Oregairu Bab 7 Bagian 3

On Minggu, 31 Agustus 2014 0 komentar

==========================================================
Dilihat-lihat lagi, Episode 3 ini panjang banget kalau dalam LN-nya... Banyak adegan yang diringkas bahkan ditiadakan di anime-nya...
Contohnya ya... Adegan seperti di gambar ini... (Sekali lagi terima kasih agan Rize atas taipsetingnya, ditunggu Saekano-nya)
Jadi kalau mau tahu seperti apa visualisasi (yang lumayan lengkap) dari LN-nya, silakan baca manga-nya...
Info tambahan lagi, kanji untuk "kuda" (馬, uma) jika ditambah kanji 鹿, maka akan membentuk kata "bodoh" (馬鹿, baka)...
Info lagi, ternyata sulit menarasikan adegan pertandingan olahraga, ane kira kayak komentator bola begitu, ternyata malah kayak narasi novel aksi, dan itu salah satu alasan ane gak berani ambil genre lain... Satu lagi, di bagian ini ada lagi ilustrasinya...
Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 7 - Terkadang, Dewa Komedi Romantis Bisa Berbuat Baik

Bagian 3


Pertandingan pun dimulai, dan emosi-emosi saling bergesekan seiring poin yang masuk dalam pasang surutnya serangan maupun pertahanan.

Saat pertandingan baru dimulai, sorakan penonton begitu bergemuruh dan dipenuhi teriakan histeris. Namun sejalan dengan berlangsungnya pertandingan, mata mereka mengikuti ke mana arah pergerakan bola sambil menahan napasnya. Kemudian mereka menghela napas dan bersorak gembira saat poin tercipta. Ini benar-benar mirip seperti pertandingan profesional yang disiarkan di TV.

Di setiap reli panjang yang saling berganti, dengan poin yang saling berbalas, bisa kurasakan kegelisahan yang semakin mengikis syarafku.

Pada akhirnya, keseimbangan tadi dihancurkan oleh servis si gulungan vertikal itu.

*Ping!* Kudengar suara pukulan raketnya. Segera setelahnya, bola melesat turun ke lapangan layaknya sebuah peluru dan semakin membesar di penglihatanku.

Apa-apaan yang barusan itu...? Entah cuma aku, atau memang bolanya juga melesat seperti gulungan vertikal?

Intinya, Nyonya Kupu-Kupu itu ternyata benar-benar pemain kelas atas.

"Ternyata ia memang jago..."

Gumamku tanpa sadar.

"Apa kubilang."

Jawab Yuigahama dengan begitu bangga. Bukankah ia harusnya ada di pihakku?

"Kau sendiri belum memukul satu bola pun sampai sekarang..."

"Ah, eng, sebenarnya... aku jarang main tenis."

Yuigahama terkikih gugup di depanku.

"...kau... kau jarang main tenis tapi memaksakan diri ikut bermain?"

"Eng... i-iya, aku salah!"

Justru sebaliknya... perempuan ini terlalu baik. Ia jarang bermain tenis, dan ia masih memaksakan diri bermain di depan orang banyak demi membela Totsuka... tak semua orang bisa berbuat begitu. Dan itu bisa jadi lebih keren lagi andai ia memang jago bermain tenis. Tapi hidup tak selalu sesuai dengan keinginan kita.

Aku masih bisa melawan dengan servis terarah dan pengembalian bola terukur yang kuasah lewat latihan memukul bola ke tembok. Namun saat mendekati paruh kedua, perbedaan skor kami kian melebar.

Itu karena lawan kami hampir selalu terfokus pada Yuigahama.

Mereka mungkin terkejut karena aku bisa menangani dan mengubah arah sasaran mereka... atau bisa jadi mereka yang tak menghiraukan keberadaanku.

"Yuigahama, kau jaga bagian depan. Biar aku yang urus bagian belakang."

"Oke."

Setelah menetapkan strategi dasar, kami pun bersiap di posisi yang sudah direncanakan.

Servis Hayama yang keras dan cepat mengarah ke kami. Bolanya melesat ke pojok jauh lapangan dengan akurasi terukur dan melayang melewati kami. Aku melompat ke samping sambil bersusah payah menggapainya. Kujulurkan raketku sejauh mungkin supaya bisa mengenai bolanya. Lalu dengan sekuat tenaga kukembalikan bola itu.

Pengembalianku mendarat di sisi lawan, namun Nyonya Kupu-Kupu seolah sudah bersiap. Ia lalu melesatkan bola ke arah berlawanan. Aku bahkan tak menunggu untuk melihat arah datangnya bola. Aku hanya bergegas maju ke sisi tersebut, yang kukira bolanya akan mengarah ke sana.

Kakiku yang sulit kukendalikan ini masih mau menuruti kehendakku. Kuhadapi bola itu, dan saat memantul kembali, kupukul keras ke arah pojok lapangan.

Akan tetapi, Hayama sepertinya sudah mengetahui rencanaku — ia menunggu pukulanku. Ia mengubah keadaan dengan sebuah drop shot yang mengarah di antara Yuigahama dan aku.

Aku kehilangan keseimbangan hingga tak mungkin meraih bola itu. Aku memandang Yuigahama dengan tatapan memohon, dan ia berlari ke arah bola lalu mengembalikannya... namun ia terlalu kuat memukul bolanya, sehingga bola itu pun melayang tinggi ke angkasa, dan jatuh tepat di posisi Nyonya Kupu-Kupu berdiri.

Bola itu pun dismes keras dengan sekuat tenaga ke arah kami. Nyonya Kupu-Kupu tersenyum sadis saat bola tersebut menyerempet pipi Yuigahama dan melaju ke arah pojok kosong lapangan.

"Kau tak apa-apa?"

Tanpa mengambil bola aku langsung berseru pada Yuigahama yang sudah jatuh terduduk di belakang.

"...yang tadi itu mengerikan sekali..."

Saat mendengar gumaman Yuigahama yang matanya sudah berkaca-kaca itu, Nyonya Kupu-Kupu sesaat terlihat cemas.

"Yumiko, kau memang kejam."

"Ha...?! Bukan, bukan begitu! Yang tadi itu wajar-wajar saja, kok! Enggak mungkin aku sekejam itu!"

"Ah, berarti kau memang manusia sadis."

Gurau Hayama dan Nyonya Kupu-Kupu sambil kemudian tersenyum. Para penonton pun tampak terpengaruh oleh mereka dan ikut tersenyum.

"...Hikki, ayo menangkan pertandingan ini."

Yuigahama lalu berdiri dan mengambil raketnya. "A-aduh!" Kudengar ia sedikit mengaduh.

"Hei, yakin kau tak apa-apa?"

"Maaf... kurasa kakiku terkilir."

Yuigahama tersenyum malu-malu padaku. Matanya pun sudah dipenuhi air mata.

"Kalau kita kalah, nanti bisa jadi masalah buat Sai... ah, gawat, kalau begini bisa gawat... kalau sampai gagal, minta maaf saja enggak bakal cukup... uh!"

Yuigama lalu menggigit bibirnya karena frustasi.

"Baiklah, kita pikirkan jalan keluarnya. Jika terpaksa, kita bisa mendandani Zaimokuza dengan pakaian perempuan."

"Jelas langsung ketahuan, dong!"

"Benar juga... begini saja... kau istirahat dulu di luar. Biar sisanya aku yang urus."

"...terus?"

"Sejak zaman dahulu kala, ada sebuah teknik terlarang dalam olahraga tenis. Teknik itu bernama, Raketku jadi roket!"

"Itu jelas pelanggaran!"

"...ya sudah, jika situasinya memang jadi buruk, aku akan bersikap serius. Kalau sudah serius, aku bisa menjadi ahli dalam bersujud dan menjilat kaki lawanku."

"Itu memang serius tapi dalam cara yang salah..."

Yuigahama tampak terkejut dan berdesah lalu tersenyum. Matanya sudah sembab karena air mata. Mungkin karena kakinya yang terkilir atau mungkin karena ia tertawa hingga tanpa sadar menangis. Dengan matanya yang sudah memerah, ia mengalihkan pandangannya ke arahku.

"Ah, Hikki memang bodoh... kepribadianmu buruk, bahkan saat terdesak pun tetap sama buruknya. Biar begitu, kau enggak mau menyerah... kau tetap maju seperti orang bodoh dan menantang lawanmu dengan cara menjijikkan dan menyedihkan... aku akan mengingatnya."

"Kau ini bicara ap—"

"Kurasa aku sudah enggak sanggup lagi..."

Sela Yuigahama dengan nada kesal.

Ia lalu berbalik membelakangiku dan beranjak pergi. "Permisi, permisi!" Serunya sewaktu membelah kerumunan penonton yang sedang kebingungan.

"...perempuan itu bicara apa, sih...?"

Ditinggalkan sendiri di tengah lapangan, kupandangi Yuigahama yang keluar seiring sosoknya yang mulai menghilang. Lalu kudengar suara tawa menjengkelkan yang bergema di lapangan.

"Ada apa, nih? Bertengkar sama temanmu, ya? Terus ditinggalkan, ya?"

"Konyol sekali... selama ini aku tak pernah bertengkar dengan siapa pun. Dan aku tak punya kedekatan dengan siapa pun sampai bisa bertengkar dengan mereka."

"Eh..."

Hayama dan Nyonya Kupu-Kupu tersentak karena ucapanku.

Hmm...? Harusnya mereka tertawa tadi...

Oh, aku paham. Humor merendahkan diri barusan hanya berlaku pada orang yang sudah dekat dengan kita saja...

Hanya Zaimokuza satu-satunya yang berusaha menahan tawa. Aku berdecak dan membalikkan badan hanya untuk melihat dirinya yang berlagak cuek dengan berpura-pura sedang bicara pada seseorang di tengah kerumunan penonton.

...bajingan itu mau melarikan diri, ya...? Pada situasi begini, aku sekalipun pasti akan berlagak cuek dan melarikan diri. Totsuka pun sampai memandangku dengan tatapan memelas.

Uh, baiklah... ini saatnya untuk memohon ampun. Akan kutunjukkan kalau aku bisa serius.

Untuk bisa mengambil hati orang lain, kita memang harus membuang harga diri dan sebisa mungkin menjilat mereka... aku bangga bisa melakukannya.

Mungkin cuma aku satu-satunya yang merasakan sebuah dorongan besar untuk mengeluarkan diriku dari suasana tegang ini... kemudian kudengar penonton mulai ramai bergumam.

Dan tembok manusia itu pun perlahan terbelah dua.

"Ada apa sampai jadi ramai begini?"

Rupanya itu Yukinoshita — ia mengenakan seragam olahraga satu setel dengan roknya, dan itu terlihat kurang mengenakkan. Ia datang dengan membawa kotak P3K di tangannya.

"Ah, kau ini ke mana saja...? Terus kenapa bajumu begitu?"

"Aku juga kurang tahu... Yuigahama mendatangiku dan memintaku memakai ini."

Ujar Yukinoshita sambil berbalik, kemudian Yuigahama muncul di sampingnya. Tampaknya mereka saling bertukar pakaian, dan Yuigahama sedang mengenakan seragam Yukinoshita. Mereka ganti baju di mana? Masa di luar?! Hmm...

"Rasanya kesal kalau kita kalah padahal sudah sampai sejauh ini, makanya Yukinon akan bermain untuk kita."

"Kenapa harus aku...?"

"Yah, soalnya Yukinon itu teman yang paling bisa diandalkan di dunia!"

Yuikinoshita sedikit tersentak saat mendengar tanggapan Yuigahama tadi.

"Te... teman?"

"Yak, teman."

Sanggah Yuigahama tanpa pikir panjang. Tunggu dulu, rasanya yang tadi itu agak...

"Apa kau meminta tolong temanmu untuk melakukan hal seperti ini? Rasanya kau hanya memanfaatkannya saja..."

"Eh? Untuk yang begini, aku hanya bisa meminta tolong temanku saja. Kenapa juga kita harus memohon pada orang yang enggak peduli untuk melakukan hal-hal penting buat kita?"

Jawabnya seolah itu adalah hal paling wajar untuk diucapkan.

Oh, begitu rupanya...

Di masa lalu, aku sering terpedaya untuk menggantikan tugas piket anak lain karena mereka berkata, Kita ini teman, 'kan? Itu sebabnya aku belum terbiasa dengan pemandangan yang diperlihatkan Yuigahama ini. Begitu rupanya. Berarti aku memang berteman dengan anak-anak itu... barangkali.

Tak menutup kemungkinan Yukinoshita memikirkan hal yang sama denganku. Ia menempelkan jari di bibirnya seakan sedang memikirkan sesuatu.

Kecurigaannya terlalu berlebihan; aku pun bukan tipe yang gampang percaya orang lain.

Tapi Yuigahama ini beda cerita. Intinya, anak ini terlalu polos.

"Hei, mungkin ia hanya bersikap jujur. Lagi pula, anak ini terlalu polos."

Saat aku berkata begitu, sikap tegas Yukinoshita langsung melunak. Ia menyunggingkan senyum penuh makna pada kami dan mengibaskan rambutnya dengan sebelah tangan seperti yang biasanya ia lakukan.

"Tolong jangan anggap remeh diriku... mungkin kelihatannya saja begini, tapi aku cukup jeli dalam menanggapi orang lain. Dan mustahil seseorang yang bisa bersikap baik padaku maupun pada Hikigaya adalah orang yang jahat."

"Logika yang cukup mengesalkan..."

"Tapi memang itu kenyataannya."

Sudah pasti begitu.

"Aku tak keberatan diminta bermain tenis, tapi... bisa aku minta waktu sebentar?"

Tanya Yukinoshita, lalu ia berjalan mendekati Totsuka.

"Setidaknya kau bisa merawat lukamu dulu, ya 'kan?"

Totsuka tampak sedikit kebingungan sewaktu menerima kotak P3K yang disodorkan padanya.

"Eh, ah, iya..."

"Yukinon, jadi tadi kau pergi untuk mengambil itu... kau memang baik."

"Begitukah? Walau ada beberapa anak lelaki diam-diam menjulukiku Ratu Es..."

"Ke-kenapa kau bisa tahu... Argh! Kau membaca Daftar Orang yang Takkan Kumaafkan milikku, ya?!"

Sial. Aku sudah menyebut Yukinoshita dengan kata-kata buruk di buku itu.

"Aku terkejut. Jadi kau benar-benar menjulukiku begitu? ... yah, aku juga tak peduli orang berpikir apa."

Yukinoshita membalikkan badannya ke arahku. Meski begitu, ekspresi dingin yang ia tunjukkan tak terlihat seperti biasanya, melainkan sedikit diwarnai oleh keraguan. Suaranya perlahan beralih dari kepercayaan diri menjadi sesuatu yang lebih rapuh. Ia tiba-tiba memalingkan pandangannya.

"...dan... aku tak keberatan kalau kau menganggapku... temanmu..."


Hampir kudengar suara *pop* sewaktu pipi Yukinoshita mulai tampak merah padam. Ia genggam raket yang diambilnya dari Yuigahama tadi dan sekilas terlihat sedang menundukkan wajah.

Itu terlihat begitu menggemaskan hingga cukup layak untuk diberi pelukan... oleh Yuigahama.

"Yukinon!"

"Hentikan... jangan menempel begitu padaku. Aku jadi tak bisa bergerak..."

...eh? Bukankah ini titik di mana ia harusnya bersikap lembut padaku? Entah hanya aku, atau ia cuma bersikap lembut pada Yuigahama saja? Harusnya tak begitu, bukan? Apa kami sedang di dalam kisah komedi romantis di mana lelaki mendapat cinta lelaki lain dan perempuan mendapat cinta perempuan lainnya?

Semua dewa komedi romantis memang konyol.

Setelah Yukinoshita berhasil melepaskan diri dari Yuigahama, ia berdeham beberapa kali dan lanjut berbicara.

"Sungguh sebuah penyesalan bisa berpasangan dengan lelaki ini, tapi, yah... mau bagaimana lagi? Aku terima permintaanmu. Aku hanya perlu memenangkan pertandingan ini saja, bukan?"

"Sip! ...yah, aku juga enggak bisa berbuat banyak agar Hikki bisa menang."

"Maaf sampai membuatmu melakukan ini."

Kubungkukkan badan ini, tapi Yukinoshita hanya menatapku dingin.

"...jangan salah sangka. Aku melakukan ini bukan demi dirimu."

"Ha ha ha, kau memang tsundere."

Ha ha ha, ya ampun, ha ha ha ha... sudah lama aku tak mendengar hal seklise itu.

"Tsundere...? Entah kenapa, kata-kata itu membuat bulu kudukku merinding."

Ya, itu memang benar... kurasa sudah jelas kalau Yukinoshita takkan tahu apa itu tsundere... terlebih, perempuan itu takkan berbohong — ia akan selalu berkata sejujurnya, tak peduli betapa kejamnya itu. Jadi kemungkinan ia tak berbohong saat berkata kalau ini bukan demi diriku.

Yah, bukan berarti aku ingin ia agar menyukaiku atau semacam itu, jadi ya, sudahlah.

"Yang penting, nanti perlihatkan padaku daftar yang kausebut tadi. Akan kuperiksa dan kuperbagus untukmu."

Yukinoshita lalu tersenyum manis kepadaku, mengingatkanku akan sebuah bunga yang mulai mekar. Tapi kenapa senyumnya tak sedikit pun menghangatkan hatiku...?

Aku justru merasa ketakutan. Rasanya seperti sedang ditatap seekor harimau.

Bila memang ada harimau di depanku... hmm... berarti ada serigala di belakangku. Atau mungkin seekor kuda.

"Yukinoshita... ya? Maaf sebelumnya, tapi aku enggak akan menahan diri siapa pun lawannya. Kau merasa seperti tuan putri, 'kan? Kalau enggak mau terluka, mending pergi dan menyerah saja sana."

Aku berbalik dan melihat Miura sedang berdiri sembari memelintir gulungan vertikalnya sewaktu melihat ke arah kami sambil tersenyum kejam. Miura bodoh... menantang Yukinoshita sama saja mencari mati...

"Percayalah, aku yang akan menahan diri untukmu. Akan kuhancurkan kebanggaanmu itu sampai berkeping-keping."

Ujar Yukinoshita sambil tersenyum seolah ia tak mungkin dikalahkan. Setidaknya ia tampak tak terkalahkan di hadapanku.

Ia adalah musuh yang mengerikan, tapi hati akan sangat tenang jika berada di pihaknya... aku sungguh kasihan pada pihak yang menjadikannya musuh.

Baik Hayama maupun Miura sudah mempersiapkan diri mereka. Senyum penuh makna yang disunggingkan Yukinoshita pun tampak indah sekaligus cukup dingin untuk membekukan orang lain.

"Cukup sudah kaulecehkan tema—"

Yukinsohita keceplosan bicara kemudian sedikit tersipu. Mungkin masih terasa memalukan baginya untuk memakai kata itu, makanya ia diam-diam menggelengkan kepalanya sebelum kembali berbicara.

"...cukup sudah kaulecehkan anggota klub kami. Bersiaplah... asal kau tahu, mungkin kelihatannya saja begini, tapi aku adalah tipe pendendam."

Bukan, bukan mungkin lagi... tapi seratus sepuluh persen ia tipe pendendam.




Read more ...»

Oregairu Bab 7 Bagian 2

On Sabtu, 23 Agustus 2014 0 komentar

==========================================================
Gak bisa dibilang ngebut juga sih... Karena mood-nya lagi bagus, jadi dikerjain aja waktu ada senggang...
Untuk "tenisu", pengucapan Zaimokuza memang seperti itu (berbau-bau engrish)...
Nyonya Kupu-Kupu (お蝶夫人, Ochoufujin) adalah julukan yang diberikan pada karakter Hiromi Oka dalam seri Ace wo Narae! karena keanggunannya saat di lapangan tenis...
Yah, yang penting, setelah sekian lama, akhirnya ada ilustrasinya juga... Hkhkhk...
Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 7 - Terkadang, Dewa Komedi Romantis Bisa Berbuat Baik

Bagian 2


Aku sudah berusaha melucu dengan memakai kata-kata seperti hiruk-pikuk dan kekisruhan, namun kata-kata itu justru menjadi kenyataan.

Kini, ada beberapa orang sedang bersorak di sekitar lapangan tenis yang berletak di pojok halaman sekolah.

Andai dihitung, mungkin mudahnya ada sekitar dua ratus orang di sini. Tentu saja sebagiannya adalah kelompok Hayama, tapi ada lebih banyak orang yang mungkin mendengar hal ini dari suatu tempat dan penasaran ingin mencari tahu.

Sebagian besar penonton di sini adalah teman Hayama maupun penggemarnya. Sebagian besarnya adalah anak kelas dua, namun ada juga anak kelas satu yang berbaur, dan aku pun bisa melihat ada anak kelas tiga di sana-sini.

Yang benar saja? Ia bahkan lebih populer dibanding politisi.

"HA~ YA~ TO~ GO!! HA~ YA~ TO~ GO!!"

Para penonton bersorak untuk Hayama, dan mereka mulai membuat gelombang sorakan. Rasanya seperti sedang di tengah konser idola saja. Meski kurasa sebagian orang di sini bukanlah penggemar Hayama, tapi mereka kemari karena merasa ada sesuatu yang aneh sedang berlangsung... iya, 'kan? Aku justru lebih meyakini hal itu.

Intinya, bulu kudukku langsung merinding sewaktu melihat ke arah kerumunan. Rasanya seperti sebuah sekte keagamaan. Jemaat masa remaja memang menyeramkan.

Dan di tengah wadah kekisruhan yang meleleh itu, Hayato Hayama dengan percaya diri maju ke tengah lapangan. Terlepas dari riuhnya penonton, ia tampak begitu tenang. Mungkin ia sudah terbiasa dengan perhatian sebanyak ini. Kini tak hanya pengikutnya saja yang mengerumuninya, namun juga beberapa anak lelaki dan perempuan dari kelas lain.

Kami sudah benar-benar tertelan seutuhnya. Kami pun bolak-balik saling beradu tatap. Kupejamkan mataku, dan kurasakan diriku pening karena hiruk-pikuk yang memekakkan telinga itu.

Hayama sudah menggenggam raketnya dan berdiri di sisi lapangan. Ia memandang kami dengan penuh ketertarikan, penasaran soal siapa di antara kami yang akan maju duluan.

"Hei, Hikki. Bagaimana, nih?"

"Bagaimana, ya..."

Yuigahama tampak gelisah saat bertanya padaku tadi. Aku lalu memandang ke arah Totsuka, dan ia sudah terlihat seperti kelinci ketakutan yang baru saja dilepas di hutan yang asing.

Bahkan sewaktu berbicara padaku, ia tampak begitu malu-malu sambil merapatkan kedua kakinya. Ya ampun, gemas sekali melihatnya.

Bukan aku saja yang berpikir demikian. Saat Totsuka berjalan dengan lemahnya tadi, kudengar para perempuan di sekitar kami sudah menjeritkan, "Pangeran~~!!" ataupun "Sai~~!!"

Namun setiap kali Totsuka mendengar itu, bahunya langsung terturun. Dan karena melihat hal itulah, para penggemar Totsuka semakin menggeliat kesenangan. Aku pun jadi sedikit ikut terbawa mereka.

"Sepertinya Totsuka tak bisa ikut bertanding..."

Hayama bilang kalau ini adalah pertandingan antara orang-orang dari luar Klub Tenis. Dengan kata lain, ini adalah pertandingan untuk memenangkan lapangan dan Totsuka itu sendiri.

"...Zaimokuza, kau bisa main tenis?"

"Serahkan saja padaku. Aku sudah selesai membaca seluruh jilidnya, bahkan aku sudah menonton drama musikalnya. Jadi aku cukup superior bila berurusan dengan tenisu."

"Aku yang bodoh sudah bertanya padamu. Lagi pula, kalau mengucapkan tenis dengan cara begitu, harusnya kau juga konsisten sewaktu mengucapkan drama musikal tadi."

"Yah, kalau begitu, berarti memang terserah padamu... terus bagaimana pengucapan drama musikal-nya?"

"Benar juga, kurasa memang harus aku..."

"Menurutmu kau punya kesempatan menang? ...serius deh, bagaimana dengan pengucapan drama musikal-nya?!"

"Sama sekali tak ada... sudahlah, jangan cerewet. Kalau memang tidak bisa, tinggal ubah saja karakter sialanmu itu. Parah sekali kelihatannya."

"Be-begitu... Hachiman, memang pintar, ya?"

Zaimokuza tampak terkesan. Rupanya masalah tentang dirinya tadi sudah bisa diatasi. Tapi tak satu pun dari masalahku sendiri sudah teratasi. Ah... bagaimana ini?

Kubenamkan kepalaku dalam kedua tangan yang sedang menyilang. Saat melakukannya, kudengar sebuah suara kasar nan menjengkelkan.

"Hei, bisa cepat enggak, sih?"

Ya Tuhan. Perempuan bispak ini benar-benar menjengkelkan. Kutengadahkan kepalaku dan melihat Miura sudah menggenggam raket sambil memeriksanya. Hayama pun tampak merasa aneh saat melihat kelakuan perempuan itu.

"Eh? Yumiko mau main juga?"

"Hah? Ya, iyalah. Dari awal, yang mau main tenis itu sebenarnya aku. Masa lupa, sih?"

"Aku tahu, tapi... tim di sebelah sana mungkin diwakili anak lelaki. Kau kenal, eng... Hikitani, 'kan? Anak itu. Kalau kau bermain dengannya, bakal enggak adil nanti."

Siapa itu Hikitani? Yang bermain itu bukan Hikitani, tapi Hikigaya... mungkin.

Setelah diingatkan oleh Hayama, Miura lalu termenung sambil memain-mainkan rambut ikalnya.

"Ah, kalau begitu, main ganda campuran saja! Wah, aku ini pintar juga, ya? Tapi... memangnya ada perempuan yang mau main sama Hikitani? Haha, konyol banget!"

Miura mulai mengeluarkan tawa vulgar bernada tinggi, lalu diikuti oleh tawa para penonton. Mau tak mau aku juga ikut menertawakan diriku sendiri.

Ku ku ku, ku ku ku... uh, kuakui rasanya perih sekali, tapi yang tadi itu memang tepat sasaran. Bisa kurasakan diriku terjun bebas ke dalam kegelapan.

"Hachiman, ini gawat. Kau sama sekali tidak punya teman perempuan. Dan tak ada anak perempuan yang mau membantu bajingan penyendiri berwajah datar sepertimu sekalipun kau memohon. Jadi bagaimana ini?"

Zaimokuza ini tak mau diam. Tapi yang dikatakannya memang benar, makanya aku tak bisa menyangkalnya.

Kita sudah melewati sebuah masa di mana aku bisa tinggal pergi sambil berkata, Ahahaha, maaf~~ sudah, kita lupakan saja soal ini. (kedip <3). Awalnya aku ingin meminta bantuan Zaimokuza, tapi ia hanya menoleh ke sana kemari dan mulai bersiul.

Kuhela napasku, dan seolah tertular, Yuigahama dan Totsuka juga ikut menghela napas.

"..."

"Hikigaya, maaf. Kalau saja aku anak perempuan, aku pasti akan senang bermain denganmu, tapi..."

Benar sekali. Kenapa Totsuka bukan anak perempuan? Padahal ia begitu manis...

"...tenang saja."

Tak boleh kubiarkan kecemasan ini tampak di wajahku, karena itu lalu kubelai kepala Totsuka.

"Dan juga... kau tak perlu mencemaskan ini. Kalau kau punya tempat untuk bernaung, maka kau harus melindungi tempat tersebut."

Saat aku mengatakannya, bahu Yuigahama jadi gemetar. Ia gigit bibirnya dan melihatku dengan tatapan menyesal.

Yuigahama punya kedudukan sendiri di kelasnya. Tak sepertiku, ia benar-benar hebat jika berurusan dengan pergaulan antarsesama. Itu sebabnya ia masih ingin bisa berakrab ria dengan Miura serta anak lainnya.

Aku adalah penyendiri, tapi bukan berarti aku iri dengan orang-orang yang akrab dengan sesamanya. Bukan berarti pula aku mengharapkan hal buruk terjadi pada mereka... sungguh bukan itu. Aku tidak bohong.

Bukan berarti kami ini sekumpulan teman atau semacamnya, dan aku juga takkan menganggap mereka sebagai teman. Kami hanyalah bentuk kekacauan dari sekelompok acak orang-orang yang berkumpul bersama, atau mungkin kami berkumpul di sini karena alasan yang acak pula.

Yang mau kulakukan hanyalah ingin membuktikan sesuatu. Bahwa para penyendiri ada bukan untuk dikasihani, mereka sama bergunanya seperti yang lain.

Aku sadar betul kalau itu adalah pemikiran yang egosentris. Tapi aku memang orang yang egosentris jika sedang sendirian. Bahkan aku bisa berteleportasi dan menghembuskan api saat sedang sendirian.

Namun aku tak mau menolak masa laluku sendiri ataupun masa yang sedang kujalani ini. Aku takkan pernah percaya bahwa menghabiskan waktu seorang diri adalah sebuah dosa atau hal yang dianggap salah.

Karena itu aku akan berjuang melindungi rasa keadilanku sendiri.

Aku pun mulai maju ke lapangan sendirian.

"...mau."

Kudengar desahan lembut, amat sangat lembut hingga lenyap oleh riuhnya sorakan.

"Hah?"

"Kubilang, aku mau!"

Yuigahama sedikit mengerang sewaktu wajahnya mulai memerah.

"Yuigahama? Bodoh. Kau ini bodoh, ya? Jangan main-main."

"Kenapa aku dibilang bodoh?!"

"Kenapa kau mau melakukannya? Kau ini bodoh, ya? Atau jangan-jangan kau suka padaku?"

"E... eh? Ka-kau ini bicara apa? Bodoh! Dasar Bodoooooh!!"

Wajah Yuigahama memerah selagi mengataiku bodoh berulang kali disertai kemarahan yang luar biasa. Ia lalu merebut raket dari tanganku dan mulai mengayunkannya ke sana kemari.

"Ma-ma-ma-maaf! Maaf!"

Aku langsung meminta maaf sambil menghindari ayunan raketnya. Mengerikan sekali saat mendengar suara ayunan raket yang begitu dekat dengan telingaku. Tapi sewaktu aku meminta maaf, kuperlihatkan rasa penasaran ini lewat ekspresiku. Yuigahama pun mengalihkan wajahnya dengan malu-malu.

"...yah, bagaimana bilangnya, ya? Aku juga anggota Klub Layanan Sosial... jadi bukan hal aneh bagiku berbuat seperti ini... soalnya, itu tempatku bernaung."

"Tunggu, tenang dulu. Perhatikan dulu sekitarmu. Ini bukanlah satu-satunya tempatmu bernanung, 'kan? Coba lihat, para perempuan dalam grup langgananmu sedang menatap ke arahmu."

"Eh, serius?"

Yuigahama menegang dan menoleh ke arah grup Hayama. Hampir bisa kudengar suara lehernya yang berderak sewaktu menolehkan kepala. Aku sempat mau menyarankannya agar memakai pelumas Kure 556 atau semacamnya.

Grup perempuan di sekitar Hayama, dengan Miura sebagai pemimpinnya, sedang memandang kami. Sudah sewajarnya mereka berbuat demikian, mengingat apa yang sudah Yuigahama lantangkan tadi.

Terasa aura permusuhan pada mata besar Miura yang sudah ditebali oleh maskara dan eyeliner. Gulungan rambut pirangnya yang mirip bor itu berayun tak senang. Memangnya ia itu Nyonya Kupu-Kupu apa?

"Yui, asal kau tahu, kalau kau memihak sana berarti kau melawan kami. Kau paham, 'kan?"

Layaknya seorang ratu, Miura menyilangkan lengan dan menghentakkan kakinya ke tanah. Itu adalah pose seorang ratu yang sedang marah. Merasa tertekan oleh pose tersebut, perlahan Yuigahama menundukkan pandangannya ke bawah. Ia lalu menggenggam keliman roknya. Mungkin ia merasa gugup — tangannya sudah gemetaran.

Sorakan pernonton mulai berubah menjadi riuh rendahnya suara bisikan. Padahal ini bukan sebuah eksekusi di depan umum.

Namun Yuigahama mengangkat kepalanya dan dengan tegas menatap ke depan.

"...bukan begitu... mauku. Tapi, klub... klub ini penting buatku! Jadi aku akan melakukannya."

"Hmm... begitu. Jangan sampai kau malu sendiri, ya."

Tanggap Miura singkat. Namun aku melihat sebuah senyum tersungging di wajahnya. Itu adalah senyuman api neraka yang berkobar.

"Ayo ganti baju dulu. Biar kupinjamkan baju dari Klub Tenis Putri. Ayo ikut."

Miura menolehkan kepalanya ke arah ruang Klub Tenis yang berada di dekat lapangan. Mungkin ia mencoba bersikap baik, tapi yang terdengar bagiku, ia seperti berkata, Akan kucekik kau di ruang klub nanti. Yuigahama pun mengikutinya dengan wajah tegang, dan semua anak di sekelilingnya memandang dirinya dengan tatapan iba.

Yah... senang bisa kenal dengan dirinya...

"Hei, Hikitani."

Sewaktu aku mendoakan Yuigahama, Hayama mengajakku bicara. Ia pasti punya keahlian komunikasi yang cukup hebat hingga bisa bicara denganku. Meskipun ia salah mengucapkan namaku.

"Ya?"

"Aku masih belum begitu tahu peraturan tenis. Bermain ganda sepertinya juga cukup sulit. Jadi, apa kau keberatan kalau kita membuat beberapa peraturan sederhana?"

"Boleh. lagi pula ini juga tenis untuk pemula. Kita pukul saja bolanya dan tetap hitung angkanya. Bagaimana? Ini mirip seperti bola voli."

"Ah, itu lebih mudah dipahami. Aku setuju."

Hayama tesenyum senang. Kubalas dirinya dengan tersenyum masam.

Di saat bersamaan, dua perempuan tadi akhirnya kembali.



Wajah Yuigahama sudah memerah selagi ia susah payah membetulkan roknya. Satu setelan dengan roknya, ia mengenakan kaos polo untuk bagian atasnya.

"Rasanya seragam tenis ini agak... bukannya rok ini terlalu pendek, ya?"

"Tapi rok yang kaupakai selalu sependek itu, kok..."

"Hah?! Apa maksudmu?! Ja-jangan bilang kalau kau selalu memerhatikanku! Menjijikkan! Jijik banget! Benar-benar menjijikkan!"

Yuigahama menatapku tajam dan mulai mengangkat raketnya di atas kepala.

"Tenang saja! Aku tak memerhatikannya! Aku sama sekali tak memerhatikanmu! Jangan khawatir! Dan jangan pukuli aku!"

"Entah kenapa... rasanya itu tetap membuatku kesal..."

Gumam Yuigahama sembari perlahan menurunkan raketnya.

Melihat kesempatan untuk membuka diskusi, Zaimokuza menyela sambil berdeham.

"Ehem... Hachiman. Bagaimana strateginya?"

"Strategi terbaiknya adalah mengincar perempuan itu, 'kan?"

Soalnya perempuan sebodoh itu akan bisa langsung dihancurkan, bukan? Jadi sudah pasti perempuan itu adalah celah dari pertahanan mereka. Akan lebih efisien jika menyerang ke arahnya daripada berhadapan satu lawan satu dengan Hayama. Namun sewaktu mendengar rencana tersebut, Yuigahama langsung mengajukan keberatan sambil bersuara panik.

"Eh? Hikki, kau enggak tahu, ya? Yumiko sudah bermain tenis sejak SMP. Ia terpilih masuk ke dalam tim yang mewakili prefektur, tahu?"

Sewaktu mendengarnya, aku langsung melirik ke arah Nyonya Kupu-Kupu (alias Yumiko). Postur tubuhnya cukup proporsional, dan pergerakan tubuhnya tampak begitu luwes. Mengetahui itu, Zaimokuza bicara sambil terbata-bata.

"Hm... jadi si gulungan vertikal itu tidak main-main."

"Sebenarnya, gaya rambut itu sebutannya pintalan longgar..."




Read more ...»

Oregairu Bab 7 Bagian 1

On Selasa, 19 Agustus 2014 0 komentar

==========================================================
Untuk beberapa hari kemarin ane jatuh sakit, jadi yang harusnya hari minggu kemarin sudah bisa di-posting, malah molor sampai hari ini... Jadi, ane minta maaf...
Paruh kedua dari Episode 3 pun dimulai, ane cukup senang di bagian ini, karena ada beberapa adegan serta kutipan bagus yang gak ada di anime-nya...
Untuk diketahui, 撃つ dan 鬱 pelafalannya sama-sama 'utsu'... Sama pelafalan tapi beda arti...
Satu lagi, Bab 7 ini belum ane posting di Baka-Tsuki, mungkin gak bakal di-posting di sana, karena sudah ada yang mengambil alih Bab 7 dan Bab 8...
Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 7 - Terkadang, Dewa Komedi Romantis Bisa Berbuat Baik

Bagian 1


Jadi begitulah, hari-hari pun berlanjut dan kami melaju ke fase dua dari pelatihan tenis ini.

Mungkin kalimat barusan terdengar agak terlalu keren. Sederhananya, kami sudah melalui pelatihan dasar dan akhirnya berlatih dengan raket dan bola.

Meski sewaktu aku berkata kami, yang kumaksud sebenarnya adalah Totsuka seorang. Karena hanya Totsuka-lah satu-satunya anak yang menghabiskan waktunya untuk memukul bola ke tembok di bawah pengawasan Instruktur Yukinoshita.

Yah, bukan berarti kami bisa mengimbangi anggota Klub Tenis, itu sebabnya kami hanya menghabiskan waktu sesuka kami saja.

Yang dilakukan Yukinoshita hanyalah membaca buku di bawah naungan pohon sekitar, namun sesekali ia terlihat sedang mengigatkan Totsuka dan pergi mengamati serta memberi instruksi lebih lanjut.

Awalnya Yuigahama sempat mengikuti latihan bersama Totsuka, namun ia segera bosan dan kini malah menghabiskan sebagian besar waktunya untuk tidur siang di sebelah Yukinoshita. Yang dilakukannya mengingatkan kita sewaktu membawa anjing ke taman yang kelelahan dan merebahkan dirinya di dekat salah satu kolam penampungan air.

Lalu, Zaimokuza, dengan ciri khasnya, tampak sedang bersungguh-sungguh mengembangkan teknik pukulan ajaib pamungkasnya. Sial, harusnya ia berhenti melempar-lempar kenari. Dan harusnya ia juga berhenti menggali tanah lapangan dengan raketnya.

Pada akhirnya, hanya hal yang tak berguna mengumpulkan begitu banyak orang tak berguna ini ke dalam satu tempat.

Dan kalau aku, tak usah ditanya.

Aku bermalas-malasan di pojok lapangan sambil mengamati kawanan semut. Rasanya begitu menyenangkan.

Benaran, deh. Rasanya sangat-sangat menyenangkan.

Aku tak tahu apa yang dipikirkan makhluk kecil ini sampai segelisah itu ke sana kemari, tapi yang jelas, mereka hanya menjalani hidup mereka dengan penuh kesibukan. Kurasa itulah yang membuat diriku seakan sedang melihat ke bawah dari gedung perkantoran yang menjulang tinggi.

Gambaran kawanan semut yang tergesa-gesa ini serta gambaran karyawan kantoran berjas hitam terus terlintas di pikiranku.

Apa suatu hari nanti aku juga akan menjadi bintik-bintik hitam tadi yang bakal dilihat oleh orang lain dari ketinggian yang sama seperti gedung-gedung tinggi di Tokyo? Sebenarnya pikiran macam apa yang sedang kurenungkan ini?

Bukan berarti aku tak suka menjadi karyawan kantoran. Malahan, sebagian diriku ingin menjadi salah satunya. Profesi tersebut ada di peringkat dua dari daftar cita-citaku, di mana peringkat satunya adalah bapak rumah tangga siaga-sepanjang waktu. Peringkat tiganya adalah mesin pengapian. Gila, memangnya aku ini mau menjadi mobil, apa...?

Tentu saja aku sadar betul mengenai kekurangan dari menjadi seorang karyawan kantoran. Aku selalu kagum ketika melihat ayahku pulang dari kerja dengan wajah penuh kelelahan. Begitu mengagumkan melihat beliau yang setiap harinya berangkat kerja meski beliau sendiri tak merasa bahagia.

Karena itu tiba-tiba aku memproyeksikan gambaran akan ayahku kepada salah satu dari kawanan semut ini dan mulai menyemangatinya dalam hati.

Berjuanglah, Yah. Jangan menyerah, Yah. Jangan sampai botak, Yah.

Aku memimpikan masa depanku sendiri, kemudian mulai cemas akan masa depan rambutku sendiri.

Mungkin doaku tadi terkabulkan, soalnya semut itu mulai berbalik dan berjalan kembali ke arah lubang sarang tempat tinggalnya. Aku yakin kehangatan keluarga telah menunggu kepulangannya.

Syukurlah.

Dipenuhi oleh perasaan, aku terisak lalu mengusap air mataku.

Di saat bersamaan.

*Wuuusss!*

"Ayaaah~~!!!"

Tanda-tanda kehidupan semut itu pun menghilang seiring bola yang jatuh melesat dari sisi pojok jauh lapangan.

Dengan mata yang dipenuhi kemurkaan, kuarahkan pandanganku ke sumber datangnya bola tadi.

"Hmm... jadi itu menciptakan kepulan debu untuk membingungkan musuh, lalu menggunakan kesempatan tersebut untuk melesatkan bola ke sana... tampaknya pukulan ajaibku ini telah sempurna. Ilusi elemen bumi yang membawa kemakmuran hasil alam, Blasting Sand Rock!"

Zaimokuza, rupanya ini ulahnya... apa yang sudah ia lakukan pada ayahku (versi semut)...? Terserah sajalah. Itu cuma seekor semut. Kutepuk kedua tanganku dan mulai memanjatkan sedikit doa.

Sementara itu, Zaimokuza tampak sedang terkesima dengan keberhasilan penyempurnaan teknik barunya, dan memutar raketnya berkali-kali sebelum menempatkannya di atas bahu sambil berpose. Rasanya seperti ia baru saja mendapat sejumlah EXP.

Terserah sajalah. Aku tak peduli soal Zaimokuza maupun semut itu.

...mungkin sebaiknya kuhabiskan saja waktu ini dengan melihat betapa manisnya tingkah Totsuka.

Sewaktu memikirkannya, kulihat Yuigahama ternyata sudah bangun, dan kini sedang disuruh-suruh oleh Yukinoshita untuk membawa keranjang bola ke sana kemari.

Ia bertugas mengambil bola dari keranjang, melempar bolanya ke sisi Totsuka, lalu Totsuka berusaha semampunya untuk mengembalikan bolanya.

"Yuigahama, tolong arahkan bolanya ke tempat yang lebih sulit lagi, seperti di sana atau di sana. Latihan macam tadi malah tak ada artinya."

Tampak berbeda dengan kalem dan tenangnya Yukinoshita, Totsuka terengah-engah sewaktu mengejar bola ke sisi garis lapangan maupun ke dekat net.

Yukinoshita memang sungguh-sungguh. Dan ia memang sungguh-sungguh gila.

...tidak, ia hanya sungguh-sungguh berusaha melatih Totsuka saja. Dan kuharap ia berhenti memandangiku... rasanya ngeri sekali. Apa ia memang bisa membaca pikiranku...?

Arah bola Yuigahama benar-benar acak (tak bermaksud menyinggung form-nya), dan setiap bola yang dilemparnya benar-benar ke arah yang tak bisa ditebak. Totsuka berlarian ke sana-sini dan berusaha mengembalikan bolanya, namun kira-kira pada bola kedua puluh ia jatuh ke tanah.

"Waduh, Sai, kau baik-baik saja?!"

Yuigahama berhenti melempar bola dan berlari ke arah net. Totsuka mengusap lututnya yang lecet, namun sebuah senyum menghiasi matanya yang berkaca-kaca itu dan berusaha menegaskan kalau ia baik-baik saja. Rekanku ini memang berjiwa kesatria.

"Tidak apa-apa, teruskan saja."

Akan tetapi, Yukinoshita tampak muram saat mendengarnya.

"Kau... masih masih mau lanjut?"

"Iya... kalian sudah mau repot-repot membantuku, jadi aku akan berusaha lebih keras lagi."

"...baiklah, kalau begitu. Yuigahama, kuserahkan sisanya padamu."

Saat mengatakannya, Yukinoshita berbalik dan dengan cepat menghilang ke arah gedung sekolah. Totsuka memandang kepergiannya dengan raut gelisah.

"Apa aku... sudah mengatakan sesuatu... yang membuatnya marah...?"

"Tidak, kok. Ia memang selalu seperti itu. Asalkan ia tak menyebutmu bodoh atau tak berbakat, berarti suasana hatinya masih sedang bagus."

"Bukannya cuma Hikki saja yang dikata-katai seperti itu?"

Padahal ia sendiri juga sering dikatai-katai begitu... cuma Yuigahama saja yang tidak sadar.

"Apa mungkin ia... sudah lelah menghadapiku...? Aku belum begitu berkembang, dan aku hanya bisa push-up sebanyak lima kali saja..."

Bahu Totuska terturun, dan ia menundukkan pandangannya ke tanah. Hmm... kurasa itu tak begitu berbeda dengan yang biasanya Yukinoshita lakukan...

Meskipun begitu...

"Kurasa bukan itu deh masalahnya. Yukinon enggak bakal menelantarkan orang yang minta bantuan padanya."

Ujar Yuigahama sambil memutar-mutar bola di tangannya.

"Yah, itu benar. Ia bahkan membantu Yuigahama dalam memasak. Jadi setidaknya kau masih punya harapan. Aku ragu Yukinoshita sudah menyerah padamu."

"Apa maksudmu tadi?!"

Yuigahama mengambil bola yang ia mainkan tadi lalu melemparkannya ke kepalaku. Bolanya tepat mengenai sasaran sampai menimbulkan bunyi dug!. Yang benar saja? Kontrol lemparannya tadi benar-benar bagus. Aku takkan terkejut kalau ia bakal masuk dalam daftar uji coba pemain inti.

Kuambil bola yang menggelinding di tanah itu lalu dengan pelan melemparkannya kembali ke arah Yuigahama.

"Ia pasti akan datang. Jadi, mau dilanjutkan?"

"...oke!"

Jawab Totsuka bersemangat, dan ia pun kembali berlatih

Setelahnya, untuk sementara tak terdengar lagi ada keluhan maupun tangis air mata.

Totsuka sedang berusaha semampunya.

"Uh, capek banget~~ Hikki, gantikan aku, dong."

Nyatanya, justru Yuigahama yang mulai mengeluh...

Yah, walau sebenarnya aku tak begitu berbuat banyak.

Satu-satunya pilihan bagiku kini hanyalah kembali mengamati semut-semut.

Namun semut-semut tersebut sudah dibantai Zaimokuza, makanya sekarang aku merasa bosan. Tak ada lagi yang bisa kulakukan.

"Boleh. Ayo gantian."

"Hore~~ eh, sekadar info, saat bola keenam nanti, rasanya bakal membosankan, lo. Jadi siap-siap saja."

Bola keenam?! Cepat sekali. Seburuk itukah daya tahannya?

Sewaktu aku beranjak mengambil kumpulan bola dari Yuigahama, kulihat senyum yang terpampang di wajahnya tadi berubah menjadi suram dan sedikit samar.

"Wah, lihat! Ada yang main tenis!"

Aku berbalik mengahadap sumber suara riang itu, dan kulihat ada segerombolan anak dengan Hayama dan Miura sebagai pusatnya. Mereka berjalan menuju ke arah kami, dan sewaktu melewati Zaimokuza, mereka tampak menyadari keberadaanku dan Yuigahama.

"Eh... ada Yui..."

Ucap perempuan di sebelah Miura dengan suara pelan.

Miura sesaat memandang ke arahku dan Yuigahama sebelum mengabaikan kami lalu beralih pada Totsuka. (Tampaknya ia benar-benar tak menyadari keberadaan Zaimokuza.)

"Hei, Totsuka. Kami boleh ikutan main, enggak?"

"Miura, aku... tidak sedang bermain... aku sedang latihan..."

"Hah? Apa? Aku enggak dengar."

Ucapan Totsuka begitu pelan dan tampaknya Miura tak mendengarnya. Totsuka terdiam mendengar balasan Miura. Bagaimana tidak, jika seseorang bertanya padaku dengan cara seperti itu, aku pun pasti akan ikut terdiam. Perempuan itu benar-benar mengerikan.

Totsuka mengumpulkan sedikit keberanian yang masih dipunyainya dan mencoba menjawab kembali.

"A-aku sedang latihan..."

Tapi sang tuan putri tak tampak puas.

"Hmm... tapi kok, ada orang selain anggota Klub Tenis di sini? Jadi artinya, lapangan ini enggak disediakan khusus buat anak-anak Klub Tenis saja, 'kan?"

"Me-memang benar, sih... tapi..."

"Kalau begitu enggak masalah kalau kita ikut main di sini. Iya, 'kan?

"...tapi..."

Setelah mengatakannya, Totsuka tampak panik dan melihat ke arahku. Eh, aku?

Yah, kurasa memang tak ada lagi orang yang bisa ia andalkan. Yukinoshita sedang pergi entah ke mana, Yuigahama memalingkan pandangannya dengan wajah gelisah, dan tak ada yang memedulikan keberadaan Zaimokuza... jadi kurasa memang cuma aku.

"Oh, maaf, tapi Totsuka sudah meminta izin guru untuk memakai lapangan ini. Jadi orang lain tak boleh menggunakannya."

"Hah? Makanya tadi aku tanya, padahal kau bukan anggota Klub Tenis tapi kok boleh menggunakannya?"

"Ah, eng... soalnya kami di sini membantu Totsuka latihan. Yah, semacam tenaga kerja lepas begitu."

"Eh? Kau ini mengoceh apa? Menjijikkan, tahu."

Wuah, perempuan ini memang sama sekali tak punya niat mendengarkanku. Makanya aku benci perempuan bispak macam begini. Primata macam apa yang tak mengerti ucapan manusia? Anjing saja bisa mengerti. Ya, Tuhan.

"Sudah, sudah, jangan bertengkar."

Sela Hayama ingin menengahi.

"Bakal lebih seru kalau semuanya bisa ikut main. Begitu saja enggak apa-apa, 'kan?"

Kata-kata Hayama langsung mengusik pikiranku. Miura sudah mengokang senapannya dan Hayama yang menarik pelatuknya.

Yah, aku hanya perlu balas menembak saja.

"Semuanya... apa-apaan itu? Itu sama saja seperti saat kau merengek meminta sesuatu pada orang tuamu dan memakai alasan, Semuanya sudah punya, kok! Jadi siapa yang kaumaksud semuanya itu...? Aku jarang berteman, jadi aku tak terbiasa dengan kalimat itu..."

Itu adalah makna ganda antara kata tembak (撃つ) dan murung (鬱)! Sebuah kombinasi yang mengagumkan!

Bahkan Hayama sekalipun harus mengalah karenanya.

"Ah, eng... bukan begitu maksudku. Eng... maaf, deh. Kalau memang ada yang mau kaukatakan, bilang saja padaku."

Ucapnya ingin menenangkanku dengan begitu sigap.

Hayama memang orang yang baik. Aku hampir terharu dan hendak berterima kasih padanya.

Tapi...

Jika aku bisa tertolong karena simpati murahan macam itu, maka dari awal aku tak perlu ditolong. Jika permasalahanku bisa teratasi karena kata-kata barusan, berarti sebenarnya aku tak punya masalah.

"...Hayama, aku hargai kebaikanmu. Aku tahu betul kalau kepribadianmu memang bagus. Ditambah, kau pemain andalan Klub Sepakbola. Wajahmu pun cukup tampan, ya 'kan? Aku yakin kau cukup populer di kalangan anak perempuan!"

"Ke-kenapa kau berkata begitu...?"

Hayama jelas terguncang oleh sanjungan dadakanku. Bagus, bagus, biar ia puaskan dirinya sendiri.

Aku yakin Hayama tak tahu soal ini.

Apa alasan seseorang sampai bisa memuji orang lain? Itu karena semakin orang itu merasa tinggi, maka semakin keras jatuhnya.

Itulah yang disebut mati karena pujian.

"Kau begitu diberkati dan sangat bersinar, tapi kenapa masih saja mau merebut lapangan tenis ini dari kami yang tak punya apa-apa ini? Apa kau tak malu berbuat seperti itu?"

"Tepat sekali! Tuan Hayama! Yang kaulakukan itu benar-benar hina! Ini penjajahan! Tunggu pembalasanku!"

Tanpa diduga, Zaimokuza datang dan mulai melontarkan kata-kata heboh.

"Kalau mereka bersama, situasinya malah jadi dua kali lebih suram dan menyedihkan..."

Yuigahama lalu tertegun berdiri di sebelah kami. Dan Hayama menggaruk kepalanya sambil menghela napas.

"Hmm... yah, eng..."

Tanpa kusadari, seringai jahat terpampang di wajahku. Tepat sekali... Hayama bukanlah orang yang suka membuat gara-gara di sembarang tempat. Dan saat ini, di sembarang tempat itu ada dirinya, Zaimokuza, dan diriku. Disudutkan oleh suara mayoritas, Hayama tak punya pilihan selain merelakan tempat ini.

"Ayo, dong, Hayato~~"

Suara memelas terdengar dari sebelah kami.

"Sedang apa sih di sana? Aku mau main tenis, nih."

Dan anak bodoh berambut ikal itu pun datang. Apa ada yang salah dengan sel otaknya? Sial, harusnya ia menghargai orang bicara... jelas ia tipe orang yang sulit membedakan antara pedal gas dengan rem, ya' kan?

Tentu saja, Miura sudah menginjak pedal gas ketimbang rem.

Karena komentarnya tadi, Hayama jadi punya sedikit waktu untuk berpikir. Sedikit jeda barusan sudah cukup untuk menghidupkan mesin di otaknya.

"Hmm... baiklah, begini saja. Semua yang bukan anggota Klub Tenis akan bertanding. Dan yang menang, mulai dari sekarang boleh memakai lapangan ini selama istirahat makan siang. Tentu saja, yang menang akan membantu Totsuka berlatih. Pasti lebih bagus kalau ia berlatih dengan pemain yang lebih baik, ya 'kan? Jadi semua bisa sama-sama senang."

...ada apa dengan logika sempurna barusan? Apa ia seorang genius?

"Bertanding? ...wah, kedengarannya seru."

Miura tersenyum kejam layaknya Sang Ratu Api.

Dan semua pengikut mereka tampak begitu bersemangat oleh saran Hayama tadi.

Lalu, tersapu oleh panasnya pertarungan yang akan terjadi, di bawah hiruk-pikuk dan kekisruhan, kami pun melaju ke fase tiga dari pelatihan tenis ini.

Mungkin kalimat barusan terdengar agak terlalu keren. Intinya, kami mempertaruhkan lapangan tenis lewat sebuah pertandingan.

Kenapa malah jadi begini...?




Read more ...»

Oregairu Jilid 1 Bab 7

On 0 komentar

-Bab 7 - Terkadang, Dewa Komedi Romantis Bisa Berbuat Baik.-


Daftar Isi

Read more ...»

SPS Jilid 1 Bab 6

On Jumat, 08 Agustus 2014 0 komentar

==========================================================
Ane habis liburan, makanya gak ada menyentuh proyek satu pun...
Sesuai janji, ane bakal hidupkan lagi seri yang lama gak ane sentuh...
Ini seri yang bagus kok, ane rekomendasikan deh... Supaya menyegarkan ingatan tentang cerita seri ini, bisa agan sekalian baca kembali jilid-jilid sebelumnya di tautan rumpunan ini...
Mungkin ada yang merasa kalau gaya tulisan di seri ini weaboo banget, di samping sebagai pembeda, ini juga sebagai tantangan buat ane menulis dengan gaya ke-Jepang-an...
Selamat menikmati....
==========================================================


Bab 6 - Pemakaman, Rapat, Dana


"Jadi katamu, kamu berpapasan dengan Kagurazaka-senpai?"

Di pagi yang baru, di dalam ruang kelas, Chiaki memandang wajahku sambil menanyakan hal itu.

"Begitu, deh," jawabku dengan nada kesal. "Meski rasanya lebih tepat kalau dia yang menungguku daripada dibilang berpapasan."

"Terus ..., kamu jadi bergabung dengan klub?"

"Kenapa kamu pikir aku mau bergabung?!"

"Karena senpai itu ... orang yang pasti akan mendapatkan apa saja yang diinginkannya.”

Kagurazaka-senpai mengatakan hal yang sama menakutkannya padaku sewaktu di lapangan kemarin. Di depan ruang latihan, sambil jarinya menunjuk padaku, ia berkata, Kalau itu memang sesuatu yang kuinginkan, apa saja akan kulakukan untuk mendapatkannya, baik dengan cara jujur ataupun curang. Tidak peduli apa itu Ebisawa Mafuyu, ruangan ini, ataupun dirimu.

Sesudah ia mengatakan hal itu padaku, barisan sonata lagu berkabung gubahan Chopin terdengar dari ruang latihan, dan kebetulan berada tepat pada bagian akhir di mana angin topan mengamuk di pemakaman — untuk sesaat, aku merasa seperti akan mati.

Berhenti mengingatkanku akan hal-hal menakutkan! Meski sudah berusaha melupakannya, Chiaki justru membuat ingatan-ingatan itu kembali menyeruak di pikiranku.

"Aku pernah dengar ... kalau ia dulu sangat menginginkan sebuah gitar yang harganya satu juta yen. Karena itu ia bekerja di toko musik yang menjual gitar tersebut, dan ia pun berhasil mengetahui kelemahan ..., eh, berteman dekat dengan manajer toko, hingga akhirnya ia bisa memperoleh gitar itu secara gratis."

"Terus apa gunanya ada polisi?!"

"Kalau gitar itu saja bisa senpai dapatkan, sudah pasti Nao adalah hal mudah baginya."

Jadi maksudnya, aku tidak lebih berharga dari satu juta yen, begitu?

"Bisa satu klub dengan orang macam begitu — aku benar-benar tidak paham jalan pikiranmu."

"Tapi Kagurazaka-senpai itu sangat keren!"

Hmm ..., ia mungkin kelihatan keren kalau kulihat dari jarak dua kilometer.

"Menikahi senpai bukanlah hal yang buruk, 'kan?"

"Terserah kamu saja! Tapi karena Jepang tidak mengakui pernikahan sesama jenis, menikah di Kanada saja sana! Betul, Kanada!" dan jangan pernah kembali lagi!

"Tapi baik senpai maupun aku sama-sama tidak bisa memasak. Kenapa Nao tidak ikut kami saja?"

"Kenapa aku harus ikut segala?!"

Saat mengatakan itu pada Chiaki, pintu belakang ruang kelas terbuka, dan Mafuyu masuk ke dalam. Bel persiapan kebetulan berbunyi di saat bersamaan, seolah mengingatkan semua anak bahwa mereka masih di ruang kelas. Gadis itu melirikku dari samping, lalu duduk di kursinya tanpa bersuara. Pada saat bersamaan, aku berdiri dengan kesal dan berjalan keluar dari ruang kelas.

Langkah-langkah kaki terdengar dari belakangku.

"Kamu ini kenapa?" tanya Chiaki sambil mengejarku.

"Aku mau ke toilet! Jangan mengikutiku."

"Aku dengar dari senpai ... kalau kamu dikalahkan Ebisawa-san, ya?"

Aku menghentikan langkahku. Bel dimulainya jam pelajaran pun berbunyi, dan murid-murid yang berkumpul di koridor serasa ditelan oleh ruang kelas mereka masing-masing. Pada akhirnya, yang tersisa di sini cuma Chiaki dan aku.

"Kamu tidak bisa langsung menganggap itu sebagai kekalahan.”

"Bukankah ia bilang kalau ... mereka yang tidak bisa memainkan alat musik tidak diperbolehkan mendekati ruang kelas itu ... makanya kamu melarikan diri. 'kan?"

"Kalau kamu pikir bisa memprovokasiku dengan ucapan semacam itu, kamu salah besar! Jangan meremehkan kurangnya motivasiku!" mendengar kata-kata itu keluar dari mulutku, mau tidak mau aku jadi mengasihani diri sendiri.

"Nao tahu caranya bermain gitar, 'kan?"

"Ini tidak ada hubungannya dengan tahu atau tidaknya cara bermain gitar," dan yang lebih penting lagi .... Aku sudah membuang gitar yang dulu kugunakan, jadi untuk saat ini aku sama sekali tidak memiliki gitar.

"Tidak apa-apa kalau kamu mau berlaih dari awal lagi! Senpai sangat ahli dalam hal itu, jadi kamu bisa memintanya mengajarimu."

"Kalau memang begitu, kenapa tidak kamu minta saja senpai agar langsung mengajak Ebisawa-san bergabung ke band? Padahal ia tahu kalau Ebisawa-san sangat ahli dalam memainkan gitar, dan ingin sekalian mendapatkan ruang latihan itu sebagai ruang klub, ya 'kan?"

Aku sama sekali tidak merasa kalau hal itu ada hubungannya denganku! Aku cuma berharap mereka tidak menggangguku lagi.

Chiaki tiba-tiba membisu .... Sial, kelihatannya ia hampir mau menangis dan ingin menghajarku di saat yang bersamaan. Tapi kenapa? Apa aku mengatakan sesuatu yang membuatnya marah?

"... apa kamu tahu alasan senpai mengajakmu bergabung? Apa kamu benar-benar berpikir kalau kamu cuma barang pelengkap setelah mendapatkan Ebisawa-san?"

Kata-kata Chiaki terdengar seolah ia memaksa itu keluar dari dalam mulutnya.

"... aku ... tidak ... tahu!"

Aku gemetar, dan mundur beberapa langkah. Punggungku membentur dinding koridor.

"Nao, kamu benar-benar bodoh! Di pemakamanmu nanti, aku akan bilang, Hidup Nao sangat membosankan!"

Ucap Chiaki sambil berlari kembali ke ruang kelas.

Dengan berat hati aku berjalan masuk ke toilet, lalu duduk di atas penutup toilet. Apa-apaan yang barusan itu?!

Bakal bagus sekali kalau aku tahu caranya bermain gitar, tapi ... itupun jika aku bisa mendapat motivasi diri setelah mendengar Mafuyu bermain gitar. Aku duduk di atas penutup toilet sambil merangkul lututku dengan kedua tangan. Suara bel pun terdengar. Aku tidak bergerak sedikitpun .... Ini adalah pertama kalinya aku membolos pelajaran ..., dan itu baru satu bulan sejak dimulainya tahun ajaran baru — bukankah itu terlalu dini? Ini langkah paling awalku menuju jalan menjadi anak SMA yang sama sekali tidak berguna!


Pada akhirnya, aku kembali ke kelas di jam pelajaran kedua. Aku adalah jenis orang yang suka menyerah di tengah jalan, aku pun tidak punya keberanian untuk pergi ke pusat permainan. Terlebih, jam pelajaran ketiga dan keempat adalah Olahraga — sungguh menakutkan jika berhadapan dengan gurunya kalau aku membolos.

Di separuh waktu istirahat makan siang, aku berjalan menuju ruang musik lama sambil berpikir kalau ada baiknya jika kuambil semua barang milikku dari sana. Tepat saat aku berjalan ke lapangan, aku bisa mendengar suara gitar; seolah suara itu mengaduk-aduk otakku. Jadi gadis itu memainkan gitar saat istirahat juga? Cih, kupikir sebaiknya aku datang lain kali saja. Tepat saat akan kembali ke kelas, pandanganku tertarik oleh sesuatu yang diletakkan di samping pintu ruangan. Itu ... kantung sampah yang berisi sampah yang tidak bisa dibakar. Kira-kira isi di dalamnya itu apa, ya?

Aku mendekati kantung sampah itu, dan mengintip ke dalam; kemarahan meledak dalam diriku. Di dalam kantung itu terdapat banyak CD — The Beatles, The Doors, Jimi Hendrix, The Clash — yang kesemuanya adalah koleksi berhargaku! Berani-beraninya gadis itu berbuat begini! Kudobrak pintu itu dengan paksa dan menghempaskannya. Suara gitar mulai menghujam telingaku, namun sesegeranya menghilang.

"... sudah kubilang, jangan masuk seenaknya!"

Mafuyu duduk di bantal di atas meja sambil memeluk gitarnya. Kedua alisnya naik saat mengatakan hal itu, tapi aku belum mau mundur.

Aku mengangkat kantung sampah itu dan dengan marah memprotesnya. "Apa yang kamu lakukan?"

"Kabinetnya terlalu kecil, jadi aku mengeluarkannya dari ruangan."

"Kamu pikir kumpulan CD ini milik siapa?"

"Kalau bukan milikmu, pasti tidak akan kubuang!"

Aku sangat marah sampai tidak bisa menjawabnya. Apa maksudnya itu!

"Oi, karena kamu bermain gitar, seharusnya kamu menghargai para perintis besar genre rock!" dan ia seharusnya menghargai barang pribadiku juga!

"Aku tidak mendengarkan musik rock atau apalah itu namanya. Aku juga tidak tahu apa-apa mengenai musik itu. Yang pasti barang-barang itu mengganggu pemandangan dan memakan tempat. Jadi cepat bawa pergi sana!"

Mafuyu lalu mendorong diriku yang masih terkejut ini agar keluar dari ruangan dan menutup pintu. Yang terdengar di telingaku selanjutnya adalah <Sonata Piano No. 12 di A♭ mayor> Beethoven. Lagu pemakaman lagi?! Ia sengaja, ya?! Saat itu, sebuat melodi cepat tiba-tiba muncul dalam pikiranku — untuk sesaat kuabaikan lagu pemakaman tadi dan memusatkan pikiranku .... Chuck Berry!

<Roll over Beethoven>.

Berani sekali ia mengatakan kalau kumpulan CD itu memakan tempat. Padahal ia tidak pernah mendengarkan CD-CD itu sebelumnya! Sudah kuhabiskan separuh kehidupanku yang membosankan untuk mendengarkan musik rock, tapi ia justru meremehkannya? Awalnya aku ingin memukul pintu ruangan itu dengan palu karena frustasi, tapi akhirnya aku pun mengubah pikiranku. Ada hal yang lebih baik yang bisa kulakukan dengan kedua tanganku.

Kupeluk kantung sampah itu sambil berjalan kembali ke ruang kelasku. Sambil menumpuk CD-CD itu di mejaku satu demi satu, aku mulai memikirkan bagaimana cara untuk mengalahkan Mafuyu .... Meski tentu saja, aku tidak benar-benar berpikir untuk memukulnya. Para anak lelaki dari kelasku pun berdatangan. "CD sebanyak ini mau kamu jadikan dagangan, ya?" "Wah, semuanya musik barat," aku tidak memedulikan mereka meski mereka mengatakan berbagai macam hal.

Apa yang harus kulakukan ...? Bagaimana cara memberinya pelajaran? Baiklah, akan kutunjukkan betapa hebatnya musik rock. Tapi, aku tidak bisa begitu saja memberi CD secara paksa padanya, jadi—

Akhirnya kutemukan juga album Chuck Berry dari tumpukan besar CD itu. Setelah memasukkan CD tadi pada discman-ku, lalu kupasang earphone ke telingaku.

Jam pelajaran siang hari itu pun kuhabiskan dengan mendengarkan lagu-lagunya.


Aku bergegas ke rumah sepulangnya sekolah, tapi karena lupa membuka pintu pelan-pelan, alhasil, CD-CD di rumah berjatuhan mengenaiku seperti tanah longsor. Kutumpuk baik-baik serakan CD itu kembali, lalu melepas sepatuku dan berjalan menuju koridor. Dari ruang tamu terdengar komposisi gubahan Bruckner.

"Tetsurou, ada yang mau kubicarakan denganmu!"

Aku membuka pintu ruang tamu. Tetsurou sedang duduk di sofa dengan laptop di lututnya, dan beliau sedang mengetik artikel dengan kecepatan tinggi, sampai menimbulkan bunyi hantaman keras pada keyboard-nya — laptop itu sebentar lagi pasti rusak.

Dari speaker terdengar suara gebukan timpani, dan Tetsurou mengetik pada keyboard sambil mengeluarkan bunyi *darararara* bersamaan dengan tempo musik yang terdengar — sepertinya beliau tidak tahu kalau aku sudah pulang. Karena itu, tanpa basa-basi kumatikan musiknya. Tersurou melorot turun dari sofa.

"Apa yang kamu lakukan, Nak? Hal yang paling membuat Ayah jengkel adalah saat simfoni terpotong di bagian ketiga — bukankah sudah pernah Ayah bilang sebelumnya?"

"Sebagai pria paruh baya yang sudah terpotong di bagian ketiga kehidupannya, apa kamu pikir pantas berbicara begitu?"

"Wah, Nao-kun, dari mana kamu memelajari balasan sekasar itu? Ayah jadi sedih ...," itu dari kritik-kritik pedasnya sendiri!

"Baiklah, sesekali harusnya kamu mendengar apa yang kukatakan, paham? Berhenti tiduran di sana, duduk yang baik — jangan bersimpuh di atas laptop! Apa kamu mau kalau itu sampai rusak?"

Seusai erangan marah dan serangkaian omelan, akhirnya aku berhasil membuat Tetsurou duduk di posisi di mana beliau bisa mendengarkanku.

"Apa ada yang ingin kamu diskusikan dengan Ayah?"

"Ya. Aku mau mengadakan rapat keluarga."

"Ada apa? Sekarang Ayah sedang tidak punya keinginan untuk menikah lagi! Tapi kalau dengan gadis seperti Chiaki, mungkin Ayah akan pertimbangkan."

"Berhenti berkhayal, dasar kriminal! Tidak akan lagi ada perempuan yang tertarik menikah denganmu! Dan bukan itu yang mau kudiskusikan!"

"Kalau begitu, apa yang mau kamu beli?"

Nada bicara Tetsurou tiba-tiba menjadi serius, dan itu membuatku lidahku tercekat selama beberapa saat karena kaget.

"Kamu ingin sesuatu, 'kan?"

"Eng ..., iya."

Aku duduk di sofa setelah menenangkan diri.

Pada dasarnya, akulah yang bertanggung jawab terhadap keuangan keluarga kami, tapi bukan berarti aku bisa menggunakannya sesukaku. Aku harus mengadakan rapat keluarga kalau ingin membeli sesuatu yang mahal.

"Aku ... ingin sebuah gitar."

"Bukannya sudah ada satu di rumah?"

"Sudah kamu rusak saat mengayunkannya sewaktu menonton pertandingan bisbol dulu! Apa kamu lupa?!”

Apa orang seperti beliau yang tidak menghargai alat musik ini, masih layak menjadi kritikus musik ...?

"... apa ini demi seorang gadis?"

Tiba-tiba Tetsurou menanyakan hal itu.

"Eh? A-apa?"

"Hanya ada satu alasan bagi seorang lelaki jika tiba-tiba menginginkan sebuah gitar. Supaya mereka bisa populer di kalangan para gadis!”

"Omong kosong macam apa itu? Minta maaf sana pada semua gitaris di seluruh dunia!"

"Ayah akan menolaknya kalau tidak kamu akui dengan jujur," aku tidak bisa berkata apa-apa. Kenapa sikapnya begitu menjengkelkan?!

"Memangnya kamu pikir berapa harga sebuah gitar? Untuk gitar yang biasa, bisa lima puluh sampai enam puluh ribu yen, 'kan? Sedangkan dari dana yang bisa kamu gunakan sesukamu, kamu hanya punya sekitar dua puluh ribu yen, ya 'kan?"

"Kenapa kamu sampai tahu persis mengenai hal ini?"

Aku merengut dan menenggelamkan diriku di sofa.

"Kenapa kamu tidak mencari uang sendiri! Cukup tulis beberapa artikel saja buat Ayah."

Tetsurou mendorong laptopnya yang ada di meja ke arahku.

"Tidak .... Aku tidak mau melakukannya lagi," kudorong kembali laptop itu. Aku pernah membantu Tetsurou untuk beberapa artikelnya sewaktu beliau sudah mendekati tenggat waktu. Awalnya kupikir kalau tidak mungkin artikel yang ditulis anak SMP bakal diterbitkan di majalah musik resmi, tapi sedikit tidak kusangka, ternyata editor benar-benar menggunakannya. Apa mungkin Tetsurou sudah sedikit menyuntingnya atau semacam itu? Omong-omong, apa majalah itu tidak apa-apa? Sejak saat itu, artikelku sering diterbitkan di majalah atau di sampul CD, dan Tetsurou akan memberikan royalti dari artikel-artikel itu.

Meski begitu, uang yang dihasilkan dari artikel itu tidak sepenuhnya masuk ke uang sakuku. Tetsurou bilang kalau tigapuluh persen adalah milikku, sementara tujuhpuluh persen akan digunakan untuk kebutuhan keluarga. Pernah kucoba sesekali memprotes dengan berkata, "Kenapa aku tidak bisa memakai semua uang penghasilanku?" dan dia menjawabnya dengan, "Karena Ayah pun begitu!" aku tidak bisa membalas jawaban itu. Alhasil, aku harus mengadakan rapat keluarga kalau ingin membeli sesuatu yang melebihi anggaranku.

Akan tetapi, aku tidak perlu mengadakan rapat keluarga seperti ini kalau aku kembali menulis artikel atas nama Tetsurou. Kalau begitu, apa yang harus kulakukan dengan majalah musik yang sama sekali tidak sadar kalau sudah menerbitkan artikel yang ditulis oleh anak SMP ...? Tapi andai aku menulisnya pun, butuh waktu dua bulan agar bisa menerima royalti; dan aku ingin sesegera mungkin membeli gitar itu supaya bisa latihan.

"Tanggapan-tanggapan dari artikel yang kamu tulis cukup bagus. Kamu memang mewarisi keahlianku — hebat sekali! Kebetulan sejak pagi tadi Ayah baru bisa menulis dua baris saja, jadi tolong bantulah sedikit!"

Kuharap beliau berhenti mengatakan hal semacam mewarisi keahlian begitu. Aku tidak akan pernah mau bantu menulis artikel lagi!

"Kalau kamu tidak mau bantu, berarti harus kamu akui kalau kamu ingin membeli gitar supaya bisa populer di kalangan para gadis! Kalau tidak, Ayah tidak akan menyetujuinya."

"Kenapa kamu begitu keras kepala soal itu!"

"Karena dulu kamu sempat berlatih bermain gitar, tapi langsung berhenti begitu saja."

Aku memeluk bantal dan terdiam. Ucapan Tetsurou terkadang selalu tepat sasaran, bahkan di antara lelucon-leluconnya — kurasa itu pasti kebiasaan paling buruk miliknya.

"Memang benar, tapi ...."

"Itu sebabnya, jika seorang lelaki melakukan itu karena ingin populer di kalangan para gadis, maka bukanlah masalah! Akui saja. Soalnya saat ini kamu harus meyakinkan hatimu. Bila kamu menyerah ditengah jalan, seumur hidup kamu tidak akan punya pacar!"

Kata-kata barusan terdengar konyol, tapi entah kenapa juga terasa begitu meyakinkan. Aku hening sejenak, merenungi yang baru saja dikatakannya. Demi gadis, ya — semua ini awalnya memang gara-gara Mafuyu, tapi lebih pada alasan di mana aku ingin memberinya pelajaran ...?

"... baiklah. Aku ingin bermain gitar supaya bisa populer di kalangan para gadis. Jadi, cepat setujui!"

"Wuaah, sampai bisa mendengar kalimat konyol seperti itu dari mulut Nao-kun — Ayah jadi sangat sedih~"

"Tetsurou, kamu tidak pantas mengatakan itu!"

Aku marah dan melemparkan bantal ke Tetsurou, tapi tidak kusangka beliau mengambil laptop dan menggunakannya sebagai tameng seranganku.

"Cuma bercanda! Jangan lupa pakai namaku saat membayar, kalau tidak, mereka tidak bisa meminta bayarannya padaku."


Kemarahanku mereda setelah aku melempar koran-koran dan pisang yang separuh dimakan ke arah Tetsurou. Aku kembali ke kamarku dan merenung sambil tiduran di kasur.

Sebelum ini aku memang tidak pernah punya alat musik yang cukup layak digunakan. Toko CD musik pun sebenarnya juga memajang beberapa gitar, tapi aku tidak berniat mendapatkan barang yang kurang meyakinkan. Meski begitu, rasanya tidak nyaman jika aku mencari toko alat musik di jalanan dengan sungguh-sungguh begini. Kalau bisa, aku ingin mencari gitar yang harganya murah.

Setelah merenunginya beberapa saat, teleponku berbunyi — ternyata nomor Chiaki. Kalau aku berbicara dengannya soal keinginanku membeli gitar, ia pasti akan membuatku bergabung ke Klub Riset-Was-Wes-Wos itu, jadi untuk saat ini aku tidak akan membahasnya.

"—Nao? Jam sebegini masih terlalu cepat untukmu berada di rumah, dasar pengecut."

"Apa hubungannya? Oh, iya, ada hal ... yang ingin kuminta bantuan darimu."

"Bantuan? Memangnya ada apa? Akan kudengarkan, tapi sebagai gantinya kamu akan bergabung dengan klub kami."

"Tidak akan. Begini, apa kamu tahu toko alat musik yang cukup bagus?"

"Toko alat musik? Kenapa?"

"Untuk membeli alat musik, lah. Aku mau membeli gitar."

Aku jadi sedikit menyesal, tapi tetap saja kukatakan alasanku padanya. Sudah kuduga, ia begitu ingin tahu penyebabnya.

"Kenapa, kenapa? Apa kamu memimpikan seseorang? Eric Clapton?"

Aku tidak sama dengannya! Dan juga, Clapton masih hidup!

"Jangan-jangan ... ini soal ucapan Ebisawa-san padamu tempo hari, ya?”

Sejenak aku tidak bisa berkata apa-apa.

"Ah! Kok diam? Benar, ya~"

"... bukan begi—"

"Ehh, Nao dan Ebisawa—"

Kami berdua kembali menelan perkataan kami di tengah-tengah kalimat pada saat bersamaan. Kesunyian sejenak mengikutinya. Bisa kudengar pengumuman kedatangan kereta dari teleponnya — apa mungkin ia menelepon dari stasiun selagi dalam perjalanan pulang atau semacamnya? Chiaki akhirnya berkata.

"Baiklah, mumpung sekarang aku dalam perjalanan pulang, bagaimana kalau pergi bareng?"

"Eng ..., kamu tidak harus ikut. Katakan saja tempatnya, biar aku ke sana sendiri."

"Ah, tidak apa-apa. Aku sudah jadi pelanggan di sana, jadi akan lebih murah kalau kita bareng-bareng ke sana."

"Terima kasih, tapi ...."

"Oh! Keretanya sudah datang. Sampai ketemu lagi di stasiun."

Ia menutup teleponnya sebelum aku sempat mengutarakan pikiranku. Entah kenapa, suaranya terdengar sedikit parau. Aku jadi sedikit tidak nyaman, tapi aku tetap mengambil lima puluh ribu yen dari amplop yang berisi uang untuk kebutuhan keluarga dan memasukkannya dalam dompetku sebelum berjalan keluar rumah. Sebelum naik ke sepedaku, kuletakkan tangan ini di dada dan memastikannya sekali lagi ....

Masih terasa hangat. Ini bukan sekadar keinginan sesaat.


Untuk mencapai toko alat musik yang Chiaki tunjukkan padaku, kita harus keluar dari pintu masuk utara stasiun kereta, lalu berjalan turun melalui jembatan hingga mencapai landasan tangga di ujung. Setelah berjalan menuruni tangga, toko tersebut terletak tepat di persimpangan jalanan pertokoan dan daerah pemukiman yang cukup sepi. Toko itu diapit di antara dua bangunan besar dan agak terlihat seperti punggung buku yang tipis. Sebuah papan nama bertuliskan Toko Musik Nagashima terpasang di atas pintu masuk. Toko itu memang sedikit sempit, tapi temboknya didekorasi dengan gitar-gitar di kedua sisi, mulai dari lantai dasar hingga atap — yang membuat toko ini terlihat cukup mengintimidasi. Musik yang diputar di toko tersebut biasanya bergenre heavy metal dari Eropa Utara, yang menambah aura intimidasinya.

Chiaki berkata padaku sebelum memasuki toko, "Aku pelanggan di toko ini, jadi kalau kamu pintar menawar, kamu pasti mendapatkan harga murah dan memuaskan," aku sendiri tidak punya pengalaman dalam hal tawar-menawar, jadi aku tidak merasa terlalu percaya diri mengenai hal tersebut.

"Tapi, kenapa kamu mau bermain gitar lagi? Padahal tadi pagi kamu masih tampak tidak bersemangat."

Ujung-ujungnya ia tetap bertanya.

"Hmm— tiba-tiba saja aku merasa ingin bermain gitar."

"Kamu pikir aku baru mengenalmu kemarin? Kamu bukan tipe orang yang melakukan hal secara tiba-tiba begini, tapi ... terserahlah. Halo~"

Chiaki menggandeng tanganku lalu berjalan masuk ke toko. Bahkan di lantai dasar pun dipenuhi gitar-gitar yang disandarkan di dudukan pajangan. Aku berjalan melewati gitar-gitar itu dan berjalan masuk. Akhirnya, kami pun sampai di loket di antara tumpukan CD dan lembaran partitur – entah kenapa, perasaan nostalgia menghinggapiku.

"Apa manajer tokonya ada?"

Saat Chiaki mengatakannya, seorang pria berjalan keluar dari pintu belakang loket. Rambut berantakannya disisir begitu saja ke belakang. Padahal ia masih muda, tapi wajah capeknya itu terlihat cukup menyedihkan — bagaikan kentang yang ditelantarkan selama tiga minggu setelah diunduh dari ladang.

"Oh, Chiaki. Maaf, tapi aku sedikit sibuk sekarang ...."

"Yah, maaf, tapi anak ini cuma pengunjung biasa. Ia mau membeli gitar."

Saat Chiaki bermaksud menarikku ke depan pemilik toko, seseorang muncul dari pintu belakang loket.

"Pak Manajer! Senar-senar yang ada di stok sama sekali tidak sesuai— hmm?"

"Eh? Hari ini Senpai kerja?"

Aku tercengang selagi berdiri di antara Chiaki dan loket. Kagurazaka-senpai mengenakan celemek kerja berwarna hijau — dengan logo toko tercetak di sana — dan di tangannya memegang sebuah buku catatan. Bagaimana bisa? Kenapa ia ada di sini?

"Ah, rekanku Aihara. Kami sedang mengecek persediaan kami hari ini, tapi tiba-tiba kami kekurangan tenaga bantu. Omong-omong, kita bertemu lagi, Shounen. Bagus sekali. Cepat buat keputusan dan bergabunglah ke klub, oke?"

"Eng ..., ah, tidak .... Eh, kenapa?"

Aku jadi ingat kalau Chiaki pernah bercerita padaku kalau senpai bekerja di toko musik supaya bisa memperoleh gitar .... Jadi tempat ini yang ia maksud? Harusnya dari awal aku sudah tahu .... Sial, aku terpedaya! Ini konspirasi!

"Tidak usah tergesa-gesa! Ini tokoku, jadi tidak perlu sungkan."

"Eng ..., ini tokoku ...," sedikit protes dari manajer toko.

"Toko milik Manajer, toko milikku juga, 'kan? Omong-omong, jumlah senar untuk Martin Extra di stok sama sekali tidak sesuai. Apa Manajer menaruhnya di tempat lain?"

"Ah, tidak, mengenai itu ..., aku tidak tahu kalau supervisornya sedang tidak ada!"

"Manajer, kamu memang tidak bisa diandalkan ...."

Manajer toko itu terlihat seperti akan menangis.

"Kalau begitu, apa boleh buat. Shounen, aku punya waktu luang, jadi akan kubantu kamu dalam memilih. Apa yang kamu butuhkan?"

"Eh? Ya-yah, aku tidak ingin membeli apa-apa," sesegera itu juga aku berbohong.

"Ia ingin membeli gitar. Apa saranmu, Senpai?"

Potong Chiaki. Meski tidak ada gunanya aku mencoba tetap berbohong.

"Hmm. Berapa uang yang kamu punya, Shounen?"

"Yah ...."

"Oh, cukup banyak juga! Sekitar lima puluh ribu yen."

"Jangan ambil dompetku seenakmu! Dan jangan seenakmu juga melihat isinya!"

Kurebut kembali dompetku dari tangan Chiaki.

"Lima puluh ribu, ya .... Kamu hanya bisa membeli barang murahan dengan uang sebanyak itu di toko ini, tapi uangmu itu akan terbuang percuma."

"Jangan bilang begitu ...," jawab manajer toko sambil merengut. Aku memang tidak tahu siapa namanya, tapi aku mulai mengasihaninya.

"Shounen, bagaimana kalau begini? Kita akan bermain jan-ken-pon. Kalau kamu menang, akan kujual sebuah gitar seharga seratus ribu yang masih disimpan di gudang dengan separuh harga. Kalau aku yang menang, akan kupilihkan sebuah gitar yang sesuai dengan anggaranmu. Bagaimana?"

"Tunggu sebentar, Kyouko-chan. Kenapa kamu sampai selancang itu?" manajer toko itu kebingungan.

"Senpai bilang setengah harga, ya .... Memangnya tidak apa-apa?"

"Jangan khawatir. Tertulis dengan jelas pada bab pertama Das Kapital: Orang-orang menjual tenaga fisik mereka pada pembeli, bukan untuk memenuhi kebutuhan pribadi sang pembeli, namun untuk memperbesar modal pembeli."

"Aku tidak begitu paham ...."

"Sederhananya, hampir semua alat musik di toko ini dijual dengan harga yang terlalu tinggi, jadi kami masih akan untung meski aku menjualnya separuh harga."

"Kyouko-chan ...," manajer toko itu hampir menangis.

"Manajer toko ini mengganggu sekali. Jan-ken-pon-nya kita mainkan di luar saja, yuk. Shounen, Kamu jadi terima tantanganku, tidak?"

Kagurazaka-senpai menggenggam tanganku dan menarikku keluar toko.

Meski sangat menyedihkan bagi si manajer toko, tapi yang dikatakan Kagurazaka-senpai tadi cukup masuk akal. Atau lebih tepatnya, terlalu bagus untuk jadi kenyataan, soalnya aku tidak dirugikan sedikit pun.

"Kalau harga dari menjual murah sebuah gitar adalah aku harus bergabung dengan klub, lebih baik aku pulang saja."

"Tidak perlu bagiku sampai memberi syarat segala, kamu tahu? Lagi pula, tidak pernah terpikir olehku bakal kalah dari pecundang sejak lahir sepertimu," sial, ia benar-benar blakblakan.

"Baiklah, aku mengerti. Kamu akan menjual gitar yang pantas padaku tidak peduli hasilnya, 'kan? Kamu tidak akan memberiku barang cacat atau semacamnya, 'kan?"

"Tentu saja! Aku bersumpah demi nama dan reputasi toko ini!"

"Yah ..., baiklah."

"Siap? Aku akan sedikit mengalah padamu."

Kagurazaka-senpai sekilas tersenyum puas dan menunjukkan sesuatu di antara jari telunjuk dan jari tengahnya. Itu adalah ... pick gitar. Eh? Telunjuk dan jari tengah?

Itu artinya ia tidak akan mengeluarkan ken? Eh, tunggu .... Apa itu jebakan? Ia mengecohku agar aku jatuh dalam jebakan? "Jan—ken—pon!" bersamaan dengan suara senpai, aku langsung mengeluarkan 'jan'.

Jari-jari senpai terbuka membentuk ponpick-nya terlepas dari tangannya dan jatuh ke tanah.

"... Shounen, kamu orang yang cukup jujur."

Ia mengelus kepalaku dengan lembut. Licik! Sebenarnya, ketimbang menuduh senpai licik, haruskah aku menyalahkan diriku sendiri karena mudah terjebak perangkapnya? Sewaktu senpai menunjukkan senyum kemenangan di wajahnya, bisa kulihat manajer toko menghela napas lega di belakangnya.

"Baiklah kalau begitu ..., aku akan pergi ke gudang untuk mencari gitar yang sesuai dengan anggaranmu."

Aku sedikit menenangkan diri dan berjongkok di tempat. Chiaki mendekat ke sampingku dan berkata.

"Nao lemah sekali, ya."

"Berisik ...."

"Kamu sudah kalah duluan saat menerima tantangan senpai tadi."

Aku mengangkat kepalaku, dan setelah melihat senpai mengambil gitar abu-abu metalik keluar dari gudang, akhirnya aku mengerti yang dimaksud Chiaki.

"Ini Aria Pro II seharga lima puluh empat ribu enam ratus yen, sudah termasuk pajak. Yah, untuk pembulatan, kuberi harga lima puluh ribu saja."

"Eng ..., kok senar empat?"

"Hmm? Masa kamu tidak tahu? Ini bas. Senar bas lebih sedikit dari gitar biasa, dan nadanya lebih rendah satu oktaf."

"Bukan, aku sudah tahu itu. Maksudku, kenapa Senpai malah menjual bas padaku?"

Aku ke sini untuk membeli gitar!

"Bas termasuk keluarga gitar, 'kan?"

"Eng ..., yah, tapi—"

Chiaki meletakkan tangannya di bahuku dan berkata.

"Karena Klub Riset Musik Rakyat kekurangan pemain bas — itu alasannya. Kamu paham sekarang?"

Butuh waktu dua detik bagiku untuk paham, sebelum aku terkejut menyadarinya — aku sudah jatuh dalam perangkapnya. Sejak awal, niat gadis itu adalah supaya bisa memilihkan gitar yang akan kubeli, itu sebabnya ia menjanjikan kalau aku akan mendapatkan gitar tidak peduli apa hasilnya. Orang yang tidak menyadari rencananya ... hanyalah diriku seorang.

"Tung-tunggu ...."

"Aku tidak tertarik mendengar kata-kata dari pecundang. Butuh nota?"

Ucap Kagurazaka-senpai sambil sekilas tersenyum. Ternyata ia juga punya sisi manis—

"Aku tidak pernah berpikir ingin memainkan bas ...."

"Yah, kamu juga tidak begitu bisa menguasai dasar-dasar bermain gitar, 'kan?"

Protes lemahku segera ditolak senpai.

"Lagi pula, kamu ingin menantang Ebisawa Mafuyu dengan gitar, 'kan?"

"Uh ...."

Untuk beberapa saat aku tidak bisa berkata apa-apa.

"Gadis itu bisa memainkan gubahan Chopin dan Liszt hanya dengan sebuah gitar. Shounen, dilihat dari kemampuanmu sekarang, tidak ada kesempatan bagimu untuk menang dengan gitar!"

Bukan berarti aku bermaksud menantangnya atau semacam itu, hanya saja—

"Akan tetapi, kamu bisa menang kalau menggunakan bas."

Kagurazaka-senpai menyodorkan bas berat itu ke tanganku—

"Akan kumenangkan dirimu."


Read more ...»