Oregairu Jilid 1 Penutup

On Senin, 29 September 2014 0 komentar

==========================================================
Sekapur Sirih dari Penerjemah

Sebelum ane berkata, "Akhirnya tamat juga...!" Mari runut dulu ke belakang...
Di tahun 2013, tepatnya di bulan-bulan awal tahun (persisnya ane lupa), ane memulai sebuah proyek terjemahan LN yang ane anggap "pelarian" dari fansubbing...
Kala itu ane merasa dunia fansub begitu menekan waktu dan pikiran ane yang sebenarnya ingin santai... Memang ada keinginan untuk berhenti, tapi keinginan berbagi hobi ternyata masih bisa mengalahkan... Akhirnya, bertemulah ane dengan sebuah website penyedia bacaan LN di mana semua user bisa berkontribusi dengan terjemahannya, yaitu Baka-Tsuki, yang kebetulan punya ruang khusus untuk terjemahan Bahasa Indonesia...
Beruntung saat itu ane berkenalan dengan dua user Indonesia yang kebetulan juga supervisor di web tersebut, agan Tony Yon dan agan Arczyx... Dari beberapa percakapan dengan mereka, akhirnya ane diberikan ruang untuk berkontribusi dalam proyek penerjemahan LN dalam Bahasa Indonesia, yang sudah kita semua tahu, itu adalah proyek Oregairu... Yang ane ambil sumber skripnya dari NanoDesu Translations...
Ane pun mencoba menerjemahkan dari prolog... Dan ternyata... Susah... Berbeda dengan subbing, penerjemahan LN gak hanya menitikberatkan pada dialog... Monolog maupun narasi porsinya cukup banyak, dan perannya cukup besar...
Walau terasa lebih berat dari yang pernah ane kerjakan, tapi tetap ane lanjutkan... Karena apa... Alasannya cukup sederhana... Karena gak ada tuntutan waktu untuk harus menyelesaikannya, dan jarang ditemui proyek yang terasa kedaluarsa...
Dari proyek LN inilah, ane akhirnya mendalami seni tulisan, gak hanya tata cara penulisan (EYD) maupun kata-kata tepat (KBBI) saja, tapi penyampaian makna dan konteks cerita, serta penyusunan kalimat yang menarik, tanpa sadar ane pelajari...
Pernah dulu ane bagikan hasil terjemahan awal ane ke sebuah forum (niatnya ingin tahu seperti apa pendapat yang membacanya), ternyata lebih banyak respon negatifnya... Intinya, saat itu ane belum tahu seperti apa cara menulis yang baik dan menarik... Karena itu ane perbanyak waktu untuk mencari referensi dengan banyak membaca berbagai macam buku... Dengan kata lain, tanpa sadar wawasan ane pun ikut bertambah... Ternyata membaca itu begitu banyak manfaatnya...
Dan karena alasan itulah, waktu untuk menerjemahkan juga kian menyusut... Bahkan untuk sampai di Bab 3 bisa memakan waktu hampir tujuh bulan...
Lalu mengenai asal-usul blog ini...
Suatu hari ane mengikuti obrolan di chatango di sebuah fansub, yang salah satu proyeknya juga adalah Oregairu... Ya, itu Aiasubs, berkenalanlah ane dengan penerjemahnya, awalnya ane cuma iseng memberi tahu kalau ane punya proyek terjemahan LN Oregairu yang ane pajang di blog pribadi, yang kala itu, tujuan awal sebenarnya untuk backup terjemahan ane di Baka-Tsuki, akhirnya terceploslah ide untuk promosi di Aia, walau niat itu sebenarnya cuma numpang taruh link di chatango... Eh, ternyata, agan Rize membuatkan posting-an khusus di fansub itu...
Gak hanya itu, bahkan teman ane, agan Kemslei, pun ikut mempromosikan blog ini di Zensub...
Mengejutkan, ternyata waktu itu ane banyak dapat sambutan positif dari berbagai komentator, hingga akhirnya, blog ini pun ane seriusi...
Hari berganti hari, bulan berganti bulan... Dan sekarang, izinkan ane untuk berkata dengan lantang...

*Akhirnya tamat juga...!*

Satu setengah tahun yang cukup berkesan...


Untuk versi PDF, sudah mulai ane susun jadwalnya... Yang pasti, sekarang saatnya penyuntingan menyeluruh dari awal bab... Mungkin bisa makan waktu sampai satu bulan sebelum bisa dinikmati...
Akan ane jadikan PDF dari seri ini layak untuk agan sekalian koleksi...
 

Akhirnya, dengan segala kerendahan hati, ane ucapkan...
Selamat Menikmati...
==========================================================


Sepatah Kata dari Pengarang


Halo, jumpa lagi. Ini Wataru Watari. Bagi yang belum tahu, salam kenal. Ini Wataru Watari.

Mungkin ini sedikit mendadak, namun anggapan masa remaja yang biasanya dikenal oleh dunia pada umumnya itu sebenarnya salah. Itu sepenuhnya kebohongan. Pergi kencan ke Mal Lalaport dengan perempuan manis dalam keadaan masih berseragam, diajak makan siang oleh teman dari sekolah lain yang ikut membawa teman perempuannya... hal-hal semacam itu tidaklah nyata. Hal-hal tadi hanya ada di dunia fiksi.

Apa kalian pernah membaca kisah komedi romantis remaja dan melihat catatan di bagian akhirnya?

Cerita ini hanyalah fiktif belaka, kesamaan tempat, nama juga isi cerita, murni sebuah kebetulan dan tidak ada unsur kesengajaan.

Dengan kata lain, kisah komedi romantis remaja tersebut dipenuhi oleh kebohongan. Semua yang membacanya sudah tertipu.

Masa remaja yang sebenarnya adalah pulang sekolah bersama teman lelaki, berhenti di parkiran Restoran Saizeriya sambil berjongkok hingga malam hari dengan hanya ditemani focaccia plus minumnya. Selama itu yang biasanya dilakukan adalah menjelek-jelekkan teman sekelas dan mengeluh soal sekolah. Itulah gambaran sebenarnya dari masa remaja. Saya bicara dari pengalaman, makanya saya cukup yakin soal itu.

Namun di saat yang sama, saya tak sungguh-sungguh membenci masa remaja yang seperti itu.

Menggebu-gebu sewaktu mencampur soda melon dan jus oranye lalu menamakannya melanye... mengikuti karyawisata dan bermain mahyong bersama tiga orang lainnya di tengah lingkungan yang ganas... bungkam tak bersuara sewaktu melihat perempuan yang disukai sedang bercumbu dengan pacarnya... kini saya jadi memikirkan kembali masa-masa itu dan mengingat-ingat lagi setiap kenangan naif tersebut.

Maaf, yang tadi itu bohong. Saya benci masa remaja macam itu. Saya juga ingin pergi kencan dalam keadaan masih berseragam. Betul, saya masih menginginkannya.

Itulah yang saya rasakan sewaktu menulis buku ini. Saya harap kalian menikmatinya.

Terakhir, saya perlu berterima kasih pada beberapa pihak.

Pertama, manajer saya, Pak Hoshino. Saya bahkan bisa menulis penuh sebuah buku tentang cara beliau membantu orang. Singkat kata, beliau mengawasi segala yang saya lakukan mulai dari tugas yang terkecil hingga yang terbesar. Saya ucapkan terima kasih banyak.

Kemudian Ponkan(8). Setiap kali saya merasa tak bersemangat, ilustrasi Anda yang begitu menggemaskan telah memberi saya kekuatan. Saya benar-benar beruntung telah meminta Anda untuk membantu saya. Terima kasih banyak.

Meski kami tidak saling mengenal, saya ingin berterima kasih pada Yomi Hirasaka atas komentar beliau yang saya pampang di obi buku ini. Di saat saya hampir menyerah karena cemas dan gelisah, kata-kata beliau mampu meneguhkan hati saya. Terima kasih banyak.

Terima kasih buat teman-teman. Setiap kali saya bertemu dengan kalian, yang kalian bahas selalu saja tentang uang! Saya jadi tertekan! Setidaknya bahaslah tentang hidup yang kalian jalani!

Terima kasih pula buat para pembaca. Tepatnya, berkat kalian semua, Wataru Watari sang novelis bisa eksis. Semua perkataan kalian merupakan sumber semangat yang tak ada habisnya bagi saya. Dari lubuk hati yang terdalam, saya ucapkan terima kasih banyak.

Kemudian yang terakhir, terima kasih pada masa lalu SMA saya. Mungkin masa-masa itu sempat dianggap membosankan dan tak ada gunanya, namun karena anggapan itulah novel ini bisa tercipta. Jadi saya bisa membanggakannya. Mungkin masa remaja saya memang salah kaprah, namun di sisi lain itu juga terasa benar. Terima kasih banyak.

Dan seperti inilah ceritanya. Entah bakal berlajut atau tidak, itu tergantung beberapa hal. Namun saya punya keyakinan kalau kita akan bertemu lagi. Jadi, selagi saya memikirkan jalan cerita untuk ke depannya, izinkan saya meletakkan pena pada jilid ini.


Suatu hari di bulan Februari, di suatu tempat di Prefektur Chiba, sembari bernostalgia mengenang masa lalu sambil menyeruput secangkir kopi manis,


Wataru Watari



Read more ...»

Oregairu Bab 8 Bagian 2

On Sabtu, 27 September 2014 0 komentar

==========================================================
Secara teknis, semua sudah rampung...Tapi secara keseluruhan, masih kurang catatan pengarang...
Segala keluh kesah, suka duka, dan berbagai cerita yang mengiringi proyek penerjemahan ini akan ane tuangkan di postingan berikutnya saja...
Biar begitu, akhirnya ane merasa puas sudah menamatkan Jilid 1 ini...
Seperti yang ane sampaikan di beberapa pojok komentar, Jilid 2 gak akan ane garap... Karena Jilid 2 itu punya akhir yang menggantung... Mau gak mau harus diselesaikan sampai di Jilid 3... Dengan kecepatan terjemahan ane yang amat lambat serta kesibukan di RL, entah bisa selesai sampai kapan...? Jadi tolong dimaklumi...
Dan akhirnya... Di bagian terakhir inilah alasan kenapa LN ini diberi judul Yahari Ore no Seishun Rabu Kome wa Machigatteiru...
Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 8 - Lalu, Hachiman Hikigaya pun Merenung

Bagian 2


Saat kubuka pintu ruang klub, kulihat Yukinoshita sedang membaca buku di tempat biasanya.

Ia tengadahkan kepalanya saat terdengar suara decitan pintu.

"Oh... kupikir hari ini kau takkan datang."

Ia lalu meletakkan pembatas pada halaman bukunya. Dibandingkan hari pertama aku ke sini, ketika ia benar-benar mengabaikanku dan tetap membaca buku, hubungan kami sudah ada sedikit kemajuan.

"Begitulah... aku juga sempat merasa lebih baik tak usah ke sini dulu, tapi rupanya masih ada yang mau kulakukan."

Kutarik kursi yang menyilang di seberang Yukinoshita, kemudian aku duduk. Itu adalah posisi kami yang biasanya. Kuambil buku tulis bergaris dari tasku dan meletakkannya di meja. Yukinoshita yang mengamatiku dari dekat tampak tak senang.

"...kaupikir ruang kelas ini digunakan untuk apa?"

"Kau sendiri? Yang kaulakukan cuma membaca buku saja..."

Yukinoshita memalingkan wajahnya dan terlihat sedikit malu. Tampaknya tak ada yang meminta bantuan dari klub hari ini. Satu-satunya suara yang terdengar di ruang ini hanyalah detak jarum jam. Saat memikirkannya, aku tersadar kalau ruang ini sudah lama tak sesepi ini... mungkin karena sebelumya ada sebuah keberadaan yang heboh di sini.

"Yuigahama ke mana?"

"Sepertinya ia pergi bersama Miura dan kawan-kawannya."

"Oh..."

Mengejutkan... atau mungkin itu hal yang wajar. Mereka memang berteman, dan semenjak pertandingan tenis waktu itu, aku merasa kalau Miura mulai bersikap lebih ramah. Mungkin karena akhirnya Yuigahama bisa mengutarakan dengan jelas maksud pikirannya.

"Sekarang aku balik tanya. Hari ini kau tidak pergi bersama partnermu?"

"Totsuka sedang berlatih. Mungkin karena latihan khusus tempo hari, makanya belakangan ini ia begitu bersemangat kalau soal latihan..."

Yang berarti bahwa aku tak lagi bisa sering-sering bersamanya. Kenyataan itu membuatku sedih.

"Yang kumaksud bukan Totsuka."

"...lalu siapa?"

"Siapa, kaubilang... yah, orang yang selalu membuntuti bayang-bayangmu itu."

"Oi, berhenti bicara yang seram-seram... jangan bilang kalau kau bisa melihat hantu."

"...cih, menggelikan... yang namanya hantu itu tidak ada."

Yukinoshita lalu berdesah dan memandangku seolah berkata, Mungkin kau saja yang kujadikan hantu... ah, sudah lama juga aku tak mengobrol seperti ini dengan Yukinoshita.

"Maksudku anak itu. Za... Za... Zaitsu, ya? Pokoknya itu..."

"Ahh, Zaimokuza? Anak itu bukan partnerku."

Lagi pula aku tak tahu kalau ia bisa dianggap sebagai teman.

"Ia bilang, Saat ini aku sedang ada pergulatan sengit... maaf, tapi aku harus memprioritaskan tenggat waktuku hari ini. Terus ia pulang duluan."

"Cara bicaranya sudah seperti novelis kawakan saja..."

Gumam Yukinoshita dengan ekspresi jijik yang terlihat jelas pada wajahnya.

Paling tidak ia bisa menunjukkan simpatinya padaku — akulah orang yang membaca karyanya. Bahkan ia tak menulis ceritanya. Yang ia beri padaku hanya ilustrasi dan konsep ceritanya saja. Hei, Hachiman! Aku punya konsep yang cukup bagus! Sang tokoh utama wanita bisa membuat tubuhnya menjadi karet dan tokoh pembantu wanitanya punya kemampuan meniadakan kekuatan karetnya! Ini pasti akan tenar! Anak itu memang bodoh. Bagus dari mana? Jelas-jelas itu menjiplak.

Namun komunitas aji mumpung itu hanya akan bertahan sebentar saja, dan pada akhirnya kami semua kembali ke tempat kami berada sebelumnya. Jadi bisa dibilang kelompok tersebut adalah fenomena sekali seumur hidup.

Tapi kalau ditanya apa ruang kelas ini merupakan tempat aku dan Yukinoshita bernaung, maka bisa kubilang kalau itu tidak terlalu benar.

Obrolan kami yang sekenanya itu menyasar ke mana-mana di tengah suasana (sedikit canggung) yang biasanya.

"Ibu masuk, ya?"

Pintu mendadak bergeser.

"...cih."

Yukinoshita berdesah sambil meletakkan satu tangannya ke dahi. Ia terlihat pasrah. Begitulah... saat kita sedang dalam ruang yang cukup tenang lalu pintu tiba-tiba terbuka seperti itu, wajar saja kalau muncul niat ingin mengumpat...

"Bu Hiratsuka... tolong ketuk pintu dulu sebelum masuk."

"Hmm...? Bukankah itu kalimat khasnya Yukinoshita?"

Bu Hiratsuka tampak sedikit heran, namun beliau menarik kursi di sekitar lalu mendudukinya.

"Ibu mau apa?"

Sewaktu Yukinohita menanyakannya, mata Bu Hiratsuka mulai berseri-seri layaknya anak kecil.

"Ibu mau mengumumkan hasil paruh pertandingan!"

"Ahh, iya..."

Aku benar-benar lupa... malahan, aku tak ingat kalau pernah menyelesaikan permasalahan apa pun, jadi wajar saja kalau aku lupa.

"Hasil pertandingan saat ini adalah dua kemenangan di masing-masing kubu, jadi ini dianggap seri. Yang namanya persaingan frontal memang jiwanya sebuah manga pertarungan... padahal Ibu ingin melihat Yukinoshita bangkit setelah merelakan kematian Hikigaya..."

"Saya mati? Kok ceritanya jadi begitu...? Eng... dua kemenangan di masing-masing kubu? Saya tak ingat kalau ada permasalahan yang selesai. Lagi pula, cuma tiga orang saja yang meminta bantuan pada kami."

Apa beliau tidak bisa berhitung?

"Menurut hitungan Ibu sudah ada empat orang. Kalian paham? Segala keputusan yang diambil itu atas dasar pertimbangan Ibu seorang. Sebenarnya ketika kalian bermain dengan aturan yang otoriter itu, rasanya jadi sedikit melegakan..."

Memangnya beliau itu Giant, apa?

"Bu Hiratsuka... bisa dijelaskan dari mana hitungan Ibu barusan? Sependapat dengan protes anak yang di sana itu, kami memang belum menyelesaikan satu pun masalah yang diserahkan pada kami."

"Hmm..."

Bu Hiratsuka terdiam dan sedikit termenung.

"Jadi begini... kalau kau menulis huruf kanji untuk kata masalah (悩), maka seperti menggabungkan aksara kanji hati (心)
di sisi kiri dengan aksara kanji jahat (凶) di sisi kanan ditambah beberapa garis di atasnya."

"Mending Ibu balik ke pelajaran SMP saja, deh."

"Maksud Ibu, masalah kalian yang sebenarnya itu tersimpan di dalam hati kalian sendiri, karena itu, saat orang-orang mendatangi kalian untuk meminta saran, bisa jadi itu bukan permasalahan mereka yang sebenarnya."

"Lalu maksud dari penjelasan yang Ibu katakan sebelumnya itu apa?"

"Usaha Ibu untuk kelihatan pintar tadi tampaknya gagal."

Yukinoshita serta diriku menghabisi beliau tanpa ampun. Bu Hiratsuka jadi tampak sedikit sedih.

"Ya sudah... padahal Ibu sudah capek-capek memikirkan jawaban yang pas..."

Yah, dengan kata lain, penentuan pihak yang menang maupun yang kalah dalam pertandingan ini juga sama otoriternya. Bu Hiratsuka bolak-balik menatap diriku dan Yukinoshita sambil terlihat sedikit merajuk.

"Huh... kalau soal menyerang orang lain, kalian berdua baru bisa akur... seperti kawan lama saja."

"Itu mustahil... saya tak ingat pernah berteman dengan lelaki itu."

Ujar Yukinoshita sambil mengangkat bahunya. Aku yakin kalau ia bakal melirik ke arahku, tapi ternyata itu sama sekali tak dilakukannya.

"Hikigaya, jangan berkecil hati... konon ada juga serangga yang rupanya senang memakan rumput liar. Jadi itu cuma masalah selera."

Bu Hiratsuka berusaha menenangkanku. Siapa juga yang merasa kecil hati...? Dan kenapa kebaikan beliau malah terasa menyakitkan begini...?

"Betul sekali..."

Aku terkejut, Yukinoshita juga sampai mengiyakan... tunggu, justru perempuan itu yang lebih dulu membuatku tertekan.

Meski begitu, Yukinoshita hanya mengatakan kebenaran; ia takkan membohongi perasaannya sendiri, jadi ia mungkin memang percaya dengan ucapan Bu Hiratsuka. Ia lalu tersenyum padaku.

"Saya juga yakin kalau suatu saat akan ada serangga yang menyukai diri Hikigaya."

"Sial... paling tidak pilihlah hewan yang menggemaskan!"

Padahal aku sudah cukup rendah hati untuk tidak memintanya memilih manusia saja... namun Yukinoshita yang angkuh itu justru dengan bangga mengepalkan tangannya.

Mungkin ia merasa senang dengan yang diucapkannya tadi, matanya saja sampai berseri-seri; tampaknya ia begitu menikmatinya.

Di sisi lain, aku merasa sangat tidak senang. Maksudku, bukankah obrolan dengan para perempuan harusnya lebih terasa manis? Bukankah yang seperti ini justru aneh?

Kupikir sebaiknya kutulis saja apa yang kurasakan saat ini. Karenanya kuposisikan penaku. Yukinoshita lalu mengamati yang sedang kulakukan.

"Sebenarnya apa yang dari tadi mau kautulis itu?"

"Berisik. Bukan urusanmu."

Setelah itu, kutuliskan kalimat terakhir pada tugas esaiku.



Sudah kuduga, kisah komedi romatis remaja saya memang salah kaprah.


— II —


Read more ...»

Oregairu Bab 8 Bagian 1

On Selasa, 23 September 2014 0 komentar

==========================================================
Pertama, ane memakai pengganti diri "saya" dalam tulisan esai, karena sudah sewajarnya dalam sebuah esai yang konteksnya sebuah tugas dan resmi, sebisa mungkin harus formal...
Kedua, Shouten adalah acara kontes komedi di mana para pesertanya berlomba memelesetkan sebuah kata...
Ketiga, mungkin akhir pekan ini bagian selanjutnya bisa diselesaikan dan di-posting...
Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 8 - Lalu, Hachiman Hikigaya pun Merenung

Bagian 1


Masa remaja.

Itu hanya sebuah frasa sederhana, meski begitu, frasa tersebut begitu gigih menggerakkan hati manusia. Memberi rasa nostalgia pada kaum dewasa yang mapan, memberi rasa rindu tanpa akhir pada para dara muda, dan memberi rasa iri dan benci yang mendalam pada orang seperti saya.

Kehidupan SMA saya tidaklah bagai Taman Firdaus seperti hal yang saya jelaskan di atas. Melainkan dunia monokrom yang kelabu nan suram. Pada hari pertama saya di SMA, saat saya mengalami kecelakaan itu, kehidupan SMA saya menjadi benar-benar suram. Setelah kejadian itu, kehidupan SMA saya hanya diisi dengan pulang pergi antara rumah dan sekolah saja. Bahkan saat liburan pun saya hanya pergi ke perpustakaan. Yang saya jalani tersebut jauh dari anggapan sebuah kehidupan SMA yang diidamkan orang-orang. Dalam dunia saya, kisah komedi romantis itu sama sekali tidak ada.

Biarpun begitu, tak sedikit pun saya merasa menyesal. Nyatanya, bisa dikatakan kalau saya bangga akan diri sendiri.

Pergi ke perpustakaan dan membaca habis berbagai novel fantasi yang amat panjang... menyalakan radio di malam hari dan terkesima dengan cara bercerita sang penyiar radio... menemukan bagian yang menghangatkan hati di luasnya lautan elektronik yang didominasi oleh tulisan... semua ini bisa benar-benar terjadi karena saya menjalani hidup semacam itu.

Saya bersyukur, pula saya tergerak, akan setiap pengungkapan dan perjumpaan tak terduga itu. Air mata itu tetap ada, namun itu bukanlah air mata duka.

Takkan pernah saya sangkal satu tahun waktu SMA yang sudah saya jalani itu. Sebaliknya, akan saya terima itu dengan segenap hati. Dan keyakinan itu takkan berubah, baik kini ataupun nanti.

Tapi saya ingin meluruskan hal ini. Meskipun seperti itu, saya takkan menyangkal cara hidup yang dijalani oleh orang-orang lainnya. Saya takkan menyangkal cara hidup orang-orang yang mengagungkan masa remaja mereka.

Bagi mereka yang berada di puncak masa remajanya, kegagalan pun bisa diubah menjadi kenangan menakjubkan. Bahkan perselisihan, pertengkaran dan permasalahan bisa menjadi momen lain dari masa remaja mereka.

Dunia jadi berubah ketika dipandang melalui kacamata orang-orang di masa remajanya.

Kalau begitu, mungkin saja masa remaja saya bisa dihiasi oleh warna komedi romantis. Mungkin itu tak sepenuhnya salah.

Dan mungkin saja suatu hari nanti, saya pun akan melihat cahaya terang dari tempat saya kini berada, meski cahaya tersebut saya lihat melalui mata sayu yang persis ikan mati ini. Saya bisa merasakannya, sesuatu yang berkembang dalam diri saya, sesuatu yang setidaknya bisa membuat saya berharap bahwa hal itu kelak 'kan terjadi.

Tentu saja ada satu hal yang telah saya pelajari selama hari-hari saya bersama Klub Layanan Sosial.

Jadi inilah kesimpulan yang saya dapatkan.




Sampai di kalimat tersebut, kuhentikan laju pena pada tanganku.

Aku lalu melakukan perenggangan tubuh. Sepulang sekolah, hanya akulah satu-satunya yang tersisa di ruang kelas ini.

Bukan berarti aku sedang ditindas atau semacamnya... aku hanya sedang menulis ulang esai yang ditugaskan Bu Hiratsuka tempo hari. Aku mencoba bersikap apa adanya. Bukan karena aku sedang ditindas.

Penulisan ulang esaiku berjalan begitu lancar, namun aku terhenti pada bagian kesimpulan. Itu sebabnya sampai memakan waktu sesore ini.

Mungkin sebaiknya kulanjutkan saja di ruang klub...

Sewaktu memikirkannya, segera saja kumasukkan buku tulis bergaris serta alat tulisku ke dalam tas, lalu kutinggalkan ruang kelas yang kosong itu.

Tak seorang pun tampak pada lorong yang mengarah ke paviliun, meski masih bisa kudengar seruan semangat dari klub olahraga yang berlatih di luar.

Mungkin Yukinoshita sedang asyik membaca bukunya di ruang klub... jika begitu, aku bisa lanjut menulis di sana tanpa ada yang mengganggu.

Lagi pula, kami sama sekali tak melakukan kegiatan apa-apa di klub itu.

Benar-benar jarang. Memang ada beberapa orang aneh yang datang pada kami, tapi itu juga jarang. Kebanyakan orang cenderung mendatangi orang yang mereka anggap dekat, orang yang mereka percayai, atau menyimpan masalah mereka dan menghadapinya sendiri.

Mungkin itulah jawaban yang tepat. Sesuatu yang umumnya orang-orang harus tuju. Meski begitu, terkadang ada orang yang tak bisa melakukannya. Contohnya orang sepertiku, atau Yukinoshita, atau Yuigahama, ataupun Zaimokuza.

Bagi sebagian besar orang, hal semacam persahabatan, cinta maupun impian adalah sesuatu yang menakjubkan. Bahkan momen-momen ketika sedang dirundung masalah atau saat tak tahu harus berbuat apa, bisa benar-benar berubah dan dianggap sebagai hal positif.

Sudah tentu itu sesuatu yang kita sebut dengan masa remaja.

Akan tetapi, ada juga orang-orang sinis yang memandang golongan tersebut lalu menyimpulkan bahwa mereka sudah teracuni oleh konsep masa remaja dan berbuat semau mereka. Seperti yang dibilang adikku, Masa remaja? Apa itu? Program pemerintah, ya? Jelas bukan, karena yang dimaksud  adikku itu masa belajar. Sepertinya ia sudah terlalu sering menonton Shouten.




Read more ...»

Oregairu Jilid 1 Bab 8

On 0 komentar

-Bab 8 - Lalu, Hachiman Hikigaya pun Merenung.-


Daftar Isi

Read more ...»

Oregairu Bab 7 Bagian 6

On Sabtu, 20 September 2014 0 komentar

==========================================================
Akhirnyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa.................
Setelah empat bulan lamanya... Kelar juga episode 3...
Penutup cerita yang lumayan bikin adem... Bikin adem karena ada "layanan kipas"-nya... (Mudahan mengerti maksud ane)
Sama seperti waktu ane lebih memakai "suten" untuk "suit" atau "hompimpa", di sini ane lebih memilih memakai istilah "kutang" ketimbang "bra", karena faktor KBBI... Rupanya "bra" belum diserap menjadi Bahasa Indonesia...
Untuk jilid penutup sepertinya akan ane kebut selesaikan sebelum akhir bulan ini... Doakan saja ya gan...

Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 7 - Terkadang, Dewa Komedi Romantis Bisa Berbuat Baik

Bagian 6


Tak lama setelah itu, hanya tinggal kami sendiri yang tersisa di lapangan.

"Kurasa ini artinya kita memenangkan pertandingan tapi kalah dalam perang."

Ujar Yukinoshita sedikit cuek, namun tanpa sadar aku tertawa.

"Jangan Konyol... dari awal aku bukanlah tandingan mereka."

Mereka yang mengagungkan masa remaja memang selalu dapat sorotan.

"Yah, benar juga... bisa jadi seperti ini juga gara-gara ada Hikki. Diabaikan padahal kau menang... sedih banget."

"Hei, Yuigahama, hati-hati kalau bicara. Harusnya kau sadar, terkadang perasaan jujurmu itu bisa lebih menyakiti orang ketimbang kata-kata sinis."

Aku memandang sinis ke arah Yuigahama, tapi ia sama sekali tampak tak menyesal.

Yah, kurasa semua yang dikatakannya tadi memang benar, jadi tak ada alasan baginya untuk merasa menyesal. Sejak awal, Hayama dan Miura tak begitu peduli soal persaingan ataupun pertandingan macam tadi. Aku kagum mereka bisa menerima kekalahan dan menjadikannya kenangan berharga dari indahnya masa remaja.

Apa-apaan itu? Sial... Masa Remaja, meledak saja sana!

"Ah, sial... ada apa sebenarnya dengan Hayama itu... andai aku lahir dan dibesarkan dengan cara berbeda, paling-paling aku juga bakal seperti itu, sial..."

"Jika begitu, bukankah kau justru jadi orang yang benar-benar berbeda...? Yah, memang benar kalau kau perlu menata ulang hidupmu."

Ketus Yukinoshita sambil menatap dingin ke arahku, seakan ingin berkata, Mati saja sana!

"...ta-tapi, eng... kurasa Hikki sudah bagus seperti ini, atau, eng... maksudnya, itu bukan hal yang buruk, eng..."

Gumam Yuigahama, tapi aku sama sekali tak bisa mendengarnya. Kuharap ia bisa bicara dengan jelas. Ia mengingatkanku akan kejadian di toko baju saat pegawai tokonya mencoba bicara padaku.

Biar begitu, tampaknya Yukinoshita mendengar apa yang dikatakan Yuigahama tadi; ia sedikit tersenyum sebelum menganggukkan kepala.

"Ternyata ada beberapa orang yang sudah terselamatkan oleh tindakan menyimpangmu... sungguh disayangkan."

Ujar Yukinoshita yang kemudian tiba-tiba mengalihkan pandangan. Saat kuikuti ke mana arah pandangannya itu, kulihat Totsuka berjalan pelan sembari berhati-hati akan luka di lututnya. Zaimokuza pun mengikutinya layaknya seorang penguntit.

"Kerja bagus, Hachiman... rekanku memang hebat. Namun sayangnya, akan datang hari di mana kita harus menyelesaikan ini untuk selamanya..."

Entah kenapa Zaimokuza mulai berbicara sendiri dengan mata berkaca-kaca. Kuabaikan dirinya dan bicara pada Totsuka.

"Lututmu baik-baik saja?"

"Iya..."

Saat itu aku mendadak sadar kalau di sekelilingku hanya ada lelaki saja. Mungkin karena ada Zaimokuza di sini, tapi baik Yukinoshita maupun Yuigahama juga sudah menghilang entah ke mana.

Hayama bisa mendapatkan perempuan-perempuan yang memanjakannya layaknya James Bond, tapi aku justru dikelilingi oleh para lelaki. Jadi anak itu mendapat akhir seperti film James Bond, dan aku berakhir seperti film A-Team... sungguh tak adil.

Kisah komedi romantis hanyalah mitos.

"Hikigaya... eng... terima kasih."

Totsuka berdiri di hadapanku dan tatapannya tertuju langsung ke arahku. Setelah mengatakan itu, ia lalu tampak tersipu dan mengalihkan pandangannya. Aku hampir ingin memeluk dan menciumnya, tapi aku segera tersadar kalau ia lelaki...

Kisah komedi romantis ini sudah salah kaprah, begitu pula dengan jenis kelamin Totsuka. Lagi pula, Totsuka berterima kasih pada orang yang salah.

"Aku tak berbuat apa-apa. Kalau mau berterima kasih, berterimakasihlah pada para perempuan itu..."

Kucoba mencari sosok orang yang kubicarakan tadi sambil melihat ke sana kemari. Saat itu kulihat ada sepasang kucir dua berayun-ayun di sebelah ruang Klub Tenis.

Rupanya mereka ke sana.

Aku berjalan menuju ke arah ruang klub itu dengan niat ingin berterima kasih pada mereka.

"Yukinoshi... ah..."



Ternyata ia sedang berganti pakaian.

Bagian depan kemejanya sudah terbuka, dan sekilas kulihat kutang berwarna hijau limau miliknya. Ia memang masih mengenakan rok, namun sensasi ketidakseimbangan itu justru kian menguatkan kesan tentang betapa ramping dan proporsional tubuhnya.

"Wa... wa, wa, wa—"

Eh, kenapa ia malah heboh begitu? Padahal aku sedang berkonsentransi merekam hal ini dalam ingatanku. Oh, rupanya Yuigahama juga ada di sini.

Dan ternyata ia juga sedang berganti pakaian.

Tampaknya ia tipe orang yang biasa mengancing pakaian dari bawah ke atas. Jadi bajunya masih terbuka lebar, dan kutang merah muda serta belahan dadanya itu jadi terlihat. Salah satu tangannya memegang rok, dan ia tampak sedang menyodorkan rok itu ke Yukinoshita... dengan kata lain, ia sedang tak mengenakan rok.

Bokong yang proporsional itu tampak menyembul dari setelan celana dalam merah mudanya, dan pergelangan kakinya sudah ditutupi oleh kaus kaki berwarna biru tua.

"Dasar, mati saja sana!"

*Dang!* Dengan sekuat tenaga ia melempar raket ke wajahku.

...ah, benar juga, ini memang lebih seperti kisah komedi romantis.

Yah, dewa komedi romantis sudah bekerja dengan baik. *Hiks*.


— II —


Read more ...»

Oregairu Bab 7 Bagian 5

On Selasa, 16 September 2014 0 komentar

==========================================================
Setelah sebelumnya karakter lain yang sering mendapat sorotan, kini, di bagian ini, sang protagonis kita, tampil dengan kerennya...
Ane sempat lupa kalau Hachiman itu memang keren...
Jadi, pesan moral di bagian ini adalah, "Plot twist itu nyata adanya"...
Biar begitu, mungkin gak hanya ane saja, tapi agan sekalian setelah membaca bagian ini, mungkin bakal berpikir kalau Hachiman memang wajar "dianggap kalah"...
Bagaimana menurut agan sekalian...?

Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 7 - Terkadang, Dewa Komedi Romantis Bisa Berbuat Baik

Bagian 5


Keheningan yang tak wajar menyelimuti lapangan. Satu-satunya yang bisa terdengar hanyalah suara bola yang memantul di tanah.

Di tengah suasana tegang yang aneh itu, aku memaksa kesadaran yang ada jauh dalam diriku.

Aku bisa... aku bisa... aku meyakinkan diriku — tidak, aku sudah yakin akan diriku.

Lagi pula, tak ada alasan bagiku untuk kalah di sini.

Aku adalah orang yang sudah bertahan seorang diri dari sia-sia, menyedihkan dan menyakitkannya kehidupan sekolah, yang sudah menjalani pahit dan menderitanya masa remaja ini seorang diri. Jadi tak ada alasan bagiku kalah dari mereka yang menggantungkan diri pada orang banyak di setiap langkahnya.

Istirahat makan siang akan segera berakhir.

Biasanya di waktu seperti ini aku sudah menyantap habis makan siangku di dekat ruang UKS di seberang lapangan.

Ingatan tentang pembicaraanku dengan Yuigahama di tempat itu, obrolan pertamaku dengan Totsuka, semuanya terlintas di benakku.

Kubuka telingaku lebar-lebar.

Tak bisa kudengar suara mengejek Miura; tak bisa kudengar suara sorakan para penonton...

Tapi aku mendengar suara itu... suara yang aku, dan mungkin hanya aku yang bisa mendengarnya sepanjang tahun ini.

Di saat itu, kulancarkan sebuah servis.

Itu adalah servis ringan, mudah dan tak bertenaga yang melambung tinggi ke angkasa.

Kulihat Miura bergegas menuju ke arah bola. Kulihat Hayama dengan sigap mengikutinya. Kulihat para penonton yang tampak merasa kecewa. Sekilas kulirik Totsuka yang pandangannya sudah tertunduk ke tanah. Kuabaikan Zaimokuza yang sedang mengepalkan tangannya. Aku saling bertatapan dengan Yuigahama yang mulai berdoa. Lalu pandanganku pun tertuju pada senyum kemenangan yang disunggingkan Yukinoshita.

Pukulan bolaku melayang ke arah yang tak tentu.

"Hyaaahh!!"

Miura menjerit layaknya seekor ular buas dan akhirnya sampai di posisi bola akan mendarat.

Tepat pada saat itu, angin pun berhembus.

Miura mungkin tidak tahu...

...soal istimewanya angin laut yang berhembus di penghujung istirahat makan siang, yang membuat unik SMA Soubu dan lingkungan sekitarnya.

Bolanya goyah dan tersapu naik ke atas oleh angin. Membuatnya menjauh dari Miura dan memantul di tepi lapangan, tetapi hayama sudah berlari mengejar bolanya.

Hayama mungkin tidak tahu...

...kalau angin ini tak hanya berhembus satu kali saja.

Cuma aku satu-satunya yang tahu soal ini. Aku, yang sepanjang tahun duduk di sana seorang diri, yang tak berbicara dengan siapa pun, yang hanya menghabiskan waktu tanpa ada yang tahu... dan hanya angin itu satu-satunya yang tahu tentang masa-masa tenang yang kuhabiskan seorang diri.

Dan itulah bola melengkung ajaib yang hanya aku, dan memang cuma aku, yang sanggup melakukannya.

Hembusan angin yang kedua menyapu naik bolanya, meskipun bola itu telah memantul.

Setelah itu, bolanya jatuh ke tanah di pojok paling ujung lapangan kemudian menggelinding.

Mulut semua orang pun terbungkam, telinga mereka pun terbuka lebar, dan mata mereka pun terbelalak.

"Ah, kini aku ingat pernah mendengarnya... sebuah keahlian yang membuat penggunanya bisa mengendalikan angin sesukanya, Pewaris Angin, Eulen Sypheed!"

Cuma Zaimokuza satu-satunya anak yang tak mendapat arahan dan malah berteriak keras.

Kuharap ia berhenti menamai secara acak pukulanku barusan. Sial... suasananya malah jadi rusak gara-gara dirinya.

"Eng-enggak mungkin..."

Miura tampak sangat syok. Gumamannya mulai memancing reaksi penonton; mulanya mereka hanya berbisik-bisik, namun perlahan suara mereka berubah menjadi seruan, "Eulen Sylpheed! Eulen Sylpheed!" Ya Tuhan, semoga itu tidak sampai jadi heboh...

"Kami gagal... yang tadi itu memang bola melengkung ajaib."

Hayama menghadapiku sambil tersenyum. Ia tersenyum layaknya kami sudah berteman lama... sewaktu membalas senyumnya itu, kugenggam erat bola dan berdiri tanpa bisa bergerak.

Aku benar-benar tak tahu harus seperti apa menanggapi situasi seperti ini.

Yang ada, aku malah memulai percakapan sia-sia.

"Hayama. Apa saat kecil kau pernah memainkan bisbol?"

"Iya. Aku sering memainkannya... kenapa?"

Hayama tampak kebingungan akan pertanyaan yang tiba-tiba kusodorkan padanya itu, tapi ia tetap menjawabku tanpa ragu. Mungkin ia memang orang yang baik...

"Perlu berapa banyak orang supaya bisa memainkannya?"

"Eh...? Kalau enggak sampai delapan belas orang, kau enggak bisa bermain bisbol."

"Ya, sudah kuduga... tapi asal tahu saja, selama ini aku memainkannya seorang diri."

"Eh? Maksudmu?"

Tanya balik Hayama, tapi kupikir ia takkan mengerti andai kujelaskan.

Maksudku tadi bukanlah permainan bisbol tunggal.

Apa mereka mengerti deritanya mengayuh sepeda sendirian layaknya orang bodoh di tengah teriknya matahari musim panas dan menusuknya hawa musim dingin? Yang biasanya mereka alihkan dengan keluhan, Panas banget! Dingin banget! Gawat, nih! Dan semua itu sudah kulalui seorang diri.

Memangnya mereka tahu... memangnya mereka mengerti betapa menakutkannya saat tak bisa bertanya pada siapa-siapa mengenai bahan ujian yang akan datang, dan akhirnya diam-diam belajar sendirian lalu menerima langsung akibatnya. Mereka bisa sampai seperti ini karena mereka saling memeriksa jawaban masing-masing, saling membandingkan nilai ujian mereka, saling membodoh-bodohi ataupun memuji satu sama lain dan lari dari kenyataan, sementara aku menghadapi kenyataan itu seorang diri.

Apa kira-kira pendapat mereka? Bukankah aku tampak seperti manusia paling tangguh?

Tersapu oleh emosi-emosi itu, aku bersiap melakukan servis.

Kutekuk satu kaki ke depan dan menarik kencang satu sisi tubuhku ke belakang layaknya busur yang siap menembak. Lalu kulambungkan bola ke udara. Kugenggam erat raketku dengan kedua tangan dan memosisikannya di belakang leherku.

Lagit yang biru, musim semi yang hendak berlalu, dan musim panas yang akan menghampiri... aku sudah muak dan mengutuk semua itu.

"Masa Remaja, sialan!!!"

Dengan segenap kekuatan, seiring bola turun mendekatiku, kupukul bola ke udara dengan ayunan ke atas.

Bolanya sampai menimbulkan bunyi *takk!* sewaktu tepat menghantam tepi rangka raketku, yang kemudian melesat naik ke atas seakan langit yang mengisapnya.

Bola itu pun naik semakin tinggi. Pada titik tertentu, bolanya terlihat seperti bintik yang lebih kecil dari sebutir beras.

"I-itu... sang roh kehancuran yang melambung tinggi menembus langit, Meteor Strike!"

Seru Zaimokuza sambil mencondongkan badannya ke depan. Lagi-lagi... kenapa ia harus memberi nama untuk pukulanku?

"Meteor Strike..." Beberapa anak lain di antara para penonton pun mulai membisikkannya. Ya ampun, kenapa mereka juga ikut-ikutan?!

Itu bukan perkara besar... itu hanya sekadar permainan pukul-tangkap.

Biar kujelaskan. Saat masih kecil, aku tidak punya banyak teman, maka dari itu kukembangkan sebuah olahraga baru dari bisbol tunggal — aku melempar, memukul, dan menangkap bolanya sendiri. Saat berusaha merancang skema agar permainan bisa berlangsung lebih lama, aku sadar bahwa cara terbaik untuk memperlama irama permainan adalah dengan skema pukul-tangkap itu sendiri.

Jika bolanya berhasil kutangkap, maka si pemukul dinyatakan out, dan jika bolanya luput tapi bisa ditangkap setelah memantul, maka pukulan itu dianggap masuk. Jika aku memukul bolanya terlalu jauh, maka itu kuhitung sebagai home run. Salah satu kelemahan permainan ini adalah sekali aku memutuskan bermain di pihak mana (entah sebagai pemukul atau penangkap), maka permainan akan cenderung berat sebelah. Untuk memainkan bisbol ini, sangatlah penting untuk bersikap obyektif seolah sedang bermain suten dengan diri sendiri. Yang seperti ini tak patut dicontoh; bermain dengan teman-teman jauh lebih bijaksana.

Namun itulah simbol dari terasingnya diriku, dan itu pula yang menjadi senjata terkuatku.

Itu adalah palu yang jatuh dari kehampaan dan menghancurkan mereka yang mengagungkan masa remaja.

"A-apa itu?"

Miura mendongak ke atas sambil kebingungan. Hayama pun menatap tinggi ke angkasa, namun ekspresinya mendadak berubah panik lalu berteriak.

"Yumiko! Mundur!"

Teriak Hayama pada Miura yang kini terpaku dengan wajah syok. Sudah kuduga, Hayama sadar dengan yang sedang terjadi... sayangnya, ia sudah terlambat.

Bola tenis itu pun terus melaju ke atas, tapi kecepatannya berangsur berkurang akibat pengaruh gravitasi, hingga dua daya itu mencapai titik keseimbangan lalu membuat laju bola terhenti.

Ketika kemudian keseimbangan itu hancur, energi potensial bola berubah menjadi energi kinetik. Bola itu pun mulai terjun bebas. Seketika menghantam tanah, energi dari bola itu hendak meledak.

Setelah melayang begitu lama di angkasa, bola tersebut akhirnya memecut tanah hingga menciptakan kepulan debu, lalu memantul kembali, melambung tinggi ke udara.

Bermaksud ingin memukul balik, Miura mengejar bola itu sambil menerobos kepulan debu dengan langkah tak beraturan. Bolanya terbang tak menentu menuju pagar ram di belakang lapangan.

Gawat... Miura akan menabrak pagar ram tersebut.

"Ugh!"

Hayama membuang raketnya dan berlari mengejar Miura.

Apa ia akan sempat?! Ataukah tidak sempat?!

Sesaat dua anak tersebut menghilang dari pandangan di antara kepulan debu.

Seketika suasana jadi sunyi senyap.

Kudengar suara seseorang menelan ludahnya... nyatanya, mungkin itu diriku sendiri.

Lalu kepulan debu tersebut perlahan menghilang, dan dua anak tadi kembali terlihat.

Punggung Hayama sudah menghantam pagar ram sambil memeluk Miura untuk melindunginya. Wajah Miura tersipu sembari ia mencengkeram lembut baju Hayama.

Sesaat kemudian, suasana meledak dalam sorakan keras dan tepuk tangan yang bergemuruh. Itu adalah apresiasi penuh seluruh penonton.

Hayama membelai kepala Miura untuk menenangkannya, dan wajah Miura pun semakin memerah.

Sambil bersorak, para penonton pun mengelilingi Hayama dan Miura.

"HA~ YA~ TO~ GO!! HA~ YA~ TO~ GO!!"

Dalam suasana gegap gempita itu, bel penanda berakhirnya istirahat makan siang pun berbunyi. Rasanya benar-benar seperti menyaksikan adegan ciuman yang dilanjutkan dengan kredit penutup dalam sebuah film.

Pada akhirnya semua orang sudah diliputi oleh rasa puas dan kelelahan. Mereka seperti habis menonton sebuah film heroik yang menegangkan atau membaca sebuah komedi romantis remaja yang menghibur.

Dan begitulah, para murid menyanjung dua anak itu dengan sorakan, "Hore! Hore!" Lalu sosok mereka menghilang ke dalam gedung sekolah.

TAMAT.

Ah, aje gile.




Read more ...»

Saekano Jilid 1 Bab 2 [Manga]

On Kamis, 11 September 2014 0 komentar

Akhirnya kelar juga...
Dan kembali menjadi selingan (alasan) untuk menunggu Oregairu yang belum di-update...




Penerjemah: Cucundoweh
Pembersih Gambar, Tata Letak Teks, Penyunting, Pengolah Berkas, Pengedar: Rizerza

Dengan ini, kami sepakat menghentikan proyek manga ini... Bukan hanya karena sumber skrip yang jarang update, tapi karena kami gak ingin menebar spoiler lebih banyak... Biarkan saja semua terungkap di anime-nya... Semoga saja ada pihak lain yang mau melanjutkan... Semoga yang melanjutkan juga bagus... Amin...
 
Lalu ini...?
 
Hmm... Anggap saja teaser...

Teaser...?

Hmm... Teaser itu bahasa Indonesia-nya apa, ya...? Pokoknya ibarat hidangan, teaser itu kayak makanan penggugah selera... Intinya, supaya yang membaca, penasaran ingin tahu lebih lanjut...

Cuma sampai di Bab 2...? Gak gantung tuh...?

Tenang saja, Bab 1 dan 2 ini jalan ceritanya hampir seperti 1 episode utuh dalam anime... Jadi anggap saja ini manga one-shot...
 
Terus...
 
Ah, sudahan aja deh, nanti malah tl;dr...


Read more ...»

Oregairu Bab 7 Bagian 4

On Sabtu, 06 September 2014 0 komentar

==========================================================
Andai ane gak pernah nonton anime-nya mungkin ane bakal lebih deg-degan baca bagian ini...
Sumpah... Mulai dari awal sampai akhir, penggambaran kejadiannya begitu bagus, hingga di akhir bagian (yang rasanya kayak plot twist) bikin ane gak sabar mau tahu kelanjutannya... (Walau sebenarnya sudah tahu seperti apa ceritanya...)
Yang pasti bagian-bagian terakhir ini memang pantas dijadikan klimaks dalam LN ini...
Tambahan... Staccato adalah istilah dalam musik yang cara memainkan atau menyanyikan atau memperdengarkan suatu nada atau serangkaian nada pendek-pendek, terputus-putus...

Hiei adalah salah satu karakter dari seri Yu Yu Hakusho yang berwatak dingin dan tetap bersikap kalem meski dalam keadaan terdesak...
Mungkin untuk ke depannya hingga minggu ketiga bulan ini update akan lebih lama, karena RL dan fokus ke proyek lainnya...
Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 7 - Terkadang, Dewa Komedi Romantis Bisa Berbuat Baik

Bagian 4


Begitulah, semua pihak yang berhubungan dengan pertandingan tenis ini pun berkumpul. Pertandingan ini akhirnya melaju ke fase final yang sesungguhnya.

Tim Hayama dan Miura yang pertama kali jalan. Nyonya Kupu-Kupu alias perempuan gulungan vertikal alias Miura yang melakukan servis.

"Oh, iya, Yukinoshita. Entah kau tahu soal ini atau enggak, tapi aku benaran jago dalam tenis."

Ujar Miura sewaktu berulang kali memantulkan bola tenis ke tanah lalu menangkapnya, hampir seperti sedang mendribel bola basket. Tapi Yukinoshita bergeming; matanya hanya menunggu kelanjutan aksi Miura.

Miura tersenyum. Senyumnya itu sungguh berbeda dengan senyum yang ditunjukkan Yukinoshita sebelumnya... itu adalah senyum seekor hewan buas.

"Jangan salahkan aku kalau bolanya mengenai wajahmu."

...wuah, menakutkan. Ini pertama kalinya kudengar seseorang membuat prediksi seperti itu.

Saat memikirkannya, kudengar suara *wuuuss* dan sedikit bunyi dari bola yang dipukul.

Bolanya melesat kencang ke sisi kiri Yukinoshita dan menyerempet garis sisi kiri lapangan. Yukinoshita adalah pengguna tangan kanan, jadi pukulan itu ada di luar jangkauannya.

"...gampang."

Bersamaan dengan kudengarnya bisikan itu, Yukinoshita sudah bersiap untuk mengembalikan bola. Ia memancangkan kaki kirinya ke tanah dan menggunakannya sebagai tumpuan, lalu ia berputar seolah sedang berdansa waltz. Itu adalah backhand sempurna yang dilancarkan oleh raket yang digenggam tangan kanannya.

Raketnya berayun layaknya pedang samurai, dan bola yang dikembalikannya melaju kencang ke arah Miura.

Bolanya jatuh ke sisi Miura, dekat di kakinya, dan ia sedikit terpekik sewaktu bolanya memantul kembali. Pengembalian cepat tadi membuat Miura tersentak.

"Entah kau tahu soal ini atau tidak, tapi aku juga benar-benar jago dalam tenis."

Yukinoshita menghunuskan raketnya ke arah Miura dan menatap dingin perempuan itu, hampir seakan sedang melihat seekor serangga. Miura termundur ke belakang, menatap balik Yukinoshita dengan rasa takut dan benci. Bibirnya sedikit menekuk dan ia mulai melontarkan umpatan. Sampai bisa membuat Ratu Miura jadi terlihat seperti itu... Yukinoshita memang luar biasa.

"...hebat juga kau bisa mengembalikan bola tadi."

Yukinoshita tak menunjukkan sedikit pun reaksi terhadap ekspresi menggertak yang ditampakkan wajah Miura, melainkan hanya tertuju tepat pada satu titik.

"Wajah perempuan itu mirip sekali seperti wajah para senior yang dulu pernah mengerjaiku. Mudah untuk mengetahui betapa rendahnya orang tersebut."

Yukinoshita menyunggingkan senyum kemenangan lalu mulai menyerang.

Bahkan pertahanannya adalah serangan. Ini tak seperti yang biasanya orang lawas katakan, Pertahanan terbaik adalah menyerang — permainan bertahannya begitu agresif. Ia akan menjatuhkan servis tepat ke sisi lapangan lawan sebagai balasannya, dan setiap bola yang menuju ke arahnya akan dikembalikan sepenuh tenaga.

Para penonton pun menjadi kecanduan akan keindahan permainannya.

"Fuahaha! Anak buahku sungguh kuat! Ayo libas mereka semua!"

Zaimokuza terjebak dalam aroma kemenangan dan akhirnya kembali ke pihak kami, dan kini ia benar-benar berada di pusat perhatian. Itu membuatku jengkel... tapi di sisi lain, fakta bahwa Zaimokuza berada di pihak kami adalah tanda kalau keadaan sudah berbalik.

Saat aku dan Yuigahama yang bermain tadi, kami merasa benar-benar sedang bermain di kandang lawan, tapi perlahan kini para penonton berpihak ke sisi Yukinoshita. Soalnya, semua anak lelaki kini tengah memandang Yukinoshita dengan menggebu-gebu.

Yah, memang benar kalau Yukinoshita adalah spesies yang berbeda, dan tak banyak yang tahu seperti apa sifat aslinya. Dan tentu saja ia juga begitu cantik. Ia juga punya aura misterius yang mengelilinginya; kesan yang dipancarkannya bagai sekuntum bunga yang tumbuh di puncak tertinggi sebuah gunung, yang tak mungkin untuk dipetik. Bukan berarti kalau ia terlihat menakutkan, tapi dirinya terasa seperti sesosok makhluk yang tak tersentuh yang tak boleh diajak bicara.

Sudah tentu Yuigahama punya keberanian yang besar hingga bisa sedikit menembus penghalang itu... dan bisa jadi ia juga orang yang sangat bodoh.

Akan tetapi, sikap jujurnya yang kolot dan kebaikannya yang apa adanya itu mampu menggetarkan hati Yukinoshita. Yuigahama satu-satunya manusia yang sanggup meyakinkan Yukinoshita agar bisa datang kemari hari ini, dan Yukinoshita pun bermain dengan segenap kemampuannya demi membalas keberanian Yuigahama itu. Ia mungkin takkan datang andai aku yang memintanya.



Selisih angka kami yang besar perlahan menipis.

Sewaktu menyaksikan Yukinoshita yang berputar ke kiri dan ke kanan di tengah lapangan, aku selalu membayangkan kalau ia tampak seperti seekor peri. Gerak kakinya yang bagai tarian itu merupakan atraksi seorang bintang di atas panggung. Aku hanya pemain figuran di sini, dan setiap kali menerima bola, aku merinding saat semua orang menatapku. Seakan mereka ingin berkata, Jangan kau!

Namun harapan para penonton terkabulkan — kini giliran Yukinoshita yang melakukan servis.

Ia cengekeram bolanya lalu melambungkannya ke udara. Bola itu hampir tampak seperti terisap oleh langit biru sewaktu melayang ke tengah lapangan. Bola tersebut tampak takkan jatuh di dekat posisi Yukinoshita berada.

Semua orang bakal mengira kalau bolanya luput, akan tetapi...

Yukinoshita terbang.

Ia melangkah ke depan dengan kaki kanannya, membuat dorongan dengan kaki kiri, lalu melompat saat kedua kakinya sejajar. Itu merupakan langkah ringan layaknya staccato.

Kemudian ia melayang ke udara dengan anggunnya. Posisi tubuhnya bagai seekor elang yang dengan halusnya meluncur ke angkasa, dan tak ada seorang pun yang tidak terkejut oleh pemandangan tadi. Dirinya begitu gesit dan elok dipandang. Tak ada yang berkedip sewaktu mereka merekam kejadian ini di ingatan mereka.

Suara melengking terpekik melalui udara, kemudian bolanya bergulir jauh di atas tanah. Para penonton, aku, Hayama, Miura... tak seorang pun yang sanggup menggerakkan diri.

"...ser... servis lompat..."

Ucapku, namun aku hampir kehilangan kata-kata. Menyaksikan hal tak masuk akal yang dilakukan Yukinoshita itu membuatku tak bisa menutup mulut yang menganga ini. Kami sempat jauh tertinggal, tapi ia dengan mudah mengejarnya. Bahkan kini kami unggul dua angka, dan jika kami berhasil meraih angka lagi, maka kami akan memenangkan pertandingan ini.

"Kau memang luar biasa. Tetap seperti itu dan kita menangkan ini dengan mudah."

Aku begitu yakin hingga bisa berkata begitu, namun Yukinoshita tiba-tiba merengut.

"Mauku memang begitu, tapi... rasanya itu mustahil."

Ingin kutanyakan alasan ia berkata begitu, namun kulihat Hayama sudah bersiap melakukan servis.

...terserahlah... tampaknya kami akan menang begitu Yukinoshita melancarkan pengembalian bola andalannya. Aku takkan lengah, aku yakin kalau kami akan menang sewaktu bersiap menghadapi servis itu.

Hayama juga tampak kehilangan sedikit motivasi untuk bermain; servisnya tak ia lakukan sekuat tenaga seperti sebelumnya. Servisnya memang cukup cepat, tapi itu hanya servis biasa, dan bolanya melaju ke ruang di antara aku Yukinoshita.

"Yukinoshita."

Kupikir bola itu lebih baik kuserahkan padanya, makanya tadi aku memanggil namanya. Namun ia tidak menanggapiku. Yang kudengar justru suara datar dari pantulan bola yang jatuh di antara kami.

"He-hei!"

"Hikigaya... apa kau tak keberatan jika aku sedikit sesumbar?"

"Hah? Lagi pula, ada apa dengan permainanmu barusan?"

Yukinoshita tak tampak peduli dengan ucapanku, tetapi justru menghela napas panjang dan menjatuhkan diri di tengah lapangan.

"Sejauh yang bisa kuingat, aku selalu bisa melakukan segala hal, karena itu aku tak pernah berlama-lama menanganinya."

"Terus kenapa mendadak bicara begitu?"

"Bahkan dalam tenis, ada seseorang yang melatihku di olahraga tersebut, namun setelah tiga hari aku bisa melampauinya... tidak, tidak hanya olahraga, bahkan musik juga. Aku bisa menguasainya hanya dalam tiga hari saja."

"Wah, kau mirip kebalikan dari pengangguran tiga hari. Dan ternyata kau memang cuma mau sesumbar! Jadi maksudnya semua ini apa?"

"Satu-satunya hal yang tak kuyakini adalah ketahanan fisikku."

Kudengar suara pantulan bola lainnya yang melesat dan berdesing di dekat Yukinoshita.

Sudah sangat terlambat mengatakan hal tersebut di saat seperti ini...

Karena Yukinoshita bisa melakukan segala hal, ia tak pernah terjebak dalam suatu hal, dan ia tak pernah berlama-lama dalam hal apa pun. Itu berarti ketahanan fisiknya adalah titik lemahnya. Pantas saja yang selalu ia lakukan hanyalah menonton kami sedang latihan saat istirahat makan siang... yah, jika diingat kembali, ini memang sudah kelihatan jelas. Jika ingin lebih baik dalam suatu hal, maka caranya adalah dengan berlatih, dan semakin banyak berlatih, semakin kita bisa meningkatkan ketahanan fisik kita.

Namun karena dari awal ia bisa melakukan segala hal dengan begitu baik, makanya ia tak pernah berlatih. Dan itu sebabnya ketahanan fisik yang dimiliki perempuan itu begitu lemah.

"Uh, tapi kau tak harus mengatakannya dengan suara sekeras itu, 'kan...?"

Aku menoleh ke arah Hayama dan Miura, lalu melihat Ratu Hewan Buas itu sedang tersenyum bengis.

"Oh, tapi kami sudah dengar, lo~~"

Ujar Miura dengan agresif. Terlihat kalau semua kesulitannya baru saja sirna. Tepat di sebelahnya, Hayama juga tertawa kecil.

Ini situasi yang paling buruk... sesaat setelah kami memimpin pertandingan, mendadak perolehan angka menjadi deuce.

Kami memang pemain pemula dalam tenis yang memiliki peraturan aneh ini. Tapi kami paham kalau dalam keadaan deuce, kemenangan bisa diraih kalau bisa memimpin dengan selisih dua angka.

Andalan kami, Yukinoshita, sudah kehabisan seluruh staminanya dan kini hanya terdiam. Tak hanya itu, lawan kami sudah sadar betul akan situasi ini. Buktinya, servisku sudah tak ampuh lagi melawan mereka — mereka dengan mudah mengembalikannya, dan akhirnya jadi seperti itu.

"Ia boleh saja mengganggu jalannya pertandingan tadi, tapi sepertinya semua sudah berakhir, ya 'kan?"

Aku tak bisa membalas ucapan agresif Miura tadi. Yukinoshita pun masih terdiam... malahan, ia sempat mengangguk. Ia tampak kelelahan. Apa-apaan itu? Memangnya ia itu Hiei, apa?

Miura memandang angkuh ke arah kami dan tertawa dengan senangnya. Sepertinya ia ingin segera mengakhiri ini. Aku merasa seperti sedang ditatap oleh seekor ular... memangnya perempuan ini anaconda, apa?

Hayama merasakan suasana berbahaya ini dan mencoba menyela.

"Su-sudah, sudah, semuanya sudah berusaha keras... enggak usah terlalu serius. Lagi pula pertandingannya menyenangkan, jadi kita anggap seri saja, ya?"

"Ap—? Hei, Hayato, kau itu bicara apa? Ini pertandingan, lo. Kita harus serius dan melakukannya sampai selesai."

Dengan kata lain, mereka akan memenangkan pertandingan dan secara sah mengambil alih lapangan ini dari Totsuka. Ditambah, ucapan, Melakukannya sampai selesai tadi... mengerikan sekali. Kira-kira apa yang mau ia perbuat kepadaku... aku sama sekali tak suka ini... jangan-jangan itu bakal menyakitkan? Aku tak suka saat semuanya jadi terasa menyakitkan...

Seketika aku berdiri menunggu, kudengar ada seseorang yang berdecak.

"Bisakah kalian tenang dulu?"

Ujar Yukinoshita terdengar tidak senang. Ia lalu lanjut berbicara sebelum Miura sempat menanggapinya.

"Anak ini yang akan mengakhiri pertandingannya. Jadi kalahlah dengan terhormat."

Semua yang di sini meragukan apa yang baru didengar mereka tadi. Tentu saja termasuk diriku... malahan, akulah yang paling terkejut di sini.

Mendadak semua mata tertuju padaku. Hingga tadi, keberadaanku tidaklah diakui, tidak pula diinginkan. Namun mendadak aku merasa keberadaanku kini begitu menguat.

Aku saling bertatapan dengan Zaimokuza. Untuk apa ia mengacungkan jempol segala?

Aku saling bertatapan dengan Totsuka. Untuk apa ia menatapku dengan penuh harap begitu?

Aku saling bertatapan dengan Yuigahama. Kuharap ia berhenti menyorakiku, sial... malu sekali rasanya.

Aku saling bertatapan dengan Yukinoshi— ah, ia sudah berpaling. Ia malah melemparkan bola padaku.

"Kau tahu sendiri, bukan...? Kadang aku memang melontarkan hinaan maupun cacian, tapi aku tak pernah menggembar-gemborkan kebohongan."

Angin pun terhenti, mungkin karena itu suaranya begitu jelas terlantang.

Ya, aku tahu itu... yang berbohong di sini hanyalah aku dan mereka saja.




Read more ...»

Oregairu Bab 7 Bagian 3

On Minggu, 31 Agustus 2014 0 komentar

==========================================================
Dilihat-lihat lagi, Episode 3 ini panjang banget kalau dalam LN-nya... Banyak adegan yang diringkas bahkan ditiadakan di anime-nya...
Contohnya ya... Adegan seperti di gambar ini... (Sekali lagi terima kasih agan Rize atas taipsetingnya, ditunggu Saekano-nya)
Jadi kalau mau tahu seperti apa visualisasi (yang lumayan lengkap) dari LN-nya, silakan baca manga-nya...
Info tambahan lagi, kanji untuk "kuda" (馬, uma) jika ditambah kanji 鹿, maka akan membentuk kata "bodoh" (馬鹿, baka)...
Info lagi, ternyata sulit menarasikan adegan pertandingan olahraga, ane kira kayak komentator bola begitu, ternyata malah kayak narasi novel aksi, dan itu salah satu alasan ane gak berani ambil genre lain... Satu lagi, di bagian ini ada lagi ilustrasinya...
Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 7 - Terkadang, Dewa Komedi Romantis Bisa Berbuat Baik

Bagian 3


Pertandingan pun dimulai, dan emosi-emosi saling bergesekan seiring poin yang masuk dalam pasang surutnya serangan maupun pertahanan.

Saat pertandingan baru dimulai, sorakan penonton begitu bergemuruh dan dipenuhi teriakan histeris. Namun sejalan dengan berlangsungnya pertandingan, mata mereka mengikuti ke mana arah pergerakan bola sambil menahan napasnya. Kemudian mereka menghela napas dan bersorak gembira saat poin tercipta. Ini benar-benar mirip seperti pertandingan profesional yang disiarkan di TV.

Di setiap reli panjang yang saling berganti, dengan poin yang saling berbalas, bisa kurasakan kegelisahan yang semakin mengikis syarafku.

Pada akhirnya, keseimbangan tadi dihancurkan oleh servis si gulungan vertikal itu.

*Ping!* Kudengar suara pukulan raketnya. Segera setelahnya, bola melesat turun ke lapangan layaknya sebuah peluru dan semakin membesar di penglihatanku.

Apa-apaan yang barusan itu...? Entah cuma aku, atau memang bolanya juga melesat seperti gulungan vertikal?

Intinya, Nyonya Kupu-Kupu itu ternyata benar-benar pemain kelas atas.

"Ternyata ia memang jago..."

Gumamku tanpa sadar.

"Apa kubilang."

Jawab Yuigahama dengan begitu bangga. Bukankah ia harusnya ada di pihakku?

"Kau sendiri belum memukul satu bola pun sampai sekarang..."

"Ah, eng, sebenarnya... aku jarang main tenis."

Yuigahama terkikih gugup di depanku.

"...kau... kau jarang main tenis tapi memaksakan diri ikut bermain?"

"Eng... i-iya, aku salah!"

Justru sebaliknya... perempuan ini terlalu baik. Ia jarang bermain tenis, dan ia masih memaksakan diri bermain di depan orang banyak demi membela Totsuka... tak semua orang bisa berbuat begitu. Dan itu bisa jadi lebih keren lagi andai ia memang jago bermain tenis. Tapi hidup tak selalu sesuai dengan keinginan kita.

Aku masih bisa melawan dengan servis terarah dan pengembalian bola terukur yang kuasah lewat latihan memukul bola ke tembok. Namun saat mendekati paruh kedua, perbedaan skor kami kian melebar.

Itu karena lawan kami hampir selalu terfokus pada Yuigahama.

Mereka mungkin terkejut karena aku bisa menangani dan mengubah arah sasaran mereka... atau bisa jadi mereka yang tak menghiraukan keberadaanku.

"Yuigahama, kau jaga bagian depan. Biar aku yang urus bagian belakang."

"Oke."

Setelah menetapkan strategi dasar, kami pun bersiap di posisi yang sudah direncanakan.

Servis Hayama yang keras dan cepat mengarah ke kami. Bolanya melesat ke pojok jauh lapangan dengan akurasi terukur dan melayang melewati kami. Aku melompat ke samping sambil bersusah payah menggapainya. Kujulurkan raketku sejauh mungkin supaya bisa mengenai bolanya. Lalu dengan sekuat tenaga kukembalikan bola itu.

Pengembalianku mendarat di sisi lawan, namun Nyonya Kupu-Kupu seolah sudah bersiap. Ia lalu melesatkan bola ke arah berlawanan. Aku bahkan tak menunggu untuk melihat arah datangnya bola. Aku hanya bergegas maju ke sisi tersebut, yang kukira bolanya akan mengarah ke sana.

Kakiku yang sulit kukendalikan ini masih mau menuruti kehendakku. Kuhadapi bola itu, dan saat memantul kembali, kupukul keras ke arah pojok lapangan.

Akan tetapi, Hayama sepertinya sudah mengetahui rencanaku — ia menunggu pukulanku. Ia mengubah keadaan dengan sebuah drop shot yang mengarah di antara Yuigahama dan aku.

Aku kehilangan keseimbangan hingga tak mungkin meraih bola itu. Aku memandang Yuigahama dengan tatapan memohon, dan ia berlari ke arah bola lalu mengembalikannya... namun ia terlalu kuat memukul bolanya, sehingga bola itu pun melayang tinggi ke angkasa, dan jatuh tepat di posisi Nyonya Kupu-Kupu berdiri.

Bola itu pun dismes keras dengan sekuat tenaga ke arah kami. Nyonya Kupu-Kupu tersenyum sadis saat bola tersebut menyerempet pipi Yuigahama dan melaju ke arah pojok kosong lapangan.

"Kau tak apa-apa?"

Tanpa mengambil bola aku langsung berseru pada Yuigahama yang sudah jatuh terduduk di belakang.

"...yang tadi itu mengerikan sekali..."

Saat mendengar gumaman Yuigahama yang matanya sudah berkaca-kaca itu, Nyonya Kupu-Kupu sesaat terlihat cemas.

"Yumiko, kau memang kejam."

"Ha...?! Bukan, bukan begitu! Yang tadi itu wajar-wajar saja, kok! Enggak mungkin aku sekejam itu!"

"Ah, berarti kau memang manusia sadis."

Gurau Hayama dan Nyonya Kupu-Kupu sambil kemudian tersenyum. Para penonton pun tampak terpengaruh oleh mereka dan ikut tersenyum.

"...Hikki, ayo menangkan pertandingan ini."

Yuigahama lalu berdiri dan mengambil raketnya. "A-aduh!" Kudengar ia sedikit mengaduh.

"Hei, yakin kau tak apa-apa?"

"Maaf... kurasa kakiku terkilir."

Yuigahama tersenyum malu-malu padaku. Matanya pun sudah dipenuhi air mata.

"Kalau kita kalah, nanti bisa jadi masalah buat Sai... ah, gawat, kalau begini bisa gawat... kalau sampai gagal, minta maaf saja enggak bakal cukup... uh!"

Yuigama lalu menggigit bibirnya karena frustasi.

"Baiklah, kita pikirkan jalan keluarnya. Jika terpaksa, kita bisa mendandani Zaimokuza dengan pakaian perempuan."

"Jelas langsung ketahuan, dong!"

"Benar juga... begini saja... kau istirahat dulu di luar. Biar sisanya aku yang urus."

"...terus?"

"Sejak zaman dahulu kala, ada sebuah teknik terlarang dalam olahraga tenis. Teknik itu bernama, Raketku jadi roket!"

"Itu jelas pelanggaran!"

"...ya sudah, jika situasinya memang jadi buruk, aku akan bersikap serius. Kalau sudah serius, aku bisa menjadi ahli dalam bersujud dan menjilat kaki lawanku."

"Itu memang serius tapi dalam cara yang salah..."

Yuigahama tampak terkejut dan berdesah lalu tersenyum. Matanya sudah sembab karena air mata. Mungkin karena kakinya yang terkilir atau mungkin karena ia tertawa hingga tanpa sadar menangis. Dengan matanya yang sudah memerah, ia mengalihkan pandangannya ke arahku.

"Ah, Hikki memang bodoh... kepribadianmu buruk, bahkan saat terdesak pun tetap sama buruknya. Biar begitu, kau enggak mau menyerah... kau tetap maju seperti orang bodoh dan menantang lawanmu dengan cara menjijikkan dan menyedihkan... aku akan mengingatnya."

"Kau ini bicara ap—"

"Kurasa aku sudah enggak sanggup lagi..."

Sela Yuigahama dengan nada kesal.

Ia lalu berbalik membelakangiku dan beranjak pergi. "Permisi, permisi!" Serunya sewaktu membelah kerumunan penonton yang sedang kebingungan.

"...perempuan itu bicara apa, sih...?"

Ditinggalkan sendiri di tengah lapangan, kupandangi Yuigahama yang keluar seiring sosoknya yang mulai menghilang. Lalu kudengar suara tawa menjengkelkan yang bergema di lapangan.

"Ada apa, nih? Bertengkar sama temanmu, ya? Terus ditinggalkan, ya?"

"Konyol sekali... selama ini aku tak pernah bertengkar dengan siapa pun. Dan aku tak punya kedekatan dengan siapa pun sampai bisa bertengkar dengan mereka."

"Eh..."

Hayama dan Nyonya Kupu-Kupu tersentak karena ucapanku.

Hmm...? Harusnya mereka tertawa tadi...

Oh, aku paham. Humor merendahkan diri barusan hanya berlaku pada orang yang sudah dekat dengan kita saja...

Hanya Zaimokuza satu-satunya yang berusaha menahan tawa. Aku berdecak dan membalikkan badan hanya untuk melihat dirinya yang berlagak cuek dengan berpura-pura sedang bicara pada seseorang di tengah kerumunan penonton.

...bajingan itu mau melarikan diri, ya...? Pada situasi begini, aku sekalipun pasti akan berlagak cuek dan melarikan diri. Totsuka pun sampai memandangku dengan tatapan memelas.

Uh, baiklah... ini saatnya untuk memohon ampun. Akan kutunjukkan kalau aku bisa serius.

Untuk bisa mengambil hati orang lain, kita memang harus membuang harga diri dan sebisa mungkin menjilat mereka... aku bangga bisa melakukannya.

Mungkin cuma aku satu-satunya yang merasakan sebuah dorongan besar untuk mengeluarkan diriku dari suasana tegang ini... kemudian kudengar penonton mulai ramai bergumam.

Dan tembok manusia itu pun perlahan terbelah dua.

"Ada apa sampai jadi ramai begini?"

Rupanya itu Yukinoshita — ia mengenakan seragam olahraga satu setel dengan roknya, dan itu terlihat kurang mengenakkan. Ia datang dengan membawa kotak P3K di tangannya.

"Ah, kau ini ke mana saja...? Terus kenapa bajumu begitu?"

"Aku juga kurang tahu... Yuigahama mendatangiku dan memintaku memakai ini."

Ujar Yukinoshita sambil berbalik, kemudian Yuigahama muncul di sampingnya. Tampaknya mereka saling bertukar pakaian, dan Yuigahama sedang mengenakan seragam Yukinoshita. Mereka ganti baju di mana? Masa di luar?! Hmm...

"Rasanya kesal kalau kita kalah padahal sudah sampai sejauh ini, makanya Yukinon akan bermain untuk kita."

"Kenapa harus aku...?"

"Yah, soalnya Yukinon itu teman yang paling bisa diandalkan di dunia!"

Yuikinoshita sedikit tersentak saat mendengar tanggapan Yuigahama tadi.

"Te... teman?"

"Yak, teman."

Sanggah Yuigahama tanpa pikir panjang. Tunggu dulu, rasanya yang tadi itu agak...

"Apa kau meminta tolong temanmu untuk melakukan hal seperti ini? Rasanya kau hanya memanfaatkannya saja..."

"Eh? Untuk yang begini, aku hanya bisa meminta tolong temanku saja. Kenapa juga kita harus memohon pada orang yang enggak peduli untuk melakukan hal-hal penting buat kita?"

Jawabnya seolah itu adalah hal paling wajar untuk diucapkan.

Oh, begitu rupanya...

Di masa lalu, aku sering terpedaya untuk menggantikan tugas piket anak lain karena mereka berkata, Kita ini teman, 'kan? Itu sebabnya aku belum terbiasa dengan pemandangan yang diperlihatkan Yuigahama ini. Begitu rupanya. Berarti aku memang berteman dengan anak-anak itu... barangkali.

Tak menutup kemungkinan Yukinoshita memikirkan hal yang sama denganku. Ia menempelkan jari di bibirnya seakan sedang memikirkan sesuatu.

Kecurigaannya terlalu berlebihan; aku pun bukan tipe yang gampang percaya orang lain.

Tapi Yuigahama ini beda cerita. Intinya, anak ini terlalu polos.

"Hei, mungkin ia hanya bersikap jujur. Lagi pula, anak ini terlalu polos."

Saat aku berkata begitu, sikap tegas Yukinoshita langsung melunak. Ia menyunggingkan senyum penuh makna pada kami dan mengibaskan rambutnya dengan sebelah tangan seperti yang biasanya ia lakukan.

"Tolong jangan anggap remeh diriku... mungkin kelihatannya saja begini, tapi aku cukup jeli dalam menanggapi orang lain. Dan mustahil seseorang yang bisa bersikap baik padaku maupun pada Hikigaya adalah orang yang jahat."

"Logika yang cukup mengesalkan..."

"Tapi memang itu kenyataannya."

Sudah pasti begitu.

"Aku tak keberatan diminta bermain tenis, tapi... bisa aku minta waktu sebentar?"

Tanya Yukinoshita, lalu ia berjalan mendekati Totsuka.

"Setidaknya kau bisa merawat lukamu dulu, ya 'kan?"

Totsuka tampak sedikit kebingungan sewaktu menerima kotak P3K yang disodorkan padanya.

"Eh, ah, iya..."

"Yukinon, jadi tadi kau pergi untuk mengambil itu... kau memang baik."

"Begitukah? Walau ada beberapa anak lelaki diam-diam menjulukiku Ratu Es..."

"Ke-kenapa kau bisa tahu... Argh! Kau membaca Daftar Orang yang Takkan Kumaafkan milikku, ya?!"

Sial. Aku sudah menyebut Yukinoshita dengan kata-kata buruk di buku itu.

"Aku terkejut. Jadi kau benar-benar menjulukiku begitu? ... yah, aku juga tak peduli orang berpikir apa."

Yukinoshita membalikkan badannya ke arahku. Meski begitu, ekspresi dingin yang ia tunjukkan tak terlihat seperti biasanya, melainkan sedikit diwarnai oleh keraguan. Suaranya perlahan beralih dari kepercayaan diri menjadi sesuatu yang lebih rapuh. Ia tiba-tiba memalingkan pandangannya.

"...dan... aku tak keberatan kalau kau menganggapku... temanmu..."


Hampir kudengar suara *pop* sewaktu pipi Yukinoshita mulai tampak merah padam. Ia genggam raket yang diambilnya dari Yuigahama tadi dan sekilas terlihat sedang menundukkan wajah.

Itu terlihat begitu menggemaskan hingga cukup layak untuk diberi pelukan... oleh Yuigahama.

"Yukinon!"

"Hentikan... jangan menempel begitu padaku. Aku jadi tak bisa bergerak..."

...eh? Bukankah ini titik di mana ia harusnya bersikap lembut padaku? Entah hanya aku, atau ia cuma bersikap lembut pada Yuigahama saja? Harusnya tak begitu, bukan? Apa kami sedang di dalam kisah komedi romantis di mana lelaki mendapat cinta lelaki lain dan perempuan mendapat cinta perempuan lainnya?

Semua dewa komedi romantis memang konyol.

Setelah Yukinoshita berhasil melepaskan diri dari Yuigahama, ia berdeham beberapa kali dan lanjut berbicara.

"Sungguh sebuah penyesalan bisa berpasangan dengan lelaki ini, tapi, yah... mau bagaimana lagi? Aku terima permintaanmu. Aku hanya perlu memenangkan pertandingan ini saja, bukan?"

"Sip! ...yah, aku juga enggak bisa berbuat banyak agar Hikki bisa menang."

"Maaf sampai membuatmu melakukan ini."

Kubungkukkan badan ini, tapi Yukinoshita hanya menatapku dingin.

"...jangan salah sangka. Aku melakukan ini bukan demi dirimu."

"Ha ha ha, kau memang tsundere."

Ha ha ha, ya ampun, ha ha ha ha... sudah lama aku tak mendengar hal seklise itu.

"Tsundere...? Entah kenapa, kata-kata itu membuat bulu kudukku merinding."

Ya, itu memang benar... kurasa sudah jelas kalau Yukinoshita takkan tahu apa itu tsundere... terlebih, perempuan itu takkan berbohong — ia akan selalu berkata sejujurnya, tak peduli betapa kejamnya itu. Jadi kemungkinan ia tak berbohong saat berkata kalau ini bukan demi diriku.

Yah, bukan berarti aku ingin ia agar menyukaiku atau semacam itu, jadi ya, sudahlah.

"Yang penting, nanti perlihatkan padaku daftar yang kausebut tadi. Akan kuperiksa dan kuperbagus untukmu."

Yukinoshita lalu tersenyum manis kepadaku, mengingatkanku akan sebuah bunga yang mulai mekar. Tapi kenapa senyumnya tak sedikit pun menghangatkan hatiku...?

Aku justru merasa ketakutan. Rasanya seperti sedang ditatap seekor harimau.

Bila memang ada harimau di depanku... hmm... berarti ada serigala di belakangku. Atau mungkin seekor kuda.

"Yukinoshita... ya? Maaf sebelumnya, tapi aku enggak akan menahan diri siapa pun lawannya. Kau merasa seperti tuan putri, 'kan? Kalau enggak mau terluka, mending pergi dan menyerah saja sana."

Aku berbalik dan melihat Miura sedang berdiri sembari memelintir gulungan vertikalnya sewaktu melihat ke arah kami sambil tersenyum kejam. Miura bodoh... menantang Yukinoshita sama saja mencari mati...

"Percayalah, aku yang akan menahan diri untukmu. Akan kuhancurkan kebanggaanmu itu sampai berkeping-keping."

Ujar Yukinoshita sambil tersenyum seolah ia tak mungkin dikalahkan. Setidaknya ia tampak tak terkalahkan di hadapanku.

Ia adalah musuh yang mengerikan, tapi hati akan sangat tenang jika berada di pihaknya... aku sungguh kasihan pada pihak yang menjadikannya musuh.

Baik Hayama maupun Miura sudah mempersiapkan diri mereka. Senyum penuh makna yang disunggingkan Yukinoshita pun tampak indah sekaligus cukup dingin untuk membekukan orang lain.

"Cukup sudah kaulecehkan tema—"

Yukinsohita keceplosan bicara kemudian sedikit tersipu. Mungkin masih terasa memalukan baginya untuk memakai kata itu, makanya ia diam-diam menggelengkan kepalanya sebelum kembali berbicara.

"...cukup sudah kaulecehkan anggota klub kami. Bersiaplah... asal kau tahu, mungkin kelihatannya saja begini, tapi aku adalah tipe pendendam."

Bukan, bukan mungkin lagi... tapi seratus sepuluh persen ia tipe pendendam.




Read more ...»

Oregairu Bab 7 Bagian 2

On Sabtu, 23 Agustus 2014 0 komentar

==========================================================
Gak bisa dibilang ngebut juga sih... Karena mood-nya lagi bagus, jadi dikerjain aja waktu ada senggang...
Untuk "tenisu", pengucapan Zaimokuza memang seperti itu (berbau-bau engrish)...
Nyonya Kupu-Kupu (お蝶夫人, Ochoufujin) adalah julukan yang diberikan pada karakter Hiromi Oka dalam seri Ace wo Narae! karena keanggunannya saat di lapangan tenis...
Yah, yang penting, setelah sekian lama, akhirnya ada ilustrasinya juga... Hkhkhk...
Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 7 - Terkadang, Dewa Komedi Romantis Bisa Berbuat Baik

Bagian 2


Aku sudah berusaha melucu dengan memakai kata-kata seperti hiruk-pikuk dan kekisruhan, namun kata-kata itu justru menjadi kenyataan.

Kini, ada beberapa orang sedang bersorak di sekitar lapangan tenis yang berletak di pojok halaman sekolah.

Andai dihitung, mungkin mudahnya ada sekitar dua ratus orang di sini. Tentu saja sebagiannya adalah kelompok Hayama, tapi ada lebih banyak orang yang mungkin mendengar hal ini dari suatu tempat dan penasaran ingin mencari tahu.

Sebagian besar penonton di sini adalah teman Hayama maupun penggemarnya. Sebagian besarnya adalah anak kelas dua, namun ada juga anak kelas satu yang berbaur, dan aku pun bisa melihat ada anak kelas tiga di sana-sini.

Yang benar saja? Ia bahkan lebih populer dibanding politisi.

"HA~ YA~ TO~ GO!! HA~ YA~ TO~ GO!!"

Para penonton bersorak untuk Hayama, dan mereka mulai membuat gelombang sorakan. Rasanya seperti sedang di tengah konser idola saja. Meski kurasa sebagian orang di sini bukanlah penggemar Hayama, tapi mereka kemari karena merasa ada sesuatu yang aneh sedang berlangsung... iya, 'kan? Aku justru lebih meyakini hal itu.

Intinya, bulu kudukku langsung merinding sewaktu melihat ke arah kerumunan. Rasanya seperti sebuah sekte keagamaan. Jemaat masa remaja memang menyeramkan.

Dan di tengah wadah kekisruhan yang meleleh itu, Hayato Hayama dengan percaya diri maju ke tengah lapangan. Terlepas dari riuhnya penonton, ia tampak begitu tenang. Mungkin ia sudah terbiasa dengan perhatian sebanyak ini. Kini tak hanya pengikutnya saja yang mengerumuninya, namun juga beberapa anak lelaki dan perempuan dari kelas lain.

Kami sudah benar-benar tertelan seutuhnya. Kami pun bolak-balik saling beradu tatap. Kupejamkan mataku, dan kurasakan diriku pening karena hiruk-pikuk yang memekakkan telinga itu.

Hayama sudah menggenggam raketnya dan berdiri di sisi lapangan. Ia memandang kami dengan penuh ketertarikan, penasaran soal siapa di antara kami yang akan maju duluan.

"Hei, Hikki. Bagaimana, nih?"

"Bagaimana, ya..."

Yuigahama tampak gelisah saat bertanya padaku tadi. Aku lalu memandang ke arah Totsuka, dan ia sudah terlihat seperti kelinci ketakutan yang baru saja dilepas di hutan yang asing.

Bahkan sewaktu berbicara padaku, ia tampak begitu malu-malu sambil merapatkan kedua kakinya. Ya ampun, gemas sekali melihatnya.

Bukan aku saja yang berpikir demikian. Saat Totsuka berjalan dengan lemahnya tadi, kudengar para perempuan di sekitar kami sudah menjeritkan, "Pangeran~~!!" ataupun "Sai~~!!"

Namun setiap kali Totsuka mendengar itu, bahunya langsung terturun. Dan karena melihat hal itulah, para penggemar Totsuka semakin menggeliat kesenangan. Aku pun jadi sedikit ikut terbawa mereka.

"Sepertinya Totsuka tak bisa ikut bertanding..."

Hayama bilang kalau ini adalah pertandingan antara orang-orang dari luar Klub Tenis. Dengan kata lain, ini adalah pertandingan untuk memenangkan lapangan dan Totsuka itu sendiri.

"...Zaimokuza, kau bisa main tenis?"

"Serahkan saja padaku. Aku sudah selesai membaca seluruh jilidnya, bahkan aku sudah menonton drama musikalnya. Jadi aku cukup superior bila berurusan dengan tenisu."

"Aku yang bodoh sudah bertanya padamu. Lagi pula, kalau mengucapkan tenis dengan cara begitu, harusnya kau juga konsisten sewaktu mengucapkan drama musikal tadi."

"Yah, kalau begitu, berarti memang terserah padamu... terus bagaimana pengucapan drama musikal-nya?"

"Benar juga, kurasa memang harus aku..."

"Menurutmu kau punya kesempatan menang? ...serius deh, bagaimana dengan pengucapan drama musikal-nya?!"

"Sama sekali tak ada... sudahlah, jangan cerewet. Kalau memang tidak bisa, tinggal ubah saja karakter sialanmu itu. Parah sekali kelihatannya."

"Be-begitu... Hachiman, memang pintar, ya?"

Zaimokuza tampak terkesan. Rupanya masalah tentang dirinya tadi sudah bisa diatasi. Tapi tak satu pun dari masalahku sendiri sudah teratasi. Ah... bagaimana ini?

Kubenamkan kepalaku dalam kedua tangan yang sedang menyilang. Saat melakukannya, kudengar sebuah suara kasar nan menjengkelkan.

"Hei, bisa cepat enggak, sih?"

Ya Tuhan. Perempuan bispak ini benar-benar menjengkelkan. Kutengadahkan kepalaku dan melihat Miura sudah menggenggam raket sambil memeriksanya. Hayama pun tampak merasa aneh saat melihat kelakuan perempuan itu.

"Eh? Yumiko mau main juga?"

"Hah? Ya, iyalah. Dari awal, yang mau main tenis itu sebenarnya aku. Masa lupa, sih?"

"Aku tahu, tapi... tim di sebelah sana mungkin diwakili anak lelaki. Kau kenal, eng... Hikitani, 'kan? Anak itu. Kalau kau bermain dengannya, bakal enggak adil nanti."

Siapa itu Hikitani? Yang bermain itu bukan Hikitani, tapi Hikigaya... mungkin.

Setelah diingatkan oleh Hayama, Miura lalu termenung sambil memain-mainkan rambut ikalnya.

"Ah, kalau begitu, main ganda campuran saja! Wah, aku ini pintar juga, ya? Tapi... memangnya ada perempuan yang mau main sama Hikitani? Haha, konyol banget!"

Miura mulai mengeluarkan tawa vulgar bernada tinggi, lalu diikuti oleh tawa para penonton. Mau tak mau aku juga ikut menertawakan diriku sendiri.

Ku ku ku, ku ku ku... uh, kuakui rasanya perih sekali, tapi yang tadi itu memang tepat sasaran. Bisa kurasakan diriku terjun bebas ke dalam kegelapan.

"Hachiman, ini gawat. Kau sama sekali tidak punya teman perempuan. Dan tak ada anak perempuan yang mau membantu bajingan penyendiri berwajah datar sepertimu sekalipun kau memohon. Jadi bagaimana ini?"

Zaimokuza ini tak mau diam. Tapi yang dikatakannya memang benar, makanya aku tak bisa menyangkalnya.

Kita sudah melewati sebuah masa di mana aku bisa tinggal pergi sambil berkata, Ahahaha, maaf~~ sudah, kita lupakan saja soal ini. (kedip <3). Awalnya aku ingin meminta bantuan Zaimokuza, tapi ia hanya menoleh ke sana kemari dan mulai bersiul.

Kuhela napasku, dan seolah tertular, Yuigahama dan Totsuka juga ikut menghela napas.

"..."

"Hikigaya, maaf. Kalau saja aku anak perempuan, aku pasti akan senang bermain denganmu, tapi..."

Benar sekali. Kenapa Totsuka bukan anak perempuan? Padahal ia begitu manis...

"...tenang saja."

Tak boleh kubiarkan kecemasan ini tampak di wajahku, karena itu lalu kubelai kepala Totsuka.

"Dan juga... kau tak perlu mencemaskan ini. Kalau kau punya tempat untuk bernaung, maka kau harus melindungi tempat tersebut."

Saat aku mengatakannya, bahu Yuigahama jadi gemetar. Ia gigit bibirnya dan melihatku dengan tatapan menyesal.

Yuigahama punya kedudukan sendiri di kelasnya. Tak sepertiku, ia benar-benar hebat jika berurusan dengan pergaulan antarsesama. Itu sebabnya ia masih ingin bisa berakrab ria dengan Miura serta anak lainnya.

Aku adalah penyendiri, tapi bukan berarti aku iri dengan orang-orang yang akrab dengan sesamanya. Bukan berarti pula aku mengharapkan hal buruk terjadi pada mereka... sungguh bukan itu. Aku tidak bohong.

Bukan berarti kami ini sekumpulan teman atau semacamnya, dan aku juga takkan menganggap mereka sebagai teman. Kami hanyalah bentuk kekacauan dari sekelompok acak orang-orang yang berkumpul bersama, atau mungkin kami berkumpul di sini karena alasan yang acak pula.

Yang mau kulakukan hanyalah ingin membuktikan sesuatu. Bahwa para penyendiri ada bukan untuk dikasihani, mereka sama bergunanya seperti yang lain.

Aku sadar betul kalau itu adalah pemikiran yang egosentris. Tapi aku memang orang yang egosentris jika sedang sendirian. Bahkan aku bisa berteleportasi dan menghembuskan api saat sedang sendirian.

Namun aku tak mau menolak masa laluku sendiri ataupun masa yang sedang kujalani ini. Aku takkan pernah percaya bahwa menghabiskan waktu seorang diri adalah sebuah dosa atau hal yang dianggap salah.

Karena itu aku akan berjuang melindungi rasa keadilanku sendiri.

Aku pun mulai maju ke lapangan sendirian.

"...mau."

Kudengar desahan lembut, amat sangat lembut hingga lenyap oleh riuhnya sorakan.

"Hah?"

"Kubilang, aku mau!"

Yuigahama sedikit mengerang sewaktu wajahnya mulai memerah.

"Yuigahama? Bodoh. Kau ini bodoh, ya? Jangan main-main."

"Kenapa aku dibilang bodoh?!"

"Kenapa kau mau melakukannya? Kau ini bodoh, ya? Atau jangan-jangan kau suka padaku?"

"E... eh? Ka-kau ini bicara apa? Bodoh! Dasar Bodoooooh!!"

Wajah Yuigahama memerah selagi mengataiku bodoh berulang kali disertai kemarahan yang luar biasa. Ia lalu merebut raket dari tanganku dan mulai mengayunkannya ke sana kemari.

"Ma-ma-ma-maaf! Maaf!"

Aku langsung meminta maaf sambil menghindari ayunan raketnya. Mengerikan sekali saat mendengar suara ayunan raket yang begitu dekat dengan telingaku. Tapi sewaktu aku meminta maaf, kuperlihatkan rasa penasaran ini lewat ekspresiku. Yuigahama pun mengalihkan wajahnya dengan malu-malu.

"...yah, bagaimana bilangnya, ya? Aku juga anggota Klub Layanan Sosial... jadi bukan hal aneh bagiku berbuat seperti ini... soalnya, itu tempatku bernaung."

"Tunggu, tenang dulu. Perhatikan dulu sekitarmu. Ini bukanlah satu-satunya tempatmu bernanung, 'kan? Coba lihat, para perempuan dalam grup langgananmu sedang menatap ke arahmu."

"Eh, serius?"

Yuigahama menegang dan menoleh ke arah grup Hayama. Hampir bisa kudengar suara lehernya yang berderak sewaktu menolehkan kepala. Aku sempat mau menyarankannya agar memakai pelumas Kure 556 atau semacamnya.

Grup perempuan di sekitar Hayama, dengan Miura sebagai pemimpinnya, sedang memandang kami. Sudah sewajarnya mereka berbuat demikian, mengingat apa yang sudah Yuigahama lantangkan tadi.

Terasa aura permusuhan pada mata besar Miura yang sudah ditebali oleh maskara dan eyeliner. Gulungan rambut pirangnya yang mirip bor itu berayun tak senang. Memangnya ia itu Nyonya Kupu-Kupu apa?

"Yui, asal kau tahu, kalau kau memihak sana berarti kau melawan kami. Kau paham, 'kan?"

Layaknya seorang ratu, Miura menyilangkan lengan dan menghentakkan kakinya ke tanah. Itu adalah pose seorang ratu yang sedang marah. Merasa tertekan oleh pose tersebut, perlahan Yuigahama menundukkan pandangannya ke bawah. Ia lalu menggenggam keliman roknya. Mungkin ia merasa gugup — tangannya sudah gemetaran.

Sorakan pernonton mulai berubah menjadi riuh rendahnya suara bisikan. Padahal ini bukan sebuah eksekusi di depan umum.

Namun Yuigahama mengangkat kepalanya dan dengan tegas menatap ke depan.

"...bukan begitu... mauku. Tapi, klub... klub ini penting buatku! Jadi aku akan melakukannya."

"Hmm... begitu. Jangan sampai kau malu sendiri, ya."

Tanggap Miura singkat. Namun aku melihat sebuah senyum tersungging di wajahnya. Itu adalah senyuman api neraka yang berkobar.

"Ayo ganti baju dulu. Biar kupinjamkan baju dari Klub Tenis Putri. Ayo ikut."

Miura menolehkan kepalanya ke arah ruang Klub Tenis yang berada di dekat lapangan. Mungkin ia mencoba bersikap baik, tapi yang terdengar bagiku, ia seperti berkata, Akan kucekik kau di ruang klub nanti. Yuigahama pun mengikutinya dengan wajah tegang, dan semua anak di sekelilingnya memandang dirinya dengan tatapan iba.

Yah... senang bisa kenal dengan dirinya...

"Hei, Hikitani."

Sewaktu aku mendoakan Yuigahama, Hayama mengajakku bicara. Ia pasti punya keahlian komunikasi yang cukup hebat hingga bisa bicara denganku. Meskipun ia salah mengucapkan namaku.

"Ya?"

"Aku masih belum begitu tahu peraturan tenis. Bermain ganda sepertinya juga cukup sulit. Jadi, apa kau keberatan kalau kita membuat beberapa peraturan sederhana?"

"Boleh. lagi pula ini juga tenis untuk pemula. Kita pukul saja bolanya dan tetap hitung angkanya. Bagaimana? Ini mirip seperti bola voli."

"Ah, itu lebih mudah dipahami. Aku setuju."

Hayama tesenyum senang. Kubalas dirinya dengan tersenyum masam.

Di saat bersamaan, dua perempuan tadi akhirnya kembali.



Wajah Yuigahama sudah memerah selagi ia susah payah membetulkan roknya. Satu setelan dengan roknya, ia mengenakan kaos polo untuk bagian atasnya.

"Rasanya seragam tenis ini agak... bukannya rok ini terlalu pendek, ya?"

"Tapi rok yang kaupakai selalu sependek itu, kok..."

"Hah?! Apa maksudmu?! Ja-jangan bilang kalau kau selalu memerhatikanku! Menjijikkan! Jijik banget! Benar-benar menjijikkan!"

Yuigahama menatapku tajam dan mulai mengangkat raketnya di atas kepala.

"Tenang saja! Aku tak memerhatikannya! Aku sama sekali tak memerhatikanmu! Jangan khawatir! Dan jangan pukuli aku!"

"Entah kenapa... rasanya itu tetap membuatku kesal..."

Gumam Yuigahama sembari perlahan menurunkan raketnya.

Melihat kesempatan untuk membuka diskusi, Zaimokuza menyela sambil berdeham.

"Ehem... Hachiman. Bagaimana strateginya?"

"Strategi terbaiknya adalah mengincar perempuan itu, 'kan?"

Soalnya perempuan sebodoh itu akan bisa langsung dihancurkan, bukan? Jadi sudah pasti perempuan itu adalah celah dari pertahanan mereka. Akan lebih efisien jika menyerang ke arahnya daripada berhadapan satu lawan satu dengan Hayama. Namun sewaktu mendengar rencana tersebut, Yuigahama langsung mengajukan keberatan sambil bersuara panik.

"Eh? Hikki, kau enggak tahu, ya? Yumiko sudah bermain tenis sejak SMP. Ia terpilih masuk ke dalam tim yang mewakili prefektur, tahu?"

Sewaktu mendengarnya, aku langsung melirik ke arah Nyonya Kupu-Kupu (alias Yumiko). Postur tubuhnya cukup proporsional, dan pergerakan tubuhnya tampak begitu luwes. Mengetahui itu, Zaimokuza bicara sambil terbata-bata.

"Hm... jadi si gulungan vertikal itu tidak main-main."

"Sebenarnya, gaya rambut itu sebutannya pintalan longgar..."




Read more ...»