Sakurasou Bab 2 Bagian 2

On Rabu, 05 April 2017 0 komentar

=========================================================
Akhir paragraf dari bagian ini benar-benar bagus loh... Kayaknya dialog itu gak ada di anime-nya... Ane saja sampai terkesima bacanya...
Dan ane pun jadi sedikit paham soal kenapa Mashiro jadi seperti itu...
Maaf karena bulan kemarin gak bisa update normal, karena lagi fokus di RL dan rampungin satu jilid novel (hayo, novel apa yo...?)...
Selamat menikmati...
=========================================================


Bab 2 - Apa yang Harus Kulakukan?

Bagian 2


Jam pelajaran ketiga adalah bahasa Jepang, dan bagi Sorata, itu berlalu dalam sekejap mata. 

Saat dia beranjak keluar kelas, sang guru, Shiroyama Koharu, memukul pelan kepala Sorata menggunakan sebuah binder, dan membangunkannya dari meja. 

"Hei, jangan terang-terangan tidur di baris depaaan~~."

Rekan kerja Chihiro, Koharu, baik dari segi tampang maupun cara bicaranya cenderung manja. Itu sebabnya, dia sering membuat jengkel beberapa murid perempuan di sekolah, meski dia sendiri sangat populer di kalangan murid lelaki. 

Dia sering terlihat bersama dengan Chihiro di sekolah, dan banyak yang tahu soal kedekatan mereka. Mungkin karena Chihiro sering terlihat menyeret Koharu yang kurang bertanggung jawab itu ke sana kemari, tapi Chihiro sendiri telah dicap sebagai guru berkepala dingin. Sorata tidak setuju soal itu. 

"Rasanya seperti mendengarkan ninabobo, sih ...."

"Ooo, beraninya bicara begitu, padahal kamu satu-satunya siswa yang belum menyerahkan angket karir .... Akan Ibu laporkan pada Mbak Chihiro."

Sambil menggembungkan pipinya karena tidak puas, Koharu keluar meninggalkan kelas. 

Bahkan tanpa melihat kepergiannya, Sorata tertidur lagi atas meja. 

"Uuuuuughhhhhhhh ...."

"Hei, Kanda. Bisa tidak jangan bersikap menjengkelkan dan mengerang seperti itu di hadapanku? Aku bisa tertular nanti."

Orang yang tampak mengajak bertengkar barusan adalah Nanami Aoyama, seorang gadis yang juga sekelas dengan Sorata tahun lalu. Sesuai nada bicaranya, dia memiliki tampang yang tegas. Dari sisi mana pun dia terlihat layaknya seorang murid teladan, dan jika harus dibandingkan dengan seekor kucing, dia mirip seperti kucing ras abyssinian. Dia memiliki tinggi rata-rata, sekitar 158 cm. Berat badannya tidak diketahui. Menurut Jin, tiga ukuran tubuhnya itu 81-58-83. 

Kursinya ada di urutan pertama. Dan setelah Akasaka, Asano, Ikuta, Ogikubo, dan Kawasaki, Sorata Kanda ada di kursi urutan ketujuh. Jadi di dalam kelas yang berisi enam kursi di tiap kolomnya, Sorata duduk persis sebelah Nanami di barisan depan. Posisi mereka juga sama seperti ini saat pengaturan tempat duduk tahun lalu.

Nanami tampak masih belum selesai dan mengamati Sorata. 

Hiuuuh ....

"Jangan tambah mendesah!"

"Kelas ini adalah salah satu tempat di mana aku bisa merasa tenang. Tidak usah sekasar itu."

"Ini sudah yang ke-36 kalinya."

"Hmm?"

"Ke-36 kalinya kamu mendesah."

"Aoyama, kamu menguntitku?"

"Akan kutendang wajahmu."

"Orang-orang sekitar sini tidak ada yang bilang, Kutendang wajahmu, tahu?!"

"A-aku sudah tahu ...."

Bukan hanya Nanami saja yang berasal dari Osaka, tapi banyak murid yang tinggal di asrama Suikou itu berasal dari berbagai daerah di Jepang. Sekitar separuh penghuni kelas Sorata datang dari luar prefektur untuk mengikuti ujian masuk.

Jika Nanami mengobrol biasa, dialek Kansai-nya akan terdengar jelas sekali. Seperti itulah dia setahun yang lalu. Tapi sekarang, untuk menguasai bahasa Jepang standar, dia harus memaksakan diri untuk menahan dialeknya. Ini masuk akal mengingat Nanami bercita-cita menjadi seorang pengisi suara, dan dalam pekerjaan semacam itu, intonasi merupakan hal yang paling mendasar. Selama setahun ke belakang, kemampuan berbahasa Jepang standarnya sudah meningkat cukup jauh, tapi bukan berarti hal mustahil untuk menemukan dialek Kansai-nya saat dia berbicara. Kelihatannya selama akhir pekan, dia menjalani pelatihan khusus di tempat kerjanya, baik untuk dialek maupun hal lainnya.

"Baiklah, kalau begitu akan kutinju wajahmu."

"Kamu tidak perlu repot-repot mengubah kalimatnya!"

"Yah, kurasa itu lebih baik."

"Yang manapun itu, dua-duanya tidak terdengar feminin, tahu?"

"Kamu ini memang menjengkelkan. Padahal kamu itu satu-satunya murid yang belum mengumpulkan angket karier."

"Wah, aku iri sekali pada Aoyama, yang bisa menuliskan jurusan seni Drama di Institut seni pada angket kariernya layaknya menulis nama sendiri."

"... jangan meledekku."

Dia melotot ke arah Sorata lewat lirikannya. Namun Sorata sedang bersikap serius: dia benar-benar terkesan dengan angket karier gadis itu. 

"Jadi, sampai kapan Kanda berencana tinggal di Asrama Sakura?"

"Aku juga masih belum tahu."

"Kalau kamu tidak segera keluar dari sana, terlambat sudah."

Sorata merasa kalau itu mungkin saja sudah terlambat. Ingatan dirinya yang dipandangi orang-orang sewaktu di kantin layaknya seekor panda dalam kandang, masih jelas dalam pikirannya. Bisa dibilang kalau dia mendapatkan perhatian sebanyak itu karena dia bersama dengan Mashiro, atau mungkin saja karena citra dirinya dengan Asrama Sakura telah melekat dalam pikiran murid-murid tersebut. Itu membuatnya merasa ingin mendesah saja. 

"Jangan bilang aku tidak memperingatkanmu."

Dan satu-satunya alasan Sorata bisa mempertahankan citra baiknya di kelas sendiri, mungkin karena dia bisa mengobrol dengan teman sekelasnya seperti Nanami, yang satu kelas dengannya tahun lalu. Seharusnya dia merasa sangat bersyukur. 

Untuk sekarang, dia menepukkan kedua tangannya di depan dan memandang Nanami dengan penuh hormat. 

"Apa-apaan .... Apa kamu sedang meledekku?"

Dia menatap dingin ke arah Sorata.

"Tidak, aku hanya berusaha memberitahumu betapa bersyukurnya diriku."

"Kalau kamu terus berperilaku aneh begini, orang-orang akan melihatmu dan berkata, Ah, pantas saja dia di Asrama Sakura, atau semacamnya, kamu tahu?"

Tentu saja Sorata tidak menginginkannya. Karena itu dia menarik kembali tangannya. 

Nanami menatap ke arah Sorata, dengan tatapan yang lebih dingin dari sebelumnya.

"Apa lagi yang kamu mau dariku?"

"Hmm .... Aku masih ragu apa perlu aku meminta tolong pada Aoyama ...."

"Memangnya kamu mengharapkan aku berkata apa?"

"Aku hanya bercanda. Aku memang ingin minta tolong padamu. Setidaknya, aku bisa mengingat itu."

"Bisamu hanya mengeluarkan banyak celotehan tidak berguna seperti itu, 'kan?!"



"Yah, terkadang aku memang harus bersikap bodoh. Kalau hanya aku seorang yang mengatai orang lain bodoh, maka keseimbangan mentalku bisa kacau."

"Aku tidak peduli sedikit pun dengan keseimbangan mentalmu, Kanda. Jadi ... kamu ingin minta tolong apa?"

"Kak Misaki ingin agar kamu membantunya lagi."

"Jadi, dia sudah menyelesaikan karya baru?"

"Semua animasinya sudah digambar."

"Lalu?"

"Seperti yang sudah kubilang, gadis itu gila. Animasinya memang menakjubkan. Sampai membuatku merinding."

"... begitu ya. Hmm, aku sih mau saja .... Aku mau saja, tapiii ...."

Entah kenapa, dia jadi sulit berkata-kata.

"Kalau merasa tidak mau, kamu tinggal menolaknya saja, kok."

"Bukan begitu. Aku mau saja. Walau sama seperti sebelumnya, tapi ini adalah hal yang tidak bisa kulakukan andai aku tidak di sini."

Tahun lalu, Nanami juga ikut andil dalam anime Misaki yang memecahkan 100.000 penjualan DVD. Peran lainnya diisi oleh mahasiswa jurusan seni drama yang meluangkan waktu dari kegiatan belajar demi membantu Misaki. 

"Hanya saja, yah ...."

"Hanya saja, apa?"

"... aku hanya penasaran apa benar tidak masalah bagiku untuk melakukan ini. Karya itu mendapat banyak perhatian, 'kan?"

"Kalau Kak Misaki sampai menyuruhku untuk meminta bantuanmu, maka tidak ada masalah, 'kan?"

"Dan jujur saja, aku tidak tahu bagaimana berurusan dengan Kak Kamiigusa. Arahan aktingnya juga sama sekali tidak bisa kupahami. Apa Kanda mau membantuku menerjemahkannya?"

"Sejak kapan aku jadi penerjemah?"

"Memangnya kamu tidak ikut?"

"Yah, aku ikut, sih ...."

"Kalau begitu, tidak masalah buatmu untuk membantu menerjemahkannya untukku."

"Kurasa tidak. Jadi, dia mendapat persetujuanmu, 'kan?"

"Ya. Asal dia tidak keberatan denganku."

"Baiklah, aku akan segera mengabarinya."

Sorata mengeluarkan ponsel-nya dan mengirimkan pesan, hingga ....

「Aku cinta kamu!」

Balasannya langsung muncul, diiringi nada dari sebuah game RPG sewaku karakternya naik level.

「Maaf, tapi kita sebaiknya putus saja.」

Sorata membalas pesannya. Kemudian dia letakkan ponselnya begitu saja. Nada naik level itu didengarnya lagi, tapi dia tidak ingin menghabiskan kuota maupun baterainya, karena itu dia tidak menghiraukannya.

Nanami masih tampak seolah ingin mengatakan sesuatu sambil terus melihat ke arah Sorata.

"Kamu masih merasa jengkel, ya?"

"Bagaimana kabar Hikari?"

"Ya, cukup baik. Bokongnya tumbuh dengan cukup baik."

Sorata memperlihatkan foto di ponsel-nya pada Nanami.

"Kelihatannya dia tambah besar."

Hikari si kucing putih sudah bersama Sorata selama setahun.

Mereka bertemu bulan Mei silam. Itu setelah Sorata telah kurang lebih terbiasa dengan sekolah dan asramanya.

Dalam usia masih anak-anak, Hikari ditelantarkan dalam sebuah kardus dan diletakkan di luar gerbang sekolah. Belasan murid berkerumun mengelilingi kotak itu, membicarakan tentang betapa menggemaskannya atau sungguh menyedihkannya kucing tersebut, namun tidak ada yang mengulurkan tangan untuk membantu.

Sorata cuma kebetulan lewat. Nanami juga kebetulan bersamanya. 

Sorata tidak bisa berdiam diri begitu saja melihat anak kucing yang terlantar itu menjadi tontonan. Untuk menenangkan hatinya, Sorata membawa kucing itu ke asrama.

Dia tidak menyangka kalau ini akan membuatnya diusir dari asrama biasa.

"Fotonya kuambil."

Tanpa meminta izin Sorata, Nanami mengirimkan fotonya ke ponsel-nya sendiri via infra red.

Dia memasangnya sebagai screensaver dan menunjukkannya ke Sorata dengan ekspresi bangga.

"Padahal yang memotretnya itu aku ...."

"Anu, lalu ...."

Nanami berpaling. Tampak seolah masih ada yang ingin dikatakannya. Semua obrolan mengenai kucing ini mungkin hanya basa-basi sebelum hal utama yang sebenarnya ingin dia bahas. 

"Hmm?"

"Gadis baru itu."

"Ahh."

"Kita kedatangan murid perempuan baru, 'kan?"

"Ya."

"Jadi?"

"...."

"Kenapa malah diam?"

"Aku tidak yakin mau berkata apa ...."

"Dia manis, 'kan?"

"Yah, kurasa."

"Manis sekali, 'kan? Aku sempat melihatnya beberapa hari lalu."

"Kurasa rata-rata orang akan berkata seperti itu."

"Lalu bagaimana pendapatmu, Kanda?"

"Rasanya seperti bertemu makhluk asing."

"Hmm ..., itu ...."

Nanami segera berpaling ke arah lain, tampak seperti bosan.

"Maksudku itu dalam artian yang buruk."

"Lalu apa tujuanmu menambahkan hal semacam tadi?"

Nanami melihat ke luar pintu kelas. Ke lorong. Sesaat, matanya penuh dengan keterkejutan.

Sorata, yang masih tumbang di atas mejanya, menengadahkan pandangannya.

Seorang anak lelaki dalam kelas itu, yang Sorata masih belum tahu namanya, melihat ke arah Sorata.

"Hei, Kanda, ada yang mencarimu."

Tapi dia ternyata tahu nama Sorata. Tinggal di Asrama Sakura memang bisa membuat seseorang terkenal.

Dan dari balik anak lelaki itu, Mashiro muncul.

Sorata berseru, "Eh—" tanpa sadar. Dia menguatkan diri dan mengangkat badannya.

Saat Mashiro melangkah ke dalam kelas tersebut, suasana di sekeliling gadis itu pun berubah. Fokus semua penghuni kelas yang ramai itu lalu berpaling pada Sorata dan Mashiro.

Tanpa informasi tambahan apa pun, Mashiro jelas terlihat seperti seorang murid pindahan yang berparas manis. April ini, keberadaan Mashiro telah beredar dalam pusaran gosip. Bahkan terlepas dari fakta bahwa dia adalah seorang pelukis muda nan brilian, aura hebat dan tidak biasa yang mengelilinginya itu cukup untuk memancing perhatian siapa saja. Terlebih lagi, dia tinggal di Asrama Sakura. Meski begitu, tidak ada yang mau mendekatinya dan menanyakan hal tersebut di depannya, mungkin itu karena dia memancarkan aura anehnya pada kekuatan penuh, aura yang begitu dipahami Sorata.

Tentunya, percakapan Nanami dengannya tadi adalah pertama kalinya Sorata membahas soal Mashiro dengan seseorang di kelas ini.

Mashiro melihat ke arah Sorata.

"Sorata, aku lapar."

"Eh? Apa maksudmu?"

"Aku ingin makan baumkuchen."

"Kenapa bicaranya ke aku?"

"Kamu tidak punya baumkuchen?"

"Tentu saja tidak!"

"Rita saja memberiku baumkuchen ...."

"Siapa pula itu?!"

"Kalau tidak ada baumkuchen, berarti ...."

Perut Mashiro lalu mengeluarkan bunyi, dan dia mulai meninggalkan ruangan itu.

Dia sejenak berdiri di pintu masuk, tampak masih tidak puas, lalu berbalik.

"Aku juga percaya padamu."

Tatapan teman sekelas Sorata bagaikan jarum yang menusuk syarafnya.

Mashiro pergi sambil sempoyongan, meninggalkan kesan sedih di raut wajahnya.

Dalam situasi ini, Sorata akan dicap oleh para gadis sebagai orang yang dingin, dan sisa dua tahun masa SMA-nya akan menjadi suram. Bisa dibilang, kehidupan SMA-nya sudah cukup suram semenjak tinggal di Asrama Sakura.

"Baik! Baik! Itu salahku!"

Sorata melesat keluar kelas dan berhasil mengejar Mashiro.

"Hei, Kanda! Jam pelajaran keempat sudah dimulai!"

Bel berbunyi persis ketika Nanami berteriak memperingatkan Sorata. Perut Mashiro kembali mengeluarkan bunyi.

"Aku akan segera kembali, jadi buatlah alasan selama aku pergi!"

"Jangan minta aku berbuat begitu!"

Dengan niat penuh untuk bolos pada jam pelajaran keempat, Sorata ikut membawa Mashiro pergi membeli makanan.

********

Awan besar mengambang di sehamparan birunya langit.

Karena sekarang sedang berlangsung jam pelajaran keempat, orang yang berada di atap hanyalah Mashiro dan Sorata saja.

Sorata menyandarkan dirinya di sebuah bangku, dan Mashiro duduk di sampingnya, mengupas dan memakan baumkuchen-nya satu per satu.

Ini tidak terduga. Ini tidak terbayangkan. Bahkan bisa dibilang ini sangat tidak wajar.

Sorata mengira kalau ini hanya akan sulit pada awalnya saja. Dengan naifnya, dia pikir jika akhirnya nanti akan terbiasa menghadapi Mashiro, sama seperti terbiasanya dia dengan kehidupan baru serta peraturan baru yang harus diikutinya.

Dia mengingat kembali dua minggu yang lalu.

Dia telah membiarkan gadis itu memakai mesin cuci, dan ketika dia memalingkan perhatiannya sejenak, gadis itu telah menuangkan sekotak penuh deterjen ke dalamnya, mengubah seluruh ruangan menjadi lautan busa. Sangat sulit membersihkannya. Hingga membuat Sorata berharap seseorang telah menciptakan deterjen yang bisa membersihkan deterjen.

Ketika Sorata memintanya untuk membersihkan bak mandi, dia keluar dengan basah kuyup. Mustahil untuk mengatakan apa dia memang telah membersihkan bak itu, atau apa malah dia yang dibersihkan oleh bak.

Ketika dia membiarkannya berbelanja seorang diri, gadis itu langsung tersesat dan tidak kembali. Sorata bersyukur karena Chihiro telah memaksa Mashiro membawa ponsel yang memiliki fungsi GPS. Mashiro juga tidak mau menjawab ponsel-nya meski Sorata menghubunginya, jadi akhirnya Sorata sendiri yang menjemputnya.

Masih ada situasi lainnya yang membuat sakit kepala, tapi itu terlalu banyak untuk dihitung.

Dan masalah terbesarnya adalah Mashiro sedikit pun tidak menyadarinya.

Gadis itu mengira kalau dirinya teramat normal.

Karena itulah, hal yang terlewat bodoh untuk berpikir kalau dia akan mengerti atau terbiasa melakukan sesuatu.

Setiap hari, masalah baru terus menumpuk, dan jumlah hal yang harus ditangani Sorata kian bertambah.

"Hei, Shiina, jam keempat nanti ada pelajaran apa?"

"Olahraga."

"Memangnya tidak masalah kalau kamu tidak masuk?"

"Bola voli. Aku hanya menonton saja."

"Kenapa? Apa ada masalah kesehatan? Apa kamu ada cedera?"

"Aku tidak boleh melukai jariku."

Itu adalah jawaban yang belum pernah Sorata dengar sebelumnya. Tapi anehnya, dia bisa mengerti maksudnya.

Sesuatu yang menciptakan karya-karya seni itu tidak lain adalah jari ramping nan panjang milik Mashiro.

"Aku ingin main."

"Eh?"

"Tapi guru melarangnya."

"Luar biasa."

"Ya, benar. Dia luar biasa menentang keinginanku."

Sorata hampir menyahut, Bukan itu maksudku, tapi dia menahan dirinya.

"Jadi, Rita yang kamu maksud tadi siapa?"

"Teman."

"Temanmu sewaktu di Inggris dulu?"

Mashiro mengangguk pelan.

"Dia teman sekamarku."

"Ya ampun, yang namanya Rita ini pasti sudah melalui banyak hal ...."

"Aku suka Rita."

"Kenapa sepertinya sekarang kita berdua sedang membahas sesuatu yang sama sekali berbeda?"

Sorata mengangkat badannya lalu duduk di atas bangku.

"Shiina memang bisa melukis karya yang mengagumkan."

"Tidak juga."

"Tidak. Sungguh. Aku sudah melihatnya. Lukisan yang memenangkan sebuah penghargaan. Aku tidak tahu banyak soal seni, tapi itu begitu meninggalkan kesan bagiku."

"...."

"Kalau memang ingin serius mendalami seni, bukankah lebih baik kalau kamu tetap di luar negeri?"

"Mungkin."

"Lalu, kenapa kamu kembali ke Jepang?"

Meski dia memutuskan kembali ke Jepang, bukankah lebih masuk akal baginya jika melakukan itu sewaktu di perguruan tinggi saja?

Tidak, ujung-ujungnya, kalau dia sungguh ingin mengasah kemampuannya, dia sebaiknya tetap tinggal di luar negeri.

Potongan baumkuchen terakhir telah lenyap ke dalam mulut kecil Mashiro. Dia menyeruput sedikit teh susu dalam kemasan itu dengan sedotan.

Sorata hampir merasa bahwa dia sudah tidak begitu lagi memedulikan pertanyaannya tadi, sampai ketika ....

"Aku akan menjadi seniman manga."

Ujar Mashiro dengan suara yang sangat jelas dan tegas.

Dia tidak berkata ingin menjadi seniman manga, atau bertekad untuk menjadi seniman manga.

Dia akan menjadi seniman manga.

"Kenapa?!"

Sorata meneriakkannya dengan intensitas yang mampu mengejutkan dirinya sendiri.

Dia akan menjadi seniman manga. Ketika Sorata melihat manuskrip manganya pagi tadi, sejenak dia berpikir bahwa mungkin saja hal tersebut yang gadis itu ingin kejar. Tapi untuk sejenak, itu seperti hal yang mustahil. Itu tidak akan mungkin.

Itu adalah gagasan yang sangat sulit untuk diterima Sorata dalam hal keyakinannya.

Mashiro punya cukup talenta hingga menarik banyak perhatian dalam dunia seni. Fakta bahwa Sorata sampai mengakui kemampuannya merupakan bukti atas hal tersebut.

Seorang juri kompetisi seni bahkan menyebutnya genius.

Bukankah itu sesuatu yang patut dibanggakan? Mashiro memiliki sesuatu yang hanya bisa diidamkan oleh kebanyakan orang. Suatu cara untuk memisahkan dirinya dengan yang lain. Suatu talenta yang unik. Jadi, kenapa pula dia ingin menjadi seorang seniman manga?

"Kamu akan melakukannya sambil tetap melukis seperti biasa, 'kan?"

Mashiro menggelengkan kepalanya.

"Hanya menjadi seniman manga saja maksudmu?"

Mashiro mengangguk.

"Astaga. Konyol sekali."

Sorata mengangkat tangannya ke atas kepala karena frustasi, lalu kembali menyandarkan punggungnya.

"Hei, kalian berdua sedang apa?! Berani sekali kalian terang-terangan bolos di sini!"

Orang yang bicara sambil menggebrak pintu di atap tadi adalah Chihiro.

Dia berdiri di atas Sorata yang sedang bersandar di bangku, lalu melihat Sorata yang ada di bawahnya sambil melipat tangan.

"Argh, Bu Chihiro, jangan terlalu dekat! Nanti aku bisa melihat yang ada di balik rok Ibu!"

Sayangnya, dia mengenakan rok ketat, jadi tidaklah semudah itu untuk mengintipnya.

"Harus kuakui kalau aku iri padamu, yang bisa begitu bergairah hanya karena melihat celana dalam seseorang."

"Tapi kalau melihat celana dalam Ibu, aku yakin diriku akan berubah jadi batu!"

Sorata bergegas berdiri.

"Jangan main-main. Kembalilah ke kelas."

Setelah menghabiskan sisa teh susunya, Mashiro berdiri dari bangku.

Dia pergi duluan, dan kembali ke gedung sekolah seorang diri.

"Termasuk kamu, Kanda."

"Bu Chihiro, boleh bicara sebentar?"

"Kamu mau apa?"

"Shiina itu gadis yang seperti apa?"

Sorata menatap ke arah pintu yang baru saja dilalui Shiina.

Ketika Sorata kembali menoleh ke belakang, dia melihat picingan waspada pada mata Chihiro.

"Aku sudah tidak bisa lagi memahami pikiran gadis itu."

"Kamu tidak bisa berbuat apa-apa. Lagi pula, sebelum kamu tahu caranya tertawa, menangis, atau marah, Mashiro sudah lebih dulu mengenggam kuas dan melukis." 

"Apa keluarganya juga seperti itu?"

"Ayahnya cukup berbakat hingga bisa mengajar di institut seni di Inggris. Walau dia tidak begitu dikenal sebagai seorang pelukis. Ibunya juga alumnus dari institut seni. Bisa dibilang mereka adalah keluarga pelukis. Walau mereka semua masih tinggal di Inggris."

"Tapi aku tidak paham bagaimana hal itu bisa membuatnya dirinya jadi seaneh ini."

"Hmm, entahlah. Kalau kamu menganggap bahwa dia lebih dulu belajar bagaimana mengekspresikan dirinya lewat seni sebelum dia belajar bagaimana mengekspresikannya lewat emosi atau kata-kata, maka itu bukan hal yang aneh, 'kan?"

Kata-kata yang dengan wajarnya terucap dari Chihiro barusan itu membuat Sorata terhenyak di tempat.

Dari Awal, Mashiro Shiina memang telah berbeda.

Dia hidup di dunia seni. Dan itulah yang membuat dia seperti dirinya yang sekarang.

"Jadi itu alasannya dia tidak tertawa?"

"Itu juga salah satu talentanya."

"Kalau begitu, apa sungguh tidak masalah? Bagi dirinya untuk menjadi seniman manga."

"Itu urusan Mashiro. Aku tidak peduli."

"Tapi ...."

"Aku tahu apa yang mau kamu sampaikan. Tapi bukankah itu tidak masalah? Kalaupun dia bisa menjadi seniman manga yang hebat. Itu juga bukan sesuatu yang buruk."

"... itu memang mudah untuk dibayangkan, tapi orang tuanya pasti menentang, 'kan?"

"Sementara ini, tidak. Dia tidak pernah memberitahu kedua orang tuanya alasan dia kembali ke Jepang. Mereka pikir kalau dia kemari untuk mempelajari hal-hal berbau Jepang sebagai bahan untuk karya barunya."

"Wah, sungguh tidak bertanggung jawab. Bagaimana kalau dia ketahuan?"

"Itu bukan urusan yang perlu kucampuri. Itu antara Mashiro dengan keluarganya. Tidak, bahkan bukan itu. Ini masalah Mashiro sendiri. Aku memang akan membantunya dengan memberinya tempat untuk tinggal di Jepang ini, tapi yang terjadi selepas itu bukanlah urusanku. Meskipun dia tidak berhasil menjadi seniman manga."

"Plinplan sekali ...."

"Dan kamu. Berhenti merisaukan orang lain dan lekas kumpulkan angket kariermu."

"Diingatkan lagi?"

"Kalau kamu tidak mengumpulkannya, nanti aku mendapat keluhan dari orang yang bertugas sebagai wali kelasmu."

Sorata benar-benar berharap agar Chihiro lupa soal itu.

Mencoba untuk tidak berkontak mata dengan Chihiro, Sorata menatap ke atas langit. Dia memandang ke atas saat sebuah awan besar menyebar lalu menghilang.

"Kurasa kita semua memang perlu mencari sesuatu yang ingin kita lakukan ...."

Chihiro tertawa singkat.

"Setidaknya Saat melihatmu, aku mendapat firasat kalau survei karir itu akan ada gunanya."

"Eh? Jadi itu biasanya tidak berguna, ya?"

"Aku hampir yakin kalau itu sekadar sarana untuk melihat siswa mana yang tidak menulis semacam, Untuk sementara, saya ingin masuk ke perguruan tinggi, yang seperti itu bisa membuat para guru merasa kalau semua yang dilakukannya sepadan."

"Eh ...."

"Kamu akan paham kalau sudah dewasa nanti. Bahwa jika kamu perlu sebuah kata untuk diletakkan setelah, Untuk sementara, maka kata, Sake, sudah lebih dari cukup."

"Astaga. Kalau Ibu perlu orang gila, di sini ada banyak ...."

Pada saat itu, bel berbunyi, menandakan akhir dari jam pelajaran keempat.

Chihiro tampak seakan ingin mengatakan sesuatu, tapi sepertinya dia urungkan lalu meninggalkan atap.

"Masa depan, ya ...?"

Untuk sementara, masa depan masih belum ditetapkan.

Dan Sorata masih belum memecahkan apa pun hari ini.

Dia hanya terus berusaha mencari jawabannya.

"Untuk sementara, ayo makan dulu."


Read more ...»