Sakurasou Bab 2 Bagian 1

On Selasa, 24 Januari 2017 0 komentar

=========================================================
Bab 2 pun dimulai... Sekadar mengingatkan kembali alasan ane mengambil seri ini adalah karena detail yang gak diceritakan pada anime-nya memang menarik untuk diikuti...
Terima kasih pada pembaca setia dari blog ini yang masih setia juga mengikuti seri ini...
Selamat menikmati...
=========================================================


Bab 2 - Apa yang Harus Kulakukan?

Bagian 1


Pagi seorang Sorata Kanda dimulai lebih dini.

Bahkan sebelum jam setengah tujuh pagi.

Dan sebelum ponsel yang digunakannya menggantikan jam alarm akan berbunyi, dia akan dipaksa bangun kembali ke dunia nyata oleh salah satu kucingnya, entah itu si kucing putih Hikari yang menempelkan bokong pada wajahnya, atau mungkin si kucing hitam Nozomi yang meninju wajahnya dengan kaki, atau malah si kucing belang Kodama yang melompat ke atas perutnya.

Alarm ponsel yang akan berbunyi beberapa saat kemudian adalah lagu tema pertempuran pada game RPG yang digemari Sorata sewaktu masih SMP. Dia menyetelnya sebagai alarm sejak April lalu supaya bisa bersemangat di pagi hari. Hanya sekali mendengar refreinnya saja, membuatnya merasa mampu menghadapi apa pun di hari itu.

Hal pertama yang dilakukannya setelah bangun adalah mencuci muka. Setelah itu, dia berpindah ke ruang makan bersama dengan tujuh kucing di kakinya yang menempel merengek meminta makan.

Setelah menyiapkan makanan untuk kucing-kucingnya, mereka akan menyerbu Sorata dengan kecepatan penuh, dan Sorata akan memakai waktu tersebut untuk menyantap roti panggang sambil meminum susu.

Itu adalah rutinitas pagi yang biasa dan normal.

Satu-satunya hal yang tidak begitu normal adalah setiap kali Sorata membuka kulkas, dia pasti akan merasa sedikit murung.

Pembagian tugas Sakurasou ditempelkan pada pintu kulkas. Dan di antara tugas-tugas tersebut tertempel sebuah memo merah, yang dilekatkan dengan sejumlah magnet berwarna-warni, yang mustahil terabaikan.

Tugas Mashiro – Sorata Kanda

Merah itu melambangkan merah abadi. Yang berarti bahwa tugas ini berlaku selamanya.

Selagi menahan luka psikologis yang disebabkan semua ini, Sorata berdiri di dapur dengan laptop mini yang dipinjamnya dari Misaki. Dia memakai laptop itu untuk mencari resep bentou yang mudah dibuat, dan mulai memasak.

Dia sudah merencanakan menu hari ini semalam. Ikan tuna goreng, daging ham dingin dan salad bayam, serta tumis wortel yang dipotong halus. Menunya sudah disetujui oleh Mashiro. Dia tidak tahu kenapa, tapi kelihatannya dia tidak masalah dengan beberapa gorengan, tapi bermasalah dengan yang lainnya.

Sambil menyantap sepotong roti panggang berikutnya, Sorata dengan rajin memasak bekal makan siang.

Dia kadang melirik ke arah layar komputer untuk memeriksa resepnya. Kalau ada sedikit waktu senggang, dia akan melihat-lihat beberapa blog pengembang game untuk menghabiskan waktu.

Dan tentu saja, dia tidak lupa untuk menanggapi Ryuunosuke ketika jendela obrolannya mendadak muncul.

「Apa pendapat Kanda tentang death flag?」

「Oh, maksudmu yang itu? Itu seperti ketika seseorang berkata di tengah peperangan, "Saat perang ini berakhir aku akan melamarnya ...."」

「Ya, itu. Sebenarnya ada cukup banyak contoh, tapi itu adalah sebuah konsep yang menyimpan kekuatan yang cukup menakjubkan dalam dunia penceritaan. Tokoh yang mengucapkan hal gegabah akan segera ditandai oleh kematian, dan entah itu secara mengenaskan ataupun dengan gagah berani, mereka akhirnya akan meninggal. Dan itulah ketika aku berpikir, "Apa orang-orang ini sadar bahwa death flag itu ada?」

「Tidak, aku rasa mereka tidak sadar ....」

Ryuunosuke memang sedikit aneh, tapi dia bukanlah orang yang tidak nyaman diajak bicara. Itulah kesan yang Sorata dapatkan dari dirinya sebagai lawan bicara daring-nya.

「Kalau kita menciptakan tokoh realistis yang mencerminkan semangat kekinian, tidak terelakkan lagi kita akan memahami eksistensi manusia dan hal-hal yang mengendalikan eksistensi tersebut. Namun tetap saja, pengarang dan penulis skenario terus memakai death flag. Apa kamu tidak merasa bahwa di sini mereka sedang membuat pernyataan tentang kesedihan yang ada di dalam sifat manusia?」

「Hei hei, rasanya ini jadi terlalu cepat menjengkelkan ....」

「Kalau begitu, diskusi yang ingin kubuat sekarang ini adalah apakah death flag benar-benar ada di dunia nyata.」

「Jadi, apa ini akan memakan waktu yang lama? Ikan tunaku kelihatannya sudah mau gosong.」

「Yah, tidak ada gunanya kalau begitu. Kita bicarakan itu nanti di lain kesempatan, partner.」

「Ah, oke, oke. Tahun ini kita satu kelas, 'kan?」

「Aku tidak tertarik dengan kesenjangan sewenang-wenang seperti kelas yang sudah ditetapkan oleh orang lain.」

Ryuunosuke meninggalkan obrolan.

Dan pada saat yang sama, semuanya sudah matang.

Sorata segera menyusun lauk pauknya ke dalam kotak bekal yang sudah terisi nasi. Baik untuk dirinya maupun untuk Mashiro.

"Ohh, ini ternyata tampak cukup bagus."

Sorata mencicipi sedikit masakannya. Semuanya terasa cukup enak.

"Kurasa aku bisa melakukannya dengan cukup baik kalau mencobanya. Waduh, aku jadi mulai terbawa suasana."

Sorata mulai merasa senang dengan dirinya, namun dia mendadak ingat apa persisnya yang sedang dia lakukan dan merasa kosong di dalam dirinya.

"Tunggu, aku ini sedang apa? Apa aku ini seorang perempuan lugu yang begitu bersemangat memasak bekal untuk pacarnya, hah?!"

Padahal dulu Sorata membeli sendiri bekal untuk makan siangnya atau makan di kantin. Setiap paginya dia juga bisa tidur tiga puluh menit lebih lama. Dan penyebab dirinya mengubah jadwal tidur serta harus mempersiapkan bekal setiap pagi ialah Mashiro.

Ini terjadi dua minggu yang lalu.

Hari kedua setelah dimulainya semester baru, dan Sorata telah mengikuti pelajaran sampai tengah hari. Selama jam istirahat makan siang, untuk beberapa alasan Sorata pergi melihat keadaan Mashiro, dan dia melihat bahwa perempuan itu duduk sendirian di dalam kelas yang kosong.

Melihat tidak ada pilihan lain, dia mengajaknya ke kantin, tapi mereka jadi tampak mencolok di sana, Mashiro benar-benar pemilih dalam hal makanan, semua makanan yang tidak disukainya ditumpukkan ke atas piring Sorata, dan alhasil, kabar angin aneh mengenai mereka mulai menyebar, dan Sorata tidak bisa makan dengan tenang.

Kemudian, dimulailah diskriminasi itu.

"Oh, mereka itu dari Asrama Sakura, 'kan?”

"Bodoh, jangan pandangi mereka!"

"Ini pertama kalinya kulihat mereka. Wah, menakjubkan. Dia bisa bergerak! Bahkan dia sedang makan siang!"

"Uwaah, hati-hati! Kalau kita tidak keluar dari sini, kita akan terserang kuman Asrama Sakura!"

Dan seperti itulah, mereka diperlakukan seperti hewan aneh dalam kebun binatang, semangat Sorata pun hancur lebur.

Dia juga mempertimbangkan untuk membelikannya makan siang ..., tapi pengalamannya terakhir kali melihat perempuan itu berseliweran dan langsung memakan makanan yang diambil dari rak, dia mencoret ide tersebut bahkan sebelum mencobanya.

Lalu, mengenai masalah makan siang, Akhirnya Sorata yang berada dalam kondisi sulit, harus menyusun menu yang disetujui Mashiro, kemudian bangun setiap pagi untuk memasakkan bekal makan siang.

Sorata tidak begitu suka memasak, dan dia juga tidak begitu pandai memasak. Di Asrama Sakura, Jin yang paling suka memasak, diikuti oleh Misaki, yang bisa membuat apa pun. Bahkan Chihiro memiliki daftar menu masakan yang lebih banyak dibanding Sorata. Tentunya, kalau penghuni Asrama Sakura diberi peringkat dalam hal kemampuan memasak, Sorata lebih mendekati peringkat bawah.

Dia telah meminta saran dari Misaki, itu sebabnya dia menyiapkan dua kotak bentou setiap pagi untuk Misaki dan Jin, tapi ....

"Baiklah kalau begitu, termasuk punya Junior, ayo kita buat bekal ala Russian Roulette! Salah satunya akan berisi nasi dengan wasabi yang bisa mengirim salah satu dari kita langsung ke neraka! Ayo kita isi jam makan siang kita dengan sedikit tekanan dan ketegangan!”

Sorata sungguh tidak merasa kalau Misaki sedang bercanda saat dengan riangnya dia menyarankan ide mengerikan itu, oleh karenanya Sorata memutuskan untuk berhenti mendiskusikannya.

Hidup benar-benar bukan hanya diisi sinar mentari dan cahaya pelangi.

"Kamu tahu? Rasanya memuakkan berdiri di sini dan melihatmu memasak, kemudian melihat dirimu yang semula senang lalu menjadi sedih."

Entah kapan, Chihiro muncul di ruang makan, dan meraih beberapa lauk sisa dari meja dapur.

"Bagaimana bisa Ibu bertemu dengan muridnya lalu berkata kalau dia memuakkan?! Memangnya semua ini gara-gara siapa?! Ibu itu yang melalaikan kewajibannya sebagai seorang pengasuh lalu mendesakannya semua padaku!!"

"Yah, kamu tahu kata orang, Kerja keras membentuk karakter seseorang ketika dia masih muda."

Chihiro mencomot sepotong ikan tuna goreng dengan jarinya lalu memasukkannya ke dalam mulut.

"Hei, tunggu sebentar!"

"Wah, wah, ternyata ini lumayan enak. Kanda, bekal makan siangku kuserahkan padamujuga , ya?"

"Benar-benar tidak tahu malu ...."

Pada saat itu, satu orang lagi menyusulnya.

"Ada apa~? Ada apa~? Ikutan juga, dong ~!”

Melantunkan sebuah lagu misterius, Misaki terlihat hampir terguling dari lantai dua.

"Tuna! Aku mencium bau ikan tuna!"

Dengan semangat yang super tinggi mulai dari detik keluarnya dia dari tempat tidur, Misaki melompat ke arah meja dapur layaknya seekor kucing. Sambil mencondongkan tubuh ke depan, dia dengan cekatan merebut tiga potong makanan dari meja dan memasukkannya ke dalam mulut.

"Kenapa pagi-pagi begini semua orang jadi gila?!"

"Enak! Baiklah, sudah diputuskan! Jin dan aku juga akan menjadikan ini sebagai bekal kami hari ini!"

"Tidak ada yang bilang kalau kamu juga akan diberi!"

"Jangan pelit, dooong!"

Chihiro menyodorkan beberapa kotak bekal yang diambilnya dari lemari kepada Sorata. Dikarenakan refleks, Sorata pun mengambilnya.

Di sebelahnya, Misaki memasukkan makanan ke dalam kotak bekalnya dengan semangat yang sudah sering dilihat Sorata.

Sorata memasak lebih hanya untuk berjaga-jaga kalau dia gagal di kali pertamanya, tapi terasa jadi menjengkelkan bahwa ternyata dia telah memasak makanan yang cukup untuk lima orang. Dia benar-benar membuat terlalu banyak.

"Kalian sedang apa pagi-pagi begini?"

Secara mengejutkan, meski biasanya dia tidak ada di tempat pagi begini, Jin sudah bangun dan masuk ke ruang makan. Dia melihat sekeliling dan mengamati keadaan dalam hening.

"Yah, sekali-sekali, kurasa ini hal yang bagus."

Katanya dengan riang.

"Junior bisa jadi istri yang baik, bukan?"

"Ya, benar ...."

Sorata membuat jawaban setengah hati selagi dia mengisi bekal Chihiro.

Dia melihat jam dan menyadari kalau masih belum jam tujuh.

April sudah mendekati penghujungnya. Mereka sudah memasuki minggu keempat bulan ini, dan mungkin dia baru saja telah terbiasa memasak, meski begitu, Sorata telah selesai menyiapkan makanannya lebih cepat dari yang dia kira. Hingga kemarin, saat dia selesai memasak, jam sudah menunjukkan angka tujuh lewat sedikit dan Sorata harus pergi membangunkan Mashiro segera setelahnya.

Hari ini, masih ada sedikit waktu yang tersisa.

Sorata mendadak memikirkan sesuatu, dan meraih keyboard laptop-mininya.

Dia mencari data terkait "Mashiro Shiina" di internet.

"Kenapa kenapa? Mencari gambar erotis atau semacamnya, ya?"

Misaki mendekat dan melihat ke arah layar.

"Aku tidak punya tenaga untuk bergairah pagi begini ...."

Hasil pencariannya segera tampil di layar.

Ada beberapa ratus ribu hasil pencarian.

Sebagian besar dalam bahasa Inggris.

"Oh, mencari tahu soal Mashiron~? Setelah kuingat-ingat, aku juga belum pernah coba mencarinya."

Sorata memilih hasil pencarian pertama.

Itu adalah beranda situs museum seni luar negeri.

Rasa ingin tahunya terpicu, Jin juga mendekat. Hanya Chihiro yang tersisa pada meja bundar ruang makan, dan duduk di sana sendiri sambil meminum kopi.

"Semuanya dalam bahasa Inggris, jadi aku benar-benar tidak tahu apa maksudnya .... Oh, apa ini?"

Sorata memilih nama Mashiro, dan layarnya mendadak begitu terang.

Desain halaman tersebut teramat sederhana.

Di balik latar berwarna biru laut, sepotong karya seni ditampilkan.

Karya itu tampak tergantung di dinding, terpajang dalam museum seni tersebut.

Pada saat dia melihatnya, semua pori-pori di dalam tubuh Sorata terbuka. Dia hampir merasa seakan seluruh syarafnya terbang dari tubuhnya.

Misaki kehilangan kata-kata karena kekagumannya, dan Jin meneguk liurnya hingga terdengar keras.

Sorata dapat merasa alam sadarnya dihisap ke dalam layar kecil tersebut.

"Ada apa ... dengan lukisan ini ...?"

Kata-kata tanpa sadar terselip dari mulut kering Sorata.

Sorata tidak tahu persisnya apakah reaksinya terhadap lukisan ini baik atau buruk. Namun demikian, ada sesuatu mengenai lukisan abstrak ini, lukisan simbolis yang menarik dengan kuat dirinya ke dalam.

Dia tidak dapat menemukan kata-kata yang tepat untuk menjelaskannya.

Dia dapat melihat cahaya. Dia dapat melihat suara. Dia dapat melihat angin. Semacam itulah lukisannya.

Ketika dia gulir ke bawah halamannya, Sorata menemukan komentar yang dikirim oleh juri perlombaan tersebut. Untungnya, ada juga terjemahan ke dalam bahasa Jepang.


Terang dan gelap. Udara. Saya benar-benar kagum dengan lukisan ini, menampilkan kemampuan dan sensitivitas yang begitu tinggi untuk melukiskan dan mengungkapkan hal-hal yang tidak bisa kita lihat dengan mata kita. Lukisan ini menghadirkan sebuah pandangan unik terhadap dunia. Pandangan tanpa logika dan alasan. Dengan satu lukisan ini, Mashiro Shiina menapakkan langkah pertamanya ke dalam wilayah genius. Bahkan kita tidak mampu untuk mulai memahami dunia seperti apa yang harus dijalani perempuan ini hingga membuatnya dapat melukis seperti itu.

Pujian yang teramat tinggi.

Ini adalah pertama kalinya Sorata melihat seseorang memberi pujian setinggi langit terhadap orang lain.

Entah kenapa, Sorata merasa gelisah, dan menutup laptopnya dengan agak kasar.

"Kanda, bukankah ini sudah hampir waktunya?"

Suara Chihiro membawa Sorata kembali pada kenyataan.

"Ah, sial!"

Sorata menghangatkan handuk yang lembab, dan setelah mendorong Misaki yang menghalangi jalan (yang baru saja menari sambil menyenandungkan sebuah lagu yang aneh), dia menuju ke lantai dua.


********

"Hei, Shiina! Sudah pagi! Bangun! Walau aku ragu ini ada gunanya ...."

Sorata menunggu beberapa detik, tapi tidak ada sahutan.

Dia membuka pintunya dengan berani, dan dengan nekat melangkah ke dalam kamar tersebut.

Seperti sebelumnya, Mashiro tidak ada di tempat tidur. Dia tertidur di bawah meja belajar, ditutupi setumpuk baju dan pakaian dalamnya. Kepalanya yang disertai  rambut acak-acakan itu muncul dari balik tumpukan tersebut.

Selagi Sorata membangunkannya, dia menekankan handuk lembab yang dibawanya pada rambut Mashiro yang melawan gravitasi.

Mashiro masih belum bangun.

Dari pengalamannya, Sorata tahu masih perlu sekitar lima menit lagi.

Keadaan kamar itu begitu mengerikan. Padahal kemarin Sorata telah merapikannya sebelum Mashiro tertidur.

Komputernya dibiarkan menyala.

Nyaris tidak ada ruang pada lantai tersebut untuk dilangkahi Sorata.

Tepat saat itu, Sorata berhenti setelah melihat secarik kertas berukuran B4.

Itu adalah cetakan dari sebuah manuskrip manga.

Tentu saja, halaman-halaman manuskrip tersebut berserakan di lantai.

Sorata telah berjanji pada dirinya bahwa dia tidak akan ikut campur dengan urusan Mashiro, tapi rasa ingin tahunya kini mengalahkan hasratnya untuk menjaga diri.

Mungkin itu karena dia baru saja melihat salah satu lukisan Mashiro pada beranda situs museum seni.

Dia memungut halaman pertama. Kemudian tanpa sadar dia memungut sisanya.

Dia menyusunnya sesuai urutan halaman yang benar.

Manga itu terdiri dari 32 halaman.

Dia membaca satu halaman, kemudian halaman selanjutnya, lalu selanjutnya lagi.

Karyanya menabjubkan. Sungguh menabjubkan. Tidak peduli dilihat dari sudut mana pun, karakternya digambar dengan akurat, dan komposisi seni tersebut benar-benar menarik. Karyanya sungguh memberi dampak besar.

Susunan panel manga tersebut juga sangat menarik. Sorata tidak pernah melihat sesuatu yang mirip seperti ini, di mana tokoh-tokoh dan pemandangannya digambar dengan begitu bebas.

Selagi pandangannya mengikuti gambar yang dilukis dengan teliti itu, dia tersadar bahwa dirinya sampai di akhir manga tersebut dan selesai membacanya.

Dia merapikan kertas-kertas tersebut ke atas meja, kemudian dengan perlahan meletakkannya di pojokan.

"... membosankan."

Malah, tidak disangka ternyata itu membosankan.

Hampir terasa lucu betapa sedikitnya isi di dalam manga tersebut.

Genrenya shoujo.

Di dalamnya, seorang gadis yang amat tidak menarik bertemu dengan seorang lelaki yang juga amat tidak menarik, jatuh cinta, dan sama sekali tanpa sedikitpun drama yang terjadi, mereka akhirnya berpacaran.

"Yah, kurasa itu juga terjadi di dunia nyata .... Tapi siapa yang peduli?!"

Manga itu terasa begitu hambar sampai hampir membuat Sorata bersuara keras.

"... selamat pagi."

Pada saat itu, Mashiro merangkak keluar dari bawah meja.

Perempuan itu mengenakan piyama tunik bermotif kotak-kotak. Lalu, hampir seakan dia meninggalkannya dalam mimpi, perempuan itu tidak mengenakan apa pun di bagian bawah tubuhnya. Kaki jenjang berkulit seputih salju dan ramping tersebut mengacaukan pikiran Sorata.

"Shiina! Ka-kamu ...! Pakailah sesuatu di bawah sana! Apa kamu ini sedang menggodaku, hah?!"

Tunik itu nyaris mencapai pahanya. Setiap kali Mashiro yang masih setengah sadar menggerakkan tubuhnya ke kiri dan ke kanan, tepi bawah tuniknya akan melambai, dan kulit polos di baliknya akan muncul dalam pandangan Sorata. Akan tetapi, Sorata bersumpah kalau dia bisa melihat lebih jauh yang ada di baliknya. Degupan dada Sorata bersumber dari pandangannya terhadap titik tersebut.

Dengan langkah yang goyah, Mashiro duduk di depan meja riasnya, dengan mata yang masih setengah tertutup.

Sorata mencoba menahan kegugupannya.

"Aku benar-benar akan pindah ke gunung dan menjadi seorang pertapa kalau terus menahan diri seperti ini ...."

Memangnya mau apa? bantah Sorata dalam benaknya sembari menyisir rambut Mashiro. Rambut sehabis tidurnya yang membandel harus dipaksa lurus dan dirawat dengan pengembun dan pengering rambut.

"Kak Misaki pernah bilang ...."

"Jangan bicara mendadak begitu! Aku jadi takut!"

"... kalau Sorata akan suka jika aku tidak memakai celana."

"... oi, jadi orang itu jangan langsung percaya. Kak Misaki itu memang tidak waras."

"Kak Misaki itu memang hebat ...."

Mashiro masih terlihat agak linglung.

"Asal kamu tahu, andai aku itu serigala, sudah pasti aku akan menerkammu."

Sembari mengatakannya, aku melihat tatapan dirinya melalui cermin.

"Tapi sampai saat ini kamu masih cukup aman."

"Tidak ada serigala."

"Tidak, maksudku, serigala itu hanya kiasan. Maksudku itu anak lelaki .... Kamu tahu lelaki, 'kan?"

"Mereka juga tidak ada."

"Bukankah sebelumnya kamu belajar di sekolah khusus perempuan? Apa ini pertama kalinya kamu bersekolah bareng anak lelaki?"

"Sorata yang pertama."

"Huh?"

"Lelaki pertamaku."

"Oi, oi, hati-hati sama bicaramu! Jaga kata-katamu! Kamu membuatnya terdengar seolah aku sudah berbuat sesuatu padamu jika kamu berkata begitu! Tapi aku belum melakukan apa-apa, jadi jangan berkata begitu!"

"Syukurlah aku punya Sorata."

"Ka-kamu ini bicara apa?"

"Sorata sudah berbuat banyak padaku."

"Ce-cepat bangun dan ganti bajumu!"

"Aku sudah bangun."

Mashiro lalu berdiri, dan Sorata menyodorkan sepasang pakaian dalam yang baru saja dicuci beserta seragam sekolah padanya.

Sorata sungguh tidak mampu melihat ke arah wajah perempuan itu.

Sewaktu Sorata berpaling untuk meninggalkan kamar, Mashiro mulai menanggalkan piyamanya.

"Tunggu sampai aku keluar kamar dulu! Yang benar saja, aku benar-benar akan menerkammu nanti!"

Sorata menutup pintunya dengan kasar.

Mashiro mengatakan sesuatu, tapi Sorata mengabaikannya.

Dia bersandar pada salah satu dinding.

Dia benar-benar letih.

"... apa yang akan terjadi padaku mulai sekarang ...?"

Tidak ada yang menjawab.

Tidak ada orang yang tahu jawabannya.

Bahkan para dewa mungkin tidak mengetahuinya.

Seluar biasa itulah Mashiro Shiina.

Itu persis seperti yang digambarkan oleh komentar lukisannya tadi.

Bahkan kita tidak mampu untuk mulai memahami dunia seperti apa yang harus dijalani perempuan ini ....

Juri ahli memang jeli dalam menilai.

Dia telah melihat sifat asli Mashiro. Dia telah melihatnya dengan begitu jelas.

"Ini tidak menyenangkan ...."

Selagi Sorata berdesah panjang, dia melihat sosok Mashiro dalam keadaan berseragam yang masih tampak asing baginya itu keluar dari kamar.

Sorata mulai berjalan tanpa berkata apa-apa, hingga ....

"Hei."

Mashiro memanggilnya, hampir seperti sebuah bisikan.

"Hmm?"

"Membosankan.”

"Eh?"

"Manga-ku."

Tidak menemukan kata yang tepat untuk diucapkan pada situasi ini, Sorata tersenyum getir. Sekarang semuanya sudah terlalu jelas. Mashiro adalah orang yang membuat manga tersebut.

"Kamu sudah benar-benar bangun?"

"Terasa membosankan sekali, ya?"

Tidak sedikitpun emosi terasa dalam suara Mashiro, dan wajahnya pun juga tidak menunjukkan emosi.

Sorata tidak memiliki cara untuk mengetahui apa persisnya yang sedang dipikirkan perempuan itu.

"Junior~! Apa Mashiro sudah bangun?!"

Sorata sungguh merasa lega atas selaan tiba-tiba dari Misaki. Misaki juga sudah mengenakan seragamnya.

"Kalian bisa telat ke sekolah, lo."

"Iya."

Sorata turun ke lantai satu sembari merasakan keberadaan yang lemah dari orang di belakangnya. Semua orang masih menunggu di sana.

Sorata menyuapi Mashiro sepotong roti panggang, dan meski itu tidak biasa, hari itu semua penghuni Asrama Sakura pergi ke sekolah bersama.

"Akasaka~. Titip tempat ini saat kita pergi, ya~?"

Satu-satunya orang yang tersisa dalam asrama tersebut adalah sang pengurung diri, Ryuunosuke Akasaka.

"Hei, bisa-bisanya Ibu menitipkan tempat ini padanya?! Dia itu salah satu murid Ibu!"


0 komentar:

Posting Komentar