SPS Jilid 1 Bab 4

On Jumat, 14 Februari 2014 0 komentar

==========================================================
Proyek lain akhirnya berlanjut lagi...
Entah kenapa karakter guru perempuan muda di setiap seri anak sekolahan, pasti ada aura binalnya... Ya, 'kan...?
Apa di Jepang sana setiap sekolah punya guru seksi kali, ya...? Atau jangan-jangan setiap anak sekolah di Jepang selalu berfantasi aneh mengenai guru perempuan di sekolahnya...?
Gak tahu deh...
Selamat menikmati....
==========================================================


Bab 4 - Stratocaster, Teh Merah


Saat sekolah usai, Mafuyu langsung menghilang dari ruang kelas. Sejak kepindahannya kemari, keberadaan dirinya sepulang sekolah telah menjadi misteri terbesar Kelas 1-3.

"Sepatunya masih ada di rak, jadi kurasa ia tidak langsung pulang ke rumah."

"Ketua, kemarin kamu pulang jam berapa?"

"Hmm— sekitar jam lima."

"Aku sempat melihat Mafuyu di dekat ruang guru."

Homeroom akan segera dimulai, tapi keberadaan Mafuyu masih belum terlihat. Sekelompok anak perempuan sudah berkumpul di sekitar mejanya — yang berada di sebelahku — dan saling bertukar informasi hanya untuk kalangan mereka sendiri. Berhentilah mencampuri urusan orang lain!

"Kupikir ia suka menggambar karena memilih Seni Rupa sebagai mata pelajaran pilihan, jadi aku coba mengajaknya untuk bergabung ke Klub Seni .... Tapi ia kabur setelah mengatakan hal aneh padaku. Apa-apaan itu?!"

"Omong-omong, anak itu tidak melakukan apa-apa selama jam pelajaran, 'kan? Yang dilakukannya cuma membuka buku gambar dan meletakkannya begitu saja! Apa ada yang salah dengan otaknya?"

"Harusnya ia memilih Musik saja. Ia juga sudah sering membuat masalah bagi para guru, 'kan?"

Semua penilaian tentang Mafuyu semakin merosot tajam sejalan dengan berlanjutnya pembicaraan mereka, walau hal demikian itu sudah bisa ditebak.

"Maniak, apa ada yang kamu tahu tentangnya?"

Tiba-tiba aku dilibatkan dalam pembicaraan mereka.

"Bisa tidak, kalian tidak memanggilku dengan sebutan itu ...."

"Bagaimana kalau Kritikus Ekslusif Mafuyu?"

"Wah, kedengarannya seperti penguntit."

"Aku juga tidak mau dipanggil begitu."

"Terus bagaimana kalau keduanya digabung, jadi, Kritikus Maniak?"

"Jangan seenaknya menggabung-gabungkan kata!" berkat fitnah Mafuyu yang tidak berdasar itu, aku pun menjalani masa suram dalam hidupku. "Kami cuma satu kali bertemu, itu pun sebelum masuk SMA, jadi aku tidak tahu apa-apa tentang dirinya."

Kenapa mereka malah menatapku dengan pandangan tidak percaya?!

Bel mulai berbunyi, tapi Mafuyu masih belum masuk ke kelas, dan seperti biasanya, Chiaki juga belum datang. Sepertinya, setiap pagi ia berlatih bermain drum di suatu tempat. Keuntungan menjadi seorang penabuh drum adalah bisa berlatih hampir di mana saja, asal punya sepasang stik drum, sebuah metronom dan sekumpulan majalah tua.

Bel pun berhenti berbunyi, tapi di saat sensei hendak menutup buku hadir, pintu belakang kelas tiba-tiba terbuka.

"Masih sempat! Aku masih sempat, 'kan?" teriak Chiaki sambil berlari masuk ke kelas. Tanpa alasan yang jelas, ia menarik Mafuyu bersamanya. Mafuyu yang terdiam menunjukkan wajah kesal, dan berusaha melepas genggaman tangan Chiaki yang mencengkeramnya.

Guru kami sebetulnya orang yang baik, pada mereka berdua beliau berkata. "Sensei tidak akan anggap kalian telat, segeralah duduk di kursi kalian masing-masing," kalau cuma Chiaki saja yang telat, sensei mungkin tidak akan ragu mencap telat pada daftar hadirnya.

"Maaf, pinjami catatanmu sebentar. Akan kusalin dengan cepat."

Chiaki merebut buku catatanku sesudahnya ia duduk.

Kutatap punggungnya saat ia menyalin catatanku dengan menggebu-gebu, lalu kutanyakan dengan suara pelan. "Kalian berdua dari mana?"

"Aku berlatih di koridor lantai tiga, lalu kulihat ada Mafuyu. Sepertinya ia tersesat."

"Aku enggak tersesat ...," gumam Mafuyu. Aku diam-diam menatap sekilas ke arahnyaia tampak sedikit marah, wajahnya pun agak memerah. Apa artinya ... gadis ini ternyata buta arah? Sekolah ini memang cukup luas, tapi tetap saja aneh jika tersesat saat menuju kelas sendiri, ya 'kan?

"Aku mengambil jalan memutar menuju ruang musik, dan saat aku kembali ...."

"Baik, Sensei akan mulai pelajarannya, jadi berhenti dulu mengobrolnya," tegur sensei, dan teman sekelas kami pun menahan tawanya.

Ruang musik? Untuk apa ke sana? Kebimbanganku tidak bertahan lama, karena sensei memintaku menjawab pertanyaan yang ada di PR kami. Maka dari itu, satu-satunya yang bisa kulakukan adalah fokus mengambil kembali buku catatanku dari Chiaki.


Seperti biasa, saat sekolah usai, aku menghidar dari upaya Chiaki yang memaksaku untuk bergabung ke klubnya. Aku berjalan turun ke perpustakaan untuk mengembalikan buku yang kupinjam, lalu menuju ke arah ruang kelas tidak terpakai yang ada di belakang gedung utama sekolah. Saat berbelok melewati pojok gedung — yang cerobong asap pembakarannya terlihat jelas — suara gitar listrik yang teredam terdengar sampai ke telingaku.

Suara itu berasal dari ruang kelas yang selama ini kugunakan. Mendadak terlintas di pikiranku: Apa aku meninggalkan ruangan itu dalam keadaan CD masih diputar? Sial! Tapi saat kudekati pintu dan mendengarkannya baik-baik, kusadari kalau ternyata aku salah sangka. Dari dalam ruang kelas, terdengar nada yang belum pernah kudengar sebelumnya, tapi di saat bersamaan, melodi itu sungguh tidak asing bagiku.

<Rapsodi Orang Hongaria No. 2> gubahan Liszt.

Sebuah permainan solo piano yang sangat sulit. Selama friska yang memanjakan telinga, nadanya dibarengi dengan not-not yang dimainkan berulang-ulang pada kecepatan tinggi; terlebih, yang kudengarkan adalah versi gitarnya. Apa-apaan ini? Aku tidak punya CD yang sehebat itu .... Eh, tunggu, ini dimainkan secara langsung — berarti saat ini ada seseorang yang memainkannya dengan gitar listrik yang terpasang pada amplifier yang sudah kumodifikasi.

Aku hanya bisa merinding. Tidak mungkin nada seperti itu dimainkan seorang diri, meski ia punya empat tangan sekalipun. Akan tetapi, melodi yang masuk ke telingaku ini jelas-jelas berasal dari satu gitar. Jadi, siapa yang memainkannya ...?

Kuraih pegangan pintu.

Saat itu, ingatan tentang piano besar yang terkubur dalam tempat pembuangan muncul kembali di ingatanku.

Kudorong pegangannya turun secara diagonal, dan memutarnya di saat yang bersamaan. *Kacha* — bunyi logam yang teredam pun terdengar, dan aku bisa merasakan sensasi kunci yang terlepas itu melalui tanganku ini. Saat aku membuka pintu, musik itu berhenti dengan suara berdecit.

Mafuyu duduk di meja panjang dan menatapku dengan ekpresi terkejut. Gitar pernisan miliknya hampir jatuh dari pahanya. Kurasa ekspresiku saat itu hampir serupa dengan ekspresinya.

Kenapa bisa — Mafuyu ada di sini? Di ruang kelasku (yang kugunakan tanpa izin), sambil memegang sebuah gitar? Apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini? Kapan dan bagaimana mimpi ini dimulai? Mungkinkah, semua yang terjadi sejak pertemuanku dengannya saat libur musim semi hanyalah sebuah mimpi—

"... kenapa?"

Mafuyu mulai tersadar sedikit lebih cepat dan duluan bicara. Aku pun sedikit mundur ke belakang karena kaget.

"Eh? Ah, enggak .... Tunggu, hentikan, bisa mati aku kalau kamu hantam dengan gitarmu itu!"

Wajah mafuyu sudah memerah. Sambil mengejarku, ia ayunkan Statocaster miliknya yang agak berat itu ke arahku. Kubanting pintu saat menutupnya agar bisa kabur dari Mafuyu.

"... kenapa kamu ada di sini? Dasar Maniak! Penguntit!"

Jeritan Mafuyu terdengar dari celah pintu. Tunggu, seharusnya akulah yang menanyakan pertanyaan itu!

"Sejak awal, ruang kelas ini memang sudah kupergunakan, jadi kenapa kamu malah masuk seenaknya?" yah, walau aku juga menggunakannya tanpa izin ....

"Aku ..., aku sudah dapat izin dari Mukoujima-sensei."

"Hah?"

Mukoujima Maki-sensei, meski kadang ada yang memanggilnya Maki-chan. Beliau guru Musik yang masih muda dan dianggap mudah bergaul sekaligus tegas di saat bersamaan. Begitu rupanya, jadi itu sebabnya Mafuyu beralasan pergi ke ruang musik pagi tadi? Eh, tunggu, kenapa ia diizinkan menggunakan ruang kelas ini? Itu berarti, kalau aku meminta izin pada guru, apa aku juga boleh menggunakan ruang kelas ini?

"Cepat enyah dari sini!"

Itulah yang dikatakannya, padahal aku sudah memindahkan setumpuk besar CD-ku, melengkapi komponen amplifier, bahkan mempersiapkan beberapa alas duduk — sudah kuhabiskan banyak tenaga untuk membuat ruang kelas ini agar menjadi senyaman mungkin! Meski ia ingin aku enyah dari sini, jangan harap aku akan berkata, Baiklah kalau begitu. Lalu pergi sesuai perintahnya!

"... eh, apa-apaan itu? Bisa-bisanya sensei ...."

Ia tidak menjawab. Yang terdengar justru suara seperti kuku raksasa yang sedang mencakar tembok — ternyata itu suara feedback dari gitar listrik. Cepat hentikan, kalau tidak amplifier-nya bisa rusak!

Yang bisa kulakukan cuma mendesah dan menjauh dari pintu ruang kelas.


Kembali ke gedung sekolah, gelombang kemarahan dalam diriku bergejolak saat berjalan menyusuri koridor. Tempat itu adalah daerah kekuasaanku — ia datang belakangan, tapi ia sudah ada di sana sambil duduk dengan santainya. Mana bisa aku terima? Kalau begitu, aku mau protes sama Maki-sensei. Tapi entah kenapa, kemarahanku mereda saat kudekati pintu ruang persiapan musik. Sebuah poster Ohtsuki Kenji ditempel di pintu geser — mungkinkah sensei adalah penggemar band rock Kinniku Shoujo Tai? Terus, apa tidak jadi masalah bagi beliau jika terang-terangan menempel poster semacam itu di pintu masuk ruang guru?

Aku beradu tatap dengan Ohtsuki Kenji saat berusaha menenangkan diri. Bisa kudengar samar-samar melodi santai dari latihan sebuah konser band di ruang sebelah sebuah musik latar dari game simulasi <Take the 'A' train>.

Tidak peduli ia mau bilang apa, ia juga menggunakan ruang kelas tanpa izin — kalau aku protes pada sensei, nanti aku bisa kena masalah.

Hmm, meskipun begitu, kalau ia mau supaya aku menyerah begitu, yah—

"Ya? Kamu mencari Sensei?"

Aku melompat kaget, bersamaan dengan suara yang mendadak muncul dari belakangku, keningku pun membentur wajah Ohtsuki Kenji. Aku menoleh ke belakang, dan melihat Maki-sensei sudah berdiri di belakangku sambil sedikit tersenyum. Beliau mengenakan blus putih dipadu dengan rok mini, dan karena beliau begitu cocok dengan pakaian semacam itu, para murid diam-diam menjulukinya Guru Erotis. Beliaulah alasan kenapa murid kelas satu khususnya lelaki yang memilih Seni Rupa atau Kaligrafi sebagai mata pelajaran pilihan, menjalani hidupnya dengan penyesalan. Meski begitu, seusai mengikuti pelajaran beliau, justru murid lelaki yang memilih Musik sebagai mata pelajaran pilihanlah yang akhirnya lebih menyesal.

"Eh? Ah, bukan apa-apa."

"Jangan khawatir, masuk saja. Sensei juga sedang ingin minum teh. Mau temani Sensei?"

Dengan itu, beliau pun menyeretku masuk ke ruang persiapan.

Ruang persiapan musik hanya berukuran setengah dari ruang kelas biasa. Karena ada sebuah rak yang dipenuhi lembaran not musik serta sebuah piano biasa, tempat ini pun jadi cukup sesak.

"Oh, ada air panas di teko, terus kantung tehnya ada di laci. Lalu, potong kue madunya sekalian, ya."

Jadi semuanya aku yang kerjakan, nih?

"Ah, tehnya satu cangkir saja, lalu potong kuenya jadi tiga bagian."

"Eh? Sensei tidak minum?"

"Kamu ini bicara apa? Teh itu jelas untuk Sensei. Tidak ada yang bilang kalau itu untuk dirimu."

Yah, aku harus berkata apa lagi?

"Kalau kamu sebegitunya mau minum teh, hisap saja ampas kantung tehnya. Sensei bolehkan, kok."

Tidak, terima kasih. Ah, aku pulang saja, deh ....

Sensei lalu menepuk punggungku dan berkata kalau itu cuma lelucon. Aku akhirnya bisa duduk di kursi setelah menyiapkan dua porsi teh dan kue. Tepat saat itu, sensei tiba-tiba berkata.

"Kamu kemari mau membahas soal ruang musik di gedung itu, 'kan?"

Aku hampir menyemburkan teh yang baru kuseruput.

"Ba-bagaimana Sensei bisa tahu?"

"Wah, kamu ini. Sensei sudah tahu semuanya, kok. Contohnya tentang kamu yang telah menggunakan ruang kelas tanpa izin selama dua minggu; bagaimana kamu memodifikasi pemutar CD agar bisa dihubungkan ke perangkat audio luar; atau tentang kamu yang telah memperbaiki kabel penerima radio ..., juga tentang alas duduk di sana, yang sangat nyaman ketika diduduki ...."

"Ahh ....!"



Aku jadi berpikir apa aku seharusnya bersembunyi saja di bawah meja atau semacamnya. Tunggu dulu, kalau aku melakukannya, bisa-bisa nanti aku dibantai.

"Tapi karena kamu membersihkan tempat itu dengan begitu teliti, Sensei pura-pura saja tidak melihatnya. Lagi pula, cuma Sensei saja satu-satunya orang yang tahu."

"Maaf, maaf, saya tidak akan melakukannya lagi."

"Karena Mafuyu-chan bisa langsung mempergunakannya, jadi Sensei rasa itu kebetulan sekali."

Kulepaskan kedua tangan yang melindungi kepalaku, lalu menatap wajah sensei.

Beliau lalu berkata sambil tertawa. "Kamu mau protes tentang hal itu, 'kan?"

"Tidak .... Lagi pula saya tidak dalam posisi mau protes, kok."

"Tidak masalah bagi Sensei kalau kamu juga mau menggunakannya. Asalkan Mafuyu-chan sudah memberi izin khusus padamu, Sensei tidak akan keberatan. Kalian berdua mestinya saling mencoba akrab satu sama lain."

"Tidak, sepertinya itu mustahil."

Bicara soal itu, aku benar-benar bingung mengenai situasinya.

"Jangan-jangan, Sensei dan Mafuyu sudah saling kenal, ya?"

"Ya. Sensei dulu pernah jadi murid ayahnya, dan dulu Sensei sering sekali bermain bersama Mafuyu-chan."

Ekspresi sensei tampak sedikit kesepian.

"Sedangkan Mafuyu-chan ..., ada sesuatu yang telah terjadi, hingga akhirnya ia pindah ke sekolah ini. Ia bilang pada Sensei kalau ia ingin sebuah ruangan yang bisa ia gunakan sendiri. Itu memang permintaan egois dari seorang putri kepala sekolah, tapi karena ia tidak membuat masalah bagi siapa pun, jadinya ...."

"Oh, begitu ...," jadi para guru diam-diam sudah menyetujuinya.

"Jadi, kamu juga bisa menggunakan ruang tersebut, itupun kalau kamu mau berbagi dengan Mafuyu-chan."

Jadi pada akhirnya, akulah yang diusir keluar!

"Tapi, kenapa ia memainkan gitar? Saya dengar ia tidak lagi bermain piano, apa itu benar? Ia sebenarnya mau masuk ke Sekolah Musik, 'kan? Lalu kenapa ia malah pindah ke sekolah ini?"

"Sensei tidak bisa mengatakannya padamu ...," ekspresi sensei segera berubah jadi serius. "... lagi pula, ia sendiri tidak ingin ada orang lain yang tahu. Sejujurnya ..., menurut Sensei, akan lebih baik kalau ia tidak melakukan hal itu, namun pada akhirnya, keputusan tetap ada di tangan Mafuyu-chan sendiri."

Aku tidak mengerti sedikit pun tentang yang sedang sensei bahas di sini, dan Mafuyu juga tidak menjelaskan apa pun padaku.

Karenanya, masalah terbesar bagiku saat ini adalah tentang apa yang harus kulakukan dengan ruang kelas tersebut. Kalau masalahnya adalah pihak sekolah tahu kalau aku menggunakan ruang kelas itu tanpa izin, lalu dengan keras melarangku untuk mempergunakannya lagi, maka aku dengan ikhlas merelakannya. Akan tetapi, kalau aku harus duduk di samping Mafuyu sambil mendengarkan CD-ku sementara ia bermain gitar, biar bagaimanapun caranya, jelas tidak mungkin bisa aku melakukannya!

"Kenapa kamu tidak mencoba bicara padanya? Siapa tahu kalian bisa saling berbagi ruang kelas bersama, ya 'kan?"

"Saya sudah coba bicara, tapi ia malah berusaha membunuh saya dengan hantaman gitarnya."

"Kamu itu terlalu cepat menyerah! Anak muda macam apa itu?"

Seusai rentetan omelan yang tiba-tiba dari Maki-sensei, akhirnya aku pun diizinkan meninggalkan ruang persiapan musik.


0 komentar:

Posting Komentar