SPS Jilid 1 Bab 11

On Selasa, 08 November 2016 0 komentar

=========================================================
Ketemu lagi... Maksudnya, proyek kerja sama lagi... Kali ini dengan sebuah fantranslation baru, tapi ane lihat potensinya cukup besar, Hanami Translation...
Silakan berkunjung ke sana... Banyak seri-seri bagus bertemakan romansa disajikan di sana...
Seperti biasa, seri yang dikerjakan bareng ini, bisa agan sekalian nikmati lebih awal satu hari di Hanami Translation...
Selamat menikmati....
=========================================================


Bab 11 - Padang Pasir, Jantung, Kashmir


Tiga hari kemudian, di malam hari, Chiaki membawa partitur ke rumahku. 

"Kenapa belakangan ini kamu tidak ke atap? Hari ini pun kamu langsung ke rumah sepulang sekolah! Senpai jadi cemas, tahu?!" 

Seperti biasa, Chiaki yang masih memakai seragam sekolah memanjat pohon di pekarangan lalu masuk lewat jendela kamarku. Ia mengatakan itu sambil mengayunkan setumpuk partitur di tangannya. 

"Hmm ...." 

Aku memutar-mutar kabel headphone-ku dan lirih menjawab, 

"Entah kenapa, rasanya aku tidak begitu bersemangat akhir-akhir ini." 

"Untuk seseorang yang tidak punya motivasi seperti dirimu, kamu tidak pantas mengatakan itu." 

Aku jadi lebih tertekan. Aku naik ke kasurku lalu menarik selimut sampai ke kepalaku. 

"Iya, aku yang salah." 

Chiaki duduk di dekat bantal dan menarik selimut dari wajahku. Ia kemudian bertanya, 

"Apa Ebisawa-san mengatakan sesuatu lagi padamu?" 

Aku tidak menjawab, dan justru menutupi wajahku dengan bantal. Sejak hari di mana aku pergi untuk meminta maaf kepada Mafuyu, aku belum pernah menyentuh basku lagi. Pikiranku benar-benar kacau. 

"Hei, apa jangan-jangan kamu mau berhenti?" 

"... bisa jadi." 

Aku sudah mempersiapkan diri untuk menahan pukulan ataupun pitingan segitiga dari Chiaki, namun ternyata, ia menatap langit-langit dan tidak berkata apa-apa untuk waktu yang lama.

"... padahal kupikir kalau kita akhirnya bisa membentuk sebuah band." 

Kudengar ia menggumamkan sesuatu. Untuk sesaat, aku merasa sudah terlalu banyak memikirkan hal ini. Saat kuangkat kepalaku untuk melihat wajah Chiaki, ia menyodorkan lembaran partitur padaku. 

"Senpai menghabiskan begitu banyak usaha untuk menggubah komposisi Beethoven agar menjadi partitur untuk bas, semuanya itu demi dirimu!" 

Dengan malas kutatap rangkaian not balok yang menari di dalam lima baris paranada. 

"Tidak, tidak bisa. Aku tidak mungkin bisa memainkan komposisi ini." 

"Itu karena kamu belum mencobanya, 'kan?" 

Chiaki benar, jadi aku membaringkan tubuhku ke kasur lalu menyembunyikan diriku dari balik selimut. Tiba-tiba, Chiaki menekan seluruh berat tubuhnya ke bagian sekitar pinggangku dan mulai berlatih drum di punggungku. Seperempat ketuk, seperdelapan ketuk, sepertiga ketuk, seperenam belas ketuk .... Ia menggunakan stik drumnya dengan akurat untuk memukul punggungku sesuai irama ketukan. 

"Chiaki, sakit tahu?!" 

"Aku tahu." 

Apa maksudnya, Aku tahu, itu?! Jawaban macam apa itu! Ia terus memukul-mukul punggungku sambil tetap mempertahankan tempo. Tidak lama kemudian, pikiranku menjadi lemah. 

"Semua orang merasa sakit jika mereka terpukul tepat di hati mereka." 

Aku tidak tahu apa yang ia bicarakan. Namun, aku mulai membayangkan rasa sakit di hatiku ketika dipukul seperti drum. Ini mungkin cukup menyakitkan untuk membuat mayat melompat keluar dari kuburan mereka. 

Aku tidak tahu apakah Chiaki semakin menjiwai permainan drumnya, tapi ia perlahan-lahan mulai memainkan tempo seperdelapan. Entah bagaimana, rasanya seperti kepalaku adalah simbal dan tangan kananku adalah floor tom. Tunggu, berhenti — Chiaki-sama, rasanya sakit! Tidak lama kemudian, komposisi tiba-tiba memasuki bagian refrein. Dengan ringannya ia mulai masuk ke irama seperenam belas pada bahu kiriku yang dianggapnya sebagai pengganti snare

"Chiaki, tunggu, itu sakit! Aku bilang sakit!" 

Aku terus menggeliat di bawah selimut, tapi lawanku adalah mantan sabuk hitam Judo — ia tahu persis di mana ia harus menerapkan kekuatan untuk membuatku tidak mampu bergerak. Pada akhirnya, aku harus menunggu sampai ia selesai bermain untuk satu komposisi penuh sebelum diriku dibebaskan dari tindihan bokongnya. 

"Apa kamu tahu lagu yang kumainkan barusan?" 

Chiaki bertanya padaku setelah aku berhasil melarikan diri dari balik selimut. Senyum nakal muncul di wajahnya. 

"<Jenggot dan Boyne> dari Unicorn, 'kan?" 

"Oh, kamu cukup jeli." 

Meskipun kasus seperti ini jarang terjadi, sama halnya dengan <Stand by Me> yang bisa langsung dikenali hanya dengan barisan melodi bas, beberapa lagu dapat dikenali langsung hanya dengan mendengarkan suara drumnya saja. Sebenarnya, keajaiban ini mungkin dapat terjadi murni karena Chiaki dan aku tumbuh dengan mendengarkan musik yang sama sejak TK, sebelum band Unicorn dibubarkan. 

"Sayang sekali, jawabannya adalah <Kepolosan Asia>." 

"Jadi kamu hanya bermain-main denganku?!" Mengira bahwa hal itu sebagai sebuah keajaiban — bukankah itu membuatku terasa seperti orang bodoh? 

"Tidak, kok. Kita masih harus melakukan yang terbaik, bahkan jika hidup itu membosankan! Aku akan mendukungmu, meskipun hanya sedikit." 

Sambil mengatakan itu, ia meraih sepatu yang diletakkannya di atas mejaku lalu melompat keluar dari jendela .... Kenapa tidak keluar lewat pintu utama saja? 

Aku sendirian lagi. Aku duduk di tempat tidur dan mengambil partitur yang ditinggalkan Chiaki. Temanya begitu sederhana dan temponya juga cukup lambat — kupikir, mungkin aku bisa langsung memainkannya. Sampai titik di mana suara-suara kedua, ketiga dan keempat perlahan berkejaran, tidak ada perubahan dalam kesulitan untuk bagian yang harus kumainkan. Meski begitu, variasi sebelumnya jauh lebih rumit, dan untuk fugue, aku benar-benar harus memainkan melodi yang sama sulitnya seperti melodi yang dimainkan Mafuyu hingga akhir lagu. Biar bagaimanapun, itu benar-benar mustahil! Kulempar partitur itu ke samping lalu berbaring dan menatap langit-langit sejenak. Punggungku masih sedikit sakit karena permainan drum Chiaki tadi. 

Hal-hal seperti betapa sulitnya komposisi itu, atau diriku yang tidak punya motivasi sama sekali — itu semua hanya alasan. Aku tahu sekali soal itu. Itu sebabnya, Chiaki mungkin juga sudah tahu tentang hal tersebut. Aku hanya malu akan diriku sendiri. Aku sama sekali tidak mengerti tentang keadaan di sekitar Mafuyu, tapi aku malah dengan antusias menantangnya bertanding. Untuk mendapatkan kembali ruang kelas sehingga aku bisa menghabiskan waktu sepulang sekolah — hanya untuk sesuatu yang bodoh itu? Bodoh sekali aku ini. Tapi itu justru menjadi alasan bahwa aku tidak bisa menyerah di titik ini, kalau tidak, aku akan menjadi orang yang lebih bodoh lagi. 

Bergegas kuraih partitur dan pergi ke ruang tamu untuk mengambil basku dari sarungnya. 

Sewaktu aku sedang menyetem basku, sebuah senar tiba-tiba putus. Seakan ingin memberitahuku bahwa aku tidak mungkin bisa melakukannya. 

Aku lalu berbaring di sofa dan berencana untuk tidur, tapi bagian punggungku yang Chiaki pukul dengan stik drum mulai sakit kembali. Karena itu, kujejalkan partitur tadi ke dalam sarung bas, menentengnya ke punggungku lalu berjalan keluar melalui pintu utama.


Langit sudah mulai gelap ketika aku sampai di Toko Musik Nagashima. Melalui sebuah celah selebar pensil, bisa kulihat segala macam gitar yang dipajang di toko; gitar-gitar itu bersinar di bawah lampu sorot. Entah bagaimana, adegan itu terasa begitu nostalgia hingga hampir membuat mataku berkaca-kaca. Aku hanya sekali mengunjungi toko ini, lalu kenapa aku sampai merasa seperti itu? 

Karena tidak ada pengunjung yang datang, Kagurazaka-senpai terlihat sedang menjaga toko seorang diri. Ia berada di seberang meja kasir. Dengan menggunakan sepotong kain kuning, dengan hati-hati dan lembut ia membersihkan setang gitar yang semua senarnya telah dilepas. 

"Shounen, dari tadi aku membayangkan kalau ini sudah waktunya bagimu untuk datang! Aku benar-benar bahagia, kamu tahu?" 

Setelah melihatku, ia pun meletakkan gitar dan berdiri. 

"Kamu kemari untuk membeli senar basmu, 'kan?" 

Aku melompat kaget dan menganggukkan kepala dengan linglung. Bagaimana senpai bisa tahu? 

"Ada satu hal yang ingin kumintakan maaf padamu."

Ketika senpai mengatakan itu, ia mengambil senar bas dari rak dan membawanya ke sisi meja kasir yang terdiri dari banyak kompartemen. 

"... maksudnya?" 

"Sebenarnya aku sudah melakukan sesuatu pada senar ketiga, itu sebabnya senar tersebut jadi lebih mudah putus." 

"Haa?" aku berteriak aneh. "Kenapa Senpai melakukan itu?" 

"Kamu gampang menyerah, 'kan? Aku pikir mungkin kamu akan mengurung diri di rumah jika mulai bosan ketika sudah setengah jalan. Jika senarmu putus saat itu maka .... Lihat, bukankah itu alasan yang sempurna bagimu untuk datang menemuiku?" 

Senpai lalu tersenyum sembari mengambil tiga lembar uang seribu yen dari dompetnya dan menaruhnya di kasir.

"Itu sebabnya, biar aku saja yang membayar senarmu!"

Dibandingkan senar gitar, senar untuk bas harganya sangat mahal, tapi pemilik toko akan siap membantu ketika ingin mengganti senar. Aku terkejut, dan untuk sesaat, aku tidak bisa berbicara. Aku selalu berpikir penyeteman akan membuat senar jadi lebih gampang dipakai, tetapi dalam kenyataannya, apa senar bisa jadi lebih cepat putus? 

"Apa yang akan Senpai lakukan jika aku memutuskan untuk menyerah bermain bas karena senarnya putus?" 

"Berarti tidak ada lagi yang bisa kulakukan. Aku sudah memikirkan hal itu sebelumnya — aku akan menyerah jika itu memang bukan takdirnya. Biarpun begitu, kamu masih bergegas mendatangiku, 'kan?" 

Ucap senpai dengan wajah tersenyum, hingga membuatku tidak berkata-kata lagi. 

"Kamu bawa partiturnya?" 

Aku mengangguk dan mengambil partitur — yang telah dinotasikan sendiri oleh senpai — dari dalam sarung bassku. 

"Jadi, kamu datang kemari bukan untuk mengeluh soal sulitnya partitur ini bagimu, 'kan?" 

"Tidak, itu .... Bukan apa-apa." aku mengalihkan mataku dan berbohong. 

"Sampai mana kamu bisa memainkannya?" 

"... sampai sekitar variasi keempat, tapi aku terhenti di bagian itu. Aku tidak bisa memainkan fugue-nya, bahkan aku berpikir kalau tidak mungkin bagiku untuk bisa melakukannya." 

Senpai dengan cepat selesai menyetem senar bas baru dan mulai memainkan bagian fugue-nya sembari duduk di meja. Aku mendengarkannya dengan perasaan yang campur aduk. 

Musik yang keluar dari gitar Mafuyu terasa bagaikan diiris langsung dari pilar es raksasa. Sebaliknya, permainan Kagurazaka-senpai terasa seperti sinar yang membekukan di musim dingin — musik yang dimainkannya muncul tiba-tiba, dan menembus awan. Terasa benar-benar luar biasa bisa mendengar suara sejelas itu mengalir dengan lancar tanpa kesalahan. 

Setelah selesai dengan pertunjukkannya, senpai mengembalikan bas itu padaku. Untuk sesaat, aku tidak bisa memberanikan diriku menghadap senpai. 

"Ini tidak sesulit itu! Aku juga tidak menggunakan teknik-teknik khusus. Kurangi sampai setengah tempo, dan mainkan setiap nadanya dengan hati-hati." 

"Senpai ...." 

Diam-diam kugumamkan itu selagi kepalaku masih tertunduk. 

"Hmm?" 

"Mengapa tidak Senpai sendiri yang merekrut Mafuyu? Lagi pula, permainan Senpai lebih baik dariku." 

"Bukankah aku sudah memberitahumu? Orang itu harus dirimu." 

Dengan lemah aku menggelengkan kepala. 

"Meski itu aku, aku juga tidak bisa berbicara banyak pada Mafuyu. Dia tidak mau mengatakan apa-apa, dan semua yang kulakukan hanya membuatnya marah saja ...." 

Senpai mengambil dua kursi bundar dari balik meja kasir lalu menempatkannya di lorong yang memajang gitar. Dia kemudian menekan bahuku untuk menyuruhku duduk. 

"Ini bukan sekadar soal itu." 

"... eh?" kutengadahkan kepalaku. Senpai sedikit mengalihkan pandangannya dari wajahku, membiarkan tatapannya perlahan melayang ke atas. 

"Bukan hanya itu. Kamu tahu? Sebelum aku tahu tentang keberadaan Ebisawa Mafuyu, aku sudah lebih dulu tahu tentangmu." 

Berangsur-angsur, aku mulai merasa sulit untuk bernapas. Apa yang sedang dibicarakan senpai ini? 

"Shounen, kamu tidak asing dengan majalah musik Sahabat Musisi, 'kan? Pada edisi bulan Juli, dua tahun lalu, aku membaca sebuah kritik yang dimuat di dalamnya yang bertajuk, Handel dan ayat-ayat di Alkitab. Artikel ini secara kasar menjelaskan tentang komposisi Handel, termasuk hal-hal yang tidak bersangkutan dengan musik, semua bisa ditafsirkan sebagai ayat. Meskipun logika itu agak terlalu mengada-ada, rasanya masih cukup luar biasa. Itu artikel yang cukup menyentuh." 

Aku masih merasa bingung selagi memeluk erat basku dengan tangan. 

Tentu saja aku tahu artikel itu. Soalnya, kritik itu—

"Aku melihat nama penulis artikel tersebut, yakni Hikawa Tetsurou, seorang kritikus yang sangat kukenal. Namun, ada sesuatu yang terasa cukup aneh. Artikel itu ditulis dalam bahasa yang cukup sederhana untuk dibaca bagi seorang murid SMP, dan contoh-contoh di dalamnya harusnya tidak terdapat dalam kurikulum sewaktu Hikawa Tetsurou masih SMP, karena saat ini ia sudah berusia empat puluh tahunan." 

"Ah ...." 

Ternyata .... Ternyata ada seseorang yang memerhatikan sesuatu dengan sedetail itu? 

"Perasaan aneh itu membuatku menaruh kecurigaan pada seluruh artikel. Kukeluarkan majalah-majalah lama dan menelitinya, membaca ulang setiap kritik yang ditulis Hikawa Tetsurou. Entah bagaimana, beberapa artikel terasa menonjol dibanding yang lain, dan semua artikel tersebut membawa perasaan aneh yang sama. Aku juga mencari tahu lewat beberapa ulasan CD dan berhasil menemukan <Finlandia> yang dimainkan oleh Berlin Philharmonic Orchestra di bawah arahan konduktor Karajan pada tahun 1959." 

Aku menelan ludah. Tenggorokanku yang kering terasa sakit. 

"Namun, aku tidak bisa menemukan bukti yang lebih nyata setelah itu, dan aku sama sekali tidak ada mengenal orang-orang dari pihak penerbit. Yang aku tahu adalah bahwa Hikawa Tetsurou memiliki seorang anak. Itu karena, untuk beberapa alasan yang tidak diketahui, ia telah menulis tentang anaknya di beberapa artikelnya, bahkan ia sampai menuliskan nama anaknya. Oleh karena itu, ketika aku melihat namamu pada brosur pengumuman nama-nama murid baru — rasanya kamu pun bisa mengerti betapa terkejutnya aku, 'kan?" 

Dengan senyum ringan di wajahnya, senpai mendorong hidungku dengan jarinya. 

"Kamulah pelakunya." 

"... eng, apa maksudnya dengan pelaku?" 

"Semua dugaanku benar, 'kan?" 

Senpai tiba-tiba mendekatkan wajahnya padaku, dan aku hanya bisa mengangguk. 

Di dunia ini ternyata ada seseorang yang hanya dengan membaca artikel saja, bisa menyimpulkan kalau artikel yang kutulis itu atas nama Tetsurou. 

"Itu sebabnya, sudah sejak lama aku memerhatikanmu, Shounen. Aku butuh seorang sekretaris dalam pasukan revolusiku, dan aku tidak bisa memikirkan orang yang lebih cocok untuk posisi itu selain dirimu. Jadi, aku tidak begitu saja memintamu bergabung sembari aku berusaha merekrut Ebisawa Mafuyu." 

Senpai meletakkan tangannya di bahuku. 

"—aku menginginkanmu." 

Jangan berkata seperti itu padaku saat berada di jarak sedekat ini, apalagi saat hanya berduaan begini. Pikiranku jadi kacau, dan aku tidak bisa berkata apa-apa. Untuk menghindari tatapan senpai, aku memalingkan kepalaku lalu membereskan basku. 

"Biar begitu, orang sepertiku ini ...." 

Aku meyakinkan lagi mengenai masalahku.

"Band ini juga tidak akan mendapatkan apa-apa meski aku bergabung. Aku tidak bisa bermain sebaik Mafuyu, dan mungkin aku tidak akan pernah bisa mengejarnya. Selama ini, aku ... selalu mendengarkan musik sendirian." 

Senpai menyipitkan matanya dan menatapku sejenak. Kemudian ia tiba-tiba mengalihkan pandangannya dan meneriaki belakangku. 

"Rekan Aihara, sudah waktunya menunjukkan diri. Mau bergabung?" 

Dengan terkejut, aku langsung menoleh ke belakang. Chiaki berdiri dalam bayang-bayang beberapa gitar di dekat pintu. Dengan diam-diam, ia memperlihatkan dirinya. Ada ekspresi lembut pada wajahnya. 

"Kamu pasti sudah mengikuti shounen sepanjang perjalanan ke sini, 'kan? Pasukan revolusiku memang bisa diandalkan. Rupanya kamu cukup mahir dalam misi mengendap-endap."

"Aku tidak mengikuti dia," bantah Chiaki dengan amarah sambil menghentakkan kakinya. 

"Senpai, jangan mengatakan hal-hal yang bisa membuat Nao takut!" 

"Wajah cemburumu itu benar-benar menggemaskan!" 

Senpai membelai kepala Chiaki dengan penuh kasih. Aku memandang Chiaki dengan ekspresi tercengang. 

Apa dia benar-benar mengikutiku sepanjang perjalanan kemari? Apakah itu sungguhan? 

Chiaki memelototiku sambil berkata, "Aku hanya kebetulan mampir ke sini untuk melihat-lihat, dan  kebetulan saja Nao sudah ada di dalam, jadi rasanya sungkan kalau aku ikut masuk."

Senpai lalu menghiburnya dengan mengatakan, "Iya, iya. Aku paham," kemudian lanjut bertanya, "Rekan Aihara, apa kamu membawa stik drummu?" 

"... stik drum?" Chiaki memiringkan kepalanya, lalu mengangguk. 

"Hmm. Aku akan membangunkan manajer toko yang tidur di dalam dan meminjam kunci studionya." 

Senpai mengalihkan pandangannya kepadaku, kemudian membentuk pistol dengan tangannya dan berpura-pura melepaskan tembakan ke dadaku. 

"Shounen, biarkan aku membakar gairahmu."


Lantai tiga Toko Musik Nagashima diubah menjadi studio untuk disewakan. Terdapat dua pintu yang tertutup erat sepanjang lorong panjang dan sempit. Setelah membuka pintu di depanku, aku disambut oleh ruang seukuran empat setengah tatami. Sekitar setengah ruangan dipenuhi oleh set drum, dengan dua amplifier gitar yang besar berdiri di setiap sisi. Ada juga mikrofon dan peralatan rekaman, serta bau asap karbon. 

"Secara khusus, aku memperbolehkan kalian masuk, semua berkat keuntungan yang kuterima sebagai karyawan di sini," sambil mengatakan itu, Kagurazaka-senpai mendorongku masuk ke studio. Chiaki juga mengikuti. 

"Wah — sudah lama aku tidak bermain drum sungguhan." 

Chiaki duduk di tengah-tengah set drum dan terlihat cukup senan saat sedang menyetel snare

Kagurazaka-senpai kemudian menghubungkan basku dan gitarnya ke amplifier. Gitar senpai adalah Gibson Les Paul, yang dikabarkan harganya sekitar satu juta yen — meski aku tidak tahu kebenaran kabar itu. Jika memang benar, itu mungkin bagian dari seri lawas Koleksi Bersejarah. Dari warna gitar, seharusnya itu replika dari seri keluaran tahun 60-an? 

Kusandangkan tali selempang bas ke bahuku, kemudian dengan agak ragu memetik senarnya. Kebisingan yang tidak tertahankan itu pun memenuhi studio kecil dan sempit ini. 

Untuk beberapa alasan aneh, aku dituntun ke studio ini oleh senpai, dengan begitu saja .... 

"Tidak perlu memainkan yang sulit-sulit, Shounen. Kamu hanya perlu mengikuti drum dan bermain dalam rentang nada D di irama seperdelapan ketuk, itu saja."

"Haa." 

Chiaki mengangkat tinggi stik drumnya ke udara dan berkata, "Senpai sudah siap?" 

Mereka berdua saling memandang untuk beberapa saat. Seketika suara simbal menghilang, aku dikelilingi oleh musik yang bergerak maju pada alur yang cepat. Chiaki mulai menabuh irama seperdelapan yang bertenaga dengan hi-hat, dan pada drum, dia memadukan irama seperdelapan dengan irama sepertiga. Suara petikan konstan gitar yang semakin tinggi dan melengking terdengar seperti jejak goyah para musafir yang menuju ke laut dengan tongkat di tangannya.

Aku mencoba mengetuk-ngetukkan jariku dengan irama yang dimainkan Chiaki, lalu perlahan mulai memetik bas. Awalnya, aku tidak percaya bahwa nada rendah yang menekan perutku benar-benar datang dari basku. Dengan kakunya, tiga melodi yang berbeda mulai berbaur bersama dan saling mengikat—

Kemudian terdengar suara nyanyian— 

Itu adalah suara Kagurazaka-senpai. 

Suara itu seperti bisikan malam di padang pasir — meski suaranya agak serak, suaranya terdengar sampai ke cakrawala di seberang sana. 

Itu adalah lagu Led Zeppelin yang berjudul <Kashmir>. 

Itu adalah lagu yang sudah berkali-kali kudengar. Lagu ini kudengarkan sewaktu di tempat tidur — di pekatnya tengah malam — berulang kali hingga tak terhitung jumlahnya. Dan sekarang, jari-jariku ini memainkan nada-nada dari lagu tersebut. 

Di bagian lagu tanpa lirik, gitar menjawab dengan frasa musik yang sama. Chiaki mempertahankan irama dan menabuh terus tanpa henti. Kuhapus semua yang sudah senpai katakan padaku dalam benakku. Ketika petikan gitar mulai meliuk dengan gaya musik Arab, aku mulai mencari nada rendah yang tersembunyi di dalam lagu, dan memainkan nada-nada itu dengan ujung jariku.


Aku benar-benar merasa lagu tersebut bisa berlanjut selamanya. 

Itu sebabnya, ketika lagu itu akhirnya berakhir, aku merasa seolah-olah ditinggalkan sendiri di padang pasir yang terasing. Ruangan itu baru saja dipenuhi suara gemuruh, tapi aku tidak mampu lagi menerka apakah itu hanya suara riuh, gema, atau kenangan lagu <Kashmir> yang telah meresap dalam pendengaranku. 

Wajah Chiaki memerah, dan dia menatapku, dahinya penuh akan keringat. Senyum penuh kemenangan muncul di wajahnya. Aku kemudian mengalihkan pandanganku, dan kali ini, sosok anggun Kagurazaka-senpai muncul di depan mataku. 

Aku tidak tahu kenapa — tapi aku tidak sanggup memandang langsung wajahnya. 

"... Shounen, jadi apa pendapatmu soal bas?" 

Perlahan-lahan kutengadahkan kepalaku. Tidak ada senyum di wajah senpai, tapi tatapannya terasa lembut. 

"Jika kita menganggap band sebagai sebuah individu, maka vokalis akan menjadi kepala, dan gitar adalah tangan ...." 

Senpai mengalihkan pandangan dari tangannya dan menatap ke arah Chiaki. 

"Jika drum adalah kaki, maka bagian apa menurutmu yang diwakilkan oleh bas?" 

Aku tidak bisa menjawab teka-teki senpai. Sejak lahir hingga sekarang, aku selalu mengambil peran sebagai seseorang yang hanya menerima sesuatu. 

Senpai akhirnya menunjukkan senyum lembutnya dan dengan cepat berjalan ke arahku. Ia menempelkan telapak tangannya ke dadaku hingga membuatku terhenyak. Tubuhku membeku. 

"Ini, Shounen." 

Saat kami saling berhadapan, senpai menatap langsung ke arah mataku lalu melanjutkan, 

"Jantung. Kamu paham sekarang? Tanpa dirimu, kami tidak akan bisa bergerak." 

Aku tertegun tanpa bisa berkata-kata. Aku menjawab pertanyaannya bukan melalui kata-kata, tetapi melalui detak jantungku sendiri. 

Jika aku menganggap band sebagai sebuah individu

Aku tidak bergerak maju dengan mengikuti jejak mereka. Sebagai seseorang yang pertama kalinya bermain musik bersama orang lain, itu adalah sesuatu yang kuyakini sekarang. Jika aku hanya mendengarkan CD di kamarku seorang diri, mungkin aku tidak akan pernah mengerti hal tersebut. 

Saat itu, aku mungkin memikirkan hal yang sama seperti senpai pikirkan. Kalau saja Mafuyu ada di sini—

Suara gitar itu. Kalau saja suara itu ada di sini—

Kucengkeram setang basku erat-erat. Akhirnya aku pun mengerti — alasanku untuk bermain bas. Bukan sekadar sebuah pembenaran, tapi sebuah alasan yang sebenarnya — sehingga aku bisa menyampaikan gelora membara ini pada Mafuyu.


0 komentar:

Posting Komentar