Oregairu Jilid 2 Prolog

On Rabu, 21 Januari 2015 0 komentar

==========================================================
Tanya: Loh katanya sudah pensiun...?
Jawab: Pensiun apaan... Ane aja malah balik ngesub...
Tanya: Lah terus kok malah menerjemahkan LN lagi...?
Jawab: Masih dengan alasan yang sama... Buat pelarian...
Tanya: Tapi di Baka-Tsuki kan sudah ada yang menerjemahkan Jilid 2... Buat apa capek-capek menerjemahkannya lagi...?
Jawab: Yah, selera masing-masing orang kan beda... Biar pembaca aja yang menentukan mau baca hasil terjemahan yang mana...
Tanya: Terus hutang-hutang yang dulu kok belum dilunasi...? Contohnya PDF Jilid 1 begitu...
Jawab: Yah, namanya juga ini pelarian... Pelarian dari hutang-hutang yang dulu... Hkhkhkhk... Nanti kalau ada waktu dan keinginan ane lunasi deh...
Selamat Menikmati...
==========================================================


Prolog


Di saat Golden Week berakhir, makin hari, hawa di luar makin terasa panas saja. Begitu pula di saat para murid dengan banyak waktu luangnya membuat heboh hal ini, itu justru membuat hari ini menjadi terasa lebih panas dari yang mereka butuhkan. Mungkin aku ini orang yang bisa bersikap keren dan sok kuat, tapi aku juga orang yang lemah jika menghadapi hawa panas. Maka, dalam pencarianku mencari setitik kesejukan, aku memutar arah ke samudra yang belum terjamah.

Suhu normal tubuh manusia itu sekitar 36°C. Mengacu pada angka itu, jika dibuat berkumpul dengan orang-orang malah lebih seperti berada di tungku pembakaran ketimbang di tengah musim panas. Bahkan orang sepertiku ini juga tak mampu bertahan dalam suhu panas yang punya kelembaban tinggi begini.

Hal yang sama juga berlaku bagi kucing. Mereka akan mengasingkan diri ketika hawa di luar terasa panas. Di luar hasrat kecilku untuk melawan hawa panas ini, sebenarnya aku juga ingin pergi ke sebuah tempat yang tak berpenghuni. Yah, ini bukan seolah aku sudah tak merasa nyaman di kelas ataupun tak merasa cocok akan semuanya — sama sekali bukan begitu.

Ini adalah tindakan naluriah — atau jika mau blakblakan, teman-teman sekelasku yang tak berbuat begini bisa dibilang sudah gagal sebagai makhluk hidup. Mereka berkumpul bersama kawanannya karena mereka lemah. Hanya makhluk lemah saja yang tanpa sadar membentuk kelompok. Para herbivora hidup berkelompok agar mereka bisa mengorbankan salah satu kawanannya jika sedang diserang oleh karnivora. Dan itu tak ada bedanya dengan teman-teman sekelasku. Dengan tampang tak berdosa, mereka asyik mengunyah rumput di saat kawanannya sedang dimangsa.

Begitulah. Hewan kuat takkan berkumpul bersama kawanannya. Kita pun sudah tak asing lagi mendengar istilah serigala penyendiri, 'kan? Kucing itu menggemaskan dan serigala itu keren. Dengan kata lain, penyendiri itu menggemaskan juga keren.

Bersama dengan pikiran-pikiran tak penting yang melayang-layang di kepalaku ini, aku lanjut berjalan. Tujuanku adalah anak tangga menuju atap. Rutenya sudah dipenuhi oleh meja-meja yang berserakan, jadi cuma satu orang saja yang bisa muat melewatinya.

Andai ini hari biasa, pintu atap pasti sudah terkunci rapat. Namun hari ini gemboknya telah terbuka dan bergelantungan di sana. Kurasa ada orang-orang dari kelas lain yang sudah lebih dulu ke atap untuk menyombongkan sekaligus melecehkan diri mereka sendiri — tahu sendirilah, jika sedang membicarakan soal asap, orang-orang bodoh dan hubungannya dengan ketinggian.

Dorongan pertama yang kurasakan di saat seperti ini adalah menumpuk tiga meja dan dua kursi untuk menghalangi jalan mereka. Seperti biasa, kemampuanku dalam mengambil tindakan memang mengesankan. Laki banget. Kyaa! Bercinta denganku, dong.

Kemudian aku tersadar kalau di balik pintu ini terasa begitu sunyi. Aneh. Sejauh yang kutahu, para riajuu, baik anak lelaki maupun perempuan benci dengan keheningan. Hal sama juga berlaku bagi hewan yang takut dengan api. Mereka menganggap keheningan sama dengan hal yang membosankan, jadi agar bisa meyakinkan diri mereka jika mereka bukanlah orang-orang yang membosankan, mereka mengobrol, mengoceh dan melantur sesukanya. Di sisi lain, ketika mereka membicarakanku, mereka justru tenggelam dalam kebosanan dan membawa diriku dalam keheningan. Aku bertanya-tanya sebenarnya apa maksud di balik keheningan itu .... Tidak, bukan seperti itu — lebih baik diam saja.

Dilihat dari keheningan ini, tampak seakan tak ada satu pun riajuu yang berada di atap. Apa mungkin memang tak ada siapa-siapa di sana?

Jika sedang sendirian, kita bisa jadi bersemangat — itulah arti dari menjadi seorang penyendiri. Seperti itulah diriku. Bukan berarti kita menjadi orang yang malu-malu terhadap orang sekitar atau semacamnya — itu hanyalah kepedulian terhadap sesama atau desakan untuk tak menghalangi mereka saja.

Kubongkar barikade yang baru saja kubangun tadi dan meletakkan tanganku pada pintu. Ini ketegangan yang sama kurasakan ketika pertama kali memasuki kedai mi di stasiun sewaktu jalan-jalan dulu. Jantungku pun berdebar-debar sewaktu meninggalkan Chiba dan pergi menelusuri toko buku di Yotsukaido untuk membeli majalah dewasa. Begitulah. Karena aku seorang penyendiri, maka aku bisa mendapatkan pengalaman selangka ini.

Pemandangan langit biru yang luas dan cakrawala yang tanpa batas sudah menunggu dari balik pintu. Atap gedung sekolah ini sudah berubah menjadi atap rumah pribadi di depanku. Para orang kaya menginginkan mempunyai jet pribadi juga pantai pribadi dan sebagainya. Para penyendiri yang mempunyai waktu pribadi bagi diri mereka sendiri pun adalah pemenang dalam kehidupan. Dan itu berarti, para penyendiri sebenarnya juga punya status tersendiri.

Langit terlihat begitu membentang dan cerah, seolah berkata padaku kalau suatu hari aku akan memiliki kebebasan di dunia yang mengekang ini, Jika boleh kugambarkan layaknya mahakarya sepanjang masa, ini seperti yang ada di film Shawshank Redemption. Yah ..., aku memang belum pernah menontonnya, sih, tapi dari judul saja sudah ketahuan kalau itu film yang bagus.

Menatap jauh langit berkabut ini dan menatap masa depan sudah hampir sama bagiku. Jadi ini memang tempat yang wajar untuk mengisi Formulir Survei Tur Lapangan Kerja Prospektif yang sedang kupegang. Kunjungan ke tempat kerja bisa membuatku tertekan layaknya jadwal ujian yang sudah ditetapkan. Pada lembar kertas tersebut, dengan hati-hati kususun daftar karier yang kurasa menjanjikan serta tempat kerja yang kira-kira bisa untukku beradaptasi, bersama dengan alasan yang membuatku memilihnya. Aku sudah benar-benar yakin akan rencana masa depan yang telah kutanamkan dalam diri ini, karena itu tanganku tak pernah lepas dari lembaran ini. Tak sampai makan waktu dua menit untuk mengisi penuh formulirnya.

... akan tetapi—

Angin berhembus. Itu adalah angin yang di dalamnya terdapat sebuah tujuan, angin yang memberi pertanda akan sebuah pertemuan penting sepulang sekolah. Selembar kertas yang telah kutulisi dengan impianku itu pun terbang menuju masa depan, seolah-olah kertas itu dilipat menjadi pesawat terbang.

Mungkin penjelasanku tadi terlalu berlebihan, tapi aku memang sedang membahas soal kertas yang baru saja kutulisi sebelumnya. Dasar, Angin sialan!

Seakan sedang menggodaku, kertas tersebut melayang ke sana kemari sebelum sampai ke lantai, lalu sekali lagi terhempas ke atas sewaktu kukira telah bisa kuambil.

... yah, terserahlah. Biar kutulis ulang lagi di formulir baru. Soalnya moto favoritku itu, jika tak berhasil saat mencobanya, ya menyerah saja, makanya aku tak begitu kesal. Mumpung masih membahas itu, kita bisa menambahkan kalimat, menyerah saja kalau situasinya tambah sulit.

Sambil mengangkat bahu, aku pun beranjak pergi — dan begitulah saat hal itu terjadi.

"Ini punyamu?"

Kudengar sebuah suara. Aku mulai mencari-cari sang pemilik suara yang sedikit serak dan agak lemah itu di sekelilingku, namun rupanya tak ada siapa-siapa. Kesendirian adalah hal wajar bagiku, tapi bukan seperti ini juga — aku tak menemukan adanya tanda-tanda penghuni lain di atap ini.

"Kau lihat ke mana?" kudengar suara tawa mengejek dari atasku.

Jika itu memang dari atasku, maka aku yakin dari mana asalnya. Yaitu dari tempat yang posisinya lebih menonjol ke atas lagit, lebih tinggi dari atap itu sendiri — sebuah tangga yang digunakan untuk mencapai tandon penyimpanan air.

Si pemilik suara itu bersandar pada tandon penyimpanan air tersebut sambil menundukkan pandangannya ke arahku. Sembari memainkan pemantik murahan seratus yen itu dengan tangannya, mata kami saling beradu tatap. Lalu dengan sembunyi-sembunyi ia menyelipkan pemantik itu ke saku seragamnya.

Rambut panjangnya yang hitam terjuntai jatuh di sekitar punggungnya; pita seragamnya sudah lepas dari simpulnya, memperlihatkan lekuk payudaranya; bagian tambahan dari manset bajunya sudah ia longgarkan; kakinya yang jenjang dan ramping tampak seolah memang dipergunakan untuk menendang. Namun kesan yang ia perlihatkan padaku adalah tatapan tanpa hasrat yang memandang hampa ke kejauhan. Kantong mata yang terlihat jelas di bawah matanya itu kian mempertegas tampang lelahnya.



"Ini punyamu?" perempuan itu bertanya dengan nada yang sama seperti sebelumnya.

Aku tak tahu berapa umur perempuan itu, jadi daripada buang waktu, aku diam saja dan membalasnya dengan anggukan. Yah, aku harus bersikap sopan kalau-kalau ia ternyata kakak kelasku. Tapi jika ternyata bukan, maka bisa bikin malu sendiri. Kekuatan sejati adalah dengan tidak membuka kartu terlebih dahulu.

"... tunggu sebentar," gumamnya sambil berpegangan pada tangga lalu menuruninya dengan cepat.

... akan tetapi—

Angin berhembus. Itu adalah angin kencang yang menghempaskan ketidaksadaran, angin yang menentukan nasib seseorang. Angin surgawi yang telah mempersilakanku untuk melihat sepotong kain yang berisi mimpi-mimpiku, dan seolah merekam dengan sendirinya ke dalam ingatan yang kekal.

Mungkin penjelasanku tadi terlalu berlebihan, tapi aku memang melihat celana dalamnya tadi. Kerja bagus. Angin memang nomor satu!

Perempuan itu melepaskan pegangannya saat sudah setengah turun, mendaratkan kakinya dengan pelan, lalu menyerahkan lembarannya padaku — tapi ia sempat sekilas melihat lembarannya terlebih dahulu.

"... kau ini bodoh, ya?" tanyanya ketus sambil melemparkan lembaran itu padaku.

Selagi aku cepat-cepat menangkapnya, ia tak membuang waktunya untuk berbalik dan lenyap masuk ke dalam gedung sekolah tanpa sesekali pun menengok. Aku ditinggalkan sendiri tanpa sempat mengucapkan, Terima kasih, atau, Apa maksudmu menyebutku bodoh tadi? ataupun, Maaf sudah melihat celana dalammu.

Kupegang dengan sebelah tangan lembaran yang sudah ia pungut untukku tadi sambil menggaruk kepalaku dengan tangan satunya lagi. Di saat bersamaan, bel penanda berakhirnya jam istirahat berbunyi dari pengeras suara yang ada di atap. Dengan suara bel tersebut sebagai penanda, aku pun berbalik dan melangkahkan kaki ke pintu.

"Renda hitam, toh ...." gumamku sambil menghela napas dengan diselingi oleh rasa puas sekaligus rasa cemas yang mendalam.

Aku bertanya-tanya apa angin laut di musim panas ini akan membawa ucapanku tadi ke seluruh penjuru dunia.




0 komentar:

Posting Komentar