SPS Jilid 1 Bab 14

On Rabu, 05 Juli 2017 0 komentar

=========================================================
Yang seperti ini namanya, twist atau kejutan ya...? Pokoknya segala yang sifatnya masih misterius sepanjang cerita, mulai terungkap dan memberi kejutan tersendiri...
Dan rasanya, dua seri berturut-turut yang ane edit ini isinya pada nge-FEEL pak...
Seperti biasa, seri yang dikerjakan bareng ini, bisa agan sekalian nikmati lebih awal satu hari di Hanami Translation...
Selamat menikmati....
=========================================================


Bab 14 - Dokter, Katalog Burung, Jawaban


"—Mafuyu?"

Tidak ada tanggapan yang kudengar, padahal aku sudah berteriak keras dari luar, itu sebabnya aku mulai mengetuk pintu. Tiba-tiba kudengar suara sesuatu yang jatuh. Gemuruh suara feedback bergema di dalam ruangan.

Kucoba membuka pintu dengan menekan keras gagangnya, tapi untuk sesaat, aku lupa caranya membuka kunci, dan hampir saja mendobrak pintunya. Akhirnya aku ingat kalau aku harus menekan gagang secara diagonal ke kanan bawah sebelum memutarnya. Sewaktu pintu terbuka, Mafuyu yang seharusnya bersandar pada pintu, justru ambruk ke tubuhku. Aku segera menopangnya. Punggung Mafuyu membentur basku, membuat amplifier mengeluarkan suara gaduh yang kencang.

Kulit Mafuyu yang sudah putih itu tampak menjadi lebih pucat.

"Kamu ... kenapa?"

Suaraku terdengar satu oktaf lebih tinggi karena gugup.

"... tidak apa-apa." 

"Apanya yang tidak apa-apa?! Kamu sanggup berdiri?" 

"Tidak, tapi ... aku tidak apa-apa."

Mafuyu menyingkirkan tanganku dan mencoba duduk. Akan tetapi, bahunya langsung hilang keseimbangan, dan kaki kanannya mendadak kram. Setelah melihat tubuhnya berputar ke posisi yang aneh, kubantu mengangkat tubuh bagian atasnya lalu menyandarkannya ke dinding.

"Kenapa jadi begini ...," Mafuyu mulai terisak. Ia memalingkan muka agar tidak menatapku, lalu bergumam, "Kenapa? Aku sudah berusaha sebisa mungkin untuk melupakan semuanya, lalu kenapa kamu membuatku mengingatnya lagi?"

Apa maksud ucapannya itu? Aku benar-benar tidak tahu.

Kusingsingkan bas ini dari bahuku. Sepertinya senar-senar basku mengenai sesuatu hingga membuat sebuah nada rendah bergema di seisi ruang kelas yang kecil ini. Tangan kiri Mafuyu sedikit bergetar.

"Berhenti! Hentikan! Jangan memainkan suara apa pun!"

Mafuyu yang tiba-tiba mendapat sejumlah kekuatan, menyambar bas tersebut dari tanganku lalu membantingnya ke lantai. Salah satu kenopnya terlepas dari tempatnya. Dan terdengar suara melengking yang mengerikan, mirip dengan suara sepasang cakar yang sedang menggores tembok.



Tubuh Mafuyu lalu roboh ke arah dekat bas dan gitar yang tergeletak di lantai, layaknya boneka yang benang pengendalinya telah dipotong. Amplifier terus mengeluarkan suara yang tidak enak didengar — mirip seperti suara ratapan — tapi aku tidak tahu bagaimana menghentikan suara itu. Bagaimana ini? Kenapa sampai jadi begini? Apa yang harus kulakukan? Pokoknya—

Sebaiknya aku pergi ke UKS terlebih dahulu, akhirnya aku pun mampu memikirkan itu di tengah suara feedback yang melengking.

"Akan kupanggilkan perawat sekolah." 

"Aku tidak mau—" 

Mafuyu mengerang. Apa yang si bodoh ini katakan di saat begini? Pokoknya aku langsung berlari kencang menuju gedung utama.



Sewaktu hendak bergegas masuk ke ruang UKS, aku hampir menabrak Kumiko-sensei yang bertugas sebagai perawat sekolah. Kumiko-sensei masih sangat muda, dan rumor mengatakan kalau beliau dulunya adalah berandalan yang sangat menakutkan. Dan benar, hal pertama yang dilakukannya adalah menarik kerahku lalu berteriak, "Jangan berlarian di lorong!" yang kemudian beliau melepaskan cengkeramannya karena menyadari sesuatu.

"Kamu dari kelas 1-3, 'kan? Sekelas dengan Ebisawa-san?"

Aku masih terengah-engah karena berlari tadi, alhasil, aku jadi sulit berbicara. Aku hanya bisa mengangguk sebagai jawaban.

"Apa kamu melihatnya di kelas? Dirinya ada jadwal ke rumah sakit hari ini, tapi pihak sana barusan menelepon kalau ia belum datang."

Ia harus ke rumah sakit hari ini?

Jumat. Satu-satunya hari di mana Mafuyu langsung pulang selepas pelajaran berakhir. Rumah sakit. Aku terkejut. Saat mencoba mengatur napas, aku pun terhenyak, "Mafuyu tadi ... pingsan."

"Di mana ia sekarang?" Kumiko-sensei masih bersikap tenang, namun ada perubahan pada ekspresi matanya.

"Di lapangan—" 

Kumiko-sensei langsung mengambil beberapa obat dari rak, lalu menggaet lenganku dan bergegas keluar dari ruang UKS. Sesampainya di lapangan, kami melihat Chiaki berjongkok di samping Mafuyu yang pingsan. Kenapa ... Chiaki ada di sini? Apa mungkin ia menunggu berakhirnya pertandingan kami?

"Aikawa-san, tolong minggir."

Beliau memberikan pertolongan pertama, lalu menelepon seseorang— kuamati tindakan Kumiko-sensei itu dengan tatapan kosong, sementara Chiaki menatapku tidak berdaya.

"Ada apa ini?"

Aku hanya bisa menggelengkan kepala menanggapi pertanyaan Chiaki.

"Apa yang kalian lakukan sampai jadi seperti ini ...," tanya Kumiko-sensei sambil melotot sewaktu beliau memeriksa denyut nadi Mafuyu.

"Kami hanya ... bermain gitar." 

"Hanya itu? Bagaimana mungkin? Harusnya tidak masalah baginya untuk memainkan alat musik."

Kumiko-sensei— apa beliau tahu tentang kondisi Mafuyu?

"Apa pun itu, aku tadi sudah meminta orang tuanya agar kemari. Beliau bilang akan segera datang."

Bahu kiri Mafuyu sedikit gemetar. Perlahan ia mencondongkan tubuhnya ke kaki Chiaki lalu mengangkat wajahnya, memperlihatkan ekspresi kesakitannya.

"Tidak ..., aku tidak mau." 

"Kamu ini bicara apa? Seharusnya hari ini kamu memeriksakan diri ke rumah sakit, 'kan? Apa kamu memang ada niat ingin mengobati penyakitmu? Kamu tidak boleh gegabah! Kondisi tubuhmu berbeda dengan orang biasa, jadi kita harus meminta tolong dokter yang bertanggung jawab atas kesehatanmu itu agar ikut datang ...." 

Mafuyu menggelengkan kepala sewaktu air matanya berlinang. 

"Tidak, aku tidak mau ... orang itu melihatku dalam kondisi seperti ini." 

Kumiko-sensei mengabaikan protesnya, lalu berbalik ke arahku dan berkata, "Jelaskan yang terjadi dengan lebih rinci. Aihara, tolong ambil alas duduk yang di sana itu, lalu letakkan di bawah Mafuyu."



Kulihat ada dua pria berjas berjalan ke arah kami dari tempat parkir. Aku memang pernah melihat Ebisawa Chisato hanya dari sampul CD saja, namun terlepas dari itu —walaupun aku berada dalam  jarak yang cukup jauh — aku langsung tahu kalau orang yang berjalan paling depan itu adalah ayah Mafuyu.

"Ada apa ini?"

Pertanyaan bodoh yang sama — yang pernah pula ditanyakan seseorang sebelumnya — juga datang dari mulut Ebisawa Chisato. Rambutnya disisir rapi dan dibuat kelimis, meski ada sedikit uban yang berbaur. Rautnya yang tegas dan jelas itu menampakkan amarahnya. Maki-sensei tiba di lapangan setelah mendapat telepon dari Kumiko-sensei. Setelah melihat kedatangannya, ayah Mafuyu mulai berteriak.

"Aku tidak mengira ini bisa terjadi padahal kamu ada di dekatnya! Bagaimana kalau ada apa-apa terhadap Mafuyu?!" 

"Anda tidak bisa mengharapkan saya selalu berada di sisinya, bukan?" jawab Maki-sensei dingin. Dokter paruh baya (orang itu pasti dokter, 'kan?), yang juga ikut berdiri di samping Ebichiri yang sedang marah, seolah berkata, Bawa nona muda itu ke dalam mobil, pada Kumiko-sensei lewat matanya. 

"Kenapa kamu tidak ke rumah sakit? Dengan siapa saja kamu bergaul?"

Aku memalingkan muka dan berpikir apa sebaiknya aku lari saja dari sana.

"Gitar? Kamu bilang gitar?! Kamu bercanda, siapa yang membolehkanmu memainkan benda semacam itu? Mafuyu, apa yang mau kamu lakukan dengan mempelajari gitar tanpa sepengetahuanku? Apa kamu tidak tahu pentingnya jari-jarimu itu? Kamu mungkin tidak akan pernah bisa bermain piano—" 

"Ebisawa-sensei! Tolong. Jangan sudutkan Mafuyu seperti itu!"

Maki-sensei memohon dengan suara sedih.

"Aku tidak memindahkannya ke SMA biasa supaya ia bisa memainkan benda semacam itu!"

Aku menggigit bibir sewaktu mendengarkan teriakan Ebichiri yang menusuk. Ayahnya dan sang dokter lalu memasukkan Mafuyu ke kursi belakang, seakan gadis tersebut adalah jenazah yang dibungkus kantung mayat. Tidak ada yang bisa kulakukan selain terdiam melihat semuanya. 

Tepat sebelum pintu mobil ditutup, Mafuyu dan aku saling melirik. Ekspresi di kedua matanya sama seperti dulu — tidak mampu menyuarakan apa pun, dan hanya bisa mencari sesuatu untuk diandalkan. Kedua mata itu tampak bagaikan langit sebelum turun hujan, dipenuhi awan mendung. Tidak, aku tidak bisa membiarkannya pergi seperti itu. Aku hampir bisa mendengar sebuah bisikan tepat di sampingku, namun aku tidak bisa mengucapkan sepatah kata pun, atau bergerak satu langkah pun.



Aku tidak terlalu yakin dengan yang terjadi setelah itu. Mungkin aku dimarahi secara brutal oleh Maki-sensei atau Kumiko-sensei? Mungkin alasan kenapa aku tidak dapat mengingat detailnya adalah karena keduanya tidak mau menceritakan yang telah terjadi pada Mafuyu. Satu-satunya hal yang kuingat adalah bahwa aku tidak mengucapkan sepatah kata pun. Chiaki-lah yang menggantikanku menjawab hampir semua pertanyaan mereka.

Sudah pukul enam lewat sesampainya aku di rumah, dan pengeras suara di ruang tamu sedang memutar komposisi <Katalog Burung> gubahan Messiaen. Burung puyuh, burung bulbul dan bahkan burung sikatan hitam — hanya dengan piano tunggal saja sudah cukup untuk meniru suara dari berbagai jenis burung. Tetsurou berbaring menyamping di sofa, mendengarkan musik sambil menyeruput segelas wiski.

"Kamu sudah pulang, toh .... Ada apa? Kok kusut begitu? Apa ada sesuatu yang terjadi?"

Kugelengkan kepalaku pelan, lalu melepaskan bas dari bahu dan melemparnya ke karpet. Aku lalu merebahkan diri ke sofa.

Terlepas dari sikap Tetsurou yang sangat tidak peka, namun ada kalanya, beliau akan memahami perasaanku meski tanpa kata-kata. Pada saat itu, tindakan terbaik adalah tidak menggangguku dan membuat makan malamnya sendiri — persis seperti yang beliau lakukan saat ini.

Di meja makan ada semacam daging gosong, serta salad yang terlalu banyak diberi minyak. Yang kumakan hanyalah beberapa sendok sup miso yang tidak berasa.

"Hei .... Nao ...." 

"Hmm?" 

"Karena tidak ada keluhan, berarti makanan yang kumasak hari ini lumayan, ya?" 

"Tidak, jangan khawatir, rasanya tidak karuan seperti biasanya. Aku kenyang."

Tetsurou tampak sedih karena celetukanku, tapi aku mengabaikannya dan kembali ke ruang tamu. Aku membenamkan diriku di sofa dan lanjut mendengarkan kicauan burung-burung. Tiba-tiba aku ingin menangis.

Jadi saat itu Mafuyu sedang menungguku.

Seharusnya ia ke rumah sakit hari ini. Tapi karena hal-hal yang kukatakan kemarin ..., diriku yang tidak tahu apa-apa dan mengatakan hal-hal bodoh seperti, "Jumat, sepulang sekolah besok ayo bertanding!" karena itu, ia menungguku — dia memang menungguku.

Lagu tentang burung itu telah berakhir. Tetsurou melepas celemek dari tubuhnya lalu duduk di sofa menghadapku. Tanpa bersuara beliau tuangkan wiski ke gelasnya. Dalam situasi seperti ini, aku akan sangat bersyukur jika beliau tidak mengajukan pertanyaan apa pun tentang yang sudah terjadi. 

"Oh, iya, Tetsurou ...." 

"Hmm?" 

"Menurutku ..., itu harusnya sebuah konserto piano ... yang terdiri dari tiga bagian, dan bagian pertengahannya adalah sebuah mars. Apa kamu pernah mendengar komposisi seperti itu sebelumnya?"

Lalu kugumamkan komposisi yang dimainkan Mafuyu saat di tempat barang rongsokan dulu.

"—itu seharusnya konserto gubahan Ravel ...." Jawab Tetsurou lalu bergumam melanjutkan dari nadaku tadi.

Bulu kudukku langsung merinding.

"... gubahan yang mana?"

Maurice Ravel hanya menggubah dua konserto piano sepanjang hidupnya. Yang pertama adalah sebuah konserto piano pada G mayor, ditulis untuk permainannya sendiri. Dan yang satunya adalah—

"Yang pada D mayor," jawab Tetsurou. Dan itu adalah jawaban yang kulewatkan.

Konserto piano lainnya, pada D major, ditulis untuk seorang pianis Austria bernama Paul Wittgenstein. Paul kehilangan apa yang disebut sebagai "nyawanya pianis"— yaitu lengan kanannya — sewaktu Perang Dunia Pertama. Oleh karenanya, konserto piano yang didedikasikan untuknya itu juga dikenal sebagai—

"<Konserto Piano untuk Tangan Kiri>."

Kenapa aku bisa telat menyadarinya?

Tanda-tandanya sudah banyak terlihat — Mafuyu tidak pernah menggunakan sumpit dan tidak menyalin catatan selama pelajaran. Selama pelajaran kesenian ataupun pelajaran olahraga, ia tidak melakukan apa-apa. Ditambah, ia menggunakan pick gitar aneh dengan dua cincin yang disematkan pada jari telunjuk dan jari tengahnya. Bahkan untuk seseorang yang tidak sanggup menggenggam, bisa dengan mudah memegang pick tersebut di antara ujung jari-jarinya. 

Itulah alasan ia memilih gitar.

Jari-jari di tangan kanan Mafuyu ... mungkin saja tidak bisa digerakkan lagi. Baru sekarang akhirnya kusadari fakta tersebut. Sebuah takdir yang kejam telah merenggut karier piano Mafuyu, biarpun begitu, ia tidak bisa lari dari musik yang sangat dicintainya. Oleh karena itu, ia menggenggam gitar dengan sekuat tenaganya, seperti orang hendak tenggelam yang bersandar sekuat tenaga pada sepotong kayu yang mengapung.

Kenapa aku tidak menyadari itu sebelumnya? Bahkan meski tidak ada yang memerhatikan ..., seharusnya aku bisa menemukan jawabannya! 

Kenapa—

Kenapa ia tidak memberitahuku soal ini? Aku memang sama sekali tidak peka. Bahkan aku bertingkah seperti anak kecil, bersikeras menantang Mafuyu dalam pertandingan gitar. Aku memaksanya untuk menunggu, namun pada akhirnya, aku justru mencelakainya tanpa sadar.

Aku benar-benar tidak tahu, itu karena Mafuyu sama sekali tidak menceritakannya! Aku sungguh ingin menemukan orang dewasa yang bisa kujadikan tempat untuk mengadu, tapi Tetsurou dan sarung bas yang tergeletak di lantai itu hanya bisa terdiam. Aku pun lalu teringat <Variasi Heroik> yang kumainkan bersama Mafuyu, bersama dengan fugue yang terhenti di tengah permainan. Perasaan macam apa yang Mafuyu rasakan sewaktu mendengar ansambel yang tidak bisa dimainkannya lagi, sewaktu melihat orang lain memainkan melodi yang mewakili tangan kanannya yang tidak bergerak? 

Kenapa perasaan di lubuk hati ini selalu gagal kami utarakan dengan kata-kata?



Bulan Juni tiba seminggu kemudian. Mafuyu benar-benar telah menghilang. Ia tidak lagi datang ke sekolah.

Teman-teman sekelasku sedang mendiskusikan sesuatu, sesuatu yang tampaknya terjadi di hari Jumat sebelum libur. Biasanya mereka selalu mengabaikan perkataan orang, dan tidak memerhatikan suasana hati orang tersebut, tapi kali ini, mereka tidak bertanya apa-apa padaku. 

"Soalnya Nao terlihat sangat tertekan ...," ujar Chiaki dengan lembut sewaktu istirahat makan siang.

"Tertekan? Tidak," aku berbohong.

"Aku sampai bertanya pada Maki-sensei tentang hal itu."

Nafsu makan Chiaki mendadak turun; ia tidak mengambil apa pun dari bento-ku.

"Sepertinya ayah Ebisawa-san ingin kembali ke Amerika. Kurasa ada dokter spesialis di sana, jadi akan lebih mudah bagi mereka untuk melakukan pemeriksaan atau menjadwalkan operasi .... Aku tidak terlalu yakin rincinya, tapi sepertinya Ebisawa-san juga akan ikut pergi." 

"... begitu."

Jadi itu yang ia maksud dengan, Aku akan menghilang di bulan Juni?

Apa itu berarti, Mafuyu tidak akan pernah kembali lagi? Jadi karena itulah ia ingin kami melupakan semuanya .... 

Dan karena itu— aku tidak punya lagi kesempatan untuk meminta maaf padanya, ataupun kesempatan untuk tersenyum padanya. Aku tidak bisa lagi membuatnya marah, atau menakutinya dengan gambar zombie. Dan sebuah hal yang mustahil meminta bantuannya untuk menyetem basku.

Jika sejak awal aku tahu kalau ia benar-benar akan menghilang — jika aku tahu kalau yang dikatakannya itu akan menjadi kenyataan — maka aku akan melupakannya saja, dan akan sungguh kulakukan. 

Berdasarkan keterangan Chiaki, entah kenapa, Kagurazaka-senpai juga tidak masuk sekolah. Apa ia juga merasa bertanggung jawab atas yang terjadi pada Mafuyu? Itu tidak mungkin! 

"Apa ia akan kembali setelah pemeriksaan kesehatannya ...," gumam Chiaki. Aku mulai merasa itu sudah tidak penting lagi. Akulah yang benar-benar salah paham terhadap Mafuyu dan merusak segalanya. Aku selalu berpikir kalau suatu saat Mafuyu akan terbuka padaku, namun kenyataannya, ada sebuah dinding di antara kami, sebuah dinding yang lebih tebal dari pintu di ruang kelas praktik — yang suara pun sampai tidak bisa melaluinya. Dan aku hanya bisa mengagumi betapa indahnya musik itu — terlepas dari kami yang saling berjauhan, hanya dengan memainkan apa yang tertulis pada partitur, bisa kubayangkan kalau Mafuyu sedang berada persis di sampingku. Sungguh kuasa yang mengagumkan! Dan kini itu telah menghilang dari pandanganku.



Sesampainya di rumah, kubawa basku ke pusat daur ulang dan membuangnya di sana. Sepertinya saat Mafuyu membanting basku ke lantai, ada semacam aliran yang putus di suatu tempat. Bas itu tidak bisa lagi mengeluarkan suara apa pun. Kuputar kenopnya sampai maksimal, bahkan sampai kucoba membongkar lalu memasangnya kembali, tapi tidak ada yang berhasil. Dengan keahlian yang kupunya, masih ada kemungkinan untuk memperbaikinya, akan tetapi, jujur aku sedang tidak ada keinginan untuk melakukannya.

Setelah melihat pemandangan itu, Tetsurou pun sampai tidak melontarkan lelucon seperti, Anakku memang hebat, bisa menyerah dengan sangat cepat, atau, Jadilah perjaka seumur hidup, beliau bahkan sampai menyiapkan makan malam (yang sangat menjijikkan). Aku selalu mudah memberi tanggapan tidak berguna di situasi begini, namun aku tidak bisa mengutarakan perasaan penting yang ada dalam hatiku.

Sehabis makan malam, aku duduk sambil merangkul lututku, menghadap Tetsurou yang sedang mengerjakan artikelnya. Bisa kudengar pengeras suara yang sedang memainkan <Tarian Hungaria> dengan lembut di telingaku.

"... Tetsurou, apa kamu sudah dengar?" 

"Hmm? Oh, itu ...," jawab Tetsurou tanpa memindahkan pandangannya dari laptop, "Aku mendengar ada sebuah kabar dari paparazzi yang mengaku serba tahu dalam dunia musik. Apa kamu mau tahu tentang itu?"

"Apa itu tentang ... tangan kanan Mafuyu?" 

"Ternyata kamu sudah tahu!" 

"... aku tidak tahu!"

Aku baru menyadari semuanya setelah tidak ada satu pun yang bisa diperbaiki lagi. Tetsurou lalu menyingkirkan laptopnya ke samping. Beliau kemudian menatapku dan berkata,

"Mungkin sekitar tahun lalu? Sepertinya jari tangan kanannya mendadak tidak bisa bergerak sesaat sebelum ia memulai konser di Inggris. Konsernya pun dibatalkan. Mereka membawanya ke beberapa rumah sakit, tapi tidak bisa menemukan penyebabnya. Saat itu, ada beberapa yang mengatakan kalau itu mungkin saja dikarenakan gangguan obsesif-kompulsif."

Aku jadi teringat tatapan ketakutan di mata Mafuyu, dan tiba-tiba terpikir, mungkinkah itu berhubungan dengan ayahnya?

"Jadi itu alasan ia kembali ke Jepang. Mereka berpikir bahwa rehat sejenak dari piano, dan beberapa rehabilitasi, mungkin bisa membuatnya sembuh. Tapi keadaan tidak terlihat seoptimis itu, 'kan? Kondisinya semakin memburuk, dan ia harus pergi ke dokter untuk pemeriksaan rutin.”

Bisa kurasakan perih di dekat jantungku. Rupanya itulah yang sedang Mafuyu sembunyikan. Ia mengusir teman-teman sekelas yang berusaha mendekatinya, dan tidak mau mengakrabkan diri dengan yang lain. Ia cukup berhasil menjadi orang yang benar-benar menjengkelkan. Ditambah, semua yang berusaha mendekatinya itu adalah anak-anak bodoh, karena itu tidak satu pun yang menyadari ada hal ganjil pada jari-jemari tangan kanannya.

Bisakah kita tidak melakukan apa-apa tentang itu? 

Aku sungguh berharap ada yang berkata, Itu semua salahmu! atau, Ini sebenarnya bukan salahmu, langsung, tanpa ragu di hadapanku. Namun, setelah mendengar aku mengatakan itu, Tetsurou dengan dingin menjawab, 

"Memangnya aku bisa tahu? Pikirkan sendiri!"

Yang bisa kulakukan hanyalah menutupi kepalaku dalam keputusasaan.

"... Tetsurou, apa yang ada di pikiranmu saat menceritakan ini?"

Pertanyaan barusan sangat bodoh hingga aku sendiri pun menyesal mengatakannya. Itu sebabnya, setelah menanyakan itu, aku jadi tidak berani memandang Tetsurou.

"Tidak ada? Aku hanya merasa kalau itu sedikit disayangkan karena tidak bisa lagi mendengarkan ia bermain piano. Aku sungguh berharap setidaknya ia bisa membuat rekaman <Rangkaian Perancis> secara keseluruhan! Tapi bagiku, ia hanyalah satu dari sekian ribu pianis."

Kalau saja aku bisa berpikir sebagaimana halnya beliau — bukankah itu akan jauh lebih mudah buatku? 

"—soalnya itu memang tidak ada hubungannya denganmu, 'kan?" 

Aku pun mengangkat kepalaku untuk menatapnya. Tetsurou sekilas melirikku dan berkata, "Bodoh, kalau begitu kenapa tadi bertanya?" lalu mengarahkan kembali perhatiannya pada artikel yang dikerjakannya tadi.



Setelah masuk ke kamarku yang ada di lantai dua, aku langsung merebahkan diri ke ranjang tanpa mengganti pakaianku. Kupejamkan mata, dan berencana untuk melupakan semuanya, seperti yang diminta Mafuyu.

Harusnya itu mudah untuk dilakukan. Aku begitu yakin terhadap daya ingatku yang lemah, dan dalam beberapa bulan, aku pasti sudah lupa kalau seseorang yang bernama Mafuyu itu pernah ada. Dan aku tidak akan mengingat apa pun yang berhubungan dengan bas. Aku akan kembali ke kehidupan di mana kuhabiskan waktu dengan membenamkan diri dalam musik orang lain. 

Andai saja aku tidak menghiraukan suara orang yang mengetuk jendelaku dua hari kemudian ....


0 komentar:

Posting Komentar