Sakurasou Bab 1 Bagian 4

On Rabu, 14 Desember 2016 0 komentar

=========================================================
Hore... Agan Silvstar kembali, dengan begitu, proyek Sakurasou pun berlanjut...
Tapi tetap saja... Ane tetap jadi editor...
Dan di sini masih benar-benar membutuhkan bantuan kontributor penerjemah untuk proyek Chuunibyou... Ane sungguh-sungguh loh...
Lanjut ke catatan terjemahan...
Jika ada yang bertanya kenapa saat nilai kurs yen menguat, itu malah menjadi masalah... Jawabannya karena walaupun penguatan mata uang merupakan hal yang baik di berbagai aspek, namun bagi Jepang, penguatan yen terlalu besar itu bisa merugikan pasar ekspor Jepang...
Blue Train (ブルートレイン) adalah layanan kereta api berkamar yang perlahan ditinggalkan di Jepang...
Zosui adalah sejenis masakan dari beras yang dimasak (direbus) dengan air atau sup hingga lembut...
Flipbook adalah sebuah buku yang berisi gambar berseri yang perlahan sedikit berubah tiap halaman demi halamannya, sehingga ketika halaman tersebut dibalik secara berentetan dengan cepat, gambar di dalamnya seakan teranimasikan...
Oke deh...
Selamat menikmati...
=========================================================


Bab 1 - Selamat Datang di Asrama Sakura

Bagian 4


"'Ngantuuuk. Aku bisa benar-benar tertidur saat ini juga."

Selagi dia memikirkan hal tak berarti tentang betapa jengkelnya karena libur musim semi telah usai, Sorata berusaha mengangkat badannya yang berat pergi dari ranjang.

Kurang tidurnya itu gara-gara Misaki. Malah, semuanya itu memang gara-gara Misaki. Pemanasan global, krisis pasar modal secara global, peningkatan nilai kurs yen, penghentian semua penggunaan jet Concorde dan Blue Train .... Sorata percaya bahwa Misaki adalah dalang di balik semua itu. Pasti gara-gara dia.

Sorata tidak tidur sampai larut karena pesta penyambutan Mashiro. Chihiro masih memulihkan diri dari syok acara kongko-kongko dan mengunci diri dalam kamarnya, dan Ryuunosuke Akasaka juga masih mendekam di dalam kamarnya, jadi Sorata dan Misaki, bersama dengan Jin, hanya mereka yang menemani Mashiro.

Sambil mengelilingi nabe yang sudah dipersiapkan Jin, mereka mendengarkan selagi Misaki terus berbicara sendiri tanpa henti, sementara itu, Sorata mencoba bertindak sebagai perisai Mashiro untuk melindunginya dari bahaya. Mashiro tidak terlihat keberatan dengan kelakar Misaki, tapi dia juga sama sekali tidak menunjukkan reaksi apa pun pada usaha humoris Jin untuk membuat lelucon, jadi Sorata sebenarnya tidak tahu apa yang benar-benar sedang dipikirkan gadis itu.

Tentu ada sesuatu yang aneh mengenai dirinya, tapi pada dasarnya dia adalah orang yang polos dan kalem. Dia akan menghilang dalam sekejap ketika Sorata melepaskan pandangan darinya .... Kesan miliknya itu diperkuat ke pikiran Sorata melalui interaksi-interaksi ini. Jika dia tidak melindunginya, maka gadis itu tidak akan mampu bertahan hidup di Asrama Sakura ini. Jadi Sorata bersumpah pada dirinya bahwa dia akan melindunginya.

Menyantap habis hidangan periuk nabe dengan sedikit zosui, Sorata kemudian melihat Misaki sedang menghibur Mashiro dengan sebuah flipbook buatannya yang memperlihatkan seorang pesenam berayun pada sebuah mistar tinggi dan turun dengan lompatan salto terbalik, semuanya digambar pada buku teks bahasa Inggris kelas tiganya yang sama sekali tidak dipakai. Kualitas gambarnya amat tinggi, sampai-sampai gambar tersebut bisa disalahkirakan dengan karya asli sebuah produksi anime.

Sebagai balasannya, Mashiro mengeluarkan sebuah buku sketsa dari bagasinya, dan menggambar tujuh kucing yang sedang menyantap sisa makanan.

Sewaktu melihat hasil akhirnya, Sorata merasa bulu kuduk kulitnya merinding, dan tidak mampu berkata-kata. Kucing-kucing yang digambar di buku sketsa itu terlihat seakan bisa melompat keluar dari dalam kertas; kucing-kucing tersebut terlihat lebih asli dari yang aslinya.

Sorata akhirnya menempelkan sketsa tersebut pada dinding kamarnya.

Pesta itu pun usai sekitar jam sebelas, tapi setelahnya, Sorata diseret Misaki untuk bermain game dan bergadang sampai larut malam.

Dia tidak ingat kapan persisnya dia terlelap. Justru sebuah keajaiban dia bisa terbangun saat itu. Misaki tidak tampak di mana pun. Sorata teringat samar-samar bahwa Jin memaksa Misaki untuk tidur di kamarnya sendiri dan membawa gadis itu bersamanya, tapi dia tidak tahu apa itu benar terjadi atau itu hanya mimpi.

Ketika meninggalkan kamarnya, dia mendengar suara dari pintu masuk.

Sorata mencoba mengintip.

Mungkin dia hanya terlalu senang karena semester baru sudah dimulai, tapi Misaki sedang berteriak keras selagi melesat keluar dari pintu. Kenapa dia bisa segembira itu? Selagi merajuk tentang ketidakadilan di semua hal, Sorata teringat bagaimana Misaki membuatnya begitu lelah semalam, dan sebagai balasannya dia mengintip dengan cermat celana dalam biru muda belang yang terlihat dari bawah rok Misaki. Tapi kemudian, Jin muncul dari belakang dan menyodok kepala Sorata dengan kuat.

Selagi Sorata menahan rasa sakitnya, sosok Misaki pun menghilang.

"Pagi-pagi begini jangan berpikiran mesum."

Jin kemudian langsung beranjak ke ruang makan, tanpa memberi Sorata waktu untuk mengeluh atas perlakuan yang diterimanya tadi.

Menggantikan Jin, Chihiro muncul.

"Bu Chihiro, hari ini Ibu bangunnya cepat."

Baru jam setengah delapan. Masih hampir sejam sebelum sekolah dimulai.

"Kanda, manusia hanya bisa berkembang lewat pengalaman. Sebaiknya kamu ingat itu."

Sorata tidak tahu dari mana komentar itu berasal, tapi dia merasa Chihiro masih berbicara soal acara kongko-kongko semalam, jadi dia memutuskan untuk tidak menyinggung topik tersebut.

"Jadi, aku boleh menyerahkan Mashiro padamu, 'kan? Nanti bawa saja dia ke ruang guru."

"Boleh, toh, ini hari pertamanya. Setidaknya aku bisa menunjukkan jalan menuju sekolah.”

Kemudian, Chihiro mendadak condong ke depan, dan menekannya jarinya pada dada Sorata.

"A-apa?"

"Kamu pasti akan membawanya ke sana, 'kan? Kamu pasti akan bertanggung jawab terhadapnya, 'kan?"

"I-iya, sudah kubilang aku akan melakukannya."

"Bagus. Kamu tahu? Aku mengandalkanmu. Aku benar-benar mengandalkanmu."

"Eh .... Sikap Ibu tadi agak menjijikan ...."

Sorata mengira kalau Chihiro akan menyerang balik, Namun Chihiro hanya mendengus dan beranjak pergi.


********

Melihat Chihiro pergi dan melirik ke jam dinding di ruang masuk, Sorata melihat kalau kini baru sekitar jam tujuh lewat empat puluh menit.

Mashiro tidak menunjukkan tanda-tanda akan turun dari lantai dua. Sorata merasa mungkin ada baiknya naik ke atas dan membangunkannya.

"Kalau tidak salah ingat, anak lelaki tidak boleh naik ke lantai dua ...."

Selagi dia menaiki tangga yang berderak itu, Sorata merasa sedikit gugup. Bagaimana penampilan Mashiro saat memakai piama maupun gaya tidurnya, ya? ... Sorata tidak dapat menghentikan imajinasi liar dalam pikirannya dan itu membuatnya antusias.

Bukan berarti Sorata tidak tahu bagaimana menghadapi seorang gadis. Justru berkat Misaki, dia sudah lumayan kebal. Yah, memang, dia tidak tahu apa cukup layak jika menganggap Misaki itu seorang gadis .... Kalau harus menyebutkan seperti apa dirinya, Sorata mungkin harus menjawab bahwa kalau gadis itu seorang alien.

Rasa gugup Sorata memuncak ketika dia sampai di depan kamar Mashiro. Perutnya pun mulai bergejolak.

"Aku ini ... benar-benar ketakutan, tahu?"

Sorata mengucapkannya keras-keras untuk menenangkan diri, yang ada justru suaranya jadi melengking saking gugupnya.

"He-Hei, Shiina! Kalau tidak bangun sekarang, kamu bisa telat, lo ...."

Sorata semakin lama semakin merasa suram, mendengar betapa canggungnya dia mengucapkan itu.

Mungkin dia tidak mendengarnya, tapi Sorata tidak mendengar balasan apa pun dari dalam kamar.

Kali ini, dia coba mengetuk pintunya.

"Shiina? Sudah pagi! Argh, dia sama sekali tidak menyahut. Ini bisa jadi masalah ...."

Sekarang dia mengetuk dengan lebih keras lagi. Tok, tok, tok.

Yang menyahutnya hanyalah sebuah keheningan yang kejam.

Dia lalu meraih gagang pintu, tapi kemudian sadar dengan yang sedang dilakukannya.

"Tidak, tidak, tidak, tidak, tunggu, tunggu, tunggu, tunggu. Ini bukan kamar Kak Misaki, jadi tidak mungkin kamarnya tidak terkunci ...."

Untuk menguji hipotesisnya itu, Sorata memutar gagang pintunya dengan pelan. Dia tidak merasakan halangan yang diharapkannya jika pintu itu terkunci.

Pintunya sudah pasti tidak terkunci.

"Biarpun begitu, ini bukan kamar Kak Misaki, jadi tidak sopan kalau aku asal masuk saja ...."

Tapi di saat yang sama, di titik ini, Sorata merasa bahwa dia tidak akan menuntaskan apa pun jika hanya berdiri di luar dan memanggil gadis itu saja.

"Aku tidak punya pilihan lain. Aku melakukan ini hanya karena tidak ada pilihan lagi."

Selagi Sorata menggumamkan alasan-alasan yang tidak berarti pada dirinya sendiri, dia memegang erat gagang pintunya.

Dia memutarnya dengan perlahan, dan membuka pintunya dengan suara *krek* kecil.

"Eh?"

Dia terpana dengan apa yang dilihatnya, dan tanpa sadar membuka pintu lebar-lebar.

"Apa-apaan ini?"

Sorata hampir berpikir kalau dirinya salah masuk kamar. Kalang kabut, dia melihat kembali nomor kamar untuk memastikannya. Ini kamar 202. Kamar Mashiro. Cocok. Benar. Tepat. Bingo.

Tapi pemandangan yang muncul di depannya tidak menunjukkan sedikit pun kemiripan dengan kamar yang diingatnya semalam.

Baju dan celana dalam, buku dan manga semuanya tersebar di sana-sini sepanjang lantai. Sorata bahkan tidak dapat melihat karpetnya. Kamarnya tampak seperti baru diterjang tornado yang melintasi kamar itu.

Bel alarm di dalam kepala Sorata berbunyi selagi dia berusaha memahami keadaan.

Hanya ada satu kata yang terlintas dalam pikirannya. Perampokkan.

Sorata merasakan panik membumbung dari dalam dirinya, dan keringat dingin mulai bercucuran melewati alisnya.

"Oi, Shiina!"

Dengan riuh dia melesat ke dalam kamar tersebut.

Mashiro tidak ada di tempat tidurnya. Dia juga tidak ada di lantai. Dia tidak terlihat di mana pun.

Setiap kali dia memalingkan pandangannya ke tempat lain, dia merasakan hawa yang semakin lama semakin dingin menjalari sumsumnya.

Kamar itu porak poranda, dan Mashiro tidak bisa ditemukan.

Situasi tersebut membuatnya putus asa.

Kakinya gemetaran, Sorata meletakkan sebelah tangannya ke meja. Ketika melakukan itu, dia pasti telah menyentuh mouse-nya, karena monitor yang dalam keadaan nonaktif itu tiba-tiba menyala. Kamarnya mendadak diterangi, Sorata sedikit menjerit.

Merasa frustasi, Sorata melihat ke arah monitor komputer tersebut.

Pada layar tersebut terlihat seperti sebuah deretan panel komik, dimana seorang lelaki ganteng sedang mengucapkan kata-kata cinta. Dia meletakkan tangannya pada pipi seorang gadis malu-malu yang menundukkan kepalanya ke bawah, dan dia condong ke depan untuk menciumnya. Gambarnya luar biasa.Komiknya digambar dengan sangat baik.Tapi walaupun proporsi tubuhnya dibuat dengan sangat baik, gambar tersebut tidak membawa kesan realistis yang besar.Gambarnya terlihat seperti ada banyak garis yang dilukiskan, sampai gambarnya terlihat terlukis berlebihan.

Dilihat dari mana pun, gambar tersebut terlihat seperti naskah untuk manga cewek.

"Kenapa Shiina punya ...?"

Untuk sejumlah alasan, Sorata sepenuhnya teralihkan oleh monitor komputer tersebut. Namun ketika dia mendengar sesuatu bergerak di kakinya ....

Sorata sedikit melompat karena kaget, kemudian dengan enggan melirik ke bawah meja.

Selimut dan baju dijejalkan ke dalam ruang yang sempit itu, dan di sana Mashiro Shiina terlihat sedang tertidur dengan bahagia. Tempat itu hampir menyerupai sarang hamster.

Sorata menghela napas lega. Syukurlah. Ya ..., syukurlah. Tidak, yang benar saja ..., syukurlah.

Di saat itu juga, Sorata melihat sekilas ke seluruh pojok kamar.

Jangan bilang, ini .... Pandangan Sorata meredup. Kalau ini bukan ulah seorang pencuri, maka hanya ada satu kemungkinan yang tersisa.

"Sebentar .... Beri aku waktu ...." Sambil menggumamkannya sendiri, Sorata memejamkan matanya. Dia berpikir keras mencari penjelasan yang cukup terlihat masuk akal untuk menjelaskan situasi ini.

Dia pasti belum terbiasa hidup di Jepang.

Tapi negara mana yang punya kebiasaan menjalani hidup seakan ada tornado yang melintasi kamarmu ...?

Mungkin dia berguling sedikit sering saat tidur lalu berakhir di sana?

Sedikit? Tapi dia ada di bawah meja.

Kalau begitu, dia pasti hanya sedang bersembunyi dari invasi alien.

Yah, pemikiran-pemikiran ini sudah tidak masuk akal lagi.

Jadi ..., yang tertinggal hanyalah penjelasan kalau ini sebuah mimpi, Sorata. Kamu pasti masih sedang bermimpi.

Ah, ya, pasti begitu. Itu adalah penjelasan yang paling masuk akal.

Merasa teryakinkan, Sorata keluar dari kamar Mashiro.

Sambil menutup pintu di belakangnya, dia menghirup napas dalam-dalam lalu menghembuskannya.

Mungkin sudah waktunya dia harus bangun dari mimpi ini.

Sambil menguatkan dirinya, Sorata membuka pintu.

Persis setelahnya, Sorata menatap ke atas. Cukup jelas, keadaan kamar itu masih belum berubah.

Tidak disangka kalau seseorang bisa hidup tenang ketika kamarnya dalam keadaan seperti ini.

Mashiro itu aneh dalam beberapa hal, tapi Sorata berpikir bahwa setidaknya dia mirip dengan gadis itu. Dia berharap bahwa dirinya bisa menjadi seseorang yang dapat memahaminya di tengah semua kegilaan ini ....

"... Tuhan, kenapa engkau menelantarkanku?"

Selagi Sorata merasa telah hilang harapan, tidak seperti sesaat yang lalu, Sorata mencari celah-celah di antara lantai yang dipenuhi pakaian tersebut dan bergerak ke depan meja. Bagi anak SMA yang sehat di seluruh penjuru dunia ini, melihat pakaian seorang gadis berserakan seperti ini merupakan godaan yang cukup jahat. Terutama celana dalam yang berwarna terang, sangat berbahaya.

Bahkan selagi Sorata berusaha semampunya untuk berpura-pura tidak melihat , matanya tanpa sadar melirik ke sana-sini.

Sambil berjongkok di depan meja, Sorata memanggil dengan hati-hati.

"Eng ..., Shiina? Sebaiknya kamu bangun."

Tidak ada balasan.

"Halooooo?"

"...."

Hanya suara napasnya yang teratur itu saja yang bergema di kamar itu.

"Aku sungguh berterima kasih kalau kamu bangun~."

"...."

Kehabisan pilihan, Sorata meraih ujung selimutnya dan menariknya. Mungkin karena Mashiro juga mengenggam selimutnya dengan cukup erat, Sorata merasakan cukup perlwananan. Karena menyerah, Sorata mulai mengoyang bahu Mashiro.

"Haloooo, sudah paaaaaaaaaaagi~. Paaaaaaaaagi~."

"... pagi tidak akan datang."

"Tidak, tidak, tidak, pagi sudah datang! Jangan berkata hal yang mengerikan begitu!"

Mashiro mendongakkan wajahnya dari gundukkan pakaian dan celana dalam yang menutupinya. Mata setengah terlelapnya melihat hampa untuk sejenak, dan hampir semenit berlalu sebelum dia akhirnya kembali sadar dan menerima tatapan Sorata.

"Selamat pagi."

"...."

Mashiro memendam wajah mengantuknya kembali ke dalam sarangnya.

"Kamu bisa mati kalau tidur lagi~! Ini hari pertamamu, jadi bahaya kalau kamu telat~!"

"... aku mengerti. Aku akan bangun."

"Ohhh, rupanya kamu lebih pengertian dari yang kukira."

Dengan ekspresi hampa, Mashiro keluar dari bawah meja lalu berdiri.

Selimut dan pakaian yang menyelimutinya jatuh ke lantai dengan lembut.

Bahunya utuh tersingkap. Lengannya yang ramping, dadanya yang berukuran sedang, lingkar pinggang dan panggulnya semua terlihat jelas dalam pandangan Sorata.

Pada saat itu juga, darah muncrat dari hidung Sorata.

"Gyaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhh!"

Jeritan pembunuhan keji itu bergema di seluruh kamar, hingga yang melihatnya mungkin berpikir bahwa seseorang bisa menemukan ada darah dalam urinnya. Sorata-lah yang berteriak barusan.

"Kamu ribut sekali."

Terlihat jengkel, Mashiro menggosok matanya.

"Ap-?! Ka-kamu, a-apa?! Gyaaaaaaaah!"

"Apa?"

"Pakai bajumu! Kenapa kamu telanjang begitu?! Kamu ini kaum nudis atau apa?!”

Syok berat, Sorata mengumpulkan akal sehat yang masih dimilikinya dan berpaling dari Mashiro.

"Aku heran ...."

"Itu sudah jelas, coba saja kamu pikir!"

"... aku mau mandi."

"Lalu?"

"Aku akan keluarkan beberapa pakaian ...."

"Bagus, berarti tinggal dipakai saja."

"Akan kukeluarkan semua pakaian yang kupunya."

"Tunggu! Hentikan! Jangan keluarkan semuanya!"

"Lalu, kupikir aku tinggal berhenti saja jika sudah selesai ...."

"Pemikiran macam apa itu?! Jangan bertingkah seakan ini masalah orang lain! Lagi pula, yang benar saja, pakai bajumu! Sesuatu! Apa saja! Cepat pakai!"

Ketika Sorata memikirkan tentang fakta bahwa seorang Mashiro yang telanjang berada di belakangnya, dia kehilangan seluruh sikap kalemnya.

"Ya sudah, pakai saja seragammu!"

Sorata mengeluarkan seragam Suikou dari gundukan besar pakaian yang berantakan itu di kakinya lalu melemparkan seragam tersebut pada Mashiro.

Sorata mendengar suara gemerisik pakaian dari belakangnya.

Dia sungguh merasa seolah jantungnya hampir meledak.

"Sudah siap?"

Setelah menunggu cukup lama, Sorata memanggil Mashiro.

"Siap."

"Astaga, kamu, kamu itu harus ...."

Sorata mulai berbicara lalu berbalik, di saat dia tiba-tiba terpaku, mulutnya masih mengangga.

Mashiro hanya mengenakan blusnya, dan semua kancing belum dipasangkannya. Banyak bagian yang masih terlihat.

"Apa yang kamu maksud dengan siap tadi?!"

Sorata memalingkan wajahnya dan berbalik sekali lagi. Dia meringkuk ke lantai dan melipat tangannya.

"Ada apa?"

"Kamu sudah tahu jawabannya!"

"Kamu baik-baik saja?"

"Kamu sendiri, apa kamu baik-baik saja?!"

"Iya."

"Tidak, bukan iya .... Cepat selesaikan pakai bajumu!”

Sekali lagi, Sorata mendengar suara gemerisik pakaian.

Belajar dari kesalahan sebelumnya, dia memutuskan untuk memberinya banyak waktu kali ini.

"Ka-kamu sudah selesai memakai baju?"

"Kalau celana dalam?"

"Ya, pakai!"

"Pakai yang mana?"

"Jangan suruh aku pilih!"

"Kalau begitu, aku sudah siap."

"Tidak kamu belum siap! Apa yang akan kamu lakukan jika ada angin berhembus?! Itu akan jadi sebuah bencana! Pakai! Pakai sekarang juga! Kumohon pakai!"

Sambil meneriakkannya dengan histeris, Sorata memungut sebuah celana dalam hijau muda dari lantai dan melemparkannya ke Mashiro.

"Aku tidak suka celana dalam ini."

"Memangnya hari ini kamu mau memamerkan itu ke seseorang, apa?!"

"Tidak juga."

"Kalau begitu, pakai yang itu saja!"

Setelah nyaris berteriak tanpa henti sejak pagi, Sorata merasa mulai agak pusing.

Ketika melirik ke arah jam di ponsel-nya, dia melihat waktu sudah menunjukkan sekitar jam delapan lebih lima belas.

"Sial! Hei, Shiina, cepat sedikit!"

"Aku sudah selesai."

Saat berbalik, Sorata melihat Mashiro tampak cukup bangga dengan dirinya yang bisa memakai celana dalam sendiri ..., berbarengan dengan rambut sehabis tidurnya yang berantakan. Rambutnya terlihat begitu acak-acakan sampai-sampai burung pum mungkin bisa bersarang di sana, dan perbedaan mencolok antara rambut tersebut dengan tampang cantiknya itu membuat pemandangan ini terasa menyakitkan untuk dilihat.

"Kepalamu! Maksudku, rambutmu! Rapikan dulu kamar mandi lalu kembali ke sini! Sekalian cuci mukamu!"

"Di mana?"

"Kemarin aku sudah memberi tahu tempatnya, 'kan?! Sini, kubawa kamu ke sana!"

Sorata dengan buru-buru bergerak keluar dari kamar dan menuju ke lantai satu. Namun Mashiro tidak mengikutinya. Malah, dia berjalan pelan dari kamarnya, dengan langkah santai.

"Tunggu, tunggu. Kalau kamu mau mencuci muka, lepas dulu jasmu!"

Sambil melepaskan pakaian luar gadis tersebut, Sorata lalu mendorongnya ke dalam kamar mandi. Sorata menggunakan waktu tersebut untuk kembali ke kamarnya, untuk mengganti bajunya dengan seragam sekolah.

Itu memakan waktu kurang dari satu menit baginya untuk berganti baju. Dia juga menggantung tas kosongnya pada bahunya.

Dia bergegas kembali ke kamar mandi, dan tiba persis ketika Mashiro keluar.

Sorata pun akhirnya kembali berteriak.

Ketika kamu mencuci mukamu, kamu memakai air, 'kan? Kemeja yang dikenakan gadis itu basah hingga ke area dadanya, dan membuatnya menempel pada kulit.

Terlebih, mungkin karena dia tidak mengenakan beha, bisa dilihat tonjolan payudaranya, putingnya .... Intinya, semuanya itu bisa terlihat.

"Oi! Kamu ..., kamu! Pakai sesuatu! Sesuatu di balik bajumu!"

"Sorata tidak memberikannya padaku."

"Jadi itu salahku? Kamu bercanda?"

Mashiro menatap kosong pada Sorata lalu memiringkan kepalanya ke samping.

Semua akal sehat Sorata yang semakin dewasa itu kelihatannya tidak berlaku pada gadis tersebut.

Namun, demi kesehatan jiwanya, Sorata pergi mengambil handuk dari kamar mandi. Tapi kamar mandi itu juga sudah menjadi zona bencana. Air mengucur dari keran seperti geiser, dan banjir melanda seluruh area mandi.

"Kamu sedang mencoba mandi di sini atau apa?!"

"Aku tidak sedang mandi."

"Itu pertanyaan retorika!"

"Sorata menganggu."

"Aku? Jadi aku yang bertingkah aneh?"

Sorata memutar keran dan menghentikan airnya. Dia keluarkan semua kain lap yang dapat ditemukannya di sana lalu menutupi lantai kamar mandi dengan kain lap tersebut.

Tepat di saat itu, apa yang Chihiro katakan padanya semalam terlintas dalam benaknya.

Karena Mashiro cocok di sini.

Semua jadi masuk akal sekarang.

Seiring waktu, semuanya akan jelas. Terutama bagimu.

"Sial! Guru malas itu! Jadi beliau membebankan semua masalahnya padaku?!"

Sorata tahu kalau dia sedikit terlambat menyadarinya, meski begitu, dia merasa harus mengucapkan hal itu dengan nyaring.

"Kita bisa telat ke sekolah."

"Aku tidak mau mendengar itu darimu, Shiina!"

Jiwa Sorata berteriak, dan teriakan itu bergema ke langit musim semi.


0 komentar:

Posting Komentar