SPS Jilid 1 Bab 7

On Senin, 28 Desember 2015 0 komentar

==========================================================
Puas tidur ane liburan kemarin... Hkhkhk...
Walau cuma menyunting, tapi garap satu bab rasanya berat juga ya... Sebenarnya sih, bisa kelar dari kemarin-kemarin, tapi liburan sayang kalau gak dimanfaatkan...
Kembali dengan romansa keseharian anak sekolah dengan suasana musikal ini...
Sekali lagi, terjemahan ini memang kerasa weaboo-nya, tapi agan sekalian pada tahu kan artinya Hime-sama (姫様)... Dan sekali lagi, ini memang bacaan yang seru... Habis ini lanjut satu bab Oregairu, kalau skrip Sakurasou-nya belum dikasih sama penerjemahnya... Oke, deh...
Selamat menikmati....
==========================================================


Bab 7 - Handuk, Pembasmi serangga, Plester


Dibandingkan gitar listrik, kelebihan yang terlihat jelas dari bas listrik adalah suaranya baru bisa didengar jika sudah dihubungkan ke sumber listrik.

Aku membeli bas tersebut atas bujukan Kagurazaka-senpai dan membawanya ke kelas keesokan harinya. Dengan segera aku dikelilingi teman-teman sekelasku. "Ayolah. Mainkan apa saja," meski semuanya memintaku untuk bermain, aku tetap berdalih, "Tapi ini bas, jadi suaranya tidak akan terdengar!" kemudian kabur. Bakal beda ceritanya kalau yang kubawa adalah gitar, jadi baguslah aku membeli bas — dengan pemikiran itu, aku juga bisa sedikit menghibur diriku yang sudah dipermainkan senpai.

"Tapi kenapa bas?"

Seorang anak lelaki menanyakan hal yang tidak pernah kupikirkan sebelumnya.

"Ah, aku juga jadi kepikiran. Lagi pula, kamu tidak begitu memerlukannya, 'kan?"

"Hei, Kritikus, lebih baik kamu menjelaskannya dengan istilah yang gampang."

"Jangan memanggilku kritikus!" kurebut bas itu dari tangan teman sekelasku, lalu memasukkannya kembali ke pembungkusnya. Sebenarnya, menjelaskan pada mereka tidak akan efektif jika hanya lewat kata-kata saja, tapi untuk menjaga reputasi semua pemain bas di dunia, maka aku harus memberikan mereka gambaran.

"Kalian, duduk di sana."

"Baik, Nao-sensei."

"Tolong jangan pakai istilah musik sewaktu menjelaskan."

Cih, mereka benar-benar mengantisipasi pidatoku. Beberapa anak lelaki duduk bersimpuh di sekitar kursiku, karenanya, di saat begini aku tidak boleh sampai salah bicara. Bagaimana ini? Kujilati bibirku sambil memikirkan cara untuk memulai penjelasanku.

"... baiklah, mari kita mulai dengan mengingat wajah goinkyo."

"Lo, kok?"

"Jangan banyak tanya. Lakukan saja perintahku."

Beberapa anak lelaki memejamkan mata mereka, sementara sebagian lainnya menatap langit-langit. Karena beliau terlihat sama persis seperti Mito Koumon, jadi sangat mudah untuk mengingat wajah guru kami itu.

"Baiklah selanjutnya, coba pisahkan janggut dari wajahnya. Sudah?"

"... baik, sudah."

"Ah, kelihatan seperti Enari Kazuki saat masih muda."

"Enari memang masih muda."

"Oke, oke. Selanjutnya, bayangkan goinkyo tanpa rambut.”

"Nao-sensei, ini maksudnya apa, ya? Semacam tes psikologi begitu, ya?"

"Kalian akan tahu nanti. Bagaimana? Kalian bisa membayangkannya?"

"Bisa sih, tapi bukankah rambut goinkyo cukup lebat?"

"Dibandingkan jenggot, masih lebih mudah menghilangkan rambutnya."

"Dan ini langkah terakhir. Hilangkan garis wajahnya, lalu bayangkan seperti apa rupa beliau sekarang."

Wajah semua anak seperti hendak berkata, "Eh?"

"Apa maksudmu?"

"Aku tidak paham!"

"Garis wajah itu maksudnya apa? Telinga dan semacamnya, begitu?"

"Bukan, bukan itu. Yang kumaksud adalah buang bentuk wajahnya. Bayangkan seperti mata, hidung, dan mulutnya muncul dari permukaan datar. Ya, seperti itu."

Satu persatu teman-teman sekelasku bergumam, "Hmm .... Hmm ...." beberapa dari mereka menekan jari-jarinya ke dahi mereka, sementara yang lain menjambak rambut mereka sendiri.

"... tidak bisa, itu tidak mungkin bisa. Hal yang sia-sia kalau membuang garis wajahnya!"

"Sekeras apa pun aku mencoba, lingkar wajahnya selalu muncul di pikiranku."

"Coba lebih keras! Kalian selalu mengatakan dengan bangga, Dalam pikiranku, aku bisa membuang pakaian renang yang dikenakan oleh para model vulgar yang cantik-cantik itu, siapa pun mereka! ya, 'kan?"

Eng ..., padahal mereka tidak perlu berusaha sekeras itu.

Mereka berjuang keras selama sekitar dua menit sebelum akhirnya menyerah. Karena itu aku langsung memberi kesimpulan.

"Sekarang, gunakan analogi tadi pada istilah musik, maka bas terlihat seperti garis wajah buatku. Kalian paham?"

Orang-orang yang menontonku masih terlihat sangat bingung.

"Itu seperti kalian membayangkan lagu-lagu dimainkan tanpa gitar ataupun alat musik lainnya, tapi tidak bisa membayangkannya tanpa bas. Dan karenanya, aku tidak bisa menjelaskan dengan baik kenapa bas begitu penting buatku."

"Jadi begitu ...."

"Aneh. Rasanya aku bisa mengerti apa yang ingin kamu sampaikan, tapi di saat bersamaan, aku juga masih belum paham."

Mereka ini mengerti atau tidak, sih? Akan tetapi, aku lebih khawatir kalau mereka mengerti, karena yang kukatakan tadi cuma omong kosong.

"Tapi Nao-sensei benar-benar mengesankan. Kamu punya potensi untuk meneruskan seni dari ayahmu."

"Mana mungkin aku mewarisinya!" kenapa aku harus membiarkan diriku dikatai seperti itu oleh teman sekelasku?

Setelahnya, bel persiapan kelas berbunyi. Pada saat yang bersamaan, pintu belakang kelas — pintu yang dekat dengan bagian kanan belakang dari mejaku – terbuka.

Mafuyu berdiri di dekat pintu. Pandangan pertamanya mendarat ke mejaku yang dikerumuni beberapa anak, lalu berpindah ke sarung gitar di tanganku. Wajahnya tiba-tiba berubah.

"... minggir."

Sebuah kata yang lembut dan dingin dari Mafuyu cukup untuk membuat para anak lelaki, yang mendengarkan omong kosongku tadi, menyingkir dari jalan .... Oi, oi, jangan ke mejaku, cepat kembali ke kursi masing-masing!

"Nao-sensei ...," salah satu anak mendekatkan wajahnya ke sampingku, lalu berbisik, "Jadi ini? Jadi alasanmu mengambil bas itu karena Ebisawa-san?"

"Eh? A-apa?" suaraku menjadi sedikit aneh.

"Belakangan ini kamu sering ke lapangan, 'kan?"

"Begitu, jadi dia bisa lebih dekat dengan perempuan itu karena basnya ini? Pintar sekali, Sensei!"

Para anak lelaki tersebut melirik ke arah Mafuyu. Jangan bergosip kalau orangnya masih ada di sekitar!

Karena sikap sinisnya itu, semenjak hari kedua kepindahannya kemari, hampir semua perempuan di kelas telah menjadi musuhnya. Biarpun begitu, tidak satu pun dari anak lelaki di kelas yang memedulikan hal tersebut, dan malah mengkhawatirkannya. Yang menunjukkan jalan saat kami pindah kelas, atau meminjaminya buku pelajaran saat ia lupa membawanya — semuanya dilakukan oleh para anak lelaki.

Para anak lelaki yang selalu berkumpul di sekitar mejaku ini mungkin melalukan hal tersebut untuk alasan yang sama. Mereka benar-benar bodoh.

"Oh, iya, Ebisawa-san ...."

Salah satu anak pemberani berbalik dan berkata pada Mafuyu. Mafuyu mengalihkan pandangannya dari buku pelajarannya ke wajah anak itu, dan dengan pelan berkata, "Tolong jangan memanggilku dengan nama margaku."

"Kalau begitu— Mafuyu ...."

"Jangan memanggilku dengan nama depan juga. Menjijikkan."

"Mafuyu menganggapku menjijikkan .... Satu-satunya alasanku untuk hidup telah sirna."

"Jangan khawatir, wajahmu tidak semenjijikkan yang kamu pikir."

"Benar, wajahku. Tunggu, apa maksudmu?"

Pindahlah ke tempat lain kalau ingin melakukan komedi spontan. Bicara soal itu, ia memang pernah mengatakannya saat hari pertamanya di sini, tapi apa sebegitunya ia membenci nama marganya sendiri? Aku selalu berpikir kalau ia cuma berbohong karena keadaannya saat itu. Tapi kenapa? Apa di masa lalu ada seseorang yang mengejeknya dan memberinya nama panggilan Ebimayo?

"Jadi Ebisawa-san bermain band juga? Apa guru pianomu akan marah jika tahu kalau kamu bermain gitar?"

Sewaktu anak itu berbicara padanya dengan semangat menggebu, sisi wajah Mafuyu membeku.

"Lalu, kamu hebat juga dalam membagi waktu, karena bisa berlatih dua alat musik berbeda di saat bersamaan."

"Kurasa ia berlatih dua alat musik sekaligus. Karena komposisi yang dimainkannya sama."

"Yang benar?!"

Mafuyu mengalihkan pandangannya kembali ke buku pelajarannya. Meski begitu, kusadari kalau pandangannya sedikit kosong.

"Bagaimana ... kalian bisa tahu?" saat ia berbicara dengan kepala menunduk, para anak lelaki perlahan menjadi tenang.

"Eng .... Yah ...."

"Kamu selalu berlatih di lapangan sepulang sekolah, 'kan? Kami bisa mendengarmu sepenuhnya."

"Ah, itu terkenal sekali, lo! Semua anak tahu soal itu."

Mafuyu tiba-tiba berdiri. Bibirnya gemetaran, dan wajahnya berubah hijau.

"Selama ini ... bisa terdengar?"

Oh, sial. Ia tidak tahu? Sambil merengut mengantisipasi apa yang mungkin akan terjadi, dengan pelan aku menyela.

"Yah ..., aku memang tidak mengatakannya, tapi kemampuan kedap suara ruang kelas itu tidak sempurna. Suara bisa keluar lewat celah-celah pintu.”

Wajah Mafuyu menjadi pucat pasi dalam sekejap, kemudian menjadi merah. Bibirnya gemetaran tanpa henti.

Kurebahkan sambil kulindungi kepalaku di atas meja, mengantisipasi pukulan yang akan datang darinya, tapi yang kudapat hanya suara langkah kaki berlari menjauh diikuti suara pintu tertutup.

Sebuah kesunyian yang tidak nyaman menyelimuti seluruh kelas I-3.

Kuangkat kepalaku. Semuanya pura-pura tidak mengerti, namun tatapan mereka berkata kalau akulah yang bertanggung jawab terhadap hal ini.

"... Nao, apa yang kamu tunggu? Cepat kejar!"

Anak yang kehilangan alasan hidup karena Mafuyu menganggap dirinya menjijikkan tadi, mengatakan hal itu dengan dingin padaku.

"Kenapa aku?"

"Karena kamu yang bertugas menghadapi Ebisawa-san!" sang ketua kelas, Terada-san, tanpa alasan jelas, mengatakan itu padaku. Dan para anak perempuan di sekitarnya bersamaan mengangguk sambil berucap, "Mhmm!"

Tunggu, aku yang bertugas? Apa maksudnya itu?

"Ayo lekas, kalau tidak, pelajaran akan dimulai! Cepat!"

Aku tidak mengerti apa yang mereka rencanakan, tapi ada sesuatu di dunia ini yang dikenal dengan suasana keadaan, sesuatu yang sulit untuk ditahan. Terdorong oleh hal itu, aku beranjak dari kursiku.

Saat keluar dari ruang kelas, aku hampir bertabrakan dengan Chiaki yang berlari ke arahku sambil terengah-engah.

"Kamu ini sedang apa? Barusan aku melihat Ebisawa-san ....”

"Ia pergi ke mana?"

"Eh? Ah, eng ..., baru saja ia menuruni anak tangga tadi— Nao? Tunggu! Nao, kamu mau ke mana?"

Bel persiapan kelas berbunyi hampir bersamaan dengan saat kugeser Chiaki ke samping agar bisa berlari menjauh dari ruang kelas.


Mafuyu mengunci diri di ruang kelas dekat lapangan. Meski pintunya tertutup rapat dan tidak terdengar suara dari dalam, aku langsung mengetahuinya saat aku memasuki lapangan, saat melihat gembok yang tergantung di pintu terbuka.

Aku bediri di depan ruang musik lama, dan mulai menyusun pemikiranku. Sedang apa aku ini? Aku mengikuti kemauan teman-teman sekelasku dan keluar mencari Mafuyu, tapi aku harus apa? Apa aku harus meminta maaf padanya? Lantas, salahku itu apa?

Harusnya aku kembali saja ke ruang kelas dan berkata pada teman-teman di sana, "Aku tidak tahu ia pergi ke mana?" kemudian membiarkannya. Akan tetapi, kakiku ini tidak mau bergerak.

Segera setelahnya, bel persiapan kelas yang kedua berbunyi, aku pasti sudah telat untuk masuk kelas sekarang. Lupakan, sebaiknya aku sekalian saja bolos di jam pertama! Seharusnya bukan masalah besar sesekali melewatkan satu atau dua pelajaran. Terlebih lagi, ada yang ingin kukatakan pada Mafuyu. Aku meraih gagang pintu, dan menekannya ke bawah secara diagonal dengan sedikit paksa.

Mafuyu sudah menumpuk tiga alas duduk di atas meja, dan ia duduk di atasnya sambil tangannya merangkul lutut. Saat aku memasuki ruang kelas itu, yang ia lakukan hanya mengangkat wajahnya dari lutut.

"Sungguh disayangkan jika kamu mempergunakannya seperti itu. Aku membawa ketiga alas itu ke sini agar bisa kutaruh berjejer di atas meja, lalu kugunakan sebagai alas tidur. Aku tidak bercanda, jadi jangan ditumpuk begitu."

Mafuyu tidak begitu banyak mengubah posisinya, namun ia mengangkat tubuhnya sedikit untuk mengambil dua alas dengan tangan kirinya, sebelum melemparkannya ke wajahku. Aku melempar satu kembali ke tempatnya semula, dan meletakkan yang satunya di lantai agar aku bisa duduk di atasnya.

"Untuk apa kamu ke sini?" tanya Mafuyu dengan suara serak.

"Aku ke sini karena ingin membolos, tapi aku tidak menyangka ada orang lain lagi di sini. Wah, kebetulan sekali — meski aku jadi sedikit terganggu."

"Pembohong."

Tahu dari mana kalau aku berbohong? Tunjukkan buktinya! Ayo tunjukkan! Tapi benar juga, sih — aku memang berbohong.

"Kenapa ... kamu tidak memberitahuku?" tanya Mafuyu berbisik sembari memandang ke bawah. Aku menoleh ke belakang untuk melihat celah di pintu, yang menyebabkan kedap suara ruang itu tidak sempurna.

"Yah, kamu tidak pernah bertanya, sih!"

Lagi-lagi aku dilempar alas. Kenapa ia sampai marah begitu?

"Bukanlah hal buruk meski suaranya terdengar keluar. Toh, kamu juga tidak sedang melakukan hal yang memalukan."

"Bukan begitu."

Mafuyu merangkul erat kedua kakinya hingga menempel dada dan meringkuk di pojok meja. Aku tidak bisa berkomunikasi dengannya. Apa yang harus kulakukan?

"Kamu sudah pernah merilis CD permainan pianomu, tapi kamu tidak mengizinkan orang lain mendengarkanmu bermain gitar? Bukankah itu aneh?"

"Kamu tahu apa?"

Mafuyu melontarkan sebuah pertanyaan yang terujar pelan di antara kami.

Tiba-tiba sebuah gelombang amarah naik di dalam diriku.

"Ya, mana kutahu!"

Aku mengalihkan pandanganku dari Mafuyu. Kalau tidak kulakukan, aku tidak tahu apa yang akan Mafuyu lakukan setelah ia menghabiskan cadangan alas yang ia gunakan untuk melempariku.

"Soalnya kamu tidak mau bilang apa-apa, 'kan? Katakan saja dengan jujur apa yang mengganggumu, karena aku tidak tahu cara membaca pikiran!”

Ini sama dengan saat kami pertama bertemu, dan terjadi lagi saat hari pertamanya pindah sekolah. Mafuyu tidak mengatakan apa pun, membuatku mengira-ngira apa aku harus ikut campur dan mengkhawatirkannya. Akan tetapi, yang kudapat hanyalah pandangan jijik, ataupun keluhnya soal diriku.

"—Kalau aku memberitahumu, apa kamu akan membantuku?"

Dengan takut-takut kuangkat kepalaku dan memandang Mafuyu. Matanya yang menangis itu tampak seperti aliran sungai yang bermuara ke laut — warnanya memudar dan muram.

"Kalau kukatakan padamu segala yang menggangguku, apa kamu akan melakukan sesuatu untukku? Kalau aku ingin kamu berenang ke Amerika, apa kamu akan berenang ke sana untukku? Kalau aku ingin kamu memotong tangan kananmu dan memberikannya padaku, apa kamu akan benar-benar memotongnya untukku? Kalau aku ingin kamu mati, apa kamu akan mati untukku?"

Aku tidak bisa berkata-kata. Yang kurasakan cuma hawa dingin di sekitarku. Perasaan itu seperti ketika mencoba mengintip ke dasar jurang yang sangat dalam di malam yang gelap tanpa bulan, dan melihat sesuatu yang seharusnya tidak terlihat dari permukaan air.

"Kalau kamu tidak bisa melakukannya, jangan bicara seenaknya."

"Eng .... Apa kamu benar-benar ingin agar aku melakukan semua itu untukmu?"

Mafuyu menggeleng. Sepertinya ia diam-diam sedikit menangis.

"Tidak."

"Kalau ... kamu tidak mengatakannya dengan jelas, bagaimana orang lain bisa tahu? Cukup katakan saja. Kamu tidak akan rugi apa-apa."

"Kalau begitu, kembalikan aku ke masa lalu, kembali ke saat aku mulai memainkan piano."

"Aku bukan Tuhan, jadi bagaimana aku bisa melakukannya?!"

Yang berarti, memang ada sesuatu yang mengganggunya. Kenapa ia begitu membenci piano?

Dan juga ....

"Bagaimana dengan yang ini — tolong berhenti mengikutiku. Kamu mengganggu pemandangan."

Aku tidak mengikutinya! Ini adalah satu hal yang harus kuperjelas padanya.

"Sudah kukatakan berkali-kali, sejak awal aku sudah menggunakan tempat ini. Orang yang seenaknya menerobos masuk ke tempat ini adalah kamu sendiri, 'kan? Jadi aku tidak mengikutimu."

Aku melirik ke pojok ruangan. Stratocaster polos miliknya diletakkan di sana.

Aku berdiri, membuka loker, dan mengeluarkan handuk yang selama ini sudah begitu sering digunakan.

"Lihat, ada celah di sisi pintu yang ini, 'kan? Kamu harus menutupnya dengan handuk ini. Hasilnya memang tidak sempurna, tapi kamu akan punya kedap suara yang lebih baik dengan cara ini. Dan juga ini ...."

Aku mengeluarkan sebuah sapu dan pengki dari loker, lalu menunjukkan barang-barang tersebut padanya.

"Bersihkan tempat ini dengan benar. Apa kamu tidak melihat betapa kotornya sekitaran tembok dan lantai itu? Aku bekerja cukup keras untuk membuatnya sebersih sekarang ini. Perlu kamu ingat, aku di sini untuk mendapatkan ruanganku kembali. Tidak mungkin aku membiarkan seorang gitaris muda sepertimu, yang bahkan belum pernah mendengarkan musik rock, terus bersikap arogan!"

Aku mengatakan kata-kata angkuh itu tanpa sadar, lalu menyesalinya segera setelahnya. Mafuyu menatapku dalam keadaan tercengang dengan mata yang masih diliputi air mata. Tidak lama setelahnya, ia menarik napas dalam-dalam, lalu berkata,

"... jadi itu alasanmu membawa bas ke sekolah?"

Beberapa saat lalu, ia benar-benar menangis seperti anak kecil. Lantas kenapa ia sekarang menunjukkan ekspresi menyebalkan? Memangnya aku tidak boleh membawa bas ke sini?

"Apa kamu pikir bisa menang hanya dengan beralih ke bas? Dasar bodoh!"

"Silakan bicara sesukamu. Permainanku yang sekarang memang masih belum bagus, tapi aku pasti bisa segera mengejarmu. Baiklah, kita selesaikan urusan kita untuk selamanya dengan ruangan ini sebagai hadiahnya!"



Sambil mengatakan hal itu, kuambil sapu tadi dan mengarahkan gagangnya ke Mafuyu. Aku mengatakannya! Mafuyu sepertinya sudah tidak bisa apa-apa lagi — ia cuma berdiri di sana dengan mata terbelalak. Kuanggap ia lebih terkejut karena kata-kataku ketimbang bingung akan tindakanku.

Setelah mengembalikan sapu dan pengki tadi ke loker, kuambil semprotan kaleng dan meletakkannya di meja. Setelah melihat semprotan kaleng tersebut, Mafuyu memiringkan kepalanya karena bingung.

"... pembasmi serangga?"

"Betul. Kadang kamu bisa bertemu kelabang di ruangan ini, meski belakangan ini kamu akan jarang bertemu kecoak."

Tidak lama setelah aku meninggalkan ruangan, bisa kudengar suara pintu terbuka keras di belakangku. Aku menoleh, dan melihat Mafuyu berlari keluar ruangan dengan wajah pusat pasi.

"... apa lagi?! Aku sudah pergi seperti yang kamu minta, jadi diami tempat itu dengan tenang. Lagi pula, kamu masih dianggap telat meski kembali ke kelas sekarang—"

"Ke-ke-kenapa kamu tidak mengatakannya sejak awal?"

Wajahnya, yang sudah hampir menangis, membuatnya benar-benar tampak seperti anak kecil.

"Kenapa? Kamu tidak pernah bertanya, sih!" jawabku sama seperti sebelumnya. "Selama ini kamu sudah menempatinya, 'kan? Jadi itu bukan masalah."

"Dasar bodoh!"

Lengan atasku dipukulnya berkali-kali. Gadis yang menyusahkan.


Akhirnya, kami kembali ke kelas setelah jam pertama berakhir. Karena Mafuyu memegang lenganku dengan ekspresi hampir menangis, aku cuma bisa mengaku kalah. Kuhabiskan waktu kurang lebih satu jam di ruang latihan untuk membunuh semua serangga yang bisa kutemukan, serta menutup dengan plester semua celah di mana serangga bisa masuk.

Kupikir itu tidak ada gunanya. Makhluk seperti kelabang dan semacamnya bisa dengan mudah masuk melewati lubang yang hanya selebar dua milimeter, 'kan?

"Ah, hime-sama sudah kembali."

"Jadi kalian benar-benar kembali bareng ...."

Aku merasa sedikit terintimidasi saat semuanya memandang ke arah kami sewaktu melangkah ke dalam ruangan. Eh, tunggu ..., hime-sama?

Ketua kelas, Terada-san berjalan mendekat, menempel ke meja, dan berkata,

"Setelah berdiskusi, kelas ini telah memutuskan kalau kami akan memanggilmu hime-sama mulai hari ini."

Awalnya wajah Mafuyu berubah putih pucat, tapi kemudian segera memerah. Aku selalu merasa meski ia tidak mau banyak bicara, siapa pun bisa dengan mudah mengetahui apa yang dipikirkannya lewat perubahan ekspresinya.

"... ke-kenapa?"

"Kamu tidak suka dipanggil dengan namamu ataupun nama margamu, 'kan? Sangat merepotkan bagi kami jika ingin berbicara denganmu."

"Ja-jadi itu alasannya ...."

Seorang anak perempuan di samping Ketua kelas dengan santai berkata, "Kalau kamu berlutut dan meminta maaf, kami tidak akan memanggilmu dengan nama memalukan itu."

"... tidak akan."

"Oh, baiklah. Kalau begitu, mohon kerja samanya mulai sekarang, Hime-sama."

"Besok giliran Anda piket, Hime-sama. Karena itu, Anda harus datang lebih awal. Jangan seperti biasanya di mana Anda selalu hampir telat."

Ah, ia lagi-lagi hampir menangis. Ada apa dengan murid-murid kelas ini — apa mereka menjahili pendatang baru? Tapi memang salah Mafuyu sendiri hingga ia mengalami ini. Itu sebabnya, sedikit pun aku tidak merasa kasihan padanya. Biarpun begitu, ada apa dengan perbedaan sikap pada anak muda Jepang zaman sekarang?

"Ah, kalau ada yang Hime-sama butuhkan, Anda bisa mengatakannya pada Nao," kalimat dingin dari ketua kelas langsung meyegel takdirku tanpa perlu menunggu persetujuanku. Aku hampir jatuh dari kursi ketika mendengarnya.

"Kenapa aku?"

"Nao, begini, ya ...."

Anak lelaki yang duduk di kursi di samping depanku menjelaskan, "Kita selalu memanggil pangeran atau tuan putri dengan sebutan Yang Mulia, 'kan? Kamu tahu kenapa?"

"Aku tidak tahu ..., dan apa hubungan antara dua hal itu?"

"Itu artiya, kita adalah orang-orang bawahannya yang juga melayani mereka — seperti itu. Dan sangatlah tidak sopan berbicara langsung kepada keluarga kerajaan, kita hanya bisa berbicara pada pelayannya saja."

"Ohhh—" "Hari ini aku dapat pengetahuan baru," para anak lelaki bodoh di sekitarku menjadi bersemangat.

"Yang artinya, sang pelayan yang dimaksud adalah dirimu!"

"Aku? Kenapa?" meski aku memprotes dengan berulang kali memukulkan tinjuku ke meja, tidak seorang pun menghiraukanku; karena keputusan itu telah diterima oleh banyaknya murid di kelas ini, dan terlalu kuat bagiku untuk menolaknya. Aku melihat ke arah satu-satunya yang mungkin menjadi penyelamatku — Chiaki. Akan tetapi, yang dilakukannya hanyalah melihat ke arahku dan Mafuyu dengan pandangan curiga. Ia lalu menunjukkan ekspresi aneh sebelum berbalik menghadap podium pengajar.


Read more ...»

Oregairu 2 Bab 1 Bagian 6

On Senin, 21 Desember 2015 0 komentar

==========================================================
Bingung mau komentar apa...
Oiya, Saize itu singkatan dari Saizeriya, restoran italia yang terkenal di Jepang sana... Untuk berikutnya, sepertinya bakal sering ketemu dengan kata Saize...
Satu lagi, ane lupa persisnya, tapi ada saat di mana Yui waktu itu ditanya mau kuliah di mana, dan dia jawab mau masuk jurusan seni liberal... Mungkin karena cerita di bagian ini alasannya...
Untuk bab berikutnya ane selesaikan langsung satu bab...
Atas request, ane bakal lanjutin SPS... Sebisanya... Hkhkhkhk...
Selesai juga satu bab...
Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 1 - Begitulah, Yui Yuigahama Memutuskan Untuk Belajar

Bagian 6



Sambil merangkul kepala Yukinoshita dan membelainya, Yuigahama berbicara, "Tahu enggak, Hikki? Aku cukup kaget saat tahu kalau kau ternyata rajin belajar, lo."

"Yah, aku belajar bukannya karena mau maju lewat pendidikan seperti murid-murid yang lain. Biar satu pun, tak ada bimbel musim panas yang kuikuti."

SMA Soubu di Kota Chiba memang didedikasikan bagi murid-murid yang berencana melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Alhasil, tingkat murid yang mendaftar ke perguruan tinggi itu cukup tinggi. Murid-murid lain yang sadar akan hal tersebut mungkin sudah punya bayangan soal ujian masuk sejak musim panas tahun kedua mereka di sekolah. Waktu semakin menipis ketika mereka cemas tentang apa harus mengikuti seminar pendidikan di Tsudanuma atau Pusat Bimbel Kawai ataupun sekolah di Inage-Kaigan.



"Oh, satu lagi," tambahku. "Aku sedang mengincar beasiswa untuk sekolah persiapan."

"... behasiswa?" ulang Yuigahama.

"Dalam kasusmu, kau tak perlu mengincar apa pun jika sudah mencapai titik batasmu," ujar Yukinoshita. "Kau lebih seperti limbah."

"Ada apa ini, Yukinoshita? Hari ini sikapmu jadi baik. Kupikir kau terang-terangan menolak hakku untuk hidup."

"Saran yang tepat," Yukinoshita menempelkan jarinya ke dahi, kesan jijik terlihat pada wajahnya.

"Oi, oi, behasiswa itu apa?"

Tampaknya Yuigahama telah lepas dari arah pembicaraan sejak di bagian beasiswa. Ampun, deh, Yuigahama.

"Beasiswa adalah dana yang kauperoleh atas usaha belajarmu," jelas Yukinoshita.

"Sekolah persiapan zaman sekarang akan membebaskan iuran pendidikan bagi murid-murid yang berprestasi," kataku. "Intinya, jika aku mendapat beasiswa, maka uang yang diberikan orang tuaku untuk membayar iuran tersebut akan beralih padaku."

Aku sedikit menari saat kenyataan itu menghampiri diriku. Di hadapan adikku yang sudah memandang jijik, aku mulai breakdance di kamar.

Orang tuaku akan beristirahat dengan tenang jika aku rajin belajar dengan niatan jelas dan memperoleh hasil untuk membenarkan investasi mereka. Dan aku bisa mendapatkan uang selagi aku melakukannya. Boleh dibilang, ini merupakan rencana ulung.

Namun kedua perempuan ini menatap penuh keraguan pada diriku. "Bukannya itu curang ...?"

"Ia takkan ambil pusing karena kau tak bisa menuntut tindakannya yang telah merugikan orang tua dengan memakai pendekatan berorientasi hasil untuk kelas yang diikutinya, dan itu hanyalah soal sekolah persiapan yang menerima murid berbeasiswa saja. Dikarenakan menyimpangnya kepribadian anak ini, kau takkan bisa menyebutnya curang," ucap Yukinoshita sinis.

Te-terus kenapa? Kebohongan kecil takkan menyakiti siapa-siapa.

Yuigahama menatap ke arahku. "Jadi itu rencana kehidupanmu, toh ...," gumamnya. Setelahnya, lengan baju Yukinoshita pun ia pegang lebih erat lagi.

Terkejut karena perlakuan Yuigahama yang lebih intens, Yukinoshita menatap tajam wajah perempuan itu dengan perhatian sesaat. "Ada apa ...?"

"Oh, eng ..., enggak juga, sih ...," jawab Yuigahama, tanpa membodohi siapa pun dengan tawa gugupnya. "Karena kalian anak yang pintar, aku jadi berpikir apa kita masih bisa bertemu lagi setelah lulus?"

"Tentu ...," ucap Yukinoshita sambil tersenyum kecil. "Aku salah satu orang yang tak ingin lagi bertemu Hikigaya."

Aku hanya mengangkat bahu ketika mendengarnya. Bingung karena kurangnya reaksi verbalku, Yukinoshita menatapku dengan pandangan aneh. Tak kusangka. Kali ini aku setuju dengan Yukinoshita.

Yah, orang-orang seperti itu memang ada di dunia ini. Mereka yang begitu giat belajar sehingga bisa masuk ke sekolah favorit justru terasingkan dari teman-teman SMP-nya. Tipe seperti mereka sudah memutuskan untuk membuang jauh masa lalu dan berjanji takkan lagi menemui teman-teman sekelasnya. Yuigahama kurang lebih menggambarkan jelas tipe tersebut.

Lalu ada pula orang-orang yang tetap akrab bersahabat dengan tetap saling berkomunikasi di kelompoknya. Lewat teknologi, mereka bisa menjaga secuil kedekatan di antaranya. Kebanyakan dari mereka yang menolak untuk tetap berhubungan justru berakhir sendirian. Yang ingin kusampaikan adalah kita hanya bisa menjaga komunikasi lewat telepon dan SMS saja, selebihnya tidak ada. Apakah yang seperti itu bisa disebut persahabatan? Kuyakin banyak yang beranggapan begitu. Itu artinya, bagi semua orang, ponsel bisa menangani segalanya, dan jumlah teman yang kita punya bisa disamaartikan dengan jumlah nomor kontak yang kita punya pula.

Yuigahama menggenggam erat ponsel-nya sembari sekilas tersenyum pada Yukinoshita. "Enggak akan ada masalah karena kita masing-masing punya ponsel. Kita masih bisa saling berhubungan!"

"Benar, tapi kuharap kau berhenti mengirimiku SMS setiap hari ...," jawab Yukinoshita.

"Eh?! Ka-kau enggak suka ...?"

Yukinoshita hening sesaat, memikirkan kata-kata yang tepat. "Rasanya sangat mengganggu."

"Jujur amat!"

... mereka berdua justru terlihat akur. Sejak kapan mereka seakrab itu sampai-sampai saling berkirim SMS? Lagi pula, tak bisa kubayangkan seperti apa SMS yang dikirim Yukinoshita. "Memangnya setiap hari kau mengirim SMS yang seperti apa?"

"Eng ...," gumam Yuigahama. "Yah, kayak, Hari ini aku makan kue sus, lo."

"Kujawab, Iya," ucap Yukinoshita.

"Yukinon, kau bisa buat kue sus, enggak?! Soalnya aku mau coba makan jenis kue yang lain!"

"Boleh."

"Keahlian mengobrol yang hebat, Yukinoshita ...."

Yukinoshita memalingkan pandangan seakan merasa bersalah. "Kurang ada manfaatnya," gumamnya. Menyedihkan, karena aku tahu yang dirasakannya.

Serius, apa sebenarnya yang ingin disampaikan di percakapan singkat itu? Pembahasan seputar cuaca sudah jadi hal pokok dalam percakapan, tapi itu akan berakhir setelah ada yang bilang, Cuacanya cerah, ya? lalu dijawab, Iya. Itu sama saja sewaktu menelepon lalu berkata, Hmm, eh, eng ..., ada bidadari lewat. Hehehe, suasana hening yang canggung mulai melanda setelahnya.

"Ya ..., aku tak terlalu mengurus kalau soal ponsel, sih," kataku. "Menurutku itu merupakan pemaknaan yang salah dari komunikasi."

Menurutku yang namanya ponsel ini adalah sebuah bentuk perangkat yang mempertegas perilaku penyendiri. Kita bisa mengabaikan ponsel kita ketika ada panggilan masuk, memblokir nomor, tak membalas SMS — hal semacam itu. Kita bisa memilih antara menerima atau menolak segala komunikasi tergantung suasana hati kala itu.

"Benar. Sang penerima diharuskan menjawab SMS ataupun panggilan masuk," Yukinoshita mengangguk setuju akan gumaman santaiku.

Ia cukup lumayan jika hanya dilihat dari wajahnya saja. Aku jadi terpikir, mungkin itulah alasan kenapa banyak anak yang menanyakan nomor ponsel maupun alamat surel-nya.

Bagiku, ada satu waktu ketika aku mengumpulkan semua keberanianku untuk menanyakan nomor ponsel dari seorang perempuan manis. Itu terjadi sewaktu aku masih jadi anak SMP yang lugu. Saat aku bertanya di mana rumahnya, ia menjawab, "Maaf, ya, bateraiku habis. Nanti saja aku SMS, ya?" masih menjadi misteri mengenai alasan ia tak pernah memberi tahu alamatnya dan tak mengirim SMS padaku. Hingga kini aku masih menunggunya ....

"Selain itu, aku tak mau melihat SMS yang membuatku jijik ...," aku Yukinoshita seolah ingin menambahkan.

"Hmm ...?" Yuigahama menempelkan telujuknya di dagu sambil memiringkan kepalanya. "Jadi artinya ..., SMS-ku membuatmu jijik, ya?"

"... aku tak berkata begitu." Yukinoshita, yang sedari tadi menatap ke arah Yuigahama, mengalihkan pandangannya. "Hanya terasa mengganggu saja," wajahnya lalu memerah. Menurutku itu adalah reaksi yang menggemaskan, tapi karena tak ada hubungannya denganku, jadi aku tak menghiraukannya.

Melihat ekspresi Yukinoshita, Yuigahama melompat dan mengeluarkan suara menggemaskan. Cukup misterius, Yukinoshita berbalik dengan wajah yang lebih lembut — ia benar-benar telah luluh. Sekali lagi, itu tak ada hubungannya denganku, jadi aku tak menghiraukannya.

"Oh, begitu. Rupanya ponsel enggak sesempurna itu," Yuigahama memeluk erat tubuh Yukinoshita, seolah meremukkan betapa rapuhnya ikatan mereka. "Aku akan giat belajar, deh .... Pasti luar biasa rasanya kalau bisa satu kuliah denganmu," ujarnya dengan suara pelan, tatapannya lalu tertuju ke bawah. "Kau sudah ada rencana mau kuliah di mana, Yukinon?"

"Belum, belum ada rencana pasti. Tapi setidaknya aku berencana masuk ke fakultas MIPA di perguruan tinggi negeri."

"Wah, kedengarannya intelek sekali!" tegas Yuigahama. Lalu ia melanjutkan, "Terus ..., kalau kau Hikki? Wa-wajar, dong, kalau aku bertanya juga."

"Jurusan seni liberal di perguruan tinggi swasta."

Senyum kembali terpancar di wajah Yuigahama. "Terdengar meyakinkan!"

Yang benar saja, reaksi macam apa itu? "Biar kutekankan, memelajari seni liberal di perguruan tinggi bukanlah hal sulit. Ayo minta maaf dulu sana, ke seluruh jurusan seni liberal di negeri ini. Kau dan aku bahkan ada di tingkatan yang berbeda."

"Oooh ..., ya sudah, aku akan lebih giat lagi!" Yuigahama lalu melepaskan pelukannya dari Yukinoshita. "Oke, semuanya sudah jelas. Mulai minggu ini kita akan belajar kelompok," terangnya dengan suara keras.

"... apa maksudmu?" tanya Yukinoshita ragu.

Yuigahama benar-benar mengabaikan pertanyaan itu dan segera melontarkan ide yang terorganisasi. "Kita enggak ada kegiatan klub sampai seminggu sebelum ujian, 'kan? Karena itu siangnya kita punya waktu senggang. Oh, Selasa boleh juga. Soalnya para guru minggu ini sedang jalan-jalan."

Astaga, jalan-jalan? Murid SMA macam apa yang sampai bisa berkata begitu?

Jalan-jalan yang Yuigahama bicarakan barusan adalah sebuah rapat dengan Dinas Pendidikan Kota. Karena para guru wajib untuk hadir, maka jam pelajaran dipotong dan kegiatan klub diliburkan.

Yah, bukan berarti aku setuju akan rencana Yuigahama. Yukinoshita, murid peringkat satu yang bercita-cita masuk ke fakultas MIPA di perguruan tinggi negeri, dan aku, murid peringkat tiga di pelajaran bahasa Jepang, bakal terganggu jika menjelang ujian. Lagi pula, aku punya semacam kepercayaan diri bila dibandingkan adik perempuanku yang bodoh — yang tak mendapat nilai memuaskan. Kapan pun ia punya soal yang tak bisa diselesaikan, aku tak bisa bersikap cuek untuk tidak menolongnya.

Jika ada sesuatu yang kubenci, pasti itu adalah diambilnya waktu privasi dariku. Aku bahkan tak menghadiri perayaan setelah festival olahrahga. Bu-bukan karena aku tidak diajak! Alasannya lebih karena aku menghargai waktuku sendiri, dan akan terasa menyiksa bagiku jika kuhabiskan itu dengan orang lain.

"Uhhh ...," cepat jawab dan tolak idenya, pikirku dalam hati karena tak mampu berkata-kata, seraya Yuigahama lanjut berbicara.

"Bagaimana kalau kita ke Saize di pusat kota?"

"Tak masalah ...," jawab Yukinoshita.

"Yuigahama, begini ...," aku mulai bersuara. Kalau aku tak segera mengatakan sesuatu, mereka benar-benar akan ke sana! Berhenti basa-basi dan tolak idenya, pikirku.

"Ini pertama kalinya kita jalan bareng, Yukinon!" sela Yuigahama. "Cuma kita berdua!"

"Iya," ucap Yukinoshita.

....

Rupanya dari awal aku memang tak diajak.

"Hikki, tadi kau mau bicara apa?" tanya Yuigahama.

"Bu-bukan apa-apa .... Selamat belajar."

Lagi pula, belajar sendiri itu lebih efisien. 

... aku takkan kalah.



Lanjut
Read more ...»

Oregairu 2 Bab 1 Bagian 5

On Senin, 07 Desember 2015 0 komentar

==========================================================
Akhirnya ada juga ilustrasinya...
Bagian yang gak ada di anime-nya... Dan percakapan yang cukup menghibur...
Betewe, rencananya penerjamahan Sakurasou mau dihidupkan kembali, biar gak lupa jalan ceritanya, silakan baca-baca dulu yang Jilid 1 Bab 1 Bagian 1...
Yah, sebenarnya ada juga rencana mau lanjutin seri lainnya, tapi masih belum ketemu yang pas, khususnya yang SPS, itu seri bagus banget, bukan hanya karena tema musikal remaja kayak Shigatsu musim-musim kemarin (gak menyinggung dosa proyek lain, hkhkhkhk), tapi memang karena ceritanya benar-benar bagus...
Lanjut ke catatan terjemahan... Misuzu Kaneko adalah penyair yang menulis "Watashi to Kotori to Suzu to" (yang harfiahnya: Saya, Lonceng dan Seekor Burung), yang di dalamnya terdapat kalimat, "Setiap orang itu berbeda, setiap orang itu punya hal bagus."...
AT Field adalah kemampuan spesial yang digunakan oleh pilot Eva dalam seri Neon Genesis Evangelion... Semakin kacau keadaan psikis sang pilot, semakin kuat AT Field yang bisa dihasilkan...

Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 1 - Begitulah, Yui Yuigahama Memutuskan Untuk Belajar

Bagian 5


Yuigahama bersandar malas di kursi tanpa mengutak-utik ponselnya yang biasa ia gunakan untuk menghabiskan waktu. Karena itu dadanya tanpa sadar jadi terpampang jelas, yang membuat pikiranku tidak tenang, sehingga kualihkan pandanganku ke arah Yukinoshita yang dadanya tak memberi kesan serupa.

Yukinoshita, yang dadanya merupakan simbol kemenangan dari Konten Aman, menutup buku bacaannya. "Kalau memang tak ada yang dilakukan, kenapa tidak belajar saja?" ucapnya pada Yuigahama dengan nada ketidaksetujuan. "Lagi pula, sebentar lagi UTS."

Dari cara bicaranya, Yukinoshita memang kurang peka soal kepentingan yang mendesak. Bagi dirinya, itu sepenuhnya masalah orang lain. Namun itu kian mempertegas  bagi Yukinoshita, UTS tak lebih dari kegiatan rutin. Perempuan ini memang murid nomor satu jika berhadapan dengan apa pun materi yang bisa diujikan. Tak bisa disangkal bahwa UTS sekalipun tak bakal membuatnya cemas.

Yuigahama mengalihkan pandangannya ke tempat lain, seakan ia juga sadar jika sedang dibicarakan. "Apa gunanya belajar?" gumamnya tertahan. "Enggak bisa juga dipakai di kehidupan nyata ...."

"Kau baru saja mengucapkan kalimat khas anak lemot!" tegasku. Yang barusan itu begitu gampang ditebak hingga membuatku lepas kendali. Bisa-bisanya di zaman sekarang masih ada yang berkata begitu?

Tersindir karena disebut lemot, Yuigahama sungguh-sungguh mempertahankan keadaannya. "Maksudku, belajar itu enggak ada gunanya! Masa SMA itu singkat dan hal yang semacam itu buang-buang waktu! Hidup itu hanya sekali, 'kan?"

"Makanya jangan dibuat main-main."

"Ampun deh .... Enggak usah sok bijak!"

"Aku berpikir jangka panjang."

"Kalau dalam kasusmu," sela Yukinoshita, "kau sudah gagal di setiap aspek kehidupan SMA."

Hampir benar. Kita tak selalu bisa memenangkan segalanya. Eh, tunggu! Apa tadi ia bilang kalau aku tak punya kehidupan? Apa aku perlu check out dari keberadaan fana ini seperti halnya check out dari hotel?

"Asal kautahu, ya .... Aku tidak gagal .... Aku hanya berbeda dari orang kebanyakan. Beginilah kepribadianku! Setiap orang itu berbeda, setiap orang itu punya hal bagus!"

"Be-betul! Beginilah kepribadianku! Payah dalam belajar adalah bagian dari kepribadianku!"

Kami berdua menegaskan kalimat klise yang konyol di saat bersamaan. Tapi jujur, kepribadian adalah kata yang tepat.

"Misuzu Kaneko akan bangkit dari kuburnya jika mendengar hal barusan ...," Yukinoshita berdesah sembari menutupi wajahnya dengan telapak tangan. "Yuigahama, yang kaukatakan sebelumnya soal belajar tak ada gunanya itu tidaklah tepat. Faktanya, belajar adalah perilaku untuk menemukan makna dari diri sendiri. Oleh sebab itu, berbeda orang bisa berbeda alasan untuk belajar, namun tak ada alasan untuk menyangkal seluruh tujuan dari belajar."

Argumen yang logis. Begitu logis hingga bisa dirasa benar jika dikemukakan ke pemikiran orang dewasa — yang mana hal tersebut akan masuk kuping kiri keluar kuping kanan. Bahkan sebuah pernyataan mengecoh sederhana seperti, Apa itu belajar? akan memberi dampak serupa. Maka siapa pun yang berusaha menjadi orang dewasa di zaman sekarang takkan mendapat pesan tersiratnya.

Sayangnya, aku tak pamer soal betapa pintarnya diriku dengan menyampaikan kesimpulan seperti barusan. Orang yang tampaknya benar-benar meyakininya ialah Yukinoshita.

"Soalnya kau pintar, sih, Yukinon ...," ucap Yuigahama dengan suara pelan. "Rasanya malas kalau belajar .... Teman-temanku juga enggak ada yang belajar ...."

Yukinoshita mendadak memicingkan mata. Merasa suhu ruangan sudah turun sekitar sepuluh derajat karena heningnya Yukinoshita, Yuigahama menutup mulut karena terkejut. Tampak seolah ia masih mengingat semua hal mengerikan yang pernah diucapkan Yukinoshita sebelumnya.

Ia menyerah pada pendiriannya. "Ba-baiklah, aku akan belajar betul-betul!" tegasnya dengan serius. "O-omong-omong! Hikki, memangnya kau belajar?!"

Oh, ia mengelak dari amarah Yukinoshita. Rupanya rencana liciknya adalah dengan membebankan semua serangan kepadaku. Usaha yang bagus dari yuigahama.

"Ya, iyalah," jawabku.

"Pengkhianat! Kupikir kau lemot juga!"

"Enak saja. Aku ini peringkat tiga di pelajaran bahasa Jepang," aku berhenti sebentar agar dampaknya terasa. "Ditambah, di pelajaran lain pun nilaiku tidaklah buruk."

"Enggak mungkin .... Kok aku enggak tahu ...?"

Untungnya, pihak sekolah tidak memampang hasil ujian murid-muridnya. Mereka hanya memberi tahu peringkat dan nilai secara pribadi. Alhasil, sementara yang lainnya saling menunjukkan peringkat mereka, tak ada seorang pun yang tahu peringkatku — karena siapa pun tak bakal kuberi tahu. Hampir tepatnya, tak ada yang bertanya soal peringkatku.

Tentu saja tak ada yang secara umum bertanya soal diriku.

"Jadi sebenarnya kau pintar juga ya, Hikki?!"

"Itu bukan hal yang patut dibanggakan," tandas Yukinoshita.

"... kenapa kau yang jawab?" yah, tentu saja nilaiku tak bisa dibandingkan dengan Yukinoshita, biarpun begitu, nilaiku tidaklah buruk.

Itu artinya, Yuigahama adalah orang paling lemot di antara kami bertiga.

"Uh," rengeknya. "Jadi cuma aku saja yang dapat peran orang bodoh di sini."

"Jangan langsung menyimpulkan begitu, Yuigahama," nada suara dan ekspresi dingin Yukinoshita mulai mencair, dan matanya menunjukkan jelas sebuah keyakinan.

Mendengar ucapan tersebut, wajah Yuigahama berubah cerah bagaikan bohlam. "Yu-Yukinon!"

"Karaktermu tidak dibuat-buat. Kebodohanmu memang bawaan dari lahir."

"Waaaaaah!" Yuigahama memukul-mukul tubuh bagian depan Yukinoshita.

Terlihat seolah tak tahu seperti apa harus menanggapinya, Yukinoshita mengeluarkan desahan pendek yang terasa dipaksakan. "Yang ingin kusampaikan adalah hal bodoh jika menilai seseorang hanya dari nilai ujian dan peringkat saja. Bahkan di antara murid-murid berperingkat tinggi terdapat beberapa manusia rendahan."

"Hei, kenapa kau bicara begitu sambil melihatku?" tanyaku. Untuk sesaat, semua tatapan tertuju padaku. "Aku bicara begini untuk jaga-jaga, tapi tahukah kalian alasanku belajar karena aku memang suka?"

"Begitu ...."

"Begitulah orang yang tak punya kerjaan."

Dua perempuan tersebut bicara dalam kesinambungan. Yuigahama mengucapkan satu kata seruan tanda terkejut, sementara kalimat lengkapnya diselesaikan oleh Yukinoshita. Tanpa disadari, dahi mereka saling menempel.

"Memang, dan kau juga sama," ucapku pada Yukinoshita.

"Tapi kau tak menyangkalnya," ujarnya.

"Sudah! Aku jadi sedih, tahu!" teriak Yuigahama.

Yukinoshita dengan dingin berbicara seperti biasanya, namun Yuigahama justru menggebu-gebu berempati. Yuigahama memeluk hangat Yukinoshita, seolah mencoba meringankan luka di hati Yukinoshita. Ekspresi tak nyaman yang ditunjukkan Yukinoshita seolah berkata ... tak bisa bernapas! sementara Yuigahama merangkul erat dirinya.


Hei! Bagaimana denganku?! Aku tak punya hal yang bisa kulakukan selain belajar! Aku merenung sewaktu sudah dipastikan kalau tak ada pelukan maupun rangkulan yang akan datang ke arahku. Yah, kurasa akan terasa canggung bagiku jika ia memelukku. Begitulah yang kupikirkan.

Yang benar saja, kenapa para makhluk riajuu bisa sedekat itu bila saling mengasihi? Apa keintiman itu sudah jadi hal lumrah, ya? Memangnya mereka pikir mereka itu orang Amerika, ya? Mereka akan mengacau dan saling memukul demi bahan lelucon, tapi jika sudah terlalu serius, mereka akan saling berpelukan seolah itu hal yang paling cerdas untuk dilakukan. Jika para lelaki dan perempuan tersebut sampai memiloti Eva, mereka takkan mungkin bisa menggunakan AT Field. Tak ada batasan mengenai kebaikan dalam hati mereka.

Read more ...»