Chuunibyou Bab 1 Bagian 2

On Selasa, 15 April 2014 0 komentar

==========================================================
Kronologis cerita dengan anime-nya memang beda sekali, soalnya, yah, namanya juga adaptasi...
Nah, karena itulah, kalau ingin tahu sensasi yang berbeda, baca saja LN-nya...
Biarpun begitu, inti cerita tetap sama kok...
Di samping itu, ini adalah bagian penutup dari sebuah bab, yang seperti biasanya, pasti meninggalkan kesan setelah dibaca... (biasanya lagi, ada kutipan yang bagus di akhir bab...)
Betewe, kalau ada yang suka banget baca novel, khususnya yang bertema seputar keseharian dan kehidupan sekolah, serta ingin bantu menerjemahkan, sampaikan saja di fanspage atau di kolom komentar... (yah, tapi ada tesnya dulu...)
Sebelum tl;dr...
Selamat Menikmati...
==========================================================


Bab 1 - Rikka Takanashi

Bagian 2


Keesokan harinya sekitar sepuluh menit sebelum jam pelajaran pertama, bel telah berbunyi dan tinggal sebentar lagi saja sebelum guru kami datang. Seperti yang bisa ditebak, situasi ruang kelas sudah cukup ramai. Di dalam keramaian itu, ada diriku yang sedang cemas mengenai perbincangan yang kulakukan tempo hari.

Rikka Takanashi. Gadis mirip boneka yang duduk di depanku. Rambutnya hitam kelam dan dipotong pendek. Dilihat dari belakang, rambutnya hampir tampak seperti kaca.

Gadis itu masih mengenakan blazer meskipun cuaca mulai menghangat. Ia lalu melepasnya dan menaruh blazer itu di kursinya, dan memperlihatkan blus yang menonjolkan lengannya. Meski aku bukan ahli soal busana, sabuk berwarna hitamnya tampak semakin menonjolkan rok merah menyala bermotif kotak-kotak yang dikenakannya. Penampilan seperti itu tampak seperti gaya khas gotik, tapi kuingatkan sekali lagi, kalau aku bukanlah ahli soal busana. Siapa pula yang menjual barang semacam itu? Itu terlihat begitu berlebihan! Hanya dengan melihat bermacam aksesoris salib yang dipakainya, kita pasti akan langsung berpikir ke arah gotik. Dan dari kursi di depanku, aku bisa melihat kaos kaki panjang berwarna hitam yang membungkus kaki rampingnya. Yak, itu memang gotik. Aku tak tahu kalau ia sedang terluka, tapi tangannya dibalut perban mulai dari pergelangan kiri hingga sikunya. Di antara balutan perban itu, kita bisa melihat kulit putihnya. Terlihat menggoda.

Namun pandanganku lebih terfokus pada orang-orang genit yang melihatnya. Jika dilihat baik-baik, kita bisa sepintas melihat bra berwarna hitam di balik blusnya. Aku takut kalau hal itu bisa membuat orang-orang tersebut terangsang.

Musim panas memang paling top...

Tapi cukup sampai di situ dulu, kurasa kita semua bisa melihat bahwa penghuni kursi di depanku ini masih belum berubah, ya 'kan?

Dua bulan belakangan ini, aku telah mengamati dirinya dari belakang. Selama kami belajar bersama-sama (hanya sewaktu di kelas!) , tak pernah kulihat ada perubahan di dirinya. Tak ada suara-suara aneh ataupun cara berjalan yang aneh, sama sekali tak ada. Namun aku memang tak pernah sekalipun mencoba bicara dengannya. Mungkin saja ia sebenarnya suka mengobrol, yah, walau aku sendiri meragukannya.

Dan aku pun lanjut meragukan diriku sendiri. Tak akan... terjadi apa-apa andai aku membicarakan hal ini padanya... 'kan? Ya Tuhan, memikirkannya saja mulai membuat kepalaku sakit.

"Aduh!" Seolah Tuhan sediri yang menghukumku akibat semua pikiran mesum tadi, sebuah tas menghantam langsung wajahku.

"Oh, maaf! Kena, ya?"

Kutengadahkan kepalaku pada orang yang berjalan lewat. Rupanya itu ketua kelas kami, Nibutani. Shinka Nibutani. Aku baru mengetahui nama depannya sewaktu perbincangan mengenai kontes popularitas kemarin. Sebuah nama lain yang meninggalkan kesan begitu mendalam.

Secara spontan, kuarahkan pandanganku dari ujung kaki hingga ujung kepalanya. Tinggi sekali! Pasti itu yang jadi ciri khasnya. Bisa dibilang bahwa dirinyalah gadis paling tinggi di kelas, walau hal itu sulit dipastikan bila semua anak di kelas sedang duduk. Tingginya pun sejajar atau mungkin sedikit lebih tinggi dariku. Aku merasa seolah kehilangan sedikit kepercayaan diri.

Tak seperti Takanashi, gadis yang sedang di hadapanku ini mengenakan seragam rapi tanpa satu pun aksesoris. Tak ada yang mencolok, meski roknya terlihat sedikit pendek untuk kakinya yang panjang. Dengan kaos kaki berwarna biru tua, ia adalah gambaran sempurna seorang ketua kelas yang elegan. Meski kaos kakinya tampak tak serasi.

Jika aku boleh berkomentar, ada sedikit yang kurang dari dirinya sebagai gambaran utuh seorang ketua kelas, yaitu kacamata. Kacamata merupakan simbol kecerdasan dari diri seorang ketua kelas, namun yang satu ini tidak memakainya. Untuk tingkat kepandaian... aku tak bisa menilai hanya dari penampilannya saja. Namun tak diragukan lagi; ketua kelas kami sudah memberi gambaran seorang ketua kelas di dirinya.

"Ah, aku tak apa-apa, kok."

"Aku sungguh minta maaf. Aku yang ceroboh sewaktu melepaskan tasku."

"Tidak apa-apa. Aku juga sempat melamun tadi, jadi tidak menyadarinya."

"Begitu, ya?" Lalu senyum pun mengembang di wajahnya. Sebuah senyum sadis. Ia mendadak berubah jadi kejam di hadapanku. Ah, paling-paling itu cuma khayalanku saja. Yah, begitulah.

"Kenapa kau sampai melamun?"

Eh? Kami masih berbicara? Mengejutkan sekali. Kupikir ia akan pergi ke tempat duduknya setelah bilang, Begitu, ya?

"Eh... ah... yah... bukankah jam pelajaran pertama hari ini Matematika? Karena ada pembagian hasil ujian, makanya aku jadi cemas kalau nanti dapat nilai buruk."

"Oh... tapi kau tampak seperti orang yang tak terlalu mencemaskan hal itu, deh. Benar-benar tak kusangka."

"Bukan begitu juga, sih. Yang kucemaskan adalah kalau ini nanti tak ada bedanya dengan yang kualami waktu SMP."

"Jadi kau khawatir kalau tak bisa melakukan yang lebih baik, begitu? Yah, ujiannya memang sedikit lebih sulit dibanding waktu kita SMP. Apa kau sudah sungguh-sungguh belajar hingga kemampuan terbaikmu?"

"Eh? Kemampuan? Meskipun aku ingin memiliki semacam kemampuan mencontek, aku tidak menggunakannya."

Nibutani terdiam sejenak, namun segera tersenyum kembali. "Eh... hahaha. Pasti menyenangkan kalau punya kemampuan semacam itu, ya 'kan? Tak kusangka kalau kau akan berkata begitu. Wah, pelajarannya sudah mau dimulai, nih. Dadah!"

Nibutani pun segera beranjak ke kursinya. Yah... bagaimana menjelaskannya, ya? Meski ini pertama kalinya kami saling berbicara, aku akhirnya paham yang dimaksud Isshiki tentang sosok gadis itu. Komentarnya tentang suasana menenangkan dan senyum sadisnya itu ternyata benar. Ditambah komentarnya tentang diriku yang terlalu cemas itu juga luar biasa. Aku sedniri tidak yakin aku bisa mengangkat topik seperti itu dalam sebuah percakapan.

Hampir tepat setelah selesainya pembicaraan tadi, bel tanda dimulainya pelajaran berbunyi. Di saat bersamaan, guru kami pun masuk dan mulai bicara di depan podium dengan suara keras.

"Oke, oke! Anak-anak, kita mulai hari ini dengan pembagian hasil UTS kalian. Wah, wah! Apa ujian pertama kalian di SMA terlalu sulit? Apa tingkat kesulitan ujian matematika ini melebihi kemampuan kalian?"

Semua anak di kelas mulai gemetar. Padahal ruang kelas ini sebelumnya begitu bersemangat, namun kini, semua anak sudah jatuh dalam keheningan. Sekuat itulah guru kami. Beliau mengucapkan segala hal dengan wajah yang tersenyum senang. Saat aku mengira kalau sekolahku punya keunikan tersendiri sewaktu upacara pembukaan, ternyata sesi perkenalan beliau juga tak kalah uniknya. Beliau berkata dengan lantang, "Moto Ibu adalah membuat seluruh waktu menjadi waktu yang penuh tekanan!" Dan itu memang dilakukannya.

Beliau biasanya mengenakan setelan jas dan postur beliau lebih kecil dibanding murid lelaki. Aku tak bisa menebak siapa yang lebih dewasa andai mereka dipersandingkan bersama. Bu Nanase Tsukumo tak hanya menjabat sebagai wali kelas kami, beliau pun begitu antusias layaknya guru Matematika kami hari ini. Karena terlihat sangat muda dan masih baru, beliau pun menjadi begitu populer. Terkadang, para murid lebih sering memanggil beliau dengan panggilan, "Nana-chan". Mungkin pernah sekali atau dua kali aku juga memanggil beliau dengan sebutan itu.

"Eh! Jangan dong, Nana-chan! Saya tak sanggup melihat hasil buruk ujiannya!"

"Jangan buat kami mengikuti pelajaran tambahan!"

Anak-anak di belakangku sudah mengeluh.

"Iya, iya, tidak perlu berisik seperti ini! Ingat, jika kalian rajin belajar, pasti takkan jadi masalah! Hasil ujian kali ini mungkin memang tak begitu bagus, tapi kalau kalian mengikuti apa yang sudah Ibu ajarkan, semuanya akan baik-baik saja! Tak jadi masalah kalau kalian harus ikut pelajaran tambahan, yang penting berusahalah semampu kalian!"

Langsung membahas intinya tanpa tanggung-tanggung rupanya. Yah, pelajaran Matematika beliau memang lebih sulit dibanding sewaktu SMP dulu, tapi gaya mengajar beliau sangatlah bagus, sebenarnya aku merasa kalau itu cukup mudah dicerna.

Aku memang sempat berkata lain pada Nibutani, namun sebenarnya aku merasa kalau aku akan mendapat nilai bagus di ujian kali ini. Yah, aku cukup tak memberitahukan padanya andaikata nilaiku memang sebagus itu.

"Ibu mulai, ya! Majulah ke depan waktu Ibu panggil nama kalian! Ootsu !"

Dan kami pun bergiliran maju ke podium saat beliau memanggil nama kami. Bermacam reaksi mulai dari sedih hingga senang tampak pada wajah seluruh murid sewaktu mereka kembali ke tempat duduk.

Tentunya giliranku setelah nama Takanashi disebut. Aku berpapasan dengannya saat menuju ke arah Nana-chan, dan rasa tertekan yang kualami kian meningkat. Kehidupan SMA-ku takkan pernah lagi sama setelah aku menerima hasil ujian ini.

"!"

Coba kulihat baik-baik. Serius, nih? Apa aku pernah melihat nilai seperti ini sebelumnya? Sama sekali belum pernah. Biar kuingat dulu, seumur-umur, nilai terbaik yang pernah kudapat adalah 88, itu pun sewaktu aku masih SD. Namun angka yang tertera di sebelah namaku pada lembar ujian ini adalah 95. Nilai yang fantastis! Aku jadi merasa kalau rajin belajar bisa membuatku keren!

Karena lembar ujian ini adalah sebuah barang yang sangat berharga,
jadi sewaktu berjalan kembali ke tempat dudukku, aku merasa ingin menjaganya seolah itu merupakan warisan dari leluhur. Kemudian aku pun berbalik dan...

Berdirilah sebuah penghalang besar di depan tempat dudukku. Apa... apa ini? Ada semacam aura aneh ini yang mencegahku untuk melangkah maju. Ini... ini...

Kucoba untuk melewati penghalang ini dengan memalingkan tubuhku lalu melangkah maju, tapi justru berakhir dengan sebuah kesalahan. Mungkin akibat dari aura ini, hingga aku pun terjatuh dengan wajah terlebih dahulu. Aku bisa mendengar gema yang keras dari seisi ruang kelas.

Aku jadi membuat suara yang sangat gaduh. Sial! Itu bukan kemauanku!

Kudengar suara Nana-chan yang bertanya dengan lembut di belakangku, "Hei! Kau tak apa-apa?" Karena malu yang kurasakan, aku jadi tak bisa menjawab beliau. Tubuhku tak begitu saja bisa langsung berdiri setelah jatuh tadi. Perlu sekuat tenaga hanya untuk menengadahkan kepalaku.

Dan aku pun tak sengaja menjadi orang mesum yang beruntung.

Di hadapanku, tembok besar yang kusebut sebelumnya itu ternyata Takanashi beserta rok pendeknya. Saat kumenengadah, aku sudah berada di lokasi pemandangan perdana dari potongan kain berbentuk segitiga yang menjadi impian seluruh lelaki.


"Ah..."

Sewaktu pandanganku teralihkan tadi, diriku menabrak Takanashi dan jatuh ke lantai. Jadi sudah pasti, celana dalam yang kulihat itu kepunyaan Takanashi. Tunggu, ini gawat!

Dan selagi aku meminta maaf padanya di dalam hati, Takanashi masih tak menunjukkan emosi sembari duduk di kursinya. Hanya sebentar aku menatap ke arah Takanashi tadi. Hmm... kurasa ia benar-benar suka warna hitam, ya 'kan?

Tunggu! Ada yang tak beres di sini. Apa tak ada seorang pun yang merasakan sebuah kejanggalan? Biasanya kalau kejadian ini menimpa seorang gadis, yang ada, mereka akan bilang, Kau... kau melihatnya, ya?! Mati sana! Atau, Jangan harap aku mau memperlihatkan celana dalamku! Atau, Aku tak malu, kok, kalau kau melihat celana dalamku! Ini sebuah penyimpangan besar dari naskah.

Dan Takanashi pun masih belum menunjukkan reaksi apapun. Ia tak menunjukkan emosinya.

Itu sungguh respon yang dewasa dari dirinya. Jika hal ini terjadi saat aku masih SMP, kuyakin aku bakal terheran-heran dan tak bisa berkata apa-apa.

Namun penghalang besar itu; apa mungkin ia mengasingkan dirinya sendiri? Tampaknya ia bisa tiba-tiba menangis sewaktu-waktu. Mungkin ia tak mendapat nilai bagus saat UTS. Meski aku tak bisa menggunakan persahabatan sebagai alasan, tapi ada baiknya jika aku berhenti merayakan nilaiku ini.

Mau tak mau aku jadi begitu mencemaskan hal demikian. Di samping itu, aku juga terasingkan beberapa saat lalu. Siapa tahu, kalau aku mendekatinya dan bertanya, Kau dapat nilai berapa? Kita mungkin bisa berteman. Aku juga harus meminta maaf karena sempat melihat celana dalamnya tadi. Kata orang, adalah hal yang cukup memalukan bagi para gadis ketika ada anak lelaki yang melihat celana dalam mereka. Yah, setidaknya itulah yang ada di dalam game.

Dengan segala hal yang ingin diperbincangkan, aku bisa memilih waktu yang tepat untuk berbicara dengannya. Aku hanya berharap rumor buruk itu tidak semakin tersebar karena kesialanku hari ini.

"Ah... ooh... oh... mataku..."

Dengan tiba-tiba, Takanashi mulai menekan mata kanannya seolah kesakitan. Ia lalu terkapar di mejanya.

"Ah... ooo... ooo... itu... itu..."

Tiba-tiba pikiranku kembali jernih dan tubuhku mulai bergerak dengan sendirinya. Aku bergegas ke arah mejanya dan bertanya, "Kau... baik-baik saja?" Tak ada tanggapan.

Kita pasti mengira seisi kelas akan memperbincangkan tentang yang kini sedang terjadi, nyatanya, kali ini semua orang sudah dalam keadaan terkejut dan tertegun karena kejadian ini. Tak satu pun suara yang bisa terdengar. Khawatirkah mereka akan jatuhnya diriku juga erangan Takanashi tadi? Pedulikah mereka terhadap keadaan gadis itu? Apa keterkejutan itu membuat mereka sampai terdiam? Ataukah mereka itu orang-orang yang kejam? Apa Takanashi memang tak memiliki teman dekat? Aku sama sekali tak tahu.

Namun karena beberapa alasan, tak seorang pun mengucapkan sesuatu pada gadis itu. Bisa kurasakan rasa tak suka yang menyebar di sekelilingku. Bukankah ini aneh? Bukankah seharusnya kita cemas kalau ada teman sekelas yang sedang kesakitan?

Sialan.

"Bu Tsukumo, saya izin mau mengantarkan ia ke ruang UKS!"

Sambil berucap, "Maaf, ya." Aku memapah Takanashi dan merangkulkan tangannya melingkari bahuku.

"Ayo pergi."

"Oooh."

Kembali ia menekan mata kanannya itu dengan tangan kanannya, lalu kami pun beranjak pergi.

"Ah... maaf, ya. Apa kau baik-baik saja? Kau sudah membuat kami semua ketakutan tadi. Baiklah, kami serahkan semuanya padamu, ya, Togashi!" Nana-chan sendiri terdengar sangat terkejut. Beliau mengamati sosok kami berdua yang berjalan keluar. Sedangkan bagi para penghuni kelas lainnya, aku tak tak tahu dan tak mengerti apa yang mereka pikirkan.

Sepuluh menit setelah dimulainya jam pelajaran, Takanashi beserta diriku pergi meninggalkan ruang kelas.

Dalam perjalanan menuju ruang UKS, sewaktu menuruni tangga di antara lantai tiga dan empat, Takanashi tiba-tiba menjerit, "Ahhh... mataku... mataku saling beresonansi...!" Yang kemudian ambruk di bahuku.

Setelah ia jatuh, kuputar tubuhnya dengan tangan kiriku agar bisa menyangganya. Atau lebih tepatnya, tangan kiriku justru menyangga area empuk milik Takanashi. Satu kali saja sudah membuat syok, tapi ini sudah kedua kalinya dalam satu hari. Sebut saja aku beruntung atau egois, namun ia tak bereaksi apa-apa terhadap tangan kiriku ketika kugeser posisi badannya.

Sebenarnya, tidaklah normal jika aku memapah dirinya dalam situasi begini. Apa aku sedang menjalani sebuah situasi layaknya tokoh dalam serial yang ada unsur kacamatanya itu? Tidak, tidak, tidak, itu cuma sekadar khayalan.

"Apa, apa kau tak apa-apa? Bagaimana keadaan penutup matamu?"

"Ooh... kau, apa kau... sesuatu yang sama denganku...?"

Kalau ia berbicara seperti itu, maka aku pasti menyangkalnya. Sepertinya ia termasuk gadis yang dulunya tak sempat diimunisasi dan kini berbicara dalam frasa yang tak beraturan.

"Ah, eh, mungkin saja begitu."

Wah, aku pun kaget dengan tanggapanku sendiri. Aku menjawab setuju, atau bisa dikatakan, kalau aku memang sama dengannya. Entah bagaimana, rasanya Takanashi paham akan jawabanku dan dengan santainya ia memindahkan posisi tanganku.

"Ya... pastinya begitu. Kau... aku sudah dengan sabar menantimu... sudah kuhabiskan bertahun-tahun melakukan pencarian, namun kini aku menemukanmu di sini."

Yang dimaksudnya itu aku?

Eh, apa?

Menanti... menanti. Aku tahu kata itu. Aku tahu benar arti kata itu. Biasanya aku berusaha menggabungkan kalimat ini ke dalam berbagai pembicaraan atau berusaha bertindak layaknya pemimpin dengan bicara seperti ini... tunggu... jangan-jangan...

"Oh, terima kasih sudah menantiku. Omong-omong, matamu baik-baik saja?"

Kucoba mengembalikan arah pembicaraan. Kalau-kalau ia menganggapku orang yang semacam itu...

Sudahlah, jangan berpikir yang bukan-bukan.

"Kau sudah pernah melihatnya?"

Ya ampun. Yang kutanyakan itu keadaan matanya. Bukan itu jawaban yang kuharapkan! Yah, aku memang tak pernah punya kesempatan untuk melihatnya, sih. Memangnya ada yang istimewa mengenai matanya atau ada arti lainnya, ya?

Kecuali jika... memang itu.

Hal itu mulai merasuki pikiranku. Gadis di hadapanku ini hampir pasti seorang pengidap chuunibyou.

Aku memang tak ambil pusing sewaktu mendengar rumornya, tapi kalau melihat orangnya secara langsung... rasanya agak aneh. Sebaiknya apa yang harus dilakukan di situasi begini, ya?

Aku memang tak punya masalah dengan siapa pun yang mengidap penyakit itu, namun harus seperti apa aku bersikap? Rasanya tak masuk akal. Tunggu dulu; seperti inilah yang dirasakan orang-orang di sekitarku sewaktu SMP dulu... ternyata seperti ini rasanya. Yah, bagaimanapun juga, mari kita lihat yang sebaiknya dilakukan pada situasi begini.

"Ah, itu. Memangnya ada apa?"

"Oh."

Dan Takanashi pun membuka penutup matanya, menyingkapkan kulit putih pucat di sekitar matanya. Seberkas cahaya emas, sesuatu yang berbeda dari yang pernah kulihat sebelumnya, mulai bersinar membuatku seakan sedang berada di gerbang sebuah kota emas.

Rupanya itu lensa kontak berwarna. Tunggu sebentar, selagi aku terkejut, itu tampak berbeda sekali dengan pupil hitam yang terlihat di sisi lain wajahnya.

"Luar... biasa."

Apa itu benar-benar lensa kontak? Selagi pikiran tak sopan itu muncul di kepalaku, aku jadi merasa tak pantas jika tiba-tiba bertanya hal demikian. Kurasa seperti inilah pengidap chuunibyou itu, ya 'kan?

"Dengan ini, kontrak kita telah terjalin."

"Apa?!"

"Kini matamu telah bertatapan langsung dengan Mata Kezaliman milikku, syaratnya telah terpenuhi. Kau dan aku kini telah terikat. Maka mulai dari sekarang..."

Ah! Ini mirip seperti saat aku mengidap chuunibyou dulu! Tunggu, Mata Kezaliman?

Aku terkejut soal betapa singkatnya waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan proses kontrak barusan. Dengan kronologis pembicaraan yang kami lakukan tadi, kalimat tersebut cukup membuatku tercengang. Namun bukan itu saja yang hendak ia katakan. Luar biasa. Sepertinya ia bisa menyiapkan latar belakang cerita dalam sekejap. Oh, Takanashi yang hebat, lebih baik kita biarkan saja keadaannya seperti ini dulu.

"Tunggu sebentar..."

Fiuh, kalau saja aku tak segera menarik napas, mungkin aku bakal kambuh lagi. Di kerongkonganku sudah tertahan kalimat, A-apa maksudmu kalau aku sudah terikat kontrak denganmu, berengsek?! Hehe, selama ini makhluk sepertimu sudah sedekat ini denganku. Lalu, apa yang mau kaulakukan? Apa kita perlu menghancurkan dunia? Pastinya itu jadi pilihan yang berbahaya.

Tapi bukan hal baik pula bagiku kalau terus-terusan memikirkan hal itu. Terlepas dari kambuh atau tidaknya diriku, yang pasti kini aku sudah sembuh. Memikirkan kejadian-kejadian itu sudah membuatku merasa ingin mati saja. Aku tak berniat untuk menjalin kontrak itu lagi. Mungkin agak mengecewakan, tapi kupikir ia bisa memperoleh hikmahnya.

"Maaf, tapi aku sudah sembuh dari hal itu."

"Sembuh?"

Aku mulai bisa menguasai diriku kembali. Gas menjijikkan yang ada dalam diriku mulai mengendap.

"Ah, keadaanku dua tahun yang lalu sama persis sepertimu, karena itu aku bisa memahami keadaanmu saat ini. Bisa memiliki orang lain untuk diajak berkumpul bersama dalam situasi rekaanmu memang terdengar menyenangkan. Kakak kelas kita mungkin akan berkata, Hentikan, tapi kurasa itu ada baiknya untukmu."

Kuharap Takanashi mengerti apa yang kubicarakan. Membuat hal rekaan memang menyenangkan. Aku tahu persis bagaimana bahagianya saat menghabiskan waktu untuk merancang dunia baru dan semacamnya, biarpun begitu, aku tak mau lagi jika ada yang jatuh ke jalan yang pernah kulalui dulu.

Hal-hal rekaan itu kian lama menjadi sebuah hal yang mengganggu orang-orang sekitarku. Itulah masalah terbesar dari chuunibyou. Hanya sewaktu aku mampu mengingat kembali berbagai perbuatanku, aku jadi bisa merenungi saat-saat ketika aku akan melakukan hal-hal yang merugikan seperti mengganggu jalannya pelajaran. Sewaktu jam pelajaran berlangsung, aku menjerit, "Jangan masuk! Jangan masuk! Wuaa!" Supaya kami tak jadi mengikuti pelajaran tersebut. Kini aku sudah sadar apa yang telah kulakukan dulu.

Dulu, aku takkan peduli mau orang lain berbuat apa; aku hanya bertindak sesuka hatiku. Dulu aku anak yang cukup bermasalah, 'kan? Aku bisa bilang kalau kita bakal cuek terhadap perasaan semua orang jika dihadapkan pada situasi demikian. Terlepas dari apa yang sudah kuperbuat, aku dulu begitu egois sampai-sampai tak pernah meminta maaf atas segala tindakan yang kulakukan.

Tapi ia punya ciri yang sama denganku. Mata iblis yang sama dengan ciri khas chuunibyou. Ia begitu mirip dengan diriku yang dulu. Tak heran kalau ia bakal memerhatikanku dan berpikir kalau aku sama seperti dirinya. Aku pun sempat berpikir kalau perbannya itu tak terasa asing bagiku.

Entah kenapa aku tak merasa kalau ia adalah tipe yang mengganggu semua orang ketika pelajaran berlangsung. Mungkin suatu hari nanti hal itu bakal terjadi, walau aku sendiri meragukannya. Itu memang hanya sekadar prasangka, tapi aku punya firasat kalau suatu hari nanti Takanashi akan kembali mengingatnya sambil menyesali segala hal yang telah ia lakukan dulu, sama sepertiku. Waktu itu terasa cepat sekali berlalu. Tak perlu ia sia-siakan masa SMA-nya yang berharga dan menjadikannya ingatan yang tak ingin ia kenang.

Sebagai mantan pengidap chuunibyou, aku tak tahu sudah berapa banyak orang yang sudah kubuat terganggu, namun aku menduga kalau ia pun tak tahu banyaknya korban (kecuali aku) yang sudah ia buat kesusahan. Itu sebabnya, aku harus mengatakan ini dalam cara chuunibyou.

"Bagaimana kalau begini, daripada menjalin kontrak denganku, bukankah lebih baik kalau kau mengandalkanku saja?"

Betul, aku tak bisa meninggalkan gadis ini seorang diri. Yah, bukan berarti aku menganggap remeh dirinya atau menjadikan ia layaknya seorang adik kelas. Bagiku, ia lebih mirip saudari se-chuunibyou.

"Tapi proses kontraknya sudah sempurna."

"Jadi, kau benar-benar memaksakannya?"

...ini jadi sedikit menyusahkan. Sampai sejauh mana ia mau memaksakan hal itu?

"Untuk saat ini, ayo ke ruang UKS."

"Aku memang mau membawamu ke sana, tahu!"

Setelah itu, Takanashi pun menegakkan badannya dan mulai menuruni tangga, meninggalkanku di belakang. Yah, bukankah ia begitu sehat?

"Kenapa tak menyusulku? Apa kau sudah kehabisan energi?"

"Yah, begitulah. Kurasa aku akan tidur siang dulu di ruang UKS."

Aku jadi sedikit pusing memikirkannya. Rasanya bagus juga kalau aku tidur siang dulu di sana. Lalu kuikuti bayangan Takanashi dari belakang dan kami pun segera menuju ruang UKS.


— II —


Mundur
Lanjut

0 komentar:

Posting Komentar