebelumnya, dan amplifier itu juga aku yang memodifikasinya."

Aku menjelaskan sambil berusaha keras menahan diri.

"Kamu sudah seenaknya menggunakan ruangan ini tanpa izin!"

"Tapi Mukoujima-sensei juga sudah memberiku izin untuk menggunakan ruang kelas ini ...,"

"Ini ruang untuk latihan, bukan tempat untukmu bersantai dan menghabiskan waktu sambil mendengarkan CD!"

Mafuyu mendorongku ke samping. Ia buka gemboknya, masuk ke ruang kelas, lalu menutup pintunya. Aku terdiam di tempat dan termenung selama beberapa detik. Kemudian, tanpa pikir panjang, aku menerobos masuk ke dalam, membuka paksa pintu seolah berusaha menghancurkannya.

"Berhenti memperlakukanku layaknya orang bodoh yang cuma bisa membuang waktu. Hidup itu memang sekadar menghabiskan waktu sampai akhirnya mati."

"Terus, kenapa kamu enggak mati saja sana?"

Apa ia baru saja mengatakan hal yang amat kejam padaku?

"Enggak boleh. Kalau aku mati, ibu dan adik perempuanku akan sangat sedih," aku membiarkan diriku mengucapkan omong-kosong.

"Aku sudah tahu, kok, kalau keluarga yang kamu punya cuma seorang ayah tidak berguna," apa maksud jawabannya itu? Sial, apa anak ini sudah membaca artikel-artikelnya Tetsurou? Ayahku yang bodoh itu selalu menyebut namaku dalam artikelnya. Misal: Cara konduktor ini melakukan adagio sama lambatnya seperti anakku ketika ia membuat salad kentang. Meski begitu—

"Kuakui kalau ayahku memang tidak berguna, dan terserah kalau kamu menganggapnya orang bodoh kalau kamu memang suka. Akan tetapi, orang yang akan merasa terganggu atas semua komentar tadi adalah aku. Cepat minta maaf — terutama padaku!”

"Keberadaan kritikus itu sendiri yang mengganggu. Mereka selalu saja menulis omong kosong."

Hei, hei, apa-apaan ini? Ekspresi Mafuyu mendadak tegang, dan ia terlihat seolah hampir menangis. Terus, kenapa di tempat begini aku malah bertengkar dengannya?! Sewaktu memikirkannya, tensi pikiranku langsung menurun.

"Padahal bukan mereka yang memainkan lagu-lagunya. Yang mereka lakukan cuma mendengarkannya dengan asal-asalan, lalu mulai mengatakan omong kosong seperti yang barusan kamu katakan."

"Eng, yah ...," tadi aku memang sempat mengatakan omong kosong — aku sebenarnya mau mengatakan itu, tapi setelah dipikir-pikir lagi, kusadari kalau itu cuma akan jadi balasan yang lemah. Karenanya, aku cuma bisa menutup mulutku.

"... kalau cuma gitar. Aku juga bisa memainkannya!"

Kata-kata itu tanpa sengaja keluar dari mulutku. Walaupun itu bukan omong kosong.

Sebagai lelaki yang menikmati berbagai jenis musik rock, aku pun dulunya bermain gitar; meski hal itu kulakukan sewaktu musim panas saat kelas dua SMP dulu. Waktu itu aku menemukan gitar klasik yang sudah berdebu di gudang rumahku, yang kemudian kugunakan untuk berlatih prelude <Stairway to Heaven> dengan sungguh-sungguh.

Meski begitu, sudah lama aku tidak pernah menyentuhnya.

Mafuyu menyipitkan mata dan tatapannya menjadi dingin. Ekspresinya terlihat seolah berkata, Aku bertaruh kalau tadi itu cuma omong kosongmu saja.

Tepat saat aku mau mengatakan hal lainnya, Mafuyu tiba-tiba mengambil gitarnya yang tersandar di dekat meja, lalu mencolokkannya pada amplifier. Ia kemudian berjalan ke sisiku, dan secara paksa memasangkan full-size headphone ke kepalaku.

"Ap ...?"

"Jangan bergerak!"

Dengan lembut ia mengambil pick dengan kedua jari dan memetik senar gitarnya. Tiba-tiba saja aku terhanyut ke dalam alunan melodi. Di antara disonansi yang kuat, not-not menurun yang kian berubah, mengucur bagai air terjun yang mengalir dari puncak tebing. Yang mengikutinya adalah liukan arpeggio yang megah sekaligus menyeramkan, seiring melodi halus yang diisi hentakan kaki bersamaan dengan tarian
di mana keduanya terangkat dari dasar lembah.

Itu adalah ..., <Etude Op. 10, No. 12> gubahan Chopin.

Badai mulai berkecamuk dalam pikiranku, akan tetapi, lagu itu pun disela paksa oleh cadence yang tiba-tiba.

Aku tercengang. Mafuyu melepas headphone-nya dari kepalaku, lalu suara dari kehidupan nyata perlahan merangkak masuk ke telingaku. Detak jantungku; suara napasku; suara mesin dari jalanan di kejauhan; suara sorakan tim bisbol sewaktu pemainnya berlari ke base
segala suara yang kudengar tadi serasa tidak nyata.

Mafuyu membungkuk dan menatapku, seolah ia berkata, Apa permainan gitarmu terdengar seperti ini? Kesunyian pun langsung meliputi.

"... dengan ini, apa kamu masih bisa bilang, Kalau cuma gitar. Aku juga bisa memainkannya, hah?"

Aku ingat kalau ia juga berdesah.

Aku sebenarnya ingin berkata, Berhenti memperlakukanku layaknya orang bodoh, tapi aku tidak bisa mengatakannya dengan tegas.

"Sudah kubilang. Pergi sana. Ini tempat untuk latihan."

"Apa susahnya memainkan alat musik?" protesku. "Jadi maksudmu, kalau aku membawa gitar ke sini, aku juga bisa menggunakan ruang kelas ini, begitu?"

"Jangan meniruku kalau kamu tidak punya kemampuan. Enyah sana!"

Sewaktu aku tidak bisa lagi berbuat apa-apa, Mafuyu mendorongku keluar dari ruangan.

Tidak lama setelah itu, lagu lain mengalir dari celah di belakang pintu yang tertutup rapat. Itu adalah <Mars Pemakaman> gubahan Chopin dari <Sonata Piano No. 2 di B
♭ minor>. Ia sengaja ingin cari gara-gara, ya? Eh, tunggu, ia tidak tahu kalau suaranya bisa terdengar dari luar, 'kan?"

Sial.

Aku menekan telapak tanganku di pintu sambil menundukkan kepala. Selama beberapa saat, kubiarkan suara gitar Mafuyu meresap ke dalam tubuhku. Perlahan lagu itu berubah menjadi perih yang tidak tertahankan, namun aku sendiri justru tidak bisa meninggalkan tempat itu.

Aku sempat berpikir
kenapa gitar?

Mestinya ia bermain piano saja dengan sepenuh hati. Dengan begitu, aku bisa saja mendengarkannya bermain piano sambil berlagak naif pada diriku sendiri, Meski ia masih belia, tekniknya sungguh brilian. Kenapa ia harus masuk ke duniaku? Hampir semua lagu yang dimainkannya adalah komposisi piano, 'kan? Lelucon macam apa itu?!

Jangan meniruku kalau kamu tidak punya kemampuan.

Aku jadi teringat kembali kata-kata Mafuyu. Tidak sengaja pundakku terturun, dan kulepaskan tanganku dari pintu. Jika dibandingkan teknik tingkat tinggi Mafuyu, tidak seorang pun bisa punya kemampuan seperti itu yang bisa diterima oleh nalar, tidak peduli siapa pun orangnya. Terutama bagiku, karena aku sudah menyerah bermain gitar setelah tiga bulan memainkannya.

Mau bagaimana lagi. Itu adalah ruang kelas yang dulunya kupakai tanpa izin, soalnya tempat itu begitu menggoda untuk dijadikan tempat buat mendengarkan keras-keras CD favoritku tanpa perlu mengenakan full-size headphone. Yah, sebenarnya cuma itu saja, sih. Aku tidak akan merasa benar-benar kesusahan meski tanpa ruang tersebut.

Tepat saat aku berbalik dan akan kembali ke gedung utama—

"Shounen, kamu sudah menyerah?"

Sebuah suara tiba-tiba terdengar dari belakangku.

Aku melompat kaget dan segera menoleh ke belakang. Yang terlihat di mataku adalah sosok seorang gadis berseragam, yang setengah berlutut di atas pintu — di atap bagian bawah ruang musik. Ia memperlihatkan sesimpul seringai besar dan menantang. Aku tidak bisa bergerak sedikit pun, dan hanya bisa terpaku melihatnya.

... si-siapa itu?

Ia memiliki paras yang cantik, dengan sepasang mata yang memberi tatapan tajam menakutkan. Ia terlihat seperti kucing betina yang kabur dari lingkungan terawat — layaknya yang ada di Mesir atau pada keluarga bangsawan lain — yang membesarkannya. Kulihat warna lencananya, dan memastikan kalau ia adalah murid kelas dua.

"Apa kmau mau kabur dengan wajah putus asa begitu, tepat setelah menerima pelajaran darinya? Kamu bisa jadi bulan-bulanan sungguhan kalau begini, kamu tahu?"

"Eng, yah ...," kakiku yang kaku akhirnya bisa bergerak — aku lalu mundur sedikit "... apa yang sedang kamu bicarakan?"

Gadis itu menggumamkan sebuah lagu. Itu adalah <Born to Lose> karya Ray Charles.

"Terlahir untuk kalah. Tidakkah kamu merasa kalau lagu ini diciptakan untukmu?"

"Kita semua memang terlahir untuk kalah. Bukannya dari dulu sudah begitu?" eh, tunggu, kenapa aku menjawabnya? Mestinya aku kabur saja. Kelihatannya ini tidak bagus. Sebaiknya aku jangan dekat-dekat dengan orang sepertinya.

Ia lalu tertawa dengan senangnya.

"Jadi, Shounen, sebenarnya kamu sudah cukup puas dengan jawabanmu, 'kan? Aku jadi sedikit lega. Kenapa tidak kamu keluarkan saja senjatamu? Padahal negerimu sedang diporak-porandakan musuh."

*Thud thud* Ia berbicara sambil mengetukkan tumitnya pada pintu ruang latihan. Kenapa sampai kubiarkan diriku dikritik begitu olehnya? Lagipula, dirinya itu siapa?

"Mestinya tadi Mafuyu memainkan <Etude Op. 10, No. 12> gubahan Chopin — <Etude Revolusioner> — untukmu."



Ia mengatakannya dengan telunjuk teracung. Aku mengangguk sambil bergumam, "Hmm ...," hingga aku pun mendadak teringat sesuatu—

Padahal tadi aku mengenakan full-size headphone, 'kan? Bagaimana ia bisa tahu?

Senyum kejamnya itu bahkan bisa membuat seekor gajah pingsan.

"Aku bisa mendengar semua lagu revolusi yang ada di dunia ini."

Dengan lincah ia melompat turun dari atap, dan rambut panjangnya yang dikepang ke belakang mengambang di udara bagaikan bulu ekor hewan keramat. Tanpa bersuara ia mendarat di antara diriku dan pintu, lalu segera berdiri menegakkan badannya.

"Aku ingin menjadikan Mafuyu rekanku. Karenanya, Shounen, aku butuh bantuanmu. Kumohon, bantulah aku."

Tidak, hentikan. Aku sungguh tidak tahu apa yang sedang ia bicarakan—

"Namaku Kagurazaka Kyouko."

Kagurazaka. Nama itu pernah kudengar di suatu tempat sebelumnya. Aku pun mulai menelusuri ingatanku.

Oh, iya, Chiaki pernah menyebut nama itu padaku sebelumnya.

Kagurazaka-senpai lalu mengulurkan tangannya padaku.

"Klub Riset Musik Rakyat mengajakmu bergabung menjadi anggota."


Read more ...»

Chuunibyou Jilid 1 Bab 1

On Selasa, 04 Maret 2014 0 komentar

-Bab 1 - Rikka Takanashi.-


Daftar Isi

Read more ...»

Chuunibyou Bab 1 Bagian 1 (Beserta Prolog)

On 0 komentar

==========================================================
Mungkin banyak yang bertanya, apa proyek Oregairu-nya dilanjutkan lagi...? Dan ane sudah menjawabnya lewat balasan di beberapa komentar...
Untuk lebih jelasnya ane jawab, ya lanjut, lah...!
Tapi masih menunggu kemungkinan hingga bulan depan, sampai ane dah dapat sumber skripnya lagi, dan ane pun sudah dapat infonya dari sumber yang terpercaya...
Sembari menunggu, ane hadirkan karya lain yang tak kalah bagusnya...
Tapi ini bukan proyek sampingan, loh... Ini proyek yang dikerjakan dengan serius juga...
Kali ini ane bekerja sama dengan penyunting handal, agan Victorrama...
Penceritaan pada LN Chuunibyou ini cukup berbeda jauh dengan yang ada di anime, tapi inti cerita yang ingin disampaikan bisa dibilang satu tujuan...
Oke, deh... Gak usah berlama-lama lagi...
Selamat menikmati...
==========================================================


Prolog - Tentang Betapa Kerennya Aku Dulu!!


Ini mungkin sedikit mendadak, tapi aku ingin membuat sebuah pengakuan. Aku, Yuuta Togashi, mengidap chuunibyou sewaktu aku masih SMP.

Chuunibyou, yang mana menjangkiti orang-orang di masa puber mereka, bukanlah sesuatu yang memengaruhi fisik ataupun mental pengidapnya. Namun, ini penyakit yang jauh lebih menyedihkan akibatnya. Ini adalah sesuatu yang membuat orang-orang merasa dapat melihat hal jahat di sekitar mereka, bahkan di muka umum sekalipun, dan aku tak mengartikannya sebagai sesuatu yang sederhana seperti anak yang sedang dalam fase memberontak saja. Ambil contoh, seseorang bisa menilai jati dirinya secara berlebihan, hingga ia merasa kalau dirinya istimewa dan memiliki kekuatan misterius. Aku pun dulu sempat berpikir demikian. Jadi sewaktu aku menjuluki diriku sendiri sebagai Dark Flame Master, teman maupun perempuan di sekitarku menyingkir dengan kalimat andalanku, "Enyahlah kau, dilahap api kegelapan!"

Meski masa-masa itu kini hanya tinggal kenangan, tapi kalau diingat lagi, rasanya seperti mau mati saja. Waktu SMP dulu, kalimat semacam itu bisa membuatku tampak sangat keren, namun ketika sudah SMA, hal semacam itu takkan berani lagi kuucapkan. Soalnya kalimat itu benar-benar payah dan memalukan.

Hal lain yang dulu kulakukan saat SMP adalah membalut tanganku dengan perban guna menyegel kekuatanku selama jam pelajaran berlangsung. Ketika kujelaskan tentang alasanku melakukannya, atau tentang Zero Organization (organisasi yang melatih orang-orang yang berpotensi memiliki kemampuan khusus), dan hal-hal lainnya yang kukarang, mereka hanya akan menertawakanku seolah aku ini orang bodoh.

Tentu saja dulu aku begitu menghayatinya. Aku sering bergumam, "Orang-orang berengsek macam mereka tak tahu apa-apa tentangku... tak lama lagi mereka pun akan enyah dilahap api kegelapan." Seolah-olah aku ini seorang pahlawan yang bersembunyi dalam bayang-bayang selagi dunia berjalan seperti biasanya.

Siapa saja, tolong bunuh aku sekarang.

Atau haruskah aku bertanya, Adakah orang lain yang pernah menjalani hidup semacam itu? Adakah masa di mana seseorang terbangun dengan tujuan hidup yang baru, dan berpikir kalau ia memiliki kemampuan untuk melindungi dunia?


Dulunya kupikir aku bakal terlihat keren kalau kulontarkan kalimat andalanku sepercaya diri itu.

"Mantera Sihir Rahasia! Cahaya dari Kegelapan, bangkitlah dari Sang Residivis! Pergi dan sebarkan keputusasaan juga kesengsaraan bagi musuh kita! Itulah kekuatan keadilan!"

Kini aku jadi terpikir, menggunakan cahaya dari kegelapan? Keadilan yang berasal dari keputusasaan? Aku malah jadi tampak seperti anak yang ingin menantang berkelahi, 'kan? Dengan api kegelapanku, tentunya aku pun sudah siap untuk itu.

Oh, masih ada lagi. Dulu aku yakin kalau tanganku kananku ini menyimpan kekuatan sihir yang membuatku sampai menuliskan kata MUSNAH dan menggambar bintang di atasnya. Dengan latihan, aku sempat yakin kalau aku bisa melayang di udara. Dan kini, aku mampu melihat tanda-tanda virus chuunibyou yang ada di sekelilingku dulu.

Oleh karena itu, aku bertingkah layaknya orang konyol sewaktu kelas dua SMP dulu. Saat jam pelajaran berlangsung, tiba-tiba aku mulai berkata, "Kau... apa yang kaulakukan?! Kekuatanku menghilang?! Hentikan!" Atau ketika kelas kosong, aku bergumam di antara susunan meja, "Ini Ruang Tertutup..." dan sudah sewajarnya kalau nilai-nilaiku pun jadi anjlok.

Di musim panas sewaktu aku kelas tiga SMP, tepatnya menjelang ujian masuk SMA, kubuang jauh semua khayalanku itu dan mulai giat untuk belajar. Karena kurangnya waktu senggang, maka aku pun perlahan-lahan sembuh dari penyakit ini. Aku pun menjadi anak kalem serta murid yang penurut, dan meski diriku tak sekeren dulu, nilai-nilaiku mulai beranjak naik seiring kugunakan akal pikiranku ini.

Dan mungkin orang-orang akan bilang, Tentu saja kau berhasil lolos ujian masuk SMA, soalnya kau sudah tak menderita chuunibyou lagi. Sekarang ini aku sudah kelas satu SMA, dan di antara teman-temanku kini, tak ada yang bertingkah konyol layaknya pengidap chuunibyou. Hari-hari yang kulalui bersama teman-teman SMP-ku dulu sudah berakhir. Kini aku bersekolah di SMA favorit dan tak banyak yang bisa masuk ke sana.

Memang ada beberapa murid lulusan SMP-ku dulu yang bersekolah di SMA-ku sekarang, tapi aku tak begitu kenal dengan mereka. Karena waktu itu aku sedang parah-parahnya mengidap chuunibyou, mungkin saja mereka tak mengenalku. Bagi mereka, aku hanyalah sekadar murid yang pernah satu SMP dulu. Ada bagusnya juga, sih.

Begitulah. Yang berlalu biarlah berlalu. Sudah kuselamatkan diriku ini dari kekonyolan, dan yang terpenting; tak ada yang tahu tentang masa-masa kelamku yang dulu.

Akhirnya, di lingkungan yang baru, dengan teman-teman yang baru, dua bulan pun telah berlalu. Rasanya amat menyenangkan jika dilihat dari sudut pandang normal seperti ini.

Tanpa sadar aku tertawa selama upacara pembukaan tahun ajaran baru. Kepala sekolah kami maju ke atas panggung lalu menyanyikan himne sekolah sambil mengenakan seragam kami. Terlebih, aku sudah mendambakan saat-saat di mana aku bisa menikmati kehidupan sekolah yang biasa-biasa saja seperti ini. Ada begitu banyak klub yang bahkan aku tak tahu kalau mereka ada (Lagi pula, Klub Sepak Takraw itu klub yang seperti apa lagi?). Biar bagaimanapun, rasanya cukup menyenangkan bisa bersekolah di tempat yang punya tradisi memberi kebebasan bagi para muridnya.

Pada akhirnya, aku memilih tak ikut bergabung dalam klub supaya bisa fokus dalam pelajaran. Semuanya tampak berjalan sangat lancar semenjak aku punya banyak teman di kelas. Saat ini hal favoritku adalah kumpul-kumpul bareng mereka. Akhirnya aku bisa mendapatkan kembali hal-hal berharga setelah sembuh dari chuunibyou.

Aku tahu, sulit untuk percaya kalau diriku yang keren dulu, yang selalu sendirian, kini punya banyak teman. Soalnya sewaktu aku kumpul-kumpul bareng mereka, yang kupikirkan hanyalah bersenang-senang dan tak mau mengingat-ingat lagi sejarah kelamku yang dulu.

Sayangnya, kejadian buruk pun terjadi.

Yah, bisa dibilang ini sudah suratan. Aku memang pernah mengidap chuunibyou, tapi kini telah sembuh secara menakjubkan. Setidaknya itulah yang ada di benakku.

Itu memang chuunibyou. Tak diragukan lagi.

Lalu, diawali dari kejadian itu, aku pun telah terikat kontrak dengan Rikka Takanashi.

___________________________________________________________________________________________


Bab 1 - Rikka Takanashi

Bagian 1


"Baiklah, persaingan gadis termanis di kelas kita sudah dimulai!"

"Apa?"

Aku tidak mampu memikirkan cara lain untuk menanggapi ucapan anak yang berjalan di sampingku ini. Entah harus berkomentar apa ketika ada yang mengumumkan kontes segila itu? Yah, saat ini sudah di penghujung Bulan Mei, jadi tak ada hubungannya dengan ujian tengah semester yang telah kami lewati.

"Apa maksudmu dengan, Apa? Ini adalah persaingan sengit untuk menentukan siapa gadis termanis di kelas kita! Semua sudah jelas!"

"Kalau begitu, lain kali jelaskan dari awal! Lagi pula, bagaimana caramu mengumpulkan suara seluruh anak lelaki di kelas kita?"

"Ah, seharusnya aku sudah mengira kalau kau akan berkata begitu. Semua orang pasti mempersoalkan masalah mendasar mengenai pengumpulan suara, yaitu tanggapan. Tak perlu takut, sobatku. Semua anak di kelas kita sudah memberi jawaban mereka, dan kini tinggal kau saja yang belum, Togashi. Jadi, kepada siapa pilihanmu jatuh..."

"Kenapa aku mesti ikut-ikutan memilih?"

"Soalnya aku harus mengumpulkan suara dari semua anak lelaki populer di kelas kita. Nanti bakal jadi pertanyaan kalau hasilnya cuma dari pendapat pribadiku saja."

Untuk beberapa alasan, mendengar orang lain menyebut diriku populer, sungguh membuatku bahagia. Sayangnya, pujian itu segera berlalu. Anak itu kemudian lanjut berbicara.

"Semua anak sudah memberitahuku siapa yang mereka pikir gadis termanis di kelas, makanya, kau juga harus memberitahuku!"

"Eng..."

Saat aku mulai memikirkannya, spontan diriku mengerang. Terlintas di benakku sifat asli Makoto Isshiki. Seperti yang bisa ditebak, kelakuannya memang mencerminkan arti namanya: Berdedikasi pada semua orang. Anak itu punya sifat yang menarik.

Jika ditanya seperti apa dedikasi itu, yah, seperti atlet atau orang yang rambutnya dipotong cepak tepat sepanjang 5 mm, namun tipe seperti itu sudah cukup langka. Tapi dilihat dari rapinya ia berpakaian, kita bisa dengan mudah menangkap kesan tersebut. Aku tak tahu apa motivasinya, tapi ia bergabung menjadi anggota Komisi Disiplin di sekolah kami. Ia punya kebiasaan berkata, "Berhenti mengeluh! Kau mengganggu ketenteraman sekolah!" saat sedang memeriksa anak yang melanggar peraturan. Dan juga tongkat bambunya itu yang ia ayun-ayunkan. Aku tak ingin tahu apa yang dilakukannya jika ia sedang seorang diri.

Namun ada juga bagian dari dirinya yang menyukai perempuan. Yah, kata suka hanya sebagian kecilnya; sebenarnya ia adalah tipe maniak yang suka memburu perempuan. Itulah bagian inti dari dirinya. Maksudku, ia mendatangi semua anak di kelas kami cuma untuk bertanya soal anak perempuan di kelas kami sekaligus daya tarik mereka. Ia begitu menyukai perempuan, namun aku takkan bilang kalau dirinya itu salah. Ia hanya suka berbincang mengenai perempuan cantik; itu hal umum baginya. Di sisi lain, aku tak bisa untuk tidak merasakan kejanggalan saat ada orang yang begitu terobsesi mengenai tindakan tak senonoh di muka umum, yang menolak tidur saat jam pelajaran berlangsung, namun tetap membicarakan soal perempuan sepanjang waktu.

Dan begitulah, aku mengenalnya tepat saat penerimaan masuk SMA. Sejak itu, kami pun sering menghabiskan waktu bersama. Aku tidak bisa mengatakan kalau kami sudah melakukan hal-hal yang menarik, kami hanya berbincang-bincang di lorong dan makan siang bersama. Yah, kegiatan yang biasa dilakukan bareng teman SMA. Aku tidak menganggapnya sudah seperti sahabat karib, tapi aku masih bisa merasakan gelora persahabatan antar lelaki di antara kami.

Dan selagi kurenungi gelora persahabatan itu, kami pun berjalan pulang ke rumah di bawah naungan sinar mentari. Kejadian penting pertama yang dialami hampir setiap anak SMA, pertengahan semester pertama, telah kami lalui, dan aku merasa ingin menghibur dirinya sambil menjawab pertanyaan mudah seperti itu. Lagi pula, tak peduli apa pun tanggapanku, itu bukanlah masalah.

"Jadi bagaimana, Bos? Memang sih, di kelas kita ada banyak cewek cantik, tapi kau bisa memercayaiku, Bung. Ayolah, beritahu sobatmu ini siapa yang paling manis di antara mereka."

Tampaknya gelora persahabatan tersebut juga cukup berdampak pada dirinya. Tekanan dari keadaan ini pun mulai menyerang. Aku jadi tak ingin menanggapinya setelah ia berkata begitu.

"Eng, coba kulihat dulu... yang paling manis di kelas, ya? Kalau begitu, akan kuperiksa nanti pada saat jam pelajaran, biar bisa kutentukan siapa yang paling manis. Tidak mungkin aku bisa memberi jawaban kalau belum melihatnya dulu!"

"Kau memang sungguh seorang pria terpelajar! Kapan-kapan kau harus mengajarkanku beberapa hal, Bung."

Seolah–olah aku tak dapat melihat niat di balik jawaban gombal seperti itu. Tanggung jawab dari persahabatan antar lelaki ini memang menjengkelkan. Aku jadi merasa harus memberi suaraku setelah akting konyolnya barusan.

"Oh... tapi aku belum tahu nama lengkapnya..."

"Hmm... oke... tapi ia ada di kelas kita, 'kan?"

"Yah, benar, tapi aku tak yakin bagaimana menulis namanya."

"Aku paham, Bung. Ini ada enam nama gadis yang sudah kukenal dengan baik."

"Hah?! Kau memang seorang genius kalau menyangkut segala macam hal mengenai perempuan. Kali ini pengamatan macam apa lagi yang sudah kaulakukan!?"

"Oh... aku hanya memeriksa informasi para murid saat mencari data anak-anak yang sering melanggar peraturan sekolah."

Anak ini benar-benar layak mendapat gelar maniak.

"Hehe, ini semua info yang sudah kukumpulkan!" Bersamaan dengan itu, ia lalu merogoh tasnya dan mengambil buku catatan misterius. Kita bisa langsung menduga kalau itu miliknya setelah melihat isi di dalamnya.

"Kita lihat dulu. Kalau yang kaumaksud itu Azami, Kannagi, Takanashi, Nabatame, Nibutani, atau Hirakata, aku tahu aksara kanji mereka."



"Luar biasa. Aku serasa mendapat kilasan tentang betapa tak normalnya hobimu ini. Lalu, bagaimana jika salah satu dari gadis-gadis itu ternyata nama depannya berbeda dengan aksara kanji yang kauketahui itu?"

"Hmm, begini, nama depan Kannagi adalah Kazari, layaknya semilir angin yang menggemerincingkan lonceng. Dari yang kudengar, ia bisa jadi sedikit marah kalau kau memanggilnya lonceng angin."

"Perbendaharaan informasi pribadimu sungguh luar biasa..."

Aku bisa dengan mudah membayangkan dirinya yang menjadi penyelidik swasta di masa depan.

"Ah. Hehe, apa kau juga mau tahu tentang apa yang disukai Kannagi dan alamat e-mail-nya? Kalau kau mau, sekarang juga bisa kucarikan lebih banyak infonya."

"...biar kulihat dulu apa yang ada di catatan!"

Ia bahkan lebih maniak dari yang kubayangkan, namun ia juga cukup pandai kalau membuat lelucon. Sejujurnya, aku tak keberatan mendapatkan beberapa informasi mengenai gadis-gadis manis di kelas kami. Meski aku tak tahu apa kegunaan info tersebut dalam kehidupanku, tapi entah kenapa, aku yakin ada yang bisa kuambil dari hal itu.

"Kalau kau bersedia, akui saja siapa yang menurutmu gadis termanis. Aku tak keberatan, kok, berbagi cerita dengan sobat sendiri."

Kuarahkan pandanganku ke atas. Aku sudah punya firasat kalau ini bakal terjadi. Namun ada sesuatu yang masih mengganjal: Bagaimana caranya supaya aku yakin kalau ia takkan memberi tahu siapa-siapa soal gadis yang kupilih? Lebih baik kutanyakan dulu sebelum memberitahukan siapa pilihanku padanya.

"I-ini rahasia, ya? Janji kau tak membocorkannya pada siapa-siapa? Kalau kau melanggarnya, aku bakal menangis sejadi-jadinya nanti! I-ini hanya gadis yang kuanggap paling manis dalam sudut pandangku saja! Jadi, jangan terlalu dianggap serius!"

Ia hanya menganggukkan kepalanya sambil berkata, "Kau bisa memercayaiku, Bung."

"Menurutku sih, Takanashi. Anak yang duduk di depanku itu, lo. Yah... aku tak begitu yakin kalau itu Takanashi. Namaku Togashi, jadi anak yang duduk di depanku mungkin punya suku kata ta di awal namanya. Kurasa aku pernah melihatnya menulis aksara kecil dan burung, jadi kemungkinan itu masuk dalam kategori ta. Aku harus ada di dalam kelas dulu supaya bisa memeriksanya. Soalnya aku tak tahu kelanjutan namanya."

"Sip, nama Takanashi terpilih! Rikka Takanashi mendapat tambahan total satu suara! Aku juga harus memeriksa cara penulisan namanya, jadi aku bisa paham apa yang kaumaksud. Jika kau coba-coba mengubah-ubah penulisan kata burung kecil itu akan menghasilkan nama Takanashi. Dan kurasa nama itu bukan berasal dari burung yang berkeliaran di langit seperti rajawali atau yang lainnya. Kalau yang begitu itu, berarti dibacanya Takanai."

Maniak yang berdedikasi ini memang bisa diandalkan. Jika ada hal yang tak diketahuinya dari seorang gadis, ia akan menyelidikinya. Walau kami baru saja melewati ujian tengah semester, namun kurasa ini sudah waktunya untuk fokus belajar. Kalau nilai-nilaiku mengecewakan, aku pun harus ikut les tambahan.

Sewaktu ia berkata, "Jadi Takanashi, ya? Memang harus diakui, sih, kalau ia manis." Ekspresi wajahnya tampak seolah masih menyimpan sesuatu yang belum diutarakan.

Aku lalu bertanya, "Apa ada masalah?"

Jika dipikir lagi, aku sudah menyebut nama seseorang yang bahkan tak kuketahui cara penulisannya. Namun tampaknya seperti ada sesuatu yang sulit diceritakan sewaktu menyinggung gadis itu. Untuk seseorang yang menyukai perbincangan soal perempuan, ia jelas tampak seperti orang yang sudah kehabisan kata-kata.

Aku kurang begitu peduli soal perempuan sewaktu SMP dulu, jadi mungkin aku tak tahu seperti apa kriteria gadis yang diinginkan oleh orang lain. Bagaimanpun juga, aku bukanlah sesuatu yang dianggap penting kala itu. Aku cukup yakin kalau aku tak membuat kesalahan; gadis ini cocok dengan tipe yang kuinginkan. Jujur saja, aku merasa cukup beruntung sudah disuruh duduk di belakang gadis semanis itu.

Isshiki lalu menjawab dengan informasi yang ia punya tentang Takanashi. "Yah, aku memang tak pernah mendengarnya bicara, tapi ia punya wajah yang sangat manis."

"Oh, iya. Jika melihat wajahnya, kau akan teringat pada bayi yang baru terlahir ke dunia ini. Tunggu sebentar... kalau begitu, bukannya ia mirip wujud organik yang diciptakan untuk sarana komunikasi manusia? Yah, semacam humanoid interface, kau tahu?! Ia merupakan satu dari sekian gadis cantik yang wajah datarnya tak pernah menunjukkan reaksi kepada siapa pun. Lalu ada semacam perban yang ia kenakan menutupi matanya. Dari situ kita lalu lanjut ke tubuh mungilnya, yang membuatnya begitu imut saat mengenakan seragam. Tak berlebihan jika kubilang kalau dirinyalah yang menginspirasi gadis-gadis di kelas kita hingga mengenakan blazer! Lalu ia juga punya tubuh yang ramping, yang membuatku sampai terpesona melihatnya. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain mengagumi wajah kekanak-kanakan itu juga dadanya yang kecil. Yak, jika dinilai dari penampilan, sudah pasti ia ada di urutan atas di kelas kita."

Kurasa aku sudah mengerti cukup jelas tentang hal-hal menarik dari gadis itu, namun sepertinya anak lelaki di depanku ini tak memahami apa yang kumaksud. Aku sudah cukup tahu tentang penampilan gadis itu, tapi semua itu hanya tampak luarnya saja... itulah yang dari tadi dibahas, 'kan? Jika diperhatikan, Isshiki memang cukup banyak bicara jika mengenai paras gadis-gadis, namun kami belum membahas soal kepribadian gadis itu.

Jadi apa yang kausuka dari Takanashi... Kenapa pertanyaan semacam ini bisa membuat tertekan? Kuputuskan untuk langsung ke pokok permasalahannya saja.

"Ternyata seperti itu penampilannya. Apa ia punya kepribadian yang buruk?"

"Kau memang pendengar yang baik, Bung. Baiklah, akan kuceritakan apa yang kutahu, tapi ini hanya sekadar rumor, kau paham? Berhati-hatilah, ada kemungkinan ini bakal menghancurkan anggapanmu tentangnya selama ini."

Yah, tampaknya ini bukan rumor yang baik jika ia sampai bertele-tele seperti ini. Tapi yah, itu hanya sekadar rumor. Bisa jadi itu hal sepele yang disebarkan oleh gadis lain yang iri terhadap wajah manisnya. Semua orang sudah mengenal seperti apa watak gadis yang tak punya kecantikan dari dalam seperti itu. Ya, pastinya begitu. Selama dua bulan terakhir ini, yang kulihat, Takanashi biasa menyendiri. Ia jadi sasaran empuk bagi gadis lain yang ingin mengerjainya. Mungkin ia satu dari sekian banyak orang yang ditakdirkan untuk berteman dengan mereka yang penyendiri. Astaga, tipe itu benar-benar pas denganku.

"Aku cuma mau memastikan kalau kau tahu mengenai keadaannya. Berjanjilah padaku."

"Siap. Terima kasih pemberitahuannya. Itu hanya sekadar rumor, Pak. Bukan cerita yang menarik, Pak."

"Baiklah."

"Jadi begini..."

Dan sewaktu ia akan bicara, wajahnya mulai memelas seakan sedang menceritakan kisah hantu.

"Takanashi... Rikka Takanashi mulai berangsur berubah sewaktu ia masih duduk di kelas dua SMP... hingga saat itu, ia dulunya adalah gadis ceria yang selalu bersenang-senang dengan teman-temannya. Bisa dibilang, ia dulunya bagai maskot di kalangannya... namun sesuatu berubah. Rasanya ia seperti orang yang kerasukan. Ia mulai bicara yang aneh-aneh dengan suara keras... lalu..."

"Kok jadi cerita rakyat Jepang?!" Aku memang keliru. Ternyata itu bukan kisah hantu.

"Yah, aku punya firasat kalau ia mendadak terpisah dari teman-temannya seolah ia tersadar kalau mereka adalah orang-orang jahat. Ia mulai memberontak dan seperti lepas kendali. Muncul perbincangan yang menanyakan apakah ia menderita kepribadian ganda. Seburuk itulah keadaannya."

Aku serasa pernah mendengar hal semacam ini sebelumnya. Ah, pasti itu cuma khayalanku saja.

"Hmm, jika benar begitu, jelas semua orang yang mengenalnya bakal kaget, dong. Tapi, yah, itu sekadar pemikiranku kalau dilihat dari sudut pandang orang normal."

"Kau... kau masih berpikir dalam sudut pandang orang normal...? Ketika seorang gadis mendadak mengubah kepribadiannya seperti itu... bukankah itu bisa dianggap chuunibyou?! Bagiku, tak ada yang lebih menarik selain gadis cantik berkulit putih langsat yang senantiasa bersikap wajar!"

Aku telah melupakan kata itu sejak dua bulan yang lalu, jadi sewaktu mendengar ada yang mengucapkan chuunibyou, itu membuatku jadi syok. Di saat kami sedang membahas informasi yang telah dikumpulkannya, kata itu tak pernah sekalipun terlintas dalam pikiranku.

"...chuunibyou? Bukannya tadi kaubilang kalau itu sekadar rumor? Kau takkan langsung memercayainya, 'kan? Di samping itu, bukankah kontesnya dinilai dari penampilan?"

"Kau tak menyangka gadis semanis dirinya ternyata mengidap chuunibyou, 'kan?"


Rasa syok itu akan tetap menghinggapiku setidaknya dalam seminggu. Bukannya memberi jawaban, diriku malah mulai berkeringat. Ini bukan semacam keringat yang disebabkan karena udara lembab di Bulan Juni, tepatnya, ini keringat berminyak. Chuunibyou? Bukankah mestinya itu jadi hal buruk bagi orang-orang? Meski aku punya pengalaman pribadi terhadap penyakit ini, aku tak bisa mengatakan kalau itu sesuatu yang buruk. Itu bukan seperti orang yang telah terjangkit trilyunan campak. Beri mereka waktu dan mereka akan terlepas dari hal itu. Contohnya, lihat saja aku.

Tapi harus seperti apa aku menanggapinya? Andai itu adalah diriku yang dulu, kira-kira seperti apa tanggapanku? Bukankah kita menjadi dewasa seiring bertambahnya umur kita? Kini aku adalah pribadi yang berbeda. Haruskah aku langsung mengutuknya? Kurasa memang harus seperti itu.

Aku tak tahu kalau Takanashi ternyata anak yang mengidap hal semacam itu, sama tak menyangkanya aku yang kini bakal berurusan lagi dengan masalah chuunibyou. Sialnya aku!

Atau beruntungkah aku? Lagi pula, ia gadis yang manis.

"Eng, memang ada yang membuatku penasaran soal Takanashi, tapi menurut rumor, apa pernah ada yang bilang tentang dirinya yang menggunakan sihir atau menjelma menjadi seekor kucing hitam...?"

"Aku tak sampai menanyakan itu. Memangnya itu informasi baru?! Begitu, ya? Jika demikian, itu adalah betul chuunibyou! Hmm, orang-orang yang mengidapnya tak serta-merta bisa menggunakan sihir maupun menjelma menjadi sesuatu, melainkan mereka berpura-pura memiliki sihir dan kekuatan super semacamnya."

"Yah, itu cuma sesuatu yang sempat membuatku penasaran saja. Tapi jika itu benar, bukankah pesona gadis itu menjadi berlipat?!"

"..."

Cih. Setidaknya jawablah dengan gurauan atau semacamnya. Secara pribadi, aku merasa kalau hal itu memang membuat pesonanya jadi berlipat.

"Itu cuma lelucon, 'kan? Tapi tetap diingat, kalau yang kukatakan tadi masih sekadar rumor. Kita belum tahu banyak tentangnya. Kenapa kita tidak bisa tahu lebih banyak lagi tentang kepribadiannya? Sebaiknya kita ingat hal itu."

"Omong-omong, siapa pula yang punya informasi semacam itu?"

"Untuk semua yang berhubungan dengan para gadis, aku bisa dengan mudah menanyakannya pada anak-anak di kelas kita, ataupun pada kakak kelas yang ada di Komisi Disiplin! Selalu ada kabar yang beredar di sekitar mereka. Tapi jika ada yang tak kami ketahui tentang seseorang, atau kami ingin tahu lebih banyak, maka kami tinggal mengorek informasinya sewaktu ia melanggar peraturan sekolah. Orang-orang seperti itu sudah mengganggu ketenteraman sekolah, dan kami menandainya. Ini yang namanya sambil menyelam minum air."

Itu namanya penyalahgunaan kekuasaan! Tapi aku yakin kalau semua anak lelaki akan memfokuskan perhatian mereka demi mencari tahu lebih banyak soal gadis yang tak banyak kami ketahui ini. Itu sesuatu yang umum di kalangan para lelaki.

"Dengan ini, maka pilihan Togashi jatuh pada Takanashi. Hehe, berarti kini tinggal giliranku untuk memilih, dan setelah itu, kontes popularitas di kelas kita pun berakhir!"

Jelaskan padaku. Benarkah ia mendatangi semua lelaki di kelas kami dan mengumpulkan suara mereka? Itu bakat yang luar biasa. Aku hampir merasa seolah harus menyaksikan sendiri dan mendokumentasikannya. Untunglah dorongan itu lenyap dalam hitungan detik.

"Kebetulan, jadi siapa pilihanmu? Tak adil kalau kau tahu pilihanku tapi tak memberi tahu pilihanmu."

"Hmm. Aku suka semua gadis di kelas kita! Manisnya mereka jauh di atas rata-rata, ya 'kan? Yah, relatif bagi kelas lain di sekolah ini. Namun di kelas lain juga punya beberapa gadis manis. Tampaknya rata-rata gadis manis di kelas kita ini ada di atas normal. Yang ada di kelas dua dan di kelas tiga sebenarnya juga memesona. Khususnya yang di Klub Tari. Satu-satunya yang bisa menggambarkan seperti apa tarian mereka yaitu kenikmatan sejati!"

Kesukaannya sudah melampaui batas.

...tunggu! Ia tak menjawab pertanyaanku! Ayo katakan! "Ternyata... kau tak memberitahu siapa gadis yang kauanggap paling manis."

"Masa, sih? Yah, aku sungguh berpikir kalau mereka semua memang manis. Hmm, Megata memang tampak kurang populer di kalangan anak lelaki, tapi aku menyukainya. Entah apa penyebabnya hingga ia tak begitu populer, tapi aku memilih dirinya... atau barangkali Nibutani."

"Eh, maksudmu ketua kelas?"

Kalau kuingat lagi, bukankah para anak lelaki menjulukinya sang penguasa kelas? Sedang bagiku, aku tak punya hubungan apa-apa dengannya. Eh, tunggu; aku memang tak punya hubungan apa-apa dengan satu gadis pun di kelas kami. Terkecuali saat aku menyerahkan lembaran fotokopi kepada Tokise, aku tak pernah berbicara dengan gadis mana pun.

"Yak, ketua kelas kita, Nibutani! Ia benar-benar pas dengan penggambaran kata manis. Ia punya poin penting yang kusuka, yaitu perilaku, dan wajahnya juga manis. Tubuhnya tinggi nan semampai; cocok sekali menjadi seorang model. Di samping itu, aku merasa ia akan bisa bicara dengan siapa saja tak peduli seperti apa orangnya. Bisa dengan mudah berbicara kepada setiap orang adalah hal yang wajib dilakukan oleh seorang ketua kelas, ya 'kan? Ia punya sikap yang dibutuhkan untuk menjadi pemimpin sejati; itu sebabnya aku merasa kalau ia begitu mengagumkan. Aku juga merasa kalau ada sedikit sisi sadis dalam dirinya. Kurasa aku pun mampu bertahan pada sisi lain kepribadiannya itu! Jelas, hal semacam itu takkan pernah kukatakan kepadanya!"

Itu adalah perubahan sikap drastis dari anak pemalu yang sempat kusebut tadi. Biar begitu, jika aku harus membantahnya, aku bakal berkomentar kalau aku hanya pernah melihatnya bersama teman-teman gadisnya yang manis. Kurasa kali ini aku harus menahannya dulu.

"Hmm, aku jadi mengerti kenapa ia bisa punya hubungan baik dengan semua anak lelaki. Kurasa itu sebabnya ia jadi populer."

"Oh, sang ketua kelas, eh, sang penguasa kelas memang luar biasa. Aku jadi ingin memberikan suaraku padanya, tapi aku harus bersabar sedikit. Sekali aku memberi suara, maka kontes ini berakhir. Akan kulihat dulu pendapat dari semuanya dan menghitung siapa yang mendapat suara terbanyak. Luar biasa! Kontes ini memang luar biasa! Kita harus segera adakan lagi kontes yang kedua! Saat kontes ini sudah selesai, rencananya aku nanti akan membagi lembaran pengumuman hasil kontesnya."

Dan sewaktu berkata begitu, ia pun menepuk bahuku.

"Baiklah, sampai jumpa di pusat permainan yang biasanya, ya!"

Kupalingkan kepalaku selagi hendak berlari. Tanpa kusadari, aku sudah ada di persimpangan jalan menuju rumahku. Saat aku menoleh dan melihat dirinya pergi, kakiku sudah mulai melangkah menuju rumah.

"Eh? Di kelas kami ada tiga belas anak lelaki dan empat belas anak perempuan, bagaimana cara ia membuat pemeringkatannya, ya?"

Pertanyaan itu baru saja terlintas di pikiranku.



Read more ...»