Sakurasou Bab 2 Bagian 3

On Rabu, 27 September 2017 0 komentar

=========================================================
Ini... Apa di bagian ini memang terlalu banyak mengekpos tubuh para gadis muda...?
Lanjut ke catatan terjemahan...
Kamaboko adalah sejenis pasta ikan dengan tekstur lembut yang sering dianalogikan seperti payudara...
Selamat menikmati...
=========================================================


Bab 2 - Apa yang Harus Kulakukan?

Bagian 3


Sorata sudah resah menanti datangnya Golden Week, namun bukan berarti dia mau pergi bersenang-senang. Dan dia pun tidak pergi mengunjungi keluarganya di Fukuoka. Yang ada dia justru membantu Misaki di bagian perekaman suara, membantu mengurus Mashiro, hingga tanpa dia sadari, hari terakhir liburan pun tiba.

Lima Mei. Hari Anak.

Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

Sorata berbenam di dalam bak air panas, merenungkan betapa sia-sianya keberadaan manusia ini. Dan ketika keluar dari bak mandi, dia melihat ladang kubis di hadapannya. 

Seperti lampu rambu pada landasan terbang, di kedua sisi lorong, berjejer bulatan hijau yang terlihat segar. 

"Aku pasti sudah lelah."

Sorata memejamkan mata sambil menggelengkan kepalanya.

Masih terlalu pagi untuk berhalusinasi.

Namun doanya tidak terjawab, dan ketika Sorata kembali membuka matanya, kubis-kubis itu masih ada di sana.

"Apa kita sedang diserbu alien? Tamat sudah Bumi ini."

Ya, dan rupanya alien itu memilih untuk melancarkan penyerbuan mereka dengan cara yang ternyata membosankan, dengan mengusik Bumi seperti ini.

Mungkin aliennya adalah manusia kubis dari planet kubis.

Tapi setelah memikirkannya lagi, Sorata tahu bahwa tidak peduli seluas apa pun alam semesta ini, hanya ada satu orang yang mampu melakukan hal sekonyol ini.

Jelas pelakunya adalah penghuni aneh Sakurasou, Kamiigusa Misaki.

Dia pernah melakukan hal yang sama tahun lalu.

Halloween. Sorata tidak tahu dari mana Misaki mendapatkannya, tapi dia sudah mendekorasi seluruh Asrama Sakura dengan labu oranye, dan memakai kostum lengkap sampai berhari-hari. Bahkan dia pergi sekolah pun dengan kostum seorang penyihir, yang kemudian kembali berdebat dengan guru BK seperti biasanya.

Natal. Misaki meletakkan sebatang pohon cemara besar di depan pekarangan dan menghiasinya dengan lampu dekorasi. Meski warga di sekitar sini mengeluh, tapi itu sangat populer di mata anak-anak. Pada hari Natal, dia memakai kostum Sinterklas (versi rok mini) dan pergi mengelilingi kota dengan antusias sambil membagikan hadiah baik untuk orang yang dikenal maupun tidak dikenalnya.

Banyak kenangan tidak mengenakkan mulai muncul di benak Sorata.

Entah itu Tahun Baru ataupun Festival Boneka, Festival Budaya ataupun Festival Olahraga, dia tidak peduli soal masalah yang dan ditimbulkannya dan membuat kekacauan seenaknya, membiarkan Sorata agar membereskan semuanya.

"Tapi ... kenapa kubis?"

Sepengetahuan Sorata, Hari Anak itu tidak dirayakan dengan kubis.

Lintasan kubis tersebut mengarah ke kamar Jin.

Sorata mengetuk, tapi tidak ada yang menyahut.

"Aku masuk ya~."

Pintunya tidak dikunci.

Sorata membuka pintunya.

Dia merasa seolah memasuki kerajaan kubis. Ada jauh lebih banyak kubis tersusun di dalam kamar ini ketimbang di lorong, dan aroma sayur-sayuran segar menyerbak ke penciuman Sorata.

Di atas tempat tidur, di atas meja, di atas rak buku .... Bahkan Sorata sedikit pun tidak bisa melihat di nuansa hitam elegan yang biasanya terasa di dalam kamar Jin. Seluruh tempat itu telah dikuasai oleh serbuan kubis, dan Kerajaan Jin telah runtuh.

"Sulit dipercaya."

Dan si pelaku yang membangun surga hijau ini tidak terlihat sama sekali.

Yang ada di sana cuma sebuah kotak kayu besar di atas tempat tidur.

Saat Sorata mendekati kotak itu, dia mendengar suara napas seseorang.

Dia bahkan tidak perlu mengecek siapa itu.

"Kak Misaki .... Kamu sedang apa di kamar orang lain?"

"Seharusnya aku yang menanyakan itu. Sedang apa kamu di kamarku?"

Sambil menahan teriakannya dan bergegas menoleh ke belakang, Sorata melihat Jin berdiri di pintu masuk dengan ekspresi kebingungan pada wajahnya.

"Bukan aku."

"Aku tahu .... Misaki, 'kan?"

Jin menepukkan tangannya ke wajah, lalu berdesah panjang.

"Aku khawatir kalau ini akan terjadi. Aku pun penasaran apa dia akan melakukannya lagi tahun ini ..., dan ternyata aku benar."

"Apa dalam Hari Anak ada yang merayakannya dengan kubis ...?"

"Alam semesta itu luas. Mungkin di planet lain itu ada."

Sembari menanggapi Sorata, Jin memasuki kamarnya.

"Katamu tadi dia juga melakukan ini tahun lalu?"

"Dulu ..., sesampainya aku ke kamar, Misaki sudah menungguku di dalam sambil berlumuran krim segar."

Wajahnya tampak menderita hanya karena mengingat kenangan tersebut.

"... aku turut berduka."

Jin mendekat ke samping Sorata, dan menundukkan pandangannya ke kotak di atas tempat tidur. 

"Apa hari ini ulang tahun Kak Jin?"

"Sayangnya, iya."

"Yah, mohon bersabar. Tapi kenapa kubis?"

"Mungkin dia hanya berpikir kalau yang serba hijau begini itu cantik. Memangnya aku bisa tahu yang dipikirkan gadis itu, hah?"

"Tapi kamu sudah mengenalnya sedari kecil."

Jin terlihat ingin mengatakan sesuatu, tapi dia menahan dirinya dengan senyum getir.

Baik tatapan Sorata maupun Jin tanpa sadar tertuju ke kotak tersebut.

"Hmm .... Sebaiknya aku pergi dulu."

Sorata mulai meninggalkan kamar, tapi Jin meletakkan tangannya ke bahu Sorata.

"Bukankah sebaiknya kamu membantu senior yang selalu membantumu ini?"

"Dia tidak begitu membantuku!"

"Tidak, tidak, dia banyak membantu. Dia membelikanmu makan siang, 'kan?"

"Itu cuma sekali! Lepaskan aku!"

Cengkraman Jin semakin kuat hingga hampir membuat sakit bahu Sorata.

"Lelaki macam apa kamu?! Tega-teganya meninggalkan seseorang yang sedang dalam bahaya!" 

"Kamu sendiri juga sama! Lelaki macam apa yang tega menyeret orang lain di situasi seperti ini?! Bukan berarti kotak itu mungkin akan meledak! Jadi itu tidak masalah!"

"Barusan kamu bilang, mungkin!"

"Oke, baiklah. Kamu pasti baik-baik saja! Setidaknya secara fisik, kamu pasti baik-baik saja!"

"Apa-apaan maksudmu itu?! Maksudmu aku tidak akan baik-baik saja secara mental, begitu?!"

Mereka berdua kurang lebih bisa membayangkan isi dari kotak itu. Baik Sorata maupun Jin. Dan karena itulah tidak ada di antara mereka berdua yang mau membukanya.

"Itu hadiah ulang tahun, jadi seharusnya kamu menerima dengan senang hati. Lebih tepatnya, terimalah dengan jantan!"

"Ternyata seperti ini sifatmu, Sorata. Kamu mau menolong kucing-kucing dan mengurus Mashiro, tapi kalau itu berhubungan denganku, kamu tidak peduli. Aku jadi sedih. Padahal aku percaya padamu."

"Alarm tanda bahaya sedang berbunyi di dalam otakku! Instingku berteriak kalau ada sesuatu di dalam kotak itu yang sama sekali tidak boleh kulihat! Hati kecilku sedang menjerit padaku!"

"Aku paham. Kalau begitu, tidak ada pilihan lain. Lebih baik begini saja."

"Kamu mau apa?"

Jin melepaskan cengkramannya pada bahu Sorata, dan Sorata pun berhenti mencoba melarikan diri. Persis setelah itu, dengan penuh tenaga, Jin membuka kotak itu lebar-lebar.

"Wuaah! Apa yang kamu lakukan?!"

"Haha, salah sendiri mau jatuh ke dalam perangkap."

"Memangnya kamu ini penjahat, apa?!"

Meski dia tidak ingin melihatnya, Sorata tanpa sadar memalingkan pandangannya ke isi kotak tersebut. Hal yang wajar bagi seorang manusia untuk melakukannya.

Misaki berada di dalam kotak itu. Untuk sesaat, fokus Sorata sepenuhnya terpusat padanya, dan seketika dia mulai panik, Jin langsung menyelimuti Misaki dengan handuk, dan membuatnya hilang dari pandangan.

"Sorata, jangan lihat."

Meski itu hanya sesaat, pemandangan yang Sorata lihat sudah terekam melalui matanya.

Misaki berdiam di dalam sana, tertidur nyaman dengan sebuah kubis pada lengannya, tanpa ditutupi apa pun selain pita-pita merah yang mengelilingi tubuhnya. Dadanya yang hampir meluap itu bisa terlihat .... Bokongnya yang hampir menyeruak .... Proposi tidak biasa, yang hampir seperti mukjizat. Terlebih, bibirnya dibaluri lipstik mengilap, membuatnya tampak semakin seksi.

"Hmm~ ... ah, apa kita memenangkan perang galaksi ...?"

Sambil menggumamkan sesuatu yang aneh, Misaki akhirnya membuka matanya.

Sorata mengintip untuk melihat ada apa di ujung handuk tersebut, dan dia melihat kalau Misaki telah menyadari keberadaan Jin dengan lirikan curiga pada matanya.

"Jin, selamat ulang tahun~!"

Seperti predator yang baru saja menemukan mangsanya, Misaki melompat keluar dari kotaknya. Jin pun mampu menghindari terjangan tersebut dengan tepat waktu.

Kekuatan lompatannya membuat Misaki menghantam tumpukan besar kubis dengan kepala di depan.

Tapi layaknya burung phoenix, dia segera hidup kembali.

"Jin, selamat ulang tahun~!"

Jin menarik seprai dari tempat tidur lalu menutupinya ke tubuh Misaki sewaktu gadis itu menerjang dirinya lagi.

"Itu sungguh tidak pantas! Hentikan !"

"Wah, Jin malu-malu. Padahal aku sudah berusaha keras melakukan semua ini untuk mengucapkan selamat ulang tahun padamu, tapi kenapa kamu tidak terlihat senang?!"

"Tolonglah, ucapkan saja selamat ulang tahun layaknya manusia normal!"

"Hmm ..., baiklah, aku akan bersikap apa adanya."

Sorata melihat kesempatan dalam percakapan itu untuk menyela.

Dia benar-benar harus kembali ke Bumi.

Kalau dia tinggal lebih lama lagi di dunia kubis, dia mungkin bisa gila.

"Hei, tunggu dulu! Jangan lari, Sorata!"

"Kamu sudah bisa mengatasinya!"

"Kita masih punya banyak kubis di sini, makanya tidak ada pilihan lagi selain membuat para penghuni di sini agar memakan sayur-sayuran yang segar ini. Jadi jangan lari dan bantu aku!"

"Aku tidak termasuk di dalamnya. Sampai jumpa!"

Tepat di saat itu, Mashiro datang.

"Sorata."

"Oh, ada apa?"

Mashiro yang baru selesai mandi berdiri di depan Sorata, dengan rambutnya yang masih basah, menyebarkan aroma manis. Dia masih mengenakan piyamanya, namun kali ini dia kenakan celana dalamnya dengan benar, tanda bahwa latihan harian Sorata akhirnya membuahkan hasil.

"Bisa membantuku?"

"Tentu. Baiklah, ayo kita pergi!"

Melepaskan diri Jin, Sorata segera meninggalkan kamar tersebut.

"Ah, tunggu! Itu sama sekali tidak keren!"

"Kuharap kalian yang berteman lama ini bisa akur. Kudoakan yang terbaik buat kalian!"

"Wuah, Misaki, jangan tarik itu! Pakai bajumu dulu, kampret! Bagaimana kalau misalnya itu jatuh?!"

"Ini hadiah untuk Jin, jadi aku akan sedih kalau kamu tidak menerimanya~!"

Jin tampak hendak mengatakan sesuatu, namun Sorata sudah berada di luar dan menutup pintunya.

Dia sedikit berdoa untuk mereka.

Senang karena telah keluar dari situasi berbahaya tersebut, Sorata dengan riang mengikuti Mashiro menaiki tangga.

********

Berpikir kalau dia sudah selamat, Sorata memasuki kamar Mashiro, hingga ....

"Lepaskan bajumu."

Ucap Mashiro dengan wajah datar pada Sorata, dan sesaat Sorata terdiam tanpa kata.

Kali ini, dia hanya bisa berkedip.

"Lepaskan bajumu."

Sayangnya, Sorata tidak salah dengar.

Mencoba menenangkan dirinya, pandangan Sorata menelusuri seluruh kamar itu. Seperti biasa, pakaian, celana dalam, dan naskah Mashiro berhamburan di lantai.

Entah di lantai satu ataupun di lantai dua, tampaknya hanya ada neraka yang menantinya.

"Oke, boleh kutanya alasannya?"

"Aku ingin melihatmu telanjang."

"Dan aku ingin tahu kenapa kamu ingin melihatku telanjang?!"

"Ceritanya panjang."

"Apa seperti itu perlakuanmu terhadap orang yang kamu mintai bantuan?!"

"... tunggu sebentar."

Mashiro berjalan ke mejanya dan kembali dengan membawa memo yang ditulisnya.

"Saran dari Ayano."

"Siapa itu Ayano? Dan jangan berbicara seakan saran itu ditujukan untukku!"

"Editor."

"Oh, ternyata kamu sudah punya editor?"

Mashiro mengangguk pelan.

"Aku mengikuti lomba manga tahun lalu."

"Lalu kamu menang?"

"Kalah."

Tentu saja, itu seharusnya sudah jelas. Toh, Mashiro masih belum menerbitkan apa pun.

"Ayano melihat karyaku dan merasa gambarnya bagus. Jadi dia menghubungiku."

"Hmm ..., jadi hal seperti itu juga bisa terjadi? Lalu, apa yang mau kamu lakukan sekarang?"

"Membuat karya untuk lomba tahun ini."

"Padahal kamu sudah punya editor, tapi kenapa kamu masih harus mengikuti lombanya?"

"Begitulah."

"Hmm."

Memang benar bahwa menerbitkan karya yang memenangkan hadiah lebih menarik dibandingkan menerbitkan sesuatu yang belum memenangkan apa pun. Bagi sebuah perusahaan penerbit, tidak ada yang lebih baik dibanding menerbitkan karya-karya populer dan memastikan karya-karya itu terjual dengan baik, jadi wajar saja kalau mereka akan berusaha mengajari orang yang mereka rasa punya potensi.

"Jadi? Ada apa dengan editor itu?"

"... apa maksudmu?"

"Maksudku sarannya! Sarannya!"

"Kamu masih membahas soal itu?"

"Kita masih belum membahasnya! Jangan lupakan percakapan kita tadi!"

Mashiro lalu melihat memo tersebut.

"Saran dari Ayano."

"Kamu benar-benar mau memulainya dari awal?!"

"Jika ada perasaan yang lebih peka ...."

"Ya ...."

"... yang kurasa sulit diekspresikan ...."

"Lalu ...."

"... maka aku harus mencobanya ...."

"Mencoba apa ...?"

"Menggambarkan sesuatu yang lebih ekstrim."

"Oh."

"Itu yang dikatakannya."

"Begitu. Jadi itu alasan kenapa kamu ingin melihat lelaki telanjang. Kurasa memang banyak kejadian di mana manga cewek tampak lebih ekstrim .... Lagi pula, itu sama sekali bukan cerita yang panjang."

"Jadi hari ini, aku mengincar tubuh Sorata."

"Itu cara mesum yang tidak ada gunanya untuk dikatakan, tahu?"

"Lepaskan bajumu."

Mashiro mencengkeram ujung kaus Sorata.

"Aku menolak."

Sorata menepisnya.

"Aku sudah mengatakan alasanku."

"Mengetahui alasannya membuatku lebih menyadari betapa berbahayanya semua ini! Kamu sedang memintaku untuk menjadi modelmu, 'kan?"

"Model telanjang."

"Berarti aku harus telanjang bulat?! Itu memalukan!"

"Tidak apa-apa."

"Apanya yang tidak apa-apa?"

"Aku tidak malu."

"Tapi aku yang malu!"

"Aku tidak akan tertawa."

"Memangnya apa yang mau kamu tertawakan?!"

"Jadi kamu tidak akan melakukannya?"

"Tidak akan."

"Begitu. Kalau begitu tidak ada gunanya ...."

Untuk sesaat, Sorata merasa lega, hingga dia melihat Mashiro memegangi piyamanya.

"Shiina, sebenarnya apa yang kamu lakukan ini?"

"Kalau aku juga melepas baju, berarti tidak masalah, bukan?"

"Jangan, bukan begitu maksudku!"

"Kamu bisa mengatakannya dari awal."

"Jangan berlagak seolah aku yang malu-malu! Dan bisa-bisanya kamu mulai membuka baju tanpa ragu begitu?! Tidak seharusnya gadis seusiamu berani buka-bukaan di depan orang lain!"

"Sorata itu istimewa."

"Tidak peduli soal istimewanya aku! Dan jangan membahasnya! Itu mungkin hanya karena aku pernah memberimu 'baumkuchen'!"

"Benar."

"Kubilang jangan dibahas! Kamu bisa menghilangkan rasa ikhlasku! Dan berhenti melepas bajumu!"

Mashiro menghentikan gerakannya.

"Jadi, kamu akan membantuku?"

Melepas baju atau melihat orang lain melepas baju. Belum pernah di sejarah manusia pilihan semacam ini muncul.

"Apa aku sungguh sedang diperas dengan cara seperti ini ...? Baik. Akan kulepas bajuku. Tidak masalah kalau aku melepas baju, 'kan?! Tapi aku tidak akan melepas celanaku! Itu syaratku!"

"Akan kulepas celanaku."

"Bentuk kesetaraan macam apa yang mau kamu tunjukkan itu, hah?! Kamu gila, ya?! Baiklah! Yang penting kamu tidak buka!"

"...."

"Kenapa kamu masih terlihat tidak puas?"

"Itu bagian yang penting."

"Tapi kamu tidak akan menggambarnya ke dalam manga, 'kan?!"

"Tidak percaya diri?"

"Tidak percaya diri dengan apa?!"

Mencoba untuk menyudahi ini secepat mungkin, Sorata melepaskan kaos dan celana jersinya, hingga dirinya hanya mengenakan celana pendek yang tipis.

"Hei .... Kalau kamu hanya ingin melihat lelaki telanjang, kenapa tidak cari fotonya saja?"

"Tidak."

"Kenapa tidak?"

"Tidak bisa disentuh."

"...."

"...."

"Hah?"

"Aku tidak bisa meraba seluruh tubuhnya."

"Oh, senang mengenalmu. Aku mau balik ke kampung halaman dulu."

Sorata buru-buru mengenakan kembali kaosnya. Akan tetapi, Mashiro telah mengenggam lengan kaos itu dan tidak melepaskannya.

"Penting untuk merasakannya sendiri. Membuat lukisan menjadi hidup."

Ditatap langsung seperti itu, Sorata merasa pikirannya terhenti. Pada akhirnya, ini semua demi karyanya. Dia tidak sedang bercanda, atau berusaha menggodanya. Dia benar-benar serius.

"Baik, baik, akan kulakukan. Lalu, aku harus apa?"

"Berbaring."

Mashiro menunjuk ke arah tempat tidur. Sorata awalnya sedikit enggan, tapi dia akhirnya mau menurut ketika ingat bahwa Mashiro tidur di bawah meja, yang berarti kalau tempat tidurnya jarang digunakan.

Dia pun merebahkan diri ke atas tempat tidur, menunggu instruksi selanjutnya.

Kemudian, tanpa pemberitahuan apa-apa, Mashiro menaiki tubuh Sorata, dengan lutut tertekuk.

"Kamu ini sedang apa?!"

"Jangan bergerak."

Jari lembut yang cekatan itu menelusuri perut Sorata dari atas hingga ke bawah. Punggung Sorata bergidik. Merinding karena sensasi tidak nyaman ini, Sorata menjadi kaku karena gugup, bahkan sewaktu isi tubuhnya mengendur.

"Keras, dan terasa berat."

Mashiro terasa lembut. Sorata dapat merasakan bokongnya yang terlapisi piyama. Bagian tubuhnya yang menyentuh Mashiro itu perlahan memanas. Bagian tersebut mulai berkeringat, memenuhi Sorata dengan sensasi menenangkan.

Dia ingin lebih banyak menyentuh. Dia juga ingin mengulurkan tangan dan menyentuh area lainnya. Dorongan jahat tersebut mulai menyeruak di dalam diri Sorata, namun matanya bertatapan dengan Mashiro, hingga hasrat itu pun padam.

Dia kehilangan kata-kata saat melihat tatapan serius Mashiro.

Jemari Mashiro membentuk sebuah garis antara leher Sorata dengan dagunya. Sorata membiarkannya melakukan apa yang dia mau.

Mashiro bergerak dan semakin melingkupi Sorata dengan tubuhnya.

Dia menyandarkan dagunya di dada Sorata, lalu menengadahkan pandangannya.

"Jantungmu berdetak."

"Ya, karena aku masih hidup."

"Semakin lama detakannya semakin cepat."

"Memangnya itu gara-gara siapa?! Siapa, hah?!"

"Peluk aku."

"Eh, aku tidak bisa melakukan itu!"

"Sorata pengecut."

"Uh, sial! Oke, oke!"



Sorata melilitkan kedua lengannya ke punggung Mashiro.

Awalnya, lengannya nyaris menyentuh Mashiro.

"Lebih erat."

Sorata sedikit mengeratkan pelukannya. Lengannya mulai bergetar karena gugup.

Dia bisa tahu betapa ramping pinggang gadis itu melalui lengannya.

Perasaan tidak nyaman mulai menyerangnya. Jika dia memeluknya lebih erat lagi, apa tulangnya akan remuk? 

"Sudah."

Sorata lalu melepaskan pelukannya.

Mashiro pun mengangkat kepalanya dari dada Sorata, lalu melirik wajahnya.

"Terangsang?"

"Enak saja!"

Sekilas Sorata dapat melihat payudara Mashiro dari kerahnya yang terbuka.

Karena panik, Sorata segera memalingkan pandangannya.

"Ada apa?"

"Dasar. Ya ampun, sadar dirilah sedikit. Kamu terlalu lengah."

Mashiro lalu melihat payudaranya sendiri.

"Kamu suka ini, ya?"

"Kalau aku terangsang hanya karena payudara Shiina, lebih baik aku tidur dengan setumpuk kamaboko saja."

Mashiro tampak tidak mengerti lelucon itu, hingga tidak menyahut.

"Sorata, apa kamu pernah berhubungan seks?"

"...."

"Sorata?"

"Jangan buat aku kaget! Jelas aku belum pernah! Jangankan mencium seorang gadis, bergandengan tangan saja aku belum pernah! Baru kali ini saja aku diduduki seorang gadis!"

"Sayang sekali. Kamu punya tubuh yang bagus."

"Bagaimana bisa kamu berpikir begitu?! Mungkin aku pernah bermain sepak bola sewaktu SD dan SMP, tapi itu sama sekali tidak istimewa."

"Lalu sekarang?"

"Aku tidak memainkannya lagi. Seharusnya itu sudah cukup jelas."

Kenyataannya, Sorata tidak melakukan apa pun. Sejak masuk SMA, dia tidak bergabung dalam klub apa pun.

"Apa kamu cedera?"

"Tidak, sama sekali tidak."

Mashiro terdiam, dan berpikir sejenak.

"Kalau begitu, kamu tinggal main saja."

"... ada alasan kenapa aku berhenti selain karena cedera."

"Aku tidak paham."

Dipandangi oleh kedua mata polos Mashiro dari atas, Sorata merasa semakin gelisah dan membiarkan pandangannya mengelilingi kamar tersebut. Dia mencari hal lain di kamar tersebut untuk mengalihkan pikirannya. Namun dia tidak bisa menemukan apa-apa. Dalam tatapan bingungnya, tidak ada kesadaran dari kecanggungan suasana ini, ataupun fakta bahwa Sorata ingin mengganti topik pembicaraan.

Tidak menemukan pilihan lain, Sorata mulai berbicara.

"... hanya begitu-begitu saja."

Sorata telah bermain sepak bola selama sembilan tahun penuh, namun dia tidak membuat kemajuan apa pun. Sewaktu SMP, dia memasuki tim yang jika masuk kualifikasi turnamen prefektur saja sudah bersyukur, dan dia pun bukan pemain yang hebat dalam tim tersebut. Jadi, dia tidak bisa bermimpi melakukan sesuatu yang lebih hebat dari itu.

Sewaktu SD, dia tidak habisnya bermimpi supaya bisa bermain di lapangan hijau yang luas dengan disinari lampu stadion, tapi mimpi itu berhenti setelah dia mulai masuk SMP.

"Mungkin aku sudah mencapai batasku. Dan aku sudah kehilangan minat."

Bahkan ketika tim mereka kalah dalam pertandingan, Sorata berhenti menangis, dan bahkan selama latihan, dia tanpa sadar mulai malas. Padahal sewaktu kecil dulu dia sering menangis saat kalah bertanding sepak bola ....

Bidang olahraga di Suikou tidaklah begitu kuat, meski begitu, klub sepak bolanya punya target untuk tembus ke tingkat nasional, sementara tim bisbolnya menargetkan Koushien. Percaya pada diri sendiri, bekerja keras, hadapi tantangan .... Ada makna di balik semua itu, tapi Sorata sudah tidak punya semangat lagi untuk bisa berusaha keras di bidang olahraga.

Sesuatu tanpa ada batasan. Sorata ingin mencari sesuatu yang diyakininya mampu untuk dilakukan, sesuatu yang mampu memberinya tantangan. Sesuatu yang bisa dia minati seperti teman sekelasnya yang mandi keringat di lapangan.

Itu sebabnya, dia membuat keputusan besar untuk tidak bergabung dalam klub apa pun. Tetap saja, satu tahun telah berlalu, dan dia tidak mendapatkan apa-apa.

"Ah, lupakan. Aku baru saja mengatakan hal konyol."

Karena tidak ada gunanya mengatakan semua itu pada Mashiro. Untuk seseorang seperti Mashiro yang sudah meraih puncak di bidangnya, persoalan rakyat jelata yang bermalas-malasan ini mungkin tidaklah masuk akal baginya.

"Baik."

Dengan respon singkat itu, Mashiro membuka buku sketsanya. Dengan posisi masih menduduki Sorata, Mashiro memusatkan perhatiannya pada lembaran putih buku sketsanya dan mulai menggerakkan pensilnya.

"... Shiina?"

"...."

"Apa aku harus terus seperti ini?"

"...."

"Oi, memangnya aku ini sedang bicara dengan angin, hah?!"

"...."

Seakan dia tidak mendengarnya.

Ekspresi wajahnya tampak berbeda. Seakan dia telah memusatkan semua perhatiannya pada pekerjaannya.

"Shiina ..., apa kamu punya pacar?"

"...."

"Ya, kurasa begitu."

"...."

"Sungguh kejam. Kejam. Kejam sekali! Hidupku .... Hukuman keji macam apa ini?! Sial .... aku benar-benar mau menangis ...."

Selang beberapa saat, Mashiro berdiri dan menyalakan komputernya, lalu duduk di depan mejanya.

Dia mulai menggambar di atas layar dengan sebuah tablet.

"Pasti begini rasanya saat mau dicabuli .... Salah apa aku sampai harus menerima semua ini ...?"

Selagi Sorata berdesah dan kembali mengenakan pakaiannya, dia berjalan ke belakang Mashiro dan mengintip ke arah layar. Setiap kali Mashiro menggerakkan tangannya, sosok seorang pria mulai terbentuk di atas layar dengan keakuratan yang mengejutkan. Dia hampir tidak pernah menggunakan penghapus. Seakan dia tahu persis garis apa yang perlu digambarnya sejak awal. Dari sudut pandang Sorata, teknik Mashiro hampir terlihat seperti sihir.

Tiba-tiba, punggung Mashiro seakan menghilang ke kejauhan.

Dia berada persis di depan Sorata. Jika Sorata mengulurkan tangan, dia akan bisa menyentuhnya. Namun di saat yang sama, jarak tersebut terasa tidak terhingga.

Bermaksud melarikan diri dari sensasi itu, Sorata berpaling dan mulai mengumpulkan lembaran naskah yang berserakan di lantai.

Itu adalah naskah yang berbeda dari yang Sorata pernah lihat sebelumnya, tapi nuansa yang dihadirkan kurang lebih sama. Seorang gadis SMA yang sungguh tidak mencolok jatuh cinta pada seorang lelaki teman sekelasnya yang juga tidak mencolok, dan lewat obrolan yang benar-benar tidak menarik, mereka memutuskan untuk mulai berpacaran.

"Yang benar saja, siapa yang mau peduli ...?"

Tidak ada satu bagian pun dari gaya manga-nya yang membuat Sorata ingin berkata bahwa itu sudah semakin bagus.

Mungkin itu disebabkan kepribadian dari Mashiro, namun membuat tokoh yang begitu hambar adalah suatu kesalahan fatal saat berbicara soal manga

Dia sungguh harus lebih berani dan dramatis dalam penggambarannya, dan menciptakan tokoh yang lebih banyak menunjukkan emosi.

Aura tidak bersemangat yang terus terasa sepanjang karyanya membuat seluruh karya tersebut tidak begitu menarik. Gambarnya tidak terasa hidup. Semua itu membuat Sorata tidak merasakan apa-apa. Tidak ada perasaan tertarik ketika membacanya. Yang seperti ini bukanlah manga, tapi hanya koleksi gambar biasa. Orang-orang tidak membaca manga hanya untuk melihat ilustrasi yang bagus. Setidaknya, itulah yang Sorata rasakan. Karena itu, jika ceritanya membosankan, maka Sorata tidak memiliki minat untuk terus membacanya.

Yang seperti ini akan cukup sulit untuk memenangkan hadiah ataupun membuat debut sebagai seorang pengarang manga.

Selagi dia memikirkan hal tersebut dan melihat naskahnya, Sorata tersadar jika Mashiro sedang memandanginya.

"Tidak bagus?"

"Kalau boleh jujur, iya."

Sorata sempat berpikir jika dia akan mengutarakannya secara tidak langsung, namun akhirnya dia memutuskan untuk menjawabnya dengan jujur. Lagi pula, sebelumnya dia juga pernah menyampaikan pendapatnya secara langsung. Jadi tidak ada gunanya jika menjawab dengan pengandaian.

"Ayano juga bilang begitu."

Memutuskan untuk menahan diri agar tidak berkata lebih banyak lagi, Sorata hanya bisa menyodorkan naskah itu pada Mashiro

"Kamu boleh membuangnya."

"Memangnya tidak apa-apa? Itu naskah, 'kan?"

"Aku sudah menyimpan datanya. Itu hanya konsep cerita."

"Hah?"

Konsep cerita .... Jadi maksudnya ini cuma sketsa kasarnya saja? Sesuatu yang kamu bawa saat bertemu editormu supaya kamu bisa membicarakan detail manga-mu?

"Rasanya tidak efisien kalau menggambar sketsa kasar sampai sebagus ini ...."

"Aku belum terbiasa memakai komputer. Perlu latihan."

"Lalu kenapa kamu tidak memakai kertas saja?"

"Kirino juga bilang begitu. Katanya kalau aku terlalu banyak menggambar garis pada kertas hingga gambarnya terlalu berat."

"Jangan bilang ... kalau gambar di kertasmu itu terlalu bagus?"

"Tidak. Aku lemah menggambar manusia."

Sorata tidak paham dengan kata lemah yang diucapkan Mashiro tadi. Tokoh di layar itu tampak memiliki desain yang kurang rumit jika dibanding dengan yang pernah Sorata lihat sebelumnya, dan itu digambar dengan seni manga yang meyakinkan. Bahkan dari sudut pandang profesional, kemampuan seni Mashiro itu tergolong kelas atas. Sorata sudah pernah melihat banyak sekali manga yang gambarnya lebih buruk.

Sorata hanya bisa mengira kalau Mashiro sudah gila karena merasa lemah di bagian itu.

Sensasi yang membuat Sorata memalingkan pandangan sebelumnya itu pun muncul kembali dengan begitu kuatnya.

Mashiro sendiri telah terfokus kembali pada karyanya, dan sosok punggungnya itu pun tampak menghilang ke kejauhan dengan begitu cepatnya.

Itu bukanlah halusinasi. Mashiro memiliki sebuah tujuan, dan dirinya langsung bergerak menuju ke sana. Bagi seseorang yang berdiam diri seperti Sorata, Mashiro mungkin saja sedang bergerak dengan kecepatan cahaya.

Sorata tidak akan pernah bisa mengejarnya.

Meski saat itu mereka berada di kamar yang sama, Mashiro berada di tempat yang sepenuhnya berbeda.

Misaki dan Jin, bahkan Ryuunosuke .... Mereka semua sama. Mereka semua berlari ke arah tujuan mereka.

Hanya Sorata saja yang berdiam diri.

Sorata merasakan perih yang menusuk di dadanya. Sakit sekali. Tanpa sadar, Sorata menjauhkan dirinya dari Mashiro, lalu duduk di atas tempat tidur.

Entah kapan, rasa kesepian dan tidak nyaman itu mulai berputar-putar dalam perut Sorata. Karena perlu mengalihkan perhatian, Sorata pun memanggil Mashiro.

"Hei ..., kenapa memilih manga?"

"...."

Seperti yang dia duga, tidak ada respon.

Ketika Mashiro berkonsentrasi seperti ini, suara Sorata ..., atau bahkan keberadaan dirinya ... tidak pernah hadir dalam pikiran gadis itu.

Untuk beberapa saat, keheningan mengisi kamar tersebut. Hanya ada suara Mashiro yang sedang bekerja dengan tabletnya menggema di dalam kepala Sorata dan merampas kemampuannya untuk berpikir. Tanpa bisa memikirkan apa-apa, Sorata memandang hampa punggung Mashiro.

Sejenak waktu telah berlalu.

"Karena menarik."

Mendengar tanggapannya yang teramat telat, Sorata berseru karena kaget.

"Eh?"

Mashiro menoleh lalu menatap melalui belakang bahu.

"Karena menarik."

"Apa melukis itu belum cukup menarik?"

"Melukis saja tidak menarik."

"Tidak seharusnya kamu mengatakan hal seperti itu."

"Itu kebenarannya."

"... kalau begitu ..., kalau menurutmu itu tidak perlu, serahkan bakat senimu itu padaku."

"Baik."

"Memangnya itu bisa, hah?!"

"Sorata yang bilang."

Sorata sadar akan itu.

"Sorata yang meminta hal yang sebenarnya tidak kamu inginkan."

Ucapannya tepat mengenai sasaran.

Sorata bahkan tidak tahu yang sebenarnya dia inginkan dalam hidupnya. Meski dia nantinya memperoleh bakat Mashiro, itu hanya akan menjadi sia-sia saja.

Mashiro segera kembali mengerjakan karyanya. Hampir seakan dia tidak pernah mengikuti obrolan barusan, Mashiro kembali memusatkan perhatiannya pada tugasnya itu.

Bagi Sorata, punggung Mashiro tampak begitu dingin pada saat itu.

Dia hampir merasa jika dia baru saja ditolak.

Namun, itu mungkin bukan cara yang tepat untuk melihatnya. Perasaan itu mungkin hanya kegelisahan Sorata semata. Rasa bersalahnya. Mashiro sama sekali tidak memikirkan itu. Dia tidak merasakan apa pun. Sorata hanya menyesal karena meminta Mashiro untuk menyerahkan bakat itu pada dirinya.

Dia merasa hina.

Dia bergumam pada dirinya sendiri.

Dia merasa muak pada sikap angkuh dirinya.

"Sorata."

"Ya?"

"Jangan pakai pakaianmu."

"Hah?"

"Kita lanjut."

"Hei, tunggu dulu. Kamu masih mau apa terhadapku?!"

"Jelas ...."

"Jelas?"

"Itu jelas tidak bisa kukatakan."

"Jangan berbuat seperti itu padaku!"

"Aku tidak akan membiarkanmu tidur malam ini."

"Kalau memang itu yang mau kamu katakan, harusnya itu lebih menggoda!"

"Aku tidak akan membiarkanmu tidur malam ini."

"Itu sama sekali tidak ada bedanya!"


Mundur
Lanjut

0 komentar:

Posting Komentar