SPS Jilid 1 Bab 7

On Senin, 28 Desember 2015 0 komentar

==========================================================
Puas tidur ane liburan kemarin... Hkhkhk...
Walau cuma menyunting, tapi garap satu bab rasanya berat juga ya... Sebenarnya sih, bisa kelar dari kemarin-kemarin, tapi liburan sayang kalau gak dimanfaatkan...
Kembali dengan romansa keseharian anak sekolah dengan suasana musikal ini...
Sekali lagi, terjemahan ini memang kerasa weaboo-nya, tapi agan sekalian pada tahu kan artinya Hime-sama (姫様)... Dan sekali lagi, ini memang bacaan yang seru... Habis ini lanjut satu bab Oregairu, kalau skrip Sakurasou-nya belum dikasih sama penerjemahnya... Oke, deh...
Selamat menikmati....
==========================================================


Bab 7 - Handuk, Pembasmi serangga, Plester


Dibandingkan gitar listrik, kelebihan yang terlihat jelas dari bas listrik adalah suaranya baru bisa didengar jika sudah dihubungkan ke sumber listrik.

Aku membeli bas tersebut atas bujukan Kagurazaka-senpai dan membawanya ke kelas keesokan harinya. Dengan segera aku dikelilingi teman-teman sekelasku. "Ayolah. Mainkan apa saja," meski semuanya memintaku untuk bermain, aku tetap berdalih, "Tapi ini bas, jadi suaranya tidak akan terdengar!" kemudian kabur. Bakal beda ceritanya kalau yang kubawa adalah gitar, jadi baguslah aku membeli bas — dengan pemikiran itu, aku juga bisa sedikit menghibur diriku yang sudah dipermainkan senpai.

"Tapi kenapa bas?"

Seorang anak lelaki menanyakan hal yang tidak pernah kupikirkan sebelumnya.

"Ah, aku juga jadi kepikiran. Lagi pula, kamu tidak begitu memerlukannya, 'kan?"

"Hei, Kritikus, lebih baik kamu menjelaskannya dengan istilah yang gampang."

"Jangan memanggilku kritikus!" kurebut bas itu dari tangan teman sekelasku, lalu memasukkannya kembali ke pembungkusnya. Sebenarnya, menjelaskan pada mereka tidak akan efektif jika hanya lewat kata-kata saja, tapi untuk menjaga reputasi semua pemain bas di dunia, maka aku harus memberikan mereka gambaran.

"Kalian, duduk di sana."

"Baik, Nao-sensei."

"Tolong jangan pakai istilah musik sewaktu menjelaskan."

Cih, mereka benar-benar mengantisipasi pidatoku. Beberapa anak lelaki duduk bersimpuh di sekitar kursiku, karenanya, di saat begini aku tidak boleh sampai salah bicara. Bagaimana ini? Kujilati bibirku sambil memikirkan cara untuk memulai penjelasanku.

"... baiklah, mari kita mulai dengan mengingat wajah goinkyo."

"Lo, kok?"

"Jangan banyak tanya. Lakukan saja perintahku."

Beberapa anak lelaki memejamkan mata mereka, sementara sebagian lainnya menatap langit-langit. Karena beliau terlihat sama persis seperti Mito Koumon, jadi sangat mudah untuk mengingat wajah guru kami itu.

"Baiklah selanjutnya, coba pisahkan janggut dari wajahnya. Sudah?"

"... baik, sudah."

"Ah, kelihatan seperti Enari Kazuki saat masih muda."

"Enari memang masih muda."

"Oke, oke. Selanjutnya, bayangkan goinkyo tanpa rambut.”

"Nao-sensei, ini maksudnya apa, ya? Semacam tes psikologi begitu, ya?"

"Kalian akan tahu nanti. Bagaimana? Kalian bisa membayangkannya?"

"Bisa sih, tapi bukankah rambut goinkyo cukup lebat?"

"Dibandingkan jenggot, masih lebih mudah menghilangkan rambutnya."

"Dan ini langkah terakhir. Hilangkan garis wajahnya, lalu bayangkan seperti apa rupa beliau sekarang."

Wajah semua anak seperti hendak berkata, "Eh?"

"Apa maksudmu?"

"Aku tidak paham!"

"Garis wajah itu maksudnya apa? Telinga dan semacamnya, begitu?"

"Bukan, bukan itu. Yang kumaksud adalah buang bentuk wajahnya. Bayangkan seperti mata, hidung, dan mulutnya muncul dari permukaan datar. Ya, seperti itu."

Satu persatu teman-teman sekelasku bergumam, "Hmm .... Hmm ...." beberapa dari mereka menekan jari-jarinya ke dahi mereka, sementara yang lain menjambak rambut mereka sendiri.

"... tidak bisa, itu tidak mungkin bisa. Hal yang sia-sia kalau membuang garis wajahnya!"

"Sekeras apa pun aku mencoba, lingkar wajahnya selalu muncul di pikiranku."

"Coba lebih keras! Kalian selalu mengatakan dengan bangga, Dalam pikiranku, aku bisa membuang pakaian renang yang dikenakan oleh para model vulgar yang cantik-cantik itu, siapa pun mereka! ya, 'kan?"

Eng ..., padahal mereka tidak perlu berusaha sekeras itu.

Mereka berjuang keras selama sekitar dua menit sebelum akhirnya menyerah. Karena itu aku langsung memberi kesimpulan.

"Sekarang, gunakan analogi tadi pada istilah musik, maka bas terlihat seperti garis wajah buatku. Kalian paham?"

Orang-orang yang menontonku masih terlihat sangat bingung.

"Itu seperti kalian membayangkan lagu-lagu dimainkan tanpa gitar ataupun alat musik lainnya, tapi tidak bisa membayangkannya tanpa bas. Dan karenanya, aku tidak bisa menjelaskan dengan baik kenapa bas begitu penting buatku."

"Jadi begitu ...."

"Aneh. Rasanya aku bisa mengerti apa yang ingin kamu sampaikan, tapi di saat bersamaan, aku juga masih belum paham."

Mereka ini mengerti atau tidak, sih? Akan tetapi, aku lebih khawatir kalau mereka mengerti, karena yang kukatakan tadi cuma omong kosong.

"Tapi Nao-sensei benar-benar mengesankan. Kamu punya potensi untuk meneruskan seni dari ayahmu."

"Mana mungkin aku mewarisinya!" kenapa aku harus membiarkan diriku dikatai seperti itu oleh teman sekelasku?

Setelahnya, bel persiapan kelas berbunyi. Pada saat yang bersamaan, pintu belakang kelas — pintu yang dekat dengan bagian kanan belakang dari mejaku – terbuka.

Mafuyu berdiri di dekat pintu. Pandangan pertamanya mendarat ke mejaku yang dikerumuni beberapa anak, lalu berpindah ke sarung gitar di tanganku. Wajahnya tiba-tiba berubah.

"... minggir."

Sebuah kata yang lembut dan dingin dari Mafuyu cukup untuk membuat para anak lelaki, yang mendengarkan omong kosongku tadi, menyingkir dari jalan .... Oi, oi, jangan ke mejaku, cepat kembali ke kursi masing-masing!

"Nao-sensei ...," salah satu anak mendekatkan wajahnya ke sampingku, lalu berbisik, "Jadi ini? Jadi alasanmu mengambil bas itu karena Ebisawa-san?"

"Eh? A-apa?" suaraku menjadi sedikit aneh.

"Belakangan ini kamu sering ke lapangan, 'kan?"

"Begitu, jadi dia bisa lebih dekat dengan perempuan itu karena basnya ini? Pintar sekali, Sensei!"

Para anak lelaki tersebut melirik ke arah Mafuyu. Jangan bergosip kalau orangnya masih ada di sekitar!

Karena sikap sinisnya itu, semenjak hari kedua kepindahannya kemari, hampir semua perempuan di kelas telah menjadi musuhnya. Biarpun begitu, tidak satu pun dari anak lelaki di kelas yang memedulikan hal tersebut, dan malah mengkhawatirkannya. Yang menunjukkan jalan saat kami pindah kelas, atau meminjaminya buku pelajaran saat ia lupa membawanya — semuanya dilakukan oleh para anak lelaki.

Para anak lelaki yang selalu berkumpul di sekitar mejaku ini mungkin melalukan hal tersebut untuk alasan yang sama. Mereka benar-benar bodoh.

"Oh, iya, Ebisawa-san ...."

Salah satu anak pemberani berbalik dan berkata pada Mafuyu. Mafuyu mengalihkan pandangannya dari buku pelajarannya ke wajah anak itu, dan dengan pelan berkata, "Tolong jangan memanggilku dengan nama margaku."

"Kalau begitu— Mafuyu ...."

"Jangan memanggilku dengan nama depan juga. Menjijikkan."

"Mafuyu menganggapku menjijikkan .... Satu-satunya alasanku untuk hidup telah sirna."

"Jangan khawatir, wajahmu tidak semenjijikkan yang kamu pikir."

"Benar, wajahku. Tunggu, apa maksudmu?"

Pindahlah ke tempat lain kalau ingin melakukan komedi spontan. Bicara soal itu, ia memang pernah mengatakannya saat hari pertamanya di sini, tapi apa sebegitunya ia membenci nama marganya sendiri? Aku selalu berpikir kalau ia cuma berbohong karena keadaannya saat itu. Tapi kenapa? Apa di masa lalu ada seseorang yang mengejeknya dan memberinya nama panggilan Ebimayo?

"Jadi Ebisawa-san bermain band juga? Apa guru pianomu akan marah jika tahu kalau kamu bermain gitar?"

Sewaktu anak itu berbicara padanya dengan semangat menggebu, sisi wajah Mafuyu membeku.

"Lalu, kamu hebat juga dalam membagi waktu, karena bisa berlatih dua alat musik berbeda di saat bersamaan."

"Kurasa ia berlatih dua alat musik sekaligus. Karena komposisi yang dimainkannya sama."

"Yang benar?!"

Mafuyu mengalihkan pandangannya kembali ke buku pelajarannya. Meski begitu, kusadari kalau pandangannya sedikit kosong.

"Bagaimana ... kalian bisa tahu?" saat ia berbicara dengan kepala menunduk, para anak lelaki perlahan menjadi tenang.

"Eng .... Yah ...."

"Kamu selalu berlatih di lapangan sepulang sekolah, 'kan? Kami bisa mendengarmu sepenuhnya."

"Ah, itu terkenal sekali, lo! Semua anak tahu soal itu."

Mafuyu tiba-tiba berdiri. Bibirnya gemetaran, dan wajahnya berubah hijau.

"Selama ini ... bisa terdengar?"

Oh, sial. Ia tidak tahu? Sambil merengut mengantisipasi apa yang mungkin akan terjadi, dengan pelan aku menyela.

"Yah ..., aku memang tidak mengatakannya, tapi kemampuan kedap suara ruang kelas itu tidak sempurna. Suara bisa keluar lewat celah-celah pintu.”

Wajah Mafuyu menjadi pucat pasi dalam sekejap, kemudian menjadi merah. Bibirnya gemetaran tanpa henti.

Kurebahkan sambil kulindungi kepalaku di atas meja, mengantisipasi pukulan yang akan datang darinya, tapi yang kudapat hanya suara langkah kaki berlari menjauh diikuti suara pintu tertutup.

Sebuah kesunyian yang tidak nyaman menyelimuti seluruh kelas I-3.

Kuangkat kepalaku. Semuanya pura-pura tidak mengerti, namun tatapan mereka berkata kalau akulah yang bertanggung jawab terhadap hal ini.

"... Nao, apa yang kamu tunggu? Cepat kejar!"

Anak yang kehilangan alasan hidup karena Mafuyu menganggap dirinya menjijikkan tadi, mengatakan hal itu dengan dingin padaku.

"Kenapa aku?"

"Karena kamu yang bertugas menghadapi Ebisawa-san!" sang ketua kelas, Terada-san, tanpa alasan jelas, mengatakan itu padaku. Dan para anak perempuan di sekitarnya bersamaan mengangguk sambil berucap, "Mhmm!"

Tunggu, aku yang bertugas? Apa maksudnya itu?

"Ayo lekas, kalau tidak, pelajaran akan dimulai! Cepat!"

Aku tidak mengerti apa yang mereka rencanakan, tapi ada sesuatu di dunia ini yang dikenal dengan suasana keadaan, sesuatu yang sulit untuk ditahan. Terdorong oleh hal itu, aku beranjak dari kursiku.

Saat keluar dari ruang kelas, aku hampir bertabrakan dengan Chiaki yang berlari ke arahku sambil terengah-engah.

"Kamu ini sedang apa? Barusan aku melihat Ebisawa-san ....”

"Ia pergi ke mana?"

"Eh? Ah, eng ..., baru saja ia menuruni anak tangga tadi— Nao? Tunggu! Nao, kamu mau ke mana?"

Bel persiapan kelas berbunyi hampir bersamaan dengan saat kugeser Chiaki ke samping agar bisa berlari menjauh dari ruang kelas.


Mafuyu mengunci diri di ruang kelas dekat lapangan. Meski pintunya tertutup rapat dan tidak terdengar suara dari dalam, aku langsung mengetahuinya saat aku memasuki lapangan, saat melihat gembok yang tergantung di pintu terbuka.

Aku bediri di depan ruang musik lama, dan mulai menyusun pemikiranku. Sedang apa aku ini? Aku mengikuti kemauan teman-teman sekelasku dan keluar mencari Mafuyu, tapi aku harus apa? Apa aku harus meminta maaf padanya? Lantas, salahku itu apa?

Harusnya aku kembali saja ke ruang kelas dan berkata pada teman-teman di sana, "Aku tidak tahu ia pergi ke mana?" kemudian membiarkannya. Akan tetapi, kakiku ini tidak mau bergerak.

Segera setelahnya, bel persiapan kelas yang kedua berbunyi, aku pasti sudah telat untuk masuk kelas sekarang. Lupakan, sebaiknya aku sekalian saja bolos di jam pertama! Seharusnya bukan masalah besar sesekali melewatkan satu atau dua pelajaran. Terlebih lagi, ada yang ingin kukatakan pada Mafuyu. Aku meraih gagang pintu, dan menekannya ke bawah secara diagonal dengan sedikit paksa.

Mafuyu sudah menumpuk tiga alas duduk di atas meja, dan ia duduk di atasnya sambil tangannya merangkul lutut. Saat aku memasuki ruang kelas itu, yang ia lakukan hanya mengangkat wajahnya dari lutut.

"Sungguh disayangkan jika kamu mempergunakannya seperti itu. Aku membawa ketiga alas itu ke sini agar bisa kutaruh berjejer di atas meja, lalu kugunakan sebagai alas tidur. Aku tidak bercanda, jadi jangan ditumpuk begitu."

Mafuyu tidak begitu banyak mengubah posisinya, namun ia mengangkat tubuhnya sedikit untuk mengambil dua alas dengan tangan kirinya, sebelum melemparkannya ke wajahku. Aku melempar satu kembali ke tempatnya semula, dan meletakkan yang satunya di lantai agar aku bisa duduk di atasnya.

"Untuk apa kamu ke sini?" tanya Mafuyu dengan suara serak.

"Aku ke sini karena ingin membolos, tapi aku tidak menyangka ada orang lain lagi di sini. Wah, kebetulan sekali — meski aku jadi sedikit terganggu."

"Pembohong."

Tahu dari mana kalau aku berbohong? Tunjukkan buktinya! Ayo tunjukkan! Tapi benar juga, sih — aku memang berbohong.

"Kenapa ... kamu tidak memberitahuku?" tanya Mafuyu berbisik sembari memandang ke bawah. Aku menoleh ke belakang untuk melihat celah di pintu, yang menyebabkan kedap suara ruang itu tidak sempurna.

"Yah, kamu tidak pernah bertanya, sih!"

Lagi-lagi aku dilempar alas. Kenapa ia sampai marah begitu?

"Bukanlah hal buruk meski suaranya terdengar keluar. Toh, kamu juga tidak sedang melakukan hal yang memalukan."

"Bukan begitu."

Mafuyu merangkul erat kedua kakinya hingga menempel dada dan meringkuk di pojok meja. Aku tidak bisa berkomunikasi dengannya. Apa yang harus kulakukan?

"Kamu sudah pernah merilis CD permainan pianomu, tapi kamu tidak mengizinkan orang lain mendengarkanmu bermain gitar? Bukankah itu aneh?"

"Kamu tahu apa?"

Mafuyu melontarkan sebuah pertanyaan yang terujar pelan di antara kami.

Tiba-tiba sebuah gelombang amarah naik di dalam diriku.

"Ya, mana kutahu!"

Aku mengalihkan pandanganku dari Mafuyu. Kalau tidak kulakukan, aku tidak tahu apa yang akan Mafuyu lakukan setelah ia menghabiskan cadangan alas yang ia gunakan untuk melempariku.

"Soalnya kamu tidak mau bilang apa-apa, 'kan? Katakan saja dengan jujur apa yang mengganggumu, karena aku tidak tahu cara membaca pikiran!”

Ini sama dengan saat kami pertama bertemu, dan terjadi lagi saat hari pertamanya pindah sekolah. Mafuyu tidak mengatakan apa pun, membuatku mengira-ngira apa aku harus ikut campur dan mengkhawatirkannya. Akan tetapi, yang kudapat hanyalah pandangan jijik, ataupun keluhnya soal diriku.

"—Kalau aku memberitahumu, apa kamu akan membantuku?"

Dengan takut-takut kuangkat kepalaku dan memandang Mafuyu. Matanya yang menangis itu tampak seperti aliran sungai yang bermuara ke laut — warnanya memudar dan muram.

"Kalau kukatakan padamu segala yang menggangguku, apa kamu akan melakukan sesuatu untukku? Kalau aku ingin kamu berenang ke Amerika, apa kamu akan berenang ke sana untukku? Kalau aku ingin kamu memotong tangan kananmu dan memberikannya padaku, apa kamu akan benar-benar memotongnya untukku? Kalau aku ingin kamu mati, apa kamu akan mati untukku?"

Aku tidak bisa berkata-kata. Yang kurasakan cuma hawa dingin di sekitarku. Perasaan itu seperti ketika mencoba mengintip ke dasar jurang yang sangat dalam di malam yang gelap tanpa bulan, dan melihat sesuatu yang seharusnya tidak terlihat dari permukaan air.

"Kalau kamu tidak bisa melakukannya, jangan bicara seenaknya."

"Eng .... Apa kamu benar-benar ingin agar aku melakukan semua itu untukmu?"

Mafuyu menggeleng. Sepertinya ia diam-diam sedikit menangis.

"Tidak."

"Kalau ... kamu tidak mengatakannya dengan jelas, bagaimana orang lain bisa tahu? Cukup katakan saja. Kamu tidak akan rugi apa-apa."

"Kalau begitu, kembalikan aku ke masa lalu, kembali ke saat aku mulai memainkan piano."

"Aku bukan Tuhan, jadi bagaimana aku bisa melakukannya?!"

Yang berarti, memang ada sesuatu yang mengganggunya. Kenapa ia begitu membenci piano?

Dan juga ....

"Bagaimana dengan yang ini — tolong berhenti mengikutiku. Kamu mengganggu pemandangan."

Aku tidak mengikutinya! Ini adalah satu hal yang harus kuperjelas padanya.

"Sudah kukatakan berkali-kali, sejak awal aku sudah menggunakan tempat ini. Orang yang seenaknya menerobos masuk ke tempat ini adalah kamu sendiri, 'kan? Jadi aku tidak mengikutimu."

Aku melirik ke pojok ruangan. Stratocaster polos miliknya diletakkan di sana.

Aku berdiri, membuka loker, dan mengeluarkan handuk yang selama ini sudah begitu sering digunakan.

"Lihat, ada celah di sisi pintu yang ini, 'kan? Kamu harus menutupnya dengan handuk ini. Hasilnya memang tidak sempurna, tapi kamu akan punya kedap suara yang lebih baik dengan cara ini. Dan juga ini ...."

Aku mengeluarkan sebuah sapu dan pengki dari loker, lalu menunjukkan barang-barang tersebut padanya.

"Bersihkan tempat ini dengan benar. Apa kamu tidak melihat betapa kotornya sekitaran tembok dan lantai itu? Aku bekerja cukup keras untuk membuatnya sebersih sekarang ini. Perlu kamu ingat, aku di sini untuk mendapatkan ruanganku kembali. Tidak mungkin aku membiarkan seorang gitaris muda sepertimu, yang bahkan belum pernah mendengarkan musik rock, terus bersikap arogan!"

Aku mengatakan kata-kata angkuh itu tanpa sadar, lalu menyesalinya segera setelahnya. Mafuyu menatapku dalam keadaan tercengang dengan mata yang masih diliputi air mata. Tidak lama setelahnya, ia menarik napas dalam-dalam, lalu berkata,

"... jadi itu alasanmu membawa bas ke sekolah?"

Beberapa saat lalu, ia benar-benar menangis seperti anak kecil. Lantas kenapa ia sekarang menunjukkan ekspresi menyebalkan? Memangnya aku tidak boleh membawa bas ke sini?

"Apa kamu pikir bisa menang hanya dengan beralih ke bas? Dasar bodoh!"

"Silakan bicara sesukamu. Permainanku yang sekarang memang masih belum bagus, tapi aku pasti bisa segera mengejarmu. Baiklah, kita selesaikan urusan kita untuk selamanya dengan ruangan ini sebagai hadiahnya!"



Sambil mengatakan hal itu, kuambil sapu tadi dan mengarahkan gagangnya ke Mafuyu. Aku mengatakannya! Mafuyu sepertinya sudah tidak bisa apa-apa lagi — ia cuma berdiri di sana dengan mata terbelalak. Kuanggap ia lebih terkejut karena kata-kataku ketimbang bingung akan tindakanku.

Setelah mengembalikan sapu dan pengki tadi ke loker, kuambil semprotan kaleng dan meletakkannya di meja. Setelah melihat semprotan kaleng tersebut, Mafuyu memiringkan kepalanya karena bingung.

"... pembasmi serangga?"

"Betul. Kadang kamu bisa bertemu kelabang di ruangan ini, meski belakangan ini kamu akan jarang bertemu kecoak."

Tidak lama setelah aku meninggalkan ruangan, bisa kudengar suara pintu terbuka keras di belakangku. Aku menoleh, dan melihat Mafuyu berlari keluar ruangan dengan wajah pusat pasi.

"... apa lagi?! Aku sudah pergi seperti yang kamu minta, jadi diami tempat itu dengan tenang. Lagi pula, kamu masih dianggap telat meski kembali ke kelas sekarang—"

"Ke-ke-kenapa kamu tidak mengatakannya sejak awal?"

Wajahnya, yang sudah hampir menangis, membuatnya benar-benar tampak seperti anak kecil.

"Kenapa? Kamu tidak pernah bertanya, sih!" jawabku sama seperti sebelumnya. "Selama ini kamu sudah menempatinya, 'kan? Jadi itu bukan masalah."

"Dasar bodoh!"

Lengan atasku dipukulnya berkali-kali. Gadis yang menyusahkan.


Akhirnya, kami kembali ke kelas setelah jam pertama berakhir. Karena Mafuyu memegang lenganku dengan ekspresi hampir menangis, aku cuma bisa mengaku kalah. Kuhabiskan waktu kurang lebih satu jam di ruang latihan untuk membunuh semua serangga yang bisa kutemukan, serta menutup dengan plester semua celah di mana serangga bisa masuk.

Kupikir itu tidak ada gunanya. Makhluk seperti kelabang dan semacamnya bisa dengan mudah masuk melewati lubang yang hanya selebar dua milimeter, 'kan?

"Ah, hime-sama sudah kembali."

"Jadi kalian benar-benar kembali bareng ...."

Aku merasa sedikit terintimidasi saat semuanya memandang ke arah kami sewaktu melangkah ke dalam ruangan. Eh, tunggu ..., hime-sama?

Ketua kelas, Terada-san berjalan mendekat, menempel ke meja, dan berkata,

"Setelah berdiskusi, kelas ini telah memutuskan kalau kami akan memanggilmu hime-sama mulai hari ini."

Awalnya wajah Mafuyu berubah putih pucat, tapi kemudian segera memerah. Aku selalu merasa meski ia tidak mau banyak bicara, siapa pun bisa dengan mudah mengetahui apa yang dipikirkannya lewat perubahan ekspresinya.

"... ke-kenapa?"

"Kamu tidak suka dipanggil dengan namamu ataupun nama margamu, 'kan? Sangat merepotkan bagi kami jika ingin berbicara denganmu."

"Ja-jadi itu alasannya ...."

Seorang anak perempuan di samping Ketua kelas dengan santai berkata, "Kalau kamu berlutut dan meminta maaf, kami tidak akan memanggilmu dengan nama memalukan itu."

"... tidak akan."

"Oh, baiklah. Kalau begitu, mohon kerja samanya mulai sekarang, Hime-sama."

"Besok giliran Anda piket, Hime-sama. Karena itu, Anda harus datang lebih awal. Jangan seperti biasanya di mana Anda selalu hampir telat."

Ah, ia lagi-lagi hampir menangis. Ada apa dengan murid-murid kelas ini — apa mereka menjahili pendatang baru? Tapi memang salah Mafuyu sendiri hingga ia mengalami ini. Itu sebabnya, sedikit pun aku tidak merasa kasihan padanya. Biarpun begitu, ada apa dengan perbedaan sikap pada anak muda Jepang zaman sekarang?

"Ah, kalau ada yang Hime-sama butuhkan, Anda bisa mengatakannya pada Nao," kalimat dingin dari ketua kelas langsung meyegel takdirku tanpa perlu menunggu persetujuanku. Aku hampir jatuh dari kursi ketika mendengarnya.

"Kenapa aku?"

"Nao, begini, ya ...."

Anak lelaki yang duduk di kursi di samping depanku menjelaskan, "Kita selalu memanggil pangeran atau tuan putri dengan sebutan Yang Mulia, 'kan? Kamu tahu kenapa?"

"Aku tidak tahu ..., dan apa hubungan antara dua hal itu?"

"Itu artiya, kita adalah orang-orang bawahannya yang juga melayani mereka — seperti itu. Dan sangatlah tidak sopan berbicara langsung kepada keluarga kerajaan, kita hanya bisa berbicara pada pelayannya saja."

"Ohhh—" "Hari ini aku dapat pengetahuan baru," para anak lelaki bodoh di sekitarku menjadi bersemangat.

"Yang artinya, sang pelayan yang dimaksud adalah dirimu!"

"Aku? Kenapa?" meski aku memprotes dengan berulang kali memukulkan tinjuku ke meja, tidak seorang pun menghiraukanku; karena keputusan itu telah diterima oleh banyaknya murid di kelas ini, dan terlalu kuat bagiku untuk menolaknya. Aku melihat ke arah satu-satunya yang mungkin menjadi penyelamatku — Chiaki. Akan tetapi, yang dilakukannya hanyalah melihat ke arahku dan Mafuyu dengan pandangan curiga. Ia lalu menunjukkan ekspresi aneh sebelum berbalik menghadap podium pengajar.


0 komentar:

Posting Komentar